BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Islam mulai menurun di penghujung abad XVII Masehi. Titik awal
penurunan itu dimulai dari kekalahan-kekalahan yang diderita oleh angkatan
perang Turki dalam pertempuran-pertempuran dengan kekuatan-kekuatan bangsa Eropa.
Mesir sebagai salah satu daerah kekuasaan Turki tidak terlepas dari gangguan
bangsa Eropa. Tahun 1798 M, Mesir yang merupakan pusat kebudayaan Islam
terbesar saat itu jatuh ketangan Perancis.[1]
Salah satu faktor penyebab kekalahan dan kemunduran Islam pada masa
itu, dikarenakan terlenanya umat Islam akan kejayaan Islam pada masa lalu dan
banyaknya umat Islam yang disibukkan dengan masalah-masalah agama tanpa ingin
mempelajari dan ingin membahas lebih dalam masalah pendidikan. Inilah yang
menyebabkan tertutupnya pintu Ijtihad, dikarenakan umat Islam banyak yang
bersifat taqlik dan banyaknya perselisihan antar mazhab. Tidak hanya itu,
banyak para pemimpin yang tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya karena
para pemimpin banyak yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk kesenangan
pribadinya.
Dari berbagai masalah-masalah yang terjadi, pemuka Islam mulai
memikirkan cara untuk mengatasi hal tersebut. Dengan cara menimbulkan ide-ide
yang dapat membawa pembaharuan dikalangan umat Islam. Salah satu pemuka Islam
yang resah terhadap kemunduran Islam pada masa itu adalah Rasyid Ridha. Rasyid
Ridha ingin mengadakan pembaharuan disegala bidang. Rasyid Ridha melihat umat
Islam banyak mengikuti peradaban Barat dan banyak meninggalkan nilai-nilai
keIslaman serta banyak umat Islam yang terpecah belah oleh perebutan kekuasaan.
B.
Fokus Kajian
Berdasarkan latarbelakang masalah yang telah penulis paparkan, maka
yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah:
1.
Apa
ide pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha dalam aspek pendidikan, agama, hukum
dan politik?
2.
Apa
kontribusi yang diberikan oleh Rasyid Ridha bagi umat Islam?
BAB II
PROFIL
A.
Riwayat Hidup Rasyid Ridha
B.
Pendidikan dan Karya Tulis Rasyid Ridha
Ketika berumur 18 tahun, ia kembali
melanjutkan studinya dan sekolah yang dipilihnya adalah Madrasah al-Wataniyyah
al-Islamiyyah[4]
yang didirikan Syekh Husain al-Jisr. Dibandingkan
dengan Madrasah ar-Rasyidiyah, madrasah ini jauh lebih maju, baik dalam sistem pengajaran
maupun materi yang diajarkan. Di sini ia belajar mantik, matematika, dan
filsafat, di samping juga ilmu-ilmu agama.
Gurunya, Syekh Husain al-Jisr, dikenal sebagai seorang yang banyak berjasa
dalam menumbuhkan semangat ilmiah dan ide pembaharuan dalam diri Rasyid Ridha
kelak. Di antara pikiran-pikiran gurunya yang sangat mempengaruhi ide
pembaharuan Rasyid Ridha adalah bahwa
satu-satunya jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk mencapai kemajuan
adalah memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa. Syekh Husain al-Jisr berpendapat
demikian karena sekolah-sekolah yang didirikan bangsa Eropa dan Amerika di
Suriah saat itu banyak diminati anak-anak pribumi. Keadaan ini justru
mengkhawatirkan al-Jisr karena di sekolah-sekolah itu tidak disajikan materi
pelajaran agama.[5]
Pada usia dua puluh delapan tahun,
tepatnya tahun 1310 H/ 1892, terjadi revolusi besar dalam pemikirannya yang
mengubah secara drastis pemahamannya terhadap Islam. Ini bermula ketika Rasyid Ridha
menemukan beberapa edisi koran al-‘Urwatul Wutsq, yang concern
dalam upaya mengobarkan spirit modernisasi pemikiran serta revivalisasi
peradaban umat Islam yang tengah tiarap. Koran yang merupakan corong pemikiran
Jamaluddin al-Afghani (1254 H/ 1839—1314 H/1897) dan Muhammad Abduh (1266 H/
1848-1323 H/1905) ini ditemukan secara tidak sengaja oleh Rasyid Ridha di
sela-sela koleksi buku ayahnya.
Tulisan-tulisan kedua tokoh ini
membuatnya tersadar bahwa Islam tidak hanya agama rohani yang berkutat pada
dimensi batin manusia, namun merupakan agama yang menyeimbangkan antara aspek
duniawi dan ukhrawi, rasional dan sangat concern pada pengembangan
peradaban umatnya. Islam juga merupakan agama yang diturunkan untuk membawa
kesejahteraan dalam kehidupan duniawi manusia serta mempersiapkannya menjadi
khalifah Allah swt. yang bertanggung jawab mewujudkan kemakmuran, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.[6]
Rida merupakan penulis yang prolifik, yang telah menghasilkan
karya-karya besar dalam pemikiran tafsir, hadith, politik, dakwah, kalam,
perbandingan agama, fiqh dan fatwa. Antara tulisannya termasuklahTarikh
Al-Ustadh Al-Imam Al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Biografi Imam Muhammad Abduh), Nida’ li Jins al-Latif (Panggilan terhadap Kaum
Wanita), Al-Wahyu Muhammadi (Wahyu Nabi Muhammad), Yusr
Al-Islam wa Usul At-Tashri‘ Al-‘Am (Kemudahan Islam dan Prinsip-prinsip
Umum dalam Syari’at), Al-Khilafah wa Al-Imamah Al-‘Uzma (Khalifah dan Imam-Imam yang
Besar), Muhawarah Al-Muslih wa Al-Muqallid(Dialog
Antara Kaum Pembaharu dan Konservatif), Zikra Al-Maulid An-Nabawiy (Memperingati Hari Kelahiran
Nabi Muhammad), dan Haquq Al-Mar’ah As-Salihah (Hak-hak Wanita Muslim).[7]
Adapun kontribusi monumental Rasyid Ridha berikutnya adalah tafsir
al-Manar. Tafsir dengan nama asli Tafsir al-Qur’an al-Hakim ini merupakan
karya magnum opus Sang Mujaddid yang merefleksikan pandangan-pandangan progresifnya
dalam memahami Kitabullah yang tentunya menjadi sandaran utama menuju revivalisasi umat. Ide-ide
modernisasi dan reformasi serta karakteristik dan model kebangkitan umat yang
ingin diwujudkan Sang Tokoh akan dapat diamati dengan jelas di sela-sela
interaksinya dengan ayat-ayat Kitab Suci ini.
Tafsir yang terdiri dari beberapa jilid tebal ini memang tidak
lengkap tiga puluh juz. Ia baru sempat diselesaikan Rasyid Ridha sampai
kira-kira sepertiga bagian dari juz ketiga belas, tepatnya pada ayat 101 surah Yusuf, karena ajal telah
terlebih dulu menjemputnya. Penafsiran surat ini selanjutnya dituntaskan oleh
Syeikh Bahjat al-Baithar dan kemudian diterbitkan dengan tetap memakai nama
Rasyid Ridha.[8]
Sementara akhbar lain membicarakan kebobrokan dan kegawatan di
dunia Islam, Al-Manar mencadangkan penyelesaiannya yang
umum, dan memberikan formula yang mendetil. Pengaruh al-Manar yang signifikan ini diungkapkan oleh
Shaykh Husayn al-Jisr ketika mengulas tentang keluaran pertama al-Manar dan ketahanan gerakan islah yang dibawa oleh Ridha: “Al-Manar
telah muncul, menyerlah dengan cahaya yang luar biasa dan menyenangkan,
hanyasanya cahaya ini telah dipantul oleh sinar yang kuat yang hampir
mencederakan pandangan.”
Al-Manar menggerakkan perbincangan tentang
dakwah, idealisme dan islah, menerangkan dasar-dasar Pan-Islamisme, meneroka
persoalan-persoalan yang berkait dengan ajaran aqidah dan hukum, membincangkan
faham modernisme, sekularisme, nasionalisme dan mempelopori dialog dan
pertukaran ide antara budaya, dan meneropong pemikiran baru berkait dengan
falsafah agama dan budaya dan menangani isu-isu sosial dan peradaban.
Al-Manar pertama kali diterbitkan pada 21
Shawal 1315 H (17 Mac 1898) sebagai jurnal mingguan yang memuatkan lapan
halaman, menyiarkan telegram-telegram mingguan dan berita-berita mutakhir, di
samping artikel-artikel utama yang ditulis oleh ketua editor iaitu Ridha
sendiri. Bermula pada tahun kedua, ia dikeluarkan setiap bulan, dan tersebar
dengan meluas ke seluruh jajahan Islam dalam wilayah Turki, India, Mesir,
Syria, Maghribi dan turut diseludup ke arkipelago Melayu dan Tanah Jawa. Pada
tahun kedua belas keluarannya (1909), salinan-salinan yang berbaki daripada
keluaran pertama telah dijual empat kali ganda daripada harganya yang asal.
Dalam mukaddimah ringkasnya memperkenalkan al-Manar, Ridha menulis: “Demikian
ini adalah suara yang menyeru dengan lidah Arab yang jelas, dan seruan kepada
kebenaran yang sampai ke telinga mereka yang bercakap dengan huruf dad
[masyarakat Arab] dan ke telinga seluruh penduduk Timur, memanggil dari tempat
yang dekat [Mesir] dari mana kedua-dua bangsa di Timur dan Barat dapat
mendengar, dan ia menyebar luas supaya dengan itu penduduk Turki dan Parsi juga
dapat menerimanya. Ia menyeru: “Wahai, bangsa timur yang sedang lena dibuai
mimpi yang enak, bangun, bangun! Tidurmu telah melampaui batas rehat.”
Menurut C.C. Berg dalam kajiannya tentang sejarah Indonesia,
gerakan pencerahan yang dicetuskan oleh al-Manar telah melahirkan kelompok pembaharu
yang mempelopori perjuangan kaum muda di Indonesia: “Al-Manar
tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat Mesir sahaja. Ia mencerah
pemikiran masyarakat Arab di dalam dan di luar; umat Islam dari rantau
arkipelago Melayu yang menuntut di Universiti al-Azhar atau di Mekah, dan bekas
pelajar dari Indonesia yang masih memelihara keakraban hubungannya dengan dunia
Islam setelah pulang ke sempadan negaranya di Dar al-Islam…dan kesemua
orang-orang ini kini melihat Islam dalam rangka cahaya yang baru…kalangan yang
telah menyelami dan mempertahan cahaya al-Manar di Mesir, menjadi kelompok
“Manar” kecil untuk lingkungannya, setelah pulang ke Indonesia.”
Ayat-ayat yang dikupas oleh Imam Muhammad Abduh merangkumi
surah-surah pendek yang meliputi tafsir surat al-‘Asr, tafsir Juz ‘Amma, tafsirsurah
al-Fatihah, tafsir ayat 78-79 dari surah al-Nisa’, tafsir ayat 52-55
dari surah al-Hajj, dan tafsir ayat 37
dari surah al-Ahzab yang kemudiannya digazetkan dalam Tafsir al-Manar.
Manhaj yang digariskan oleh Imam Muhammad Abduh dalam tafsirannya
adalah berteraskan metode al-adabi
al-ijtima‘i (sosial
dan budaya) yang menekankan hubungan ayat dengan kondisi sosial dan upaya
meraih hidayahnya dan kritikan yang keras terhadap budaya taqlid yang
membengkak dalam masyarakat. Tekanan yang penting diberikan
terhadap tradisi aqliah dan ijtihad,
seperti dinyatakan dalam huraiannya terhadap ayat 38-42 daripada surah ‘Abasa: “Muka (orang-orang yang beriman)
pada hari itu berseri-seri, tertawa, lagi bersuka ria, dan muka (orang-orang
yang ingkar) pada hari itu penuh debu, diliputi oleh kesuraman dan kegelapan.
Mereka itulah orang yang kafir, yang derhaka.”
Imam Muhammad Abduh mengulas: “Sesiapa yang ketika hidup di dunia berusaha
mencari kebenaran dengan akal fikiran yang dianugerahkan kepadanya tanpa
terikat dengan titik bengek adat, kebiasaan atau pandangan sesiapa kecuali
Rasulullah, serta tidak angkuh dalam menerima kebenaran apabila dihadapkan
padanya, akan bergembira di akhirat kelak, kerana hasil usaha mereka dapat
dilihat di hadapan mata.”
“Manakala sesiapa yang ketika hidup di dunia
tidak menghargai aqalnya, reda dengan kejahilan, enggan terima kebenaran,
sekalipun telah terbukti jelas kerana taksub dengan pendapat pimpinannya, malah
sedaya upaya mempertahankannya dengan takwil dan penaka helah yang batil, kelak
di akhirat akan mendapati segala amalan yang disangka akan menguntungkan
sebenarnya menjadi punca kecelakaan dan sengsara, lalu wajah menjadi hitam dan
gelap kerana kecewa dan dukacita yang amat.”
Perjuangan Shaykh Muhammad Rashid Ridha untuk memimpin perubahan
telah memperlihatkan kesan yang dramatik di negara-negara umat Islam. Peranan
jurnal al-Manar dalam mengangkat martabat dan harakah
perjuangan cukup dirasai di seluruh rantau Islam, khasnya di Nusantara.
Kemantapan fikiran dan idealisme yang dicetuskan oleh Ridha telah
berhasil memperkasa umat dan melahirkan golongan pembaharu yang meneruskan
perjuangannya membanteras taqlid, membebaskan fikiran daripada kepercayaan
jelek, tahyul dan khurafat, dan memperbaharui tekad ke arah memantapkan
solidaritas dan merapatkan perselisihan mazhab. Peranan kita di bumi kita
adalah untuk melanjutkan perjuangan dan meneruskan iltizam Ridha untuk
mengembangkan pengaruh Madrasah Imam Muhammad Abduh dan menyalakan obor
perjuangannya ke seluruh dunia.[9]
C.
Metode yang digunakan Rasyid Ridha
Ketika majalah al-Urwah al-Wutsqa
sudah mencapai cetakan yang kedelapan belas melalui prakarsa Rasyid Ridha. Ia
mendapatkan misi yang membuat ia harus berhijrah dari negerinya (Tarablus) ke
Mesir untuk menerbitkan majalah al-Manar. Ia menjadi juru bicara dalam
aliran pemikiran yang diusungnya. Al-Manar dijadikan sarana dalam
menyampaikan metode-metode pembaharuan ke seluruh penjuru negara Muslim. Rasyid
Ridha berkeinginan untuk menjadikan al-Manar sebagai “kawat listrik”
yang menyengat dan menggugah umat Islam, sebagaimana yang ia lakukan dengan
penerbitan majalah al-Urwah al-Wutsqa.
Dalam pertemuannya dengan Muhammad
Abduh (6 Sya’ban tahun 1315 H/ 31Desember tahun 1897 M. Ia telah
mempelajari proyek penerbitan majalah al-Manar yang membahas pada
masalah penyakit masyarakat dan kelemahannya beserta penanggulangannya
melalui pendidikan. Ia membeberkan
aliran pemikiran yang benar untuk melawan kejahilan, dan pemikiran yang merusak
seperti pemaksaan kehendak dan khurafat.
Dalam menentukan metode majalah, Muhammad Abduh meminta pada
Rasyid Ridha untuk:
1.
Tidak
mengikuti partai-partai politik
2.
Tidak
mementingkan dalam membela diri dari kritikan
3.
Tidak
melayani orang yang sombong
Setelah dirampungkan seluruh metode
yang akan dijalankannya[10],
maka terbitlah al-Manar pada tanggal 22 Syawal tahun 1315 H/ 17 Maret
tahun 1898 M dalam bentuk koran mingguan. Setahun setelah wafatnya Jamaluddin
al-Afghani. Kemudian al-Manar berubah bentuk menjadi majalah bulanan di
tahun kedua untuk menyampaikan misi al-Urwah
al-Wutsqa yang diprakarsai oleh al-Afghani. Yang menjadi pimpinan
redaksinya waktu itu ialah Muhammad Abduh. Inilah al-Manar[11]
yang kemudian terbit lagi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Ketika
itu, pemegang tampuk kepimpinan redaksinya adalah Rasyid Ridha.
Keistimewaan yang paling mencolok
dari tafsir al-Manar dibandingkan dengan yang lainnya terletak pada
terobosan baru dalam hal metodologi yang ditempuhnya. Metode yang dapat
dikatakan belum ditempuh para mufassir sebelumnya ini merupakan pengembangan
dari yang ditempuh Muhammad Abduh sebelumnya. Secara umum, metode dimaksud
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Tidak
terikat dengan pendapat-pendapat yang dikemukakan para mufasir atau ulama
sebelumnya.
2.
Menggunakan
bahasa yang sederhana dan mudah dipahami dalam menyingkap makna-makna
al-Qur’an, namun dengan tetap memelihara keindahan struktur kalimat (uslub)
dan diiringi upaya penyingkapan ketelitian redaksi yang dipergunakannya.
3.
Menjadikan
al-Qur’an sebagai hakim (penentu) atau dasar (ashl) dalam melahirkan berbagai
ketentuan dalam bidang akidah dan fiqih, dan bukan sebaliknya.
4.
Menghindari
perincian (paparan mendetail) terhadap hal-hal yang sudah dianngap memasuki
wilayah mubhamat (masalah-masalah yang tidak di uraikan secara rinci di
dalam al-Qur’an maupun sunnah Nabi Muhammad saw. Menurutnya, tidak
dijelaskannya hal-hal tersebut secara detil oleh al-Qur’an dan as-Sunnah
menunjukkan bahwa perincian dimaksud tidak penting dan bahkan bisa jadi hanya
akan merintangi target utama yang ingin dicapai, yaitu pemberian petunjuk.
5.
Menghindari
penggunaan riwayat-riwayat israiliyat dalam penafsiran, terutama yang berkenaan
dengan kisah-kisah para nabi dan umat-umat terdahulu.
6.
Banyak
menjelaskan ketentuan-ketentuan Allah swt, (sunnatullah) yang telah digariskan
bagi manusia, khususnya dalam aspek sosial, dan alam semesta serta seruan yang
bertujuan menyadarkan serta mengarahkan kehidupan kaum muslimin kembali kepada
tuntunan Allah swt, yang semestinya. Penulis tafsir ini juga memaparkan
berbagai undang-undang kehidupan sosial dan faktor-faktor kemajuan maupun kemunduran yang berlaku secara umum terhadap
seluruh umat dan bangsa.
7.
Membantah
berbagai keragu-raguan yang ditiupkan para musuh Islam atau serangan-serangan
yang mereka lontarkan terhadap
ajaran-ajaran yang dibawa al-Qur’an dan as-Sunnah.[12]
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Ide-ide Pemikiran Rasyid Ridha
Pada
tahun 1898 Rasyid Ridha hijrah ke Kairo dengan maksud berguru dan bergabung dengan
Muhammad Abduh. Langkah pertama yang dilakukan Rasyid di Mesir adalah mendesak
Abduh untuk menerbitkan sebuah majalah sebagai corong mereka. Menurut Rasyid,
hal ini penting karena cara yang tepat untuk menyembuhkan penyakit umat ialah
pendidikan serta menyiarkan ide-ide yang pantas untuk menentang kebodohan dan
pikiran-pikiran yang mengendap dalam diri umat seperti fatalistik dan khurafat.
Abduh menyetujui saran muridnya itu, kemudian
terbitlah sebuah majalah yang diberi nama al-Manar. Nama yang diusulkan
Rasyid dan disetujui Abduh. Dalam terbitan perdananya dijelaskan bahwa tujuan al-Manar
sama dengan al-‘Urwah al-Wusqa, yakni sebagai media pembaharuan dalam
bidang agama, sosial, ekonomi, menghilangkan faham-faham yang menyimpang dari agama
Islam, peningkatan mutu pendidikan, dan
membela umat Islam dari kebuasan politik Barat.[13]
1.
Ide
pembaharuan bidang pendidikan
Erat
kaitannya dengan konsep “jihad” yang dikemukakannya, Rasyid menganjurkan umat
Islam memiliki satu kekuatan untuk
menghadapi beratnya tantangan dunia modern. Kekuatan itu hanya dapat dimiliki
jika umat Islam bersedia menerima peradaban Barat. Jalan untuk memperoleh
peradaban Barat itu ialah berusaha memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi
Barat itu sendiri. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berlawanan dengan
Islam,[14]
bahkan umat Islam wajib mempelajari dan menerima ilmu pengetahuan dan teknologi
itu bila mereka ingin maju.[15]
Dalam
berbagai tulisannya, Rasyid mendorong umat Islam untuk menggunakan kekayaannya dalam pembangunan lembaga-lembaga pendidikan.
Menurut Rasyid, membangun lembaga
pendidikan lebih baik dari membangun masjid. Baginya masjid tidaklah besar
nilainya apabila orang-orang yang shalat di dalamnya hanyalah orang-orang bodoh.
Dengan membangun lembaga pendidikan,
kebodohan dapat dihapuskan dan dengan demikian pekerjaan duniawi dan ukhrawi
akan menjadi baik. Satu-satunya jalan menuju kemakmuran adalah perluasan
pendidikan secara umum.
Di
bidang pendidikan ia mendirikan sekolah sebagai misi Islam dengan nama Madrasah al-dakwah Wa al-Irsyad
di Kairo pada tahun 1912 M. Para alumni madrasah ini disebarkan keberbagai
dunia Islam. Muhammad Rasyid Ridha sebagai penggerak pembaharuan Islam yang
masih condong pada ajaran-ajaran Ibnu Taimiyah. Ia sebagai penyokong aliran
Wahabi, karena dalam ajaran aliran tersebut dikemukakan pengakuan bermazhab
salaf yang bertujuan mengembalikan ajaran Islam kepada al-Qur’an dan al-Hadis.[16]
2.
Ide
pembaharuan bidang agama
Ada
beberapa faktor yang menyebabkan umat Islam lemah dan jauh ketinggalan oleh
orang Barat, di antaranya Islam telah kemasukan ajaran-ajaran yang nampaknya
Islam, tetapi sebenarnya bukan. Hal itu menyebabkan umat Islam melaksanakan
ajaran yang tidak sesuai lagi dengan
ajaran Islam sebenarnya.
Menurut
Rasyid Ridha, umat Islam dapat mengejar ketinggalannya dari bangsa Eropa, jika
mereka kembali kepada ajaran Islam sebenarnya sebagaimana telah diajarkan Nabi Muhammad saw dan dipraktekkan oleh
sahabat.[17]
Dengan demikian, Rasyid menganjurkan untuk menggali kembali teks al-Qur’an.
Ijtihad
adalah modal awal demi keberlangsungan syariat Islam yang memenuhi seluruh
kebutuhan pembaruan “karena syariat Islam adalah syariat penutup dari Tuhan,
dan hikmah dari semua itu adalah bahwasanya Allah swt, telah menyempurnakan agama ini dan
menjadikannya agama yang universal antara ruh dan jasad, dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya pada umatnya untuk berijtihad yang benar dan dalam
mengambil istinbat. Kedua sisi ini sangat sesuai dengan kemaslahatan
manusia di setiap tempat dan waktu.[18]
3.
Ide
pembaharuan Bidang Politik dan Hukum
Walaupun
Rasyid Ridha mengakui kemajuan peradaban Barat, tetapi dia tidak setuju dengan ide
kebangsaan yang dibawa bangsa Barat. Menurut Rasyid, umat Islam tidak perlu
meniru ide kebangsaan Barat, karena dalam Islam rasa kebangsaan itu
dibangun atas dasar keagamaan.[19] Sejalan
dengan konsepnya ini, Rasyid merindukan pulihnya kesatuan dan persatuan umat.[20]
Ia mengajak umat Islam untuk bersatu kembali di bawah satu sistem hukum dan
moral.[21] Untuk
melaksanakan hukum harus ada kekuasaan dalam bentuk negara. Negara yang
dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara
dibantu oleh ulama-ulama pembantu. Khalifah hendaklah seorang mujtahid, karena
ia mempunyai kekuatan legislatif. Di bawah kekhalifahan seperti inilah kesatuan
dan kemajuan umat dapat tercapai.[22]
Konsep
kekhalifahan yang diajukan Rasyid sebagai yang termuat dalam buku al-Khalifah,
kelihatannya semata-mata hasil renungan dan pandangannya terhadap sejarah
perjalanan khalifah al-Rasyidin. Dia hanya melihat pada fungsi negara dengan
mengenyampingkan persepsi negara ditinjau dari sudut pertumbuhan penduduk. Dengan
kata lain, Rasyid kurang menghayati dinamika sejarah pemerintahan Islam pada
zaman klasik dan pertengahan. Secara administrasi, sistem kekhalifahan itu
memancing instabilitas dan perebutan kekuasaan karena secara langsung menutup
kreativitas dan aspirasi rakyat. Tampaknya sistem kekhalifahan sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman.
Ridha menjelaskan tentang idealisme pemikiran yang dizahirkan
dalam al-‘Urwa al-Wuthqa dengan katanya: “Aku
menemui salinan al-‘Urwa al-Wuthqa daripada kertas-kertas dalam simpanan ayah.
Setelah aku membaca artikel-artikelnya yang menyeru kepada gagasan
Pan-Islamisme, meraih semula kegemilangan, kekuatan dan keunggulan Islam,
penemuan semula ketinggian dan kedudukan yang pernah dimilikinya, dan
pembebasan umatnya daripada dominasi luar, aku sangat teruja sehingga seperti
memasuki fasa baru dalam hidupku. Dan aku sangat tertarik dengan metodologi
yang diketengahkan dalam artikel-artikel ini dalam melakar dan membuktikan
hujahnya dalam perbahasan dengan bersandarkan ayat-ayat al-Qur’an, dan tentang
tafsirnya yang tiada seorang mufassir telah menulis sepertinya.”
Ridha turut menghuraikan kekuatan al-‘Urwa al-Wuthqa sebagai hasil pemikiran yang penting
yang menggariskan manhaj perjuangan yang berkesan dalam
menangani kepincangan budaya dan politik dan mengangkat harakat pemikiran dan
menggarap permasalahan umat yang mendasar: “antara poin yang terpenting yang menzahirkan
keunggulan al-‘Urwa al-Wuthqa dan kekuatannya yang tersendiri adalah: (1)
(penekanannya terhadap) ketentuan Allah terhadap makhlukNya dan sistem aturan
dalam masyarakat manusia, dan sebab kebangkitan dan kejatuhan sesuatu bangsa
sepertimana juga kekuatan dan kelemahan mereka; (2) penjelasan bahawa Islam
adalah agama yang mempunyai kedaulatan dan kuasa, yang merangkul kebahagiaan di
dunia dan di akhirat, dan menegaskan bahawa ia adalah agama yang menggabungkan
nilai spirituil dan sosial, sivil dan militer, dan bahawa kekuatan militernya
adalah untuk melindungi keadilan undang-undang, petunjuk dan wibawa umat, dan
bukan untuk mengerahkan kepercayaan dengan paksa; dan (3) bagi umat Islam tidak
ada faham kebangsaan dan nasionalisme kecuali terhadap agama mereka, oleh itu
mereka semuanya bersaudara di mana perbezaan ras dan darah keturunan
tidak harus memisahkan kesatuan mereka, tidak juga perbezaan bahasa dan
kerajaan mereka.”
Semangat yang dipugar daripada pembacaan al-‘Urwa al-Wuthqa ini terus menggilap karakter dan
mengukuhkan daya perjuangan Ridha, yang mengilhamkannya untuk berhijrah ke
Mesir dan bergabung dengan al-Afghani dan Abduh bagi melanjutkan perjuangan Pan-Islamisme: “Setelah
beliau [al-Afghani] meninggal, harapanku semakin tinggi untuk menemu wakilnya
Shaykh Muhammad Abduh untuk meraih ilmu dan pandangannya tentang reformasi
Islam. Aku menunggu sehingga terbukanya peluang pada bulan Rajab tahun 1315
(1897) dan itu adalah sebaik saja aku menamatkan pengajian di Tripoli,
memperoleh status ‘alim, dan tauliah untuk mengajar secara bebas, daripada
mentor-ku, Shaikh Husayn al-Jisr. Kemudian itu aku lansung berhijrah ke Mesir
dan melancarkan al-Manar untuk menyeru kepada pembaharuan.”[23]
B.
Pengaruh
Rasyid Ridha
Ide
pembaharuan Rasyid Ridha mendapat perhatian dan mempengaruhi dunia Islam.
Setelah pembukaan Dar al-Da’wah wa al-Irsyad di Kairo, Rasyid mendapat
undangan dari kalangan tokoh Islam India untuk membuka lembaga pendidikan
semacam itu di India. Hal ini membuktikan bahwa idenya mendapat perhatian dan
mempengaruhi umat Islam India. Ide-idenya yang terkandung dalam majalah al-Manar
kuat sekali mempengaruhi umat Islam Indonesia.[24]
Idenya yang sangat terasa di Indonesia adalah pemberantasan bid’ah dan
khurafat, serta perumusan kembali keyakinan dan pengamalan Islam disesuaikan
dengan pemikiran dan peradaban modern.
C.
Wafatnya Rasyid Ridha
Setelah
mendarmabaktikan hidupnya selama puluhan tahun demi tercerahkannya kaum
muslimin, Rasyid Ridha[25]
akhirnya wafat pada tahun 1354 H/ 1935,
secara mendadak dan dengan penyebab yang misterius di dalam mobil yang
membawanya pulang dari Suez ke Kairo.[26] Ia
dimakamkan di ibukota Mesir ini bersebelahan dengan makam gurunya, Muhammad
Abduh.[27]
BAB
IV
PENALARAN
A.
ANALISIS DAN KRITISI
PEMIKIRAN RASYID RIDHA.
Ada
beberapa hal yang perlu dicermati dan ditelaah secara kritis dari pemikiran dan
pembaharuan Rasyid Ridha, antara lain:
Dalam dunia pendidikan, Rasyid Ridha berpendapat, untuk mencapai
kemajuan dan menghadapi beratnya tantangan dunia modern maka umat Islam harus
memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan metode Eropa serta membangun lembaga
pendidikan.
Penulis sependapat dengan ide Rasyid Ridha yang menganjurkan umat
Islam, harus memadukan pendidikan agama dan pendidikan umum dengan menggunakan
metode Eropa, dikarenakan pada masa itu umat Islam lebih cenderung membahas
masalah-masalah agama dan melupakan pendidikan umum. Itulah yang menyebabkan
umat Islam mundur, karena pendidikan agama pada masa itu banyak masyarakat yang
bersifat taqlik tanpa mau mengkaji lebih dalam tentang hal tersebut. Umat Islam
tidak mau membuka cakrawala berfikir, mereka hanya sibuk memikirkan masalah
Ibadah dan akhirat saja.
Oleh sebab itu, diperlukan adanya lembaga pendidikan yang
mengarahkan umat Islam untuk berfikir kritis dan mau mempelajari ilmu umum,
berupa sains dan teknologi serta ilmu-ilmu lainnya. Rasyid Ridha memang
mengajak umat Islam untuk menggunakan metode Barat tetapi dia juga
memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti peradaban Barat beserta ajakan
untuk mempelajari ilmu-ilmu Barat. Dikarenakan peradaban Barat dan ilmu-ilmu
Barat tidak mencerminkan adanya nilai-nilai keIslaman.
Dibidang agama, menurut Rasyid, umat Islam akan maju apabila
meninggalkan segala khurafat dan bid’ah yang selama ini membelenggunya serta membrantas taqlid, membebaskan fikiran daripada kepercayaan
jelek, tahyul dan memperbaharui tekad ke arah memantapkan solidaritas dan
merapatkan perselisihan mazhab serta kembali kepada ajaran Islam
sebenarnya dengan menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis.
Penulis sependapat, dengan ide Rasyid Ridha yang menganjurkan umat
Islam harus menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis. Agar menjadikan umat
Islam mampu berfikir kritis dan tidak bersifat taqlik dan mampu untuk
menghasilkan para pemikir serta ulama yang berilmu dan mempunyai wawasan yang
luas. Sehingga perselisihan mazhab dapat dihilangkan. Dan mampu menyebarluaskan
metode-metode yang baru dalam penafsiran al-Qur’an, menyebarluaskan fatwa-fatwa kontemporer dan
menetapkan al-Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam. Serta mampu
memberikan penerangan kepada umat tentang perbedaan antara agama dan tradisi.
Dibidang politik, Negara yang dianjurkan Rasyid Ridha ialah negara
dalam bentuk kekhalifahan. Kepala negara dibantu oleh ulama-ulama pembantu.
Khalifah hendaklah seorang mujtahid, karena ia mempunyai kekuatan legislatif.
Di bawah kekhalifahan seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat dapat tercapai.
Penulis kurang sependapat dengan ide Rasyid Ridha, yang
menganjurkan negara dalam bentuk kekhalifahan. Karena administrasi, sistem
kekhalifahan itu memancing instabilitas dan perebutan kekuasaan, karena secara
langsung menutup kreativitas dan aspirasi rakyat.
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan, bahwa ide
pemikiran dan pembaharuan Rasyid Ridha sangat dibutuhkan. Karena mempunyai
kontribusi yang sanggat tinggi untuk kemajuan umat Islam. Diantaranya:
Dibidang pendidikan Rasyid Ridha
sangat menginginkan adanya perpaduan antara pendidikan Agama dengan pendidikan Umum,
untuk membentuk generasi yang tidak hanya mempunyai ilmu dan wawasan yang luas
tetapi juga mempunyai akhlak dan pribadi yang mencerminkan seorang pemimpin
yang bersih. Dan memusatkan perhatian pada reformasi intelektual Islam,
pembaharuan ilmu syari’at dan bahasa Arab serta membangkitkan lembaga-lembaga
yang membentuk pemikiran umat Islam.
Dibidang agama, Rasyid Ridha menginginkan
umat Islam menggali kembali teks al-Qur’an dan Hadis. Dengan cara:
1.
Mempertahankan syari’at Islam
beserta ilmu-ilmunya.
2.
Menyebarluaskan fatwa-fatwa
kontemporer dan menetapkan al-Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam.
3.
Memberikan penerangan kepada umat
tentang perbedaan antara agama dan tradisi yang ada di masyarakat.
Dibidang politik, Rasyid Ridha
memberikan pemahaman tentang persatuan umat. Serta memandang politik dengan
pandangan universalitas Islam.
B.
Rekomendasi.
Ide pemikiran dan pembaharuan
Rasyid Ridha dalam dunia pendidikan sangat berkontribusi. Karena pendidikan
tidak bisa dipisahkan dari agama. Jadi sewajarnyalah kita dalam dunia
pendidikan tidak hanya menggali ilmu saja akan tetapi juga mempunyai
nilai-nilai keIslaman didalam mempelajari ilmu tersebut.
Dibidang agama, dengan terbukanya
cakrawala berfikir diharapkan generasi Islam mampu menghasilkan metode-metode
yang baru dalam penafsiran al-Qur’an dan mampu memberi penerangan kepada
masyarakat tentang perbedaan agama dengan tradisi sehingga masyarakat tidak
taklik dan masyarakat mampu membersihkan aqidahnya dari perbuatan syirik,
syubhat, bid’ah dan khurafat.
Dibidang politik, hendaknya umat
Islam yang ada didunia harus bersatu untuk menegakkan negara berdasarkan
syari’at Islam tanpa memandang perbedaan suku bangsa dan ras. Dan hendaklah
yang menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki ilmu dan wawasan yang luas
serta memiliki pribadi yang mulia.
[1] Lihat, Kurnial
Ilahi, “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Riau: Lembaga Penelitian dan
Perkembangan Fakultas Usuluddin UIN SUSKA dan Yayasan Pusaka Riau, 2002), h.
55.
[2] Lihat, Imarah
Muhammad,“Mencari Format Peradaban Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005). h. 1. Sayid Muhammad Rasyid Ridha lahir pada tahun 1865 M. Di
al-Qalamun suatu desa di Libanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli
(Syria). Ia berasal dari keturunan al-Husein, cucu Nabi Muhammad SAW, oleh
karena itu ia memakai gelar “Sayid” di depan namanya. Ayahnya seorang ulama dan
penganut Tariqad Syazilliah, karena itu Rasyid Ridha pada waktu kecilnya selalu
mengenakan jubah dan sorban, tekun dalam pengajian dan wirid sebagai mana kebiasaan
pengikut Tariqad Syazilliah. Lihat,Yusran
Asmuni, “Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam dunia
Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 82.
[3] Lihat,
Sirojuddin Ar, “Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: PT. Ihctiar Baru Van
Hoeve, 2001), h. 161.
[4] Pendidikan
dasarnya diperoleh pada Madrasah al-Wathaniyyah al-Islamiyyah di Tripoli-Syam
dan selanjutnya pindah ke Beirut hingga
meraih gelar al-‘Alimiyyah. Kecenderungan awalnya kepada ilmu hadits/
riwayat beralih ketika ia membaca kitab Ihy, ‘Ulumiddin karangan Imam
al-Ghazali. Sejak itu, ia mulai tenggelam dalam dunia tasawuf dan hidup zuhud
serta menjadi pengikut Tarekat
Naqsyabandiyah. Lihat, Mohammad, Herry, “Tokoh-tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20”, (Jakarta: Gema Insani, Press, 2006), h. 312-313.
[5] Lihat,
Sirojuddin Ar, Op. Cit, h. 162.
[6] Lihat,
Mohammad, Herry, Op. Cit, h. 313.
[8] Lihat,
Mohammad, Herry, h. 317.
[10] Rasyid Ridha pun menyetujui perjanjian yang mulia tersebut dan
menyatakan kesiapannya untuk membantu dengan segenap usahanya. Ia berjanji pada
gurunya dengan berkata, “Aku akan berjanji untuk menjadi layaknya seorang murid
kepada gurunya. Akan tetapi, aku tetap menjaga sesuatu yang berbeda dari kalian,
yaitu aku akan bertanya tentang rahasia sesuatu yang tidak aku mengerti, dan
aku tidak menerima sesuatu yang tidak aku pahami serta aku tidak pula
mengerjakan sesuatu kecuali aku yakini manfaatnya.” Kemudian sang guru berkata
“Dan itu adalah sesuatu yang sepantasnya kamu lakukan!” Lihat, Imarah Muhammad, “Mencari Format
Peradaban Islam”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 7.
[11] Penerbitan al-Manar
sebagai pusat pemikiran yang berjuang dalam hal-hal sebagai berikut:
·
Membawa misi pembaharuan agama ke
seluruh kawasan umat Islam.
·
Menyarankan untuk memilih Islam yang
moderat untuk membangkitkan Islam dan ketimuran sebagai jalan untuk menolak
kejumudan yang mengikat orang-orang salaf dan mengikuti pola kemajuan peradaban
Barat.
·
Mengembalikan pendapat-pendapat yang
ada di al-Urwah al-Wutsqa, dan pendapat-pendapat Muhammad Abduh yang
telah disebarluaskan melalui al-Waqa’i al-Mashriyah.
·
Membersihkan akidah dari syirik,
syubhat, bid’ah dan khurafat.
·
Menyebarluaskan metode-metode yang
baru dalam penafsiran al-Qur’an.
·
Mempertahankan syariat Islam beserta
ilmu-ilmunya dan bahasa Arab beserta cabang-cabangnya.
·
Menyebarluaskan fatwa-fatwa
kontemporer, dan menetapkan al-Qur’an antara fiqih kontemporer dan fiqih ahkam.
·
Memberikan penerangan kepada umat
tentang perbedaan antara agama tuhan dan tradisi yang ada di masyarakat.
·
Memberikan pemahaman tentang
persatuan umat, serta globalisasi Islam yang merupakan ciri khas dari
masyarakat Timur dengan perbedaan suku bangsa dan ras.
·
Pengukuhan tentang pembentukan negara
Islam yang global pada suatu masa yaitu Daulah Utsmaniyah dengan seruan untuk
memperbaiki seluruh kebobrokannya.
·
Peringatan untuk tidak mengikuti
peradaban Barat beserta ajakan untuk mempelajari ilmu-ilmu Barat, dan keahlian
mereka dalam kemajuan.
·
Seruan untuk memperbaiki ekonomi
masyarakat Muslim dari monopoli Barat sehingga menciptakan ekonomi yang bebas
sebagai penopang kemerdekaan peradaban dan politik.
·
Memerangi kristenisasi dan menolak
pelakunya serta ajakan-ajakan mereka di seluruh wilayah umat Islam dan
mempersenjatai umat Islam dalam memerangi tipu daya tersebut.
·
Ajakan untuk mendirikan
universitas-universitas serta organisasi (kemasyarakatan, keilmuan, dan sosial)
untuk menjadikan kerja keras umat dalam pembaharuan yang lebih mapan dan
konsekuen.
·
Pemapanan metode bertahap dalam
pembaharuan, karena pembentukan manusia adalah pembentukan nilai-nilai Islam,
guna menjaring para pemikir serta ulama yang bersih. Selain itu, untuk
memasukkan modernisasi dalam Islam diperlukan tahapan-tahapan.
·
Demokrasi politik khususnya masalah
hukum dan negara kepada rakyat, memusatkan perhatian pada reformasi intelektual
Islam, pembaruan ilmu syariat dan bahasa Arab. Membangkitkan lembaga-lembaga
yang membentuk pemikiran umat, serta memandang politik dengan pandangan
universalitas Islam. Lihat, Ibid, h. 8-10.
[12]Lihat,
Mohammad, Herry, h. 317-318.
[13] Lihat, Kurnial
Ilahi, h. 58.
[14] Untuk itu ia
melihat perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata pelajaran berikut: teologi,
pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, bahasa-bahasa asing, dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan
keluarga) yaitu di samping fiqih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa
diberikan di madrasah-madrasah tradisional. Lihat, Harun Nasution, “Pembaharuan
dalam Islam”, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992), h. 71.
[15] Kelihatannya
Rasyid mengikuti jalan pikiran Tahtawi dalam menerima peradaban Barat.
Menurutnya, orang Islam hanya mengambil kembali apa yang pernah menjadi
miliknya. Orang-orang Eropa hanya mengembangkan peradaban itu setelah mereka
memperolehnya melalui Spanyol. Lihat, Kurnia Ilahi, h. 64.
[16] Lihat, A.
Munir, Sudarsono, “Aliran Modern Dalam Islam”, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1994), h. 163.
[17] Jadi, menurut
Rasyid, umat Islam akan maju apabila meninggalkan segala khurafat dan bid’ah
yang selama ini membelenggunya. Rasyid Ridha juga menyoroti faham
fatalisme/jabariyah yang menyelimuti umat Islam waktu itu. Rasyid berpendapat
bahwa umat Islam telah kehilangan etos jihad. Jihad dalam Islam pengertian
usaha dinamis merupakan ajaran Islam. Umat Islam harus bersikap aktif, berusaha
keras dan berkorban harta dan jiwa raga demi tercapainya cita-cita perjuangan.
Umat Islam dapat memperolehnya dari ajaran Islam itu sendiri. Lihat, Kurnial
Ilahi, h. 60.
[18] Proyek
progresivitas keislaman yang dipersenjatai dengan reformasi agama ini memerangi
dua sisi utama:
a.
Pemikiran klasik mengenai kejumudan
mazhab, seperti yang terjadi pada para pelindung tradisi buku-buku kodifikasi
mazhab, baik itu sunni, syiah zaidiyah, syiah imamiyah dan ibadhiyah. Alasan
mereka, bahwa baik secara global atau terperinci diskursus keislaman yang
merupakan pusaka al-Qur’an dan Sunnah sudah tercakup di dalamnya. Mereka yang
tak menganut salah satunya dianggap tidak berada dalam agama Islam.
b.
Sisi tradisi terhadap peradaban
Barat (West civilization), para penyeru menuju metamorposa agama, yaitu
pendakwah peradaban modern, peraturan sipil, dan undang-undang. Mereka
berpendapat bahwa syariat yang terkodifikasi itu sudah usang dan tak sesuai
dengan kebutuhan pemerintah dan masyarakat umum maka harus ditinggalkan dan diganti dengan undang-undang Eropa, atau
alternatifnya, memerdekakan setiap komunitas untuk membuat peraturan sendiri
yang relevan bagi mereka. Jika tidak, lambat laun mereka akan hancur. Lihat,
Imarah Muhammad, Op. Cit, h. 65-66.
[19] Ridha yakin
bahwa pemerintahan Islam yang sejati akan merupakan yang terbaik, bukan saja
bagi umat Islam tetapi juga bagi golongan-golongan minoritas non-Muslim. Dia
menjelaskan bahwa suatu negara Islam akan berdasarkan pada keadilan, pada hukum
yang memberi hak-hak dan kebebasan kepada orang-orang Kristen dan orang-orang
Yahudi, sedangkan negara sekuler, sebagaimana yang diketahuinya, berdasarkan solidaritas
nasional semata-mata dan bukan sistem moral. Keadilan menciptakan suatu
hubungan, sementara solidaritas memecah-belah. Lihat, Anggota IKAPI,
“Diterjemahkan dari buku berbahasa Inggris, Faith and Power: The Politics of
Islam, karangan Edward Mortimer”, (Bandung: Mizan, 1984), h. 230.
[20] Kesatuan Islam
pada hakikatnya adalah kesepakatan hati di antara mereka yang satu sama lain
saling menerima toleransi dan kerja sama aktif semuanya dalam menjalankan
peintah-perintah agama. Lihat, Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia
Arab”, (Bandung: Mizan, 2001), h. 367.
[21] Tipe
patriotisme yang harus dimiliki oleh pemuda muslim ialah bahwa ia harus menjadi
teladan yang baik bagi rakyat negaranya, apa pun agama mereka, yang bekerjasama
dalam segala kegiatan yang sah demi mempertahankan kemerdekaan, mengembangkan
ilmu pengetahuan, kebaikan, kekuatan dan sumber-sumber sejalan dengan hukum
Islam yang mengutamakan hubungan erat antara hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.Tetapi dalam pembelaan terhadap tanah air dan bangsanya
itu, ia tidak boleh melalaikan Islamnya. Lihat, Esposito, John L. III. Husein,
Makhnun, “Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-masalah”, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1994), h. 94.
[22] Fungsi
khalifah menurut Rasyid adalah menyebarkan kebenaran, menegakan keadilan,
memelihara agama dari musuh dan bermusyawarah terhadap masalah yang tidak ada
nasnya. Khalifah bertanggung jawab atas segala perbuatannya, dan ahl al-Hall
wa al-Aqd mengawasinya. Ahl
al-Hall wa al-Aqd , selain mengawasi jalannya roda pemerintahan, menurut
Rasyid Ridha juga harus mencegah penyelewengan
yang dilakukan khalifah. Lebih jauh lagi, mereka harus mengadakan perlawanan
terhadap kezaliman dan ketidak adilan khalifah, dan kalau kepentingan umat
dibahayakan, mereka dapat mengakhiri kekuasaannya dengan perang atau kekerasan.
Satu lagi yang dianggap maju dalam ide Rasyid Ridha tentang ahl al-Hall wa
al-Aqd ini adalah tidak terbatasnya anggota ahl al-Hall wa al-Aqd ,
bagi ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dari
pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang. Akan tetapi, ada sesuatu yang
tidak jelas dalam konsep ahl al-Hall
wa al-Aqd Rasyid ini. Rasyid tidak menjelaskan tentang cara
pengangkatannya. Lihat, Kurnia Ilahi, h.
62.
[23] Wikipedia, Ensiklopedi
Bebas
[24] Bukti yang
menyatakan bahwa umat Islam Indonesia mengenal ide-ide pembaharuan Rasyid Ridha
melalui al-Manar adalah munculnya pertanyaan seorang ulama Indonesia terhadap
Rasyid Ridha melalui al-Manar, mengenai patriotisme, nasionalisme dan semangat
persatuan dalam Islam. Lihat, Kurnial Ilahi, h. 66.
[25] Rasyid Ridha
sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan, dan selalu pula berjuang
selama hayatnya, telah menutup lembaran hidupnya pada tanggal 23 Jumadil Ula
1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang al-Qur’an
di tangannya. Lihat, Asmuni, “Dirasah Islamiah III: Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam dunia Islam”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), h. 88.
[26] Rasyid Ridha
wafat setelah mengantarkan Raja Saudi Arabia, Abdul Aziz ibn Sa’ud di Terusan
Suez. Lihat, Ali Mufrodi, “Islam di Kawasan Kebudayaan Arab”, (Jakarta:
Logos, 1997), h. 164.
[27] Lihat,
Mohammad Herry, dkk, h. 313.
0 komentar:
Posting Komentar