BEBERAPA
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
DALAM
RUMAH TANGGA
Oleh:
Fitri Yafrianti
ô`ÏBur
ÿ¾ÏmÏG»t#uä
÷br&
t,n=y{
/ä3s9
ô`ÏiB
öNä3Å¡àÿRr&
%[`ºurør&
(#þqãZä3ó¡tFÏj9
$ygøs9Î)
@yèy_ur
Nà6uZ÷t/
Zo¨uq¨B
ºpyJômuur
4
¨bÎ)
Îû
y7Ï9ºs
;M»tUy
5Qöqs)Ïj9
tbrã©3xÿtGt
ÇËÊÈ
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
[Al-Qur’an,
Surat Arum: 21]
A. Pendahuluan
Perkawinan
merupakan masalah yang essensi bagi kehidupan manusia, oleh karena di samping
perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan juga merupakan
kodrati manusia untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Agar hakekat perkawinan
tersebut tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif, maka kiranya perlu adanya
pengaturan tersendiri.[1]
Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka
akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akan menimbulkan pula hak dan
kewajibannya selaku suami istri dalam keluarga. Berbicara tentang hak pasti
dibarengi dengan berbicara tentang kewajiban. Hak dan kewajiban ibarat dua sisi
satu mata uang. Luas dan fungsinya juga sama dan berimbang. Bila terjadi
ketimpangan di mana hak lebih ditekankan atau lebih luas dari kewajiban, atau
sebaliknya, niscaya akan tercipta ketidakadilan. Dalam skup kehidupan suami
istri, hak dan kewajiban yang berjalan seimbang amat menentukan keberlangsungan
dan keharmonisan hubungan keduanya. Tentu saja ini harus dibarengi dengan
pemahaman kedua belah pihak terhadap fungsi dan kedudukan masing-masing.
B.
Hak
dan Kewajiban Suami Istri
Yang
dimaksud dengan hak di sini adalah apa-apa yang diterima oleh seseorang dari
orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang mesti
dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan suami istri dalam rumah
tangga suami mempunyai hak dan begitu pula istri mempunyai hak. Di balik itu
suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula si istri mempunyai beberapa
kewajiban.[2]
Adanya hak dan kewajiban antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga itu
dapat dilihat dalam beberapa ayat al-Qur’an dan beberapa hadis Nabi. Contoh
dalam al-Qur’an, umpamanya pada surat al-Baqarah (2) ayat 228:
à£`çlm;ur
ã@÷WÏB
Ï%©!$#
£`Íkön=tã
Å$rá÷èpRùQ$$Î/
4
ÉA$y_Ìh=Ï9ur
£`Íkön=tã
×py_uy
3
ª!$#ur
îÍtã
îLìÅ3ym
ÇËËÑÈ
Artinya:
Dan Para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya.[3]
Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat
ini menjelaskan bahwa istri mempunyai hak dan istri juga mempunyai kewajiban.
Kewajiban istri merupakan hak bagi suami. Hak istri semisal hak suami yang
dikatakan dalam ayat ini mengandung arti hak dan kedudukan istri semisal atau
setara atau seimbang dengan hak dan kedudukan suami. Meskipun demikian, suami
mempunyai kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga,
sebagaimana diisyaratkan oleh ujung ayat tersebut di atas.
Contoh
dalam hadis Nabi, umpamanya hadis dari Amru bin al-Ahwash:
“Ketahuilah bahwa kamu mempunyai
hak yang harus dipikul oleh istrimu dan istrimu juga mempunyai hak yang harus
kamu pikul.[4]
Keberadaan
laki-laki dan perempuan merupakan dua fondasi pokok dalam kehidupan keluarga.
Namun sesuai hukum penciptaan, kaum lelaki lebih mengutamakan akal ketimbang
perasaannya. Berkenaan dengan itu, Allah SWT melimpahkan wewenang kepada kaum
laki-laki untuk memimpin bahtera hidup rumah tangga,
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
perempuan,
Oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki)
Atas sebahagian yang lain
(perempuan) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan
sebagian harta mereka.” (an-Nisa’: 34)
Allah SWT melimpahkan tugas dan tanggung
jawab yang jauh lebih berat dan sulit kepada kaum lelaki ketimbang yang
diberikan kepada kaum perempuan. Dengan kapasitas dan kemampuan akalnya,
seorang lelaki dapat mengatur kehidupan rumah tangga dengan baik. Dengannya,
kebahagian hidup keluarga niscaya akan dapat diraih. Rasulullah saw bersabda, “Allah swt akan menanyakan kepada setiap
pemimpin tentang bagaimana keadaan yang dipimpinnya, dijaga ataukah tidak,
sampai kemudian Allah bertanya kepada kaum laki-laki perihal keluarganya.”
C.
Beberapa
Kewajiban Istri
Ø Taba’ul
Makna
taba’ul adalah ketaatan serta
kepatuhan istri terhadap suaminya dengan cara menghormati, menghargai, mematuhi,
dan menjaga kehormatan serta harta benda sang suami.[5]
Wanita Muslimah yang senantiasa menjalankan ajaran agamanya akan selalu
mentaati suaminya,[6]
tanpa sedikit pun membantahnya, berbakti kepadanya, dan berusaha untuk mencari
keridhaannya serta memberikan kebahagiaan pada dirinya, meskipun dia hidup
dalam kemiskinan dan kesulitan.
Secara
mutlak seorang istri wajib taat kepada suaminya terhadap segala yang
diperintahkannya, asalkan tidak termasuk perbuatan durhaka kepada Allah. Sebab
memang tidak ada alasan sama sekali bagi makhluk untuk taat kepada sesama
makhluk dalam berbuat durhaka kepada Allah. Setiap mukminah yang taat kepada
suaminya yang mukmin, ia akan masuk ke surga Tuhannya. Dalilnya ialah sebuah
riwayat, bahwa sesungguhnya Asma’binti Yazid Al-Anshari menemui Nabi SAW. Ia
mengaku sebagai delegasi kaum wanita. Kemudian ia memprsoalkan tentang
keutamaan mendapatkan pahala berjihad dan shalat berjamaah yang hanya
dimonopoli oleh kaum laki-laki. Beliau lalu bersabda,
“Sampaikan kepada wanita-wanita
yang mengutusmu, bahwa sesungguhnya pahala taat kepada suami dan mengakui
hak-haknya, itu sebanding dengan hal itu. Tetapi sedikit di antara kalian yang
melaku-kannya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra, ia berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah, ‘Wahai
Rasulullah, siapakah istri terbaik itu?” Beliau menjawab, “Yaitu istri yang menyenangkan suami jika dipandangnya, yang taat
kepadanya jika disuruh, dan yang tidak menentangnya terhadap yang menyangkut
dirinya maupun terhadap suaminya dengan hal-hal yang tidak disukai oleh sang
suami.”
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra,
dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Apabila seorang wanita sudah
menjalankan shalat lima waktu, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya,
maka niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana pun yang ia inginkan.[7]
Di
antara bentuk ketaatan dan bakti seorang istri kepada suaminya adalah tidak
berpuasa melainkan pada bulan Ramadhan kecuali jika ada izin dari suaminya, tidak
memberikan izin seorang pun untuk masuk kedalam rumah suaminya melainkan atas
izin dan perkenannya, tidak berinfak dengan uang hasil jerih payah suaminya
melainkan atas izin suaminya. Apabila dia berinfaq tanpa perintah suaminya,
maka setengah dari infaq itu adalah milik suaminya. Wanita Muslimah yang
benar-benar sadar dan bertakwa terikat dengan oleh hukum syari’at ini yang
telah ditetapkan Rasulullah SAW melalui sabdanya,
“Tidak dibolehkan bagi seorang
istri untuk berpuasa sedang pada saat itu suaminya ada disisinya kecuali atas
seizinnya, dan tidak mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya melainkan atas
izin suaminya, dan infak yang dikeluarkannya tanpa perintah suaminya, maka
sebagian dari infak itu kembali kepada suaminya.”
Sedangkan
menurut riwayat Muslim:
“Seorang wanita tidak boleh
berpuasa pada saat suaminya ada di sisinya kecuali atas izinnya, dan tidak
mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya sedang suaminya ada di sisinya
melainkan atas izinnya. Dan, infak yang dikeluarkan dari uang hasil jerih
payahnya tanpa perintahnya, maka setengah pahalanya diberikan kepadanya.”[8]
Ø Memelihara rumah, mengurus
suami dan anak-anaknya
Wanita Muslimah yang cerdas
mengetahui tanggung jawab yang diberikan Islam kepadanya dalam memelihara
rumah,[9]
mengurus suami dan anak-anaknya.
Dikhususkan penyebutan dirinya merupakan penghormatan Islam kepada wanita dalam
memikul tanggung jawab tersebut. Hal itu disebutkan dalam sebuah hadits yang di
dalamnya Rasulullah menjadikan setiap individu di dalam masyarakat Islam
bertanggung jawab terhadap apa yang berada di bawah tanggungan dan kendalinya.
Di mana tidak seorang pun dari laki-laki maupun wanita yang bisa lepas dari
tanggung jawab tersebut:
“Setiap dari kalian adalah pemimpin
dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam
(penguasa) adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Dan,
orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas
kepemimpinannya. Dan, wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan akan ditanya
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan seorang pelayan adalah
pemimpin atas harta tuannya dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya itu. Masing-masing dari kalian adalah pemimpin dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian.” (Muttafaq
Alaihi).
Salah
satu tugas penting dan menentukan bagi seorang istri adalah mengasuh keturunan.
Tanggung jawab yang menyertai tugas semacam ini amatlah berat. Oleh karena itu,
tugas mengasuh keturunan dipandang
sebagai tugas suci yang dibebankan Allah SWT kepada kaum wanita. Tidak diragukan
lagi bahwa anak merupakan penyejuk pandangan mata, sumber kebahagian, dan
belahan hati manusia dalam kehidupan ini. Keberadaan mereka menjadikan
kehidupan ini terasa manis, menyenangkan, mudah mendapatkan rezki, terwujud
semua harapan, dan hati pun menjadi tenang.[10]
Tidak pernah lepas dari pikiran wanita Muslimah bahwa tanggung jawab seorang
ibu dalam pendidikan dan pembentukan kepribadian anak-anaknya lebih besar dari
pada seorang bapak. Yang demikian itu karena mereka lebih dekat dengan ibu dan
lebih banyak berada di sisinya, di samping seorang ibu lebih mengenal keadaan
dan perkembangan mereka pada masa-masa pertumbuhan dan puber yang merupakan
masa paling berbahaya bagi kehidupan mental, jiwa dan tingkah laku anak. Karena
itu, wanita Muslimah yang mengikuti petunjuk agamanya mengetahui tugas
pendidikan yang diembannya, juga tanggung jawab penuh dalam pendidikan
anak-anaknya yang diungkapkan Al-Qur’an,
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
(At-Tahrim: 6).
Islam
menjadikan orang tua, khususnya ibu bertanggung jawab penuh pada pendidikan
keislaman secara detail bagi anak-anak mereka, juga pada pembentukan diri yang
shalih yang tegak di atas akhlak mulia yang oleh Rasulullah disebutkan bahwa
dirinya diutus ke dunia ini adalah untuk penyempurnaan dan penanaman akhlak tersebut
dalam kehidupan manusia,
“Sesungguhnya aku diutus adalah
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Wanita
Muslimah yang benar-benar sadar akan senantiasa menanamkan akhlakul karimah (akhlak terpuji) ke dalam diri anak-anaknya,
berupa cinta kasih kepada orang lain, menyambung silaturahmi, membantu
orang-orang lemah, menghormati orang tua, menyayangi anak kecil, jujur dalam
ucapan dan perbuatan, menepati janji, adil dalam mengambil keputusan, dan lain
sebagainya yang termasuk akhlak terpuji.[11]
Seorang ibu adalah madrasah (sekolah) pertama dalam pendidikan bangsa, dan dia
adalah guru pertama bagi generasi-generasi cerdas, pencipta peradaban,
sebagaimana yang diungkapkan oleh penyair Hafidz Ibrahim berikut ini,
“Seorang ibu adalah madrasah,
apabila engkau mempersiapkannya,
Berarti telah menyiapkan generasi
muda yang baik dan gagah berani.
Seorang ibu adalah guru pertama
dari semua guru pertama,
Yang pengaruhnya menyentuh
seluruh jagat raya.”[12]
D.
Beberapa
Kewajiban Suami
Ø Memberi Nafkah
Yang
dimaksud dengan nafkah adalah semua kebutuhan dan keperluan yang berlaku
menurut keadaan dan tempat, seperti makanan, pakaian, rumah dan lain-lain.
Nafkah merupakan kewajiban seorang suami terhadap istrinya, dan tidak ada
perbedaan pendapat mengenai masalah ini.[13]
Bahkan al-Qur’an sendiri telah mewajibkan hal itu melalui firman Allah SWT:
÷,ÏÿYãÏ9
rè
7pyèy
`ÏiB
¾ÏmÏFyèy
(
`tBur
uÏè%
Ïmøn=tã
¼çmè%øÍ
÷,ÏÿYãù=sù
!$£JÏB
çm9s?#uä
ª!$#
4
w
ß#Ïk=s3ã
ª!$#
$²¡øÿtR
wÎ)
!$tB
$yg8s?#uä
4
ã@yèôfuy
ª!$#
y֏t/
9ô£ãã
#Zô£ç
ÇÐÈ
Artinya:
Hendaklah orang yang
mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya
hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.
(ath-Thalaq: 7).
Allah
Ta’ala berfirman,
ãA%y`Ìh9$#
cqãBº§qs%
n?tã
Ïä!$|¡ÏiY9$#
$yJÎ/
@Òsù
ª!$#
óOßgÒ÷èt/
4n?tã
<Ù÷èt/
!$yJÎ/ur
(#qà)xÿRr&
ô`ÏB
öNÎgÏ9ºuqøBr&
4
àM»ysÎ=»¢Á9$$sù
ìM»tGÏZ»s%
×M»sàÏÿ»ym
É=øtóù=Ïj9
$yJÎ/
xáÏÿym
ª!$#
4
ÓÉL»©9$#ur
tbqèù$srB
Æèdyqà±èS
ÆèdqÝàÏèsù
£`èdrãàf÷d$#ur
Îû
ÆìÅ_$ÒyJø9$#
£`èdqç/ÎôÑ$#ur
(
÷bÎ*sù
öNà6uZ÷èsÛr&
xsù
(#qäóö7s?
£`Íkön=tã
¸xÎ6y
3
¨bÎ)
©!$#
c%x.
$wÎ=tã
#ZÎ62
ÇÌÍÈ
Artinya:
Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289]
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)[290].
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], Maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika
mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.[14]
(An-Nisa’: 34)
Nafkah[15]
ini wajib diberikan oleh suami, meskipun misalnya istrinya adalah orang yang
kaya. Secara umum, termasuk nafkahnya ialah memberi makan dan pakaian.
Diriwayatkan dari Muawiyah bin Haidah ra, ia berkata: “Wahai Rasulullah, apa hak salah seorang istri kami?” Beliau
bersabda,
“Memberinya makan jika kamu makan
dan memberinya pakaian jika kamu berpakaian.”
Diriwayatkan
dari Sa’ad bin Abi Waqqash ra, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,
“Nafkah yang kamu berikan dengan
niat untuk mencari keridhaan Allah, niscaya akan diberikan pahalanya, termasuk
nafkah yang kamu suapkan ke mulut istrimu.
Islam
menganggap bekerja untuk menghidupi keluarga dan istri, termasuk amal dan jihad
pada jalan Allah. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa
berusaha/bekerja untuk keluarganya ,maka ia sedang berjihad pada jalan Allah.”
Ø Berlaku Baik terhadap Istri
Allah
Ta’ala berfirman,
$ygr'¯»t
z`Ï%©!$#
(#qãYtB#uä
w
@Ïts
öNä3s9
br&
(#qèOÌs?
uä!$|¡ÏiY9$#
$\döx.
(
wur
£`èdqè=àÒ÷ès?
(#qç7ydõtGÏ9
ÇÙ÷èt7Î/
!$tB
£`èdqßJçF÷s?#uä
HwÎ)
br&
tûüÏ?ù't
7pt±Ås»xÿÎ/
7poYÉit6B
4
£`èdrçÅ°$tãur
Å$rã÷èyJø9$$Î/
4
bÎ*sù
£`èdqßJçF÷dÌx.
#Ó|¤yèsù
br&
(#qèdtõ3s?
$\«øx©
@yèøgsur
ª!$#
ÏmÏù
#Zöyz
#ZÏW2
ÇÊÒÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, tidak
halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa[278] dan janganlah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata[279]. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.[16](An-Nisa’:
19)
Seorang
istri berharap agar suaminya lebih menghormati dirinya ketimbang orang lain.
Harapannya ini jelas dibenarkan. Sebab, suami adalah teman hidup dan penghibur terbaik
bagi hatinya. Sepanjang hari dirinya bekerja demi kesenangan anak-anak.
Salahkah kalau dirinya kemudian menganggap pantas dihormati? Menghormati istri
tidak akan mengurangi kewibawaan seorang suami. Bahkan sebaliknya, kian
mengukuhkan kesetiaan dan kecintaan suami kepada istri, sekaligus sebagai tanda
terima kasih. Janganlah seorang suami menggunakan kata-kata yang tidak
senonoh ketika berbincang dengan istri.
Janganlah berteriak sewaktu memanggilnya.
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Nasehatilah wanita dengan baik,
karena sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Dan, bagian yang
paling bengkok pada tulang rusuk ialah bagian atasnya. Jika kamu memaksakan
dalam meluruskannya, maka kamu akan memecahkannya. Dan apabila kamu biarkan
saja, maka ia akan tetap bengkok terus. Nasehatilah wanita dengan baik.
Secara
naluri, seorang wanita memang memiliki perasaan yang halus. Tetapi ia mudah
marah. Oleh karena itu, seorang suami
wajib bersabar dalam menghadapinya dan berlaku lembut kepadanya, supaya mereka
tetap bisa hidup tentram, damai, dan bahagia.
Ø Bermain dan Bercanda dengan Istri
Seorang
suami harus berlaku penuh sayang kepada istrinya, dan berusaha menghibur dengan
bermain serta bercanda,[17]
karena hal itu dapat menyenangkan hati istri. Sesungguhnya seorang wanita
sebelum menikah mendapatkan kasih sayang serta kelembutan dari kedua orang
tuanya. Namun setelah mengikat janji suci pernikahan, ia berlepas diri dari
semua itu, untuk kemudian menambatkan tali kasih sayang dan pengertiannya
kepada suaminya. Dalam benaknya, ia berharap agar di rumah suaminya kelak
dirinya dapat mereguk cinta kasih sayang dari suaminya, sebagaimana yang
sebelumnya ia peroleh dari kedua orang tuanya. Bahkan, dirinya berharap agar
suaminya mencintai dan mengasihinya lebih daripada cinta dan kasih kedua orang
tuanya.[18]
Sabda
Rasulullah:
“Orang-orang mukmin yang paling
sempurna imannya dan paling baik akhlaknya ialah yang paling lembut terhadap
istrinya.”
Ø Mengajarkan Urusan Agama kepada
Istri
Salah
satu kewajiban seorang suami terhadap istri ialah mengajarkan hal-hal yang
khusus tentang urusan agama. Abu Hamid
Al-Ghazali ra mengatakan: “Seorang suami
wajib mengajari istrinya hukum-hukum agama, termasuk masalah-masalah yang
menyangkut haid. Sebab, hal itulah yang akan menjaganya dari neraka, berdasarkan
firman Allah Ta’ala:
$pkr'¯»t
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#þqè%
ö/ä3|¡àÿRr&
ö/ä3Î=÷dr&ur
#Y$tR
$ydßqè%ur
â¨$¨Z9$#
äou$yfÏtø:$#ur
$pkön=tæ
îps3Í´¯»n=tB
ÔâxÏî
×#yÏ©
w
tbqÝÁ÷èt
©!$#
!$tB
öNèdttBr&
tbqè=yèøÿtur
$tB
tbrâsD÷sã
ÇÏÈ
Artinya:
Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Syaikh
Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2005
K.N.
Sofyan Hasan & Warkum Sumitro, Dasar-Dasar
Memahami Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1994
Abdul
Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003
Ibrahim
Amini, Hak-hak Suami dan Istri, Perpustaka
Nasional RI, 2006
Muhammad
Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita
Muslimah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996
Syaikh
Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2008
* Penulis Adalah Mahasiswa
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, (UIN SUSKA). Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam (kosentrasi fiqih) Semester
IV, sekarang sedang menyelesaikan Program SI.
[1] K.N. Sofyan Hasan & Warkum
Sumitro, Dasar-Dasar Memahami Hukum Islam
Di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), hal. 109.
[2] Jika suami istri sama-sama
menjalankan tanggung jawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman
dan ketenangan hati, sehingga sempurnalah kebahagian hidup berumah tangga.
Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntutan
agama, yaitu sakinah, mawaddah warahmah. Abdul
Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), hal. 155
[3]
Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan
Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34).
[4] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 160.
[5] Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri, (Perpustaka
Nasional RI, 2006), hal. 27.
[6] Di antara bentuk ketaatan dan
bakti wanita Muslimah kepada suaminya adalah pemenuhan semua keinginan khusus suaminya,
seperti bersenang-senang menikmati kehidupan suami istri sesempurna mungkin dan
maksimal, baik dalam bergaul, berkunjung, makan bersama, berpakaian, berbicara,
dan lain sebagainya yang termasuk sisi kehidupan sehari-hari. Muhammad Ali
al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah,
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hal. 155.
[7] Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), hal. 132.
[8] Semuanya itu bergantung pada izin dan kerelaan sang suami, di mana
apabila sang istri mengeluarkan infak dari uang hasil jerih payahnya sebagai
sedekah tanpa adanya keridhaan dan izin suaminya, maka tidak ada pahala
baginya, bahkan dia memiliki tanggungan. Apabila dia ingin menginfakkan uang
suaminya pada saat suaminya tidak berada di sisinya dan dia mengetahui bahwa
jika mengetahui tindakannya itu, suaminya tidak akan marah dan bahkan
meridhainya, maka dibolehkan baginya untuk mengeluarkan infak tersebut. Yang
demikian itu karena saling pengertian dan keharmonisan antara suami istri tidak
akan terealisir kecuali dengan koordinasi dari keduanya dalam menjalankan semua
hal tersebut, di mana masing-masing pihak tidak saling mempersulit atau
mempersempit, yang hal itu hanya akan
memperkeruh dan merusak kejernihan kehidupan rumah tangga yang dibangun oleh
Islam berdasarkan mawaddah warahmah.
Muhammad Ali al-Hasyimi, Jati Diri Wanita
Muslimah, hal. 160.
[9] Satu hal yang perlu diperhatikan
dalam mengatur kehidupan berkeluarga adalah kebersihan rumah. Tinggal di rumah
yang bersih menerbitkan rasasenang di hati dan mendorong suami untuk
cepat-cepat pulang ke rumah. Rasulullah saw bersabda, “Pangkal agama adalah kebersihan.” Ibrahim
Amini, Hak-hak Suami dan Istri, hal.
145.
[10] Di mata seorang bapak, anak akan
menjadi penolong, penunjang, pemberi semangat dan penambah kekuatan. Seorang
ibu melihat anak sebagai harapan hidup, penyejuk jiwa, penghibur hati,
kebahagiaan hidup serta tumpuan masa depan. Semuanya itu tergantung pada
pendidikan yang diberikan kepada mereka, juga pada pembentukan diri dalam
menghadapi kehuidupan ini. Di mana mereka menjadi unsur produktif dan aktif,
yang kebaikan mereka akan kembali kepada orang tua, dan masyarakat. Sehingga
mereka dapat menjadi seperti apa yang difirmankan Allah SWT: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia.” (Al-Kahfi: 46). Apabila diabaikan pendidikan mereka, dan
pembentukan kepribadian mereka dilakukan secara tidak proporsional, maka mereka
akan menjadi bencana bagi orang tua mereka dan gangguan bagi masyarakat dan
umat manusia secara keseluruhan. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, hal. 199.
[11] Wanita Muslimah
yang cerdas mengetahui bagaimana menyusup ke dalam jiwa anak yang paling
tersembunyi lalu menanamkan sifat-sifat mulia dan akhlak terpuji tersebut,
dengan menggunakan cara yang baik dan tepat dan dengan memberikan suri teladan
yang baik, bergaul dan memperlakukannya dengan baik, penuh kelembutan,
persamaan, keadilan serta memberinya nasihat dan bimbingan, lemah lembut tetapi
tidak terlihat lemah, tegas tetapi tidak terlihat sadis. Selain itu, juga
mengajak berdiskusi dan tukar pikiran dengan cara yang tidak menjemukan. Dengan
demikian itu anak-anak akan tumbuh secara normal dengan menunjukkan kedewasaan,
wawasan yang luas, pemikiran matang, shalih, berbakti dan mampu memberikan
sumbangan yang dibutuhkan dan siap membangun di pelbagai lini kehidupan.
Sehingga pendidikan yang diberikan ibu Muslimah itu akan menghasilkan buah yang
segar dan manis. Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati
Diri Wanita Muslimah, hal. 213.
[12] Muhammad Ali Al-Hasyimi, Jati Diri Wanita Muslimah, hal. 214.
[13] Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 2008), hal. 443.
[14]
[289] Maksudnya: tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta
suaminya. [290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk
mempergauli isterinya dengan baik. [291] Nusyuz: Yaitu meninggalkan kewajiban
bersuami isteri. nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya. [292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat
tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak
bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan
cara yang lain dan seterusnya. Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, hal. 120.
[15] Secara syari’at dan norma kemasyarakatan, kaum laki-laki
bertanggung jawab untuk menafkahi istrinya. Seperti menyediakan pakaian,
makanan, tempat tinggal, dan lain-lain. Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri, hal. 262.
[16] [278]
Ayat ini tidak menunjukkan bahwa mewariskan wanita tidak dengan jalan paksa
dibolehkan. menurut adat sebahagian Arab Jahiliyah apabila seorang meninggal
dunia, Maka anaknya yang tertua atau anggota keluarganya yang lain mewarisi
janda itu. janda tersebut boleh dikawini sendiri atau dikawinkan dengan orang
lain yang maharnya diambil oleh pewaris atau tidak dibolehkan kawin lagi. [279]
Maksudnya: berzina atau membangkang perintah. Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, hal. 117.
[17] Tetapi dalam hal bermain-main
dan bercanda, seorang suami tidak boleh berlebihan, karena mengikuti kesenangan
nafsu semata,sehingga dapat merusak akhlaknya dan menjatuhkan wibawanya di mata
istri. Betapa pun dalam masalah ini ia harus dapat menjaga keseimbangan. Ia
tidak boleh lemah atau kehilangan wibawa jika melihat suatu kemungkaran. Bahkan
ia sama sekali tidak boleh ikut membantu atas perbuatan-perbuatan mungkar. Al-
Hasan mengatakan, “Demi Allah, seorang
suami yang takhluk terhadap istrinya demi menuruti keinginan nafsunya semata,
niscaya Allah akan menyeretnya ke dalam neraka.” Syaikh Hafizh Ali
Syuaisyi’, Kado Pernikahan, hal. 124.
[18] Ibrahim Amini, Hak-hak Suami dan Istri, hal. 190.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSubhanalloh . . . .
HapusKalau boleh ana ingin menambahkan sedikit tambahan,,,
Sebagian dari Hikmah-hikmah Pernikahan:
1. Menjaga suami istri dan memelihari keduanya (dari perzinaan).
2. Melindungi masyarakat dari kejahatan dan kebobrokan moral.
3. Suami-istri saling bersenang-senang dengan pasangannya, karena masing-masing dari mereka berdua harus menjaga hak-hak dan pergaulan.
4. Mengkokohkan hubungan antara keluarga-keluarga dan kabilah-kabilah (suku).
5. Melestarikan spesies manusia dengan cara yang baik.
--> Dikutip dari buku "JANGAN TELAT MENIKAH - Bekal-bekal Menuju Pernikahan Islami", Penerbit Al Qowam.
Ozza, ungkapan "Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh" merupakan perkataan Albert Einstein. Ungkapan aslinya adalah "Science without religion is lame" (ilmu tanpa agama adalah lumpuh) dan "Religion without science is blind" (agama tanpa ilmu adalah buta).
maksih..
BalasHapushttp://mcholieq.blogspot.com/