KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya
kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam selalu kita
curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan
pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak Dosen Dr. Dasman Yahya Ma’ali, MA. yang
telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul
“URGENSI DALAM MEMAHAMI RAMBU-RAMBU SUNNAH
UNTUK MEMBANGUN KEBERSAMAAN UMMAT”.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan,
baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Pekanbaru, April 2014
Penulis
Fitri
Yafrianti
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I :PENDAHULUAN....................................................................
BAB II :PEMBAHASAN.......................................................................
A.
BAB III : PENUTUP.............................................................................
KESIMPULAN.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Tidak diragukan lagi bahwa al-Qur’an adalah kalamullah,
bukan perkataan manusia. Firman tersebut berbentuk wahyu yang disampaikan oleh
Malaikat Jibril kepada Muhammad saw, untuk umat manusia sebagai petunjuk yang
dibukukan dalam satu kitab. Al-Qur’an merupakan sumber pertama dan utama
dari ajaran Islam. Setiap umat Islam
wajib meyakini wujud dan kebenarannya. Dalam pandangan az-Zarqani, al-Qur’an
adalah penutup semua kitab yang
diturunkan Allah dan diturunkan kepada penutup semua Nabi. Ia menjadi kitab
suci yang bersifat umum dan abadi. Ia juga merupakan ajaran akhlak untuk
kemaslahatan makhluk, menjadi petunjuk
bagi penghuni langit dan bumi.[1]
Para ulama Islam sangat memahami bahwa al-Qur’an tidak diturunkan
kepada Nabi Muhammad sekaligus dalam bentuk satu kitab seperti yang kita lihat
sekarang. Al-Qur’an diturunkan secara bertahap, terkadang hanya satu ayat,
terkadang beberapa ayat, dan terkadang sebagian ayat, namun ada juga yang turun
satu surat. Ada ayat yang turun berhubungan dengan suatu peristiwa dan ada pula
yang berbentuk suatu cerita atau ajaran
tanpa dihubungkan dengan peristiwa apa pun ketika itu. Realitas inilah
tampaknya yang menyebabkan az-Zarqani membagi turunnya ayat al-Qur’an itu
menjadi dua bagian, yaitu bagian yang diturunkan tanpa ada hubungan dengan
sebab, dan bagian yang ada hubungannya dengan suatu sebab. Namun demikian, kita
harus memahami bahwa turunnya semua ayat al-Qur’an, pasti berkaitan dengan
suatu situasi dan kondisi ketika itu,
baik memiliki hubungan dengan ayat yang turun tersebut maupun tidak. Situasi
itu mungkin berbentuk kejadian umum, mungkin berbentuk pertanyaan, mungkin
berbentuk perbuatan orang dan sebagainya.
Oleh karena itu, agar al-Qur’an
benar-benar menjadi petunjuk dalam kehidupan, dibutuhkan penjelasan dari
Nabi, dari para sahabatnya dan dari para ulama. Kemudian, hal itu
diformulasikan oleh para ulama dalam ruang lingkup pengetahuan akidah (tauhid),
fiqih, akhlak dan sebagainya, yang seharusnya dapat berkembang dalam segala
situasi, kondisi dan waktu. Dengan demikian, al-Qur’an menempati posisinya
sebagai sumber ajaran agama yang
universal, dapat diterapkan dalam segala masa, tempat dan keadaan, sehingga
kehadirannya menjadi rahmat bagi alam semesta.
B.
Fokus Kajian
Adapun
yang menjadi fokus kajian dalam makalah ini adalah pengertian wahyu, al-Qur’an
dan menjelaskan perbedaan wahyu, al-Qur’an secara umum serta tahap-tahap
penyampaian al-Qur’an.
BAB II
WAHYU DAN AL-QUR’AN
C. Pengertian
Wahyu dan al-Qur’an
a. Pengertian
Wahyu[2]
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab: اَلْوَحْيُ Dalam al-Qur’anul Karim memang tidak
sedikit kalimat-kalimat yang disinyalir berasal dari unsur bahasa ‘ajam.
Menurut pengertian bahasa (ethimologis) kata al-Wahyu mengandung arti
suara, api, dan kecepatan. Di samping itu ia pun mempunyai arti bisikan,
isyarat, tulisan dan kitab.[3]
Dalam al-Qur’an banyak terdapat kata al-Wahyu dan
lafal-lafal yang musytaq dari padanya, berkisar lebih kurang 70 kali,
yang ternyata makna kata wahyu itu secara kontekstual menunjukkan makna yang
bermacam-macam. Sebagai contoh dapat di kemukakan bukti-bukti sebagai berikut:
1. Berarti isyarat atau petunjuk, misalnya:
yltsmú 4n?tã ¾ÏmÏBöqs% z`ÏB É>#tósÏJø9$# #Óyr÷rr'sù öNÍkös9Î) br& (#qßsÎm7y Zotõ3ç $|ϱtãur ÇÊÊÈ
“Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat
kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang”.(Q.S.Maryam:
11).
2. Berarti perundingan yang bersifat rahasia,
firman-Nya:
3 ¨bÎ)ur úüÏÜ»u¤±9$# tbqãmqãs9 #n<Î) óOÎgͬ!$uÏ9÷rr& öNä.qä9Ï»yfãÏ9 ( ÷bÎ)ur öNèdqßJçG÷èsÛr& öNä3¯RÎ) tbqä.Îô³çRmQ ÇÊËÊÈ
“Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan.
Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka
membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, Sesungguhnya kamu tentulah
menjadi orang-orang yang musyrik”.(Q.S.
al-An’am:121).
3. Berarti Ilham untuk makhluk binatang,
seperti:
4ym÷rr&ur y7u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉϪB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç z`ÏBur Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang
di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia".(Q.S. an-Nahl: 68).
4. Berarti ilham untuk manusia, sebagai
berikut:
!$uZøym÷rr&ur #n<Î) ÏdQé& #ÓyqãB ÷br& ÏmÏèÅÊör& ( #sÎ*sù ÏMøÿÅz Ïmøn=tã ÏmÉ)ø9r'sù Îû ÉdOuø9$# wur Îû$srB wur þÎTtøtrB (
“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila
kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah
kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan
mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para
rasul”.(Q.S. al-Qashash: 7).
5.
Berarti sesuatu yang dibisikkan ke dalam sukma:
$tBur tb%x. A|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ã ª!$# wÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& @Åöã Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î $tB âä!$t±o 4
¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata
dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (Q.S.
Asy-Syu’ra: 51).
6. Berarti bisikan ditunjukkan dalam surat
al-An’am, ayat 112:
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqã öNßgàÒ÷èt 4n<Î) <Ù÷èt t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4
“ Dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu
syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka
membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah
untuk menipu (manusia).”(Q.S. al-An’am: 112).
7. Berarti wahyu yang sebenarnya sebagai
ajaran Allah kepada manusia, untuk mencapai keselamatan dan kebahagian hidup
dunia dan akhirat:
$tBur ß,ÏÜZt Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ ÷bÎ) uqèd wÎ) ÖÓórur 4Óyrqã ÇÍÈ
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
Dari
berbagai arti wahyu di atas, para ulama tafsir cenderung pada satu kesimpulan
makna, bahwa kata “al-Wahyu”[4]
secara bahasa ialah:
Yakni suatu
isyarat atau petunjuk, sinyal yang sangat rahasia yang terjadi begitu cepat,
sehingga karena sangat rahasia dan cepatnya itu orang yang tidak menjadi
sasaran penerimaan wahyu, tidaklah mengetahuinya.
Untuk
memahami pengertian wahyu secara terminologi ada dua dimensi yang harus
dipandang:
Pertama, menyangkut apa yang diwahyukan, yakni material wahyu.
Kedua, mengenai bagaimana
terjadinya proses pewahyuan itu. Bagaimana terjadinya komunikasi dari alam immateri ke alam materi,
dari Tuhan yang metafisis kepada manusia (Rasul dan Nabi) yang bersifat fisik.[5]
Wahyu
turun ke dalam hati Rasulullah saw kapan saja. Kadang-kadang di saat beliau
sedang berada di tempat tidur. Beberapa saat beliau seolah-olah pingsan
sejenak, kemudian bangun dan mengangkat kepala seraya tersenyum. Surah
al-Kautsar turun ketika beliau dalam keadaan seperti itu. Atau pada saat-saat
beliau di rumah sedang menunaikan shalat-shalat sunnah di larut malam
(sepertiga terakhir malam hari). Sebuah ayat dalam surah at-Taubah berkenaan
dengan tiga orang sahabat yang tidak turut berperang bersama-sama beliau, turun
di saat Rasulullah saw dalam keadaan seperti itu.
Adakalanya
juga wahyu turun di tengah malam gelap gulita, siang bolong, pada saat udara
dingin membeku, di tengah panas terik menyengat, ketika berdomisili di Madinah,
di saat sedang berpergian jauh, di dalam suasana damai atau perperangan sedang
berkecamuk.[6]
Namun,
adakalanya wahyu terputus sehingga beliau merasa sangat kangen dan selalu
berharap. Setelah Malaikat Jibril turun menyampaikan ayat-ayat permulaan surah
al-‘Alaq, wahyu putus selama tiga tahun. Siti ‘Aisyah r.a. meriwayatkan ketika
itu Rasulullah saw amat sedih. Berulang kali beliau pergi berkhalwat di puncak
bukit untuk dapat bertemu kembali dengan malaikat Jibril, sampai akhirnya
tibalah saat yang dinanti-nantikan dan turunlah Jibril memberitahu beliau: “Hai
Muhammad, engkau benar-benar utusan Allah”. Dengan pemberitahuan itu beliau
merasa tenang dan tenteram.
Suatu
hari ketika sedang berjalan-jalan terdengar suara dari langit, lalu beliau
memandang ke atas. Tiba-tiba turun Jibril dalam bentuk sangat menakutkan,
sehingga beliau segera pulang menemui isterinya yang setia, lalu berkata:
“Selimutilah aku”, tak lama kemudian
Allah swt menurunkan wahyu-Nya surah al-Muddatsir ayat 1 sampai 5.
Firman
tersebut dihafal baik-baik oleh beliau, kemudian turunlah wahyu berikutnya
secara berturut-turut. Rasulullah saw merasa girang dan kesedihannya selama
penantian berubah menjadi kegembiraan. Kenyataan demikian itu meyakinkan kita
bahwa wahyu turun tidak menuruti keinginan dan tidak pula tergantung pada
beliau itu, dan memang benar-benar berada di luar pemikiran beliau. Dengan
perasaan yang sadar beliau tetap berkeyakinan bahwa wahyu yang diterimanya itu
berasal dari Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.
Kalau
kita teliti secara seksama, kita pasti mengetahui bahwa Rasulullah saw
merupakan satu-satunya orang yang paling sadar dan memahami benar segi
kenyataan wahyu yang diturunkan Allah kepada beliau. Keyakinan demikian itu
dapat kita pandang sebagai dalil untuk menarik kesimpulan, bahwa urusan pribadi
beliau terpisah dari wahyu. Juga seperti yang diutarakan, Rasulullah
benar-benar yakin bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau benar
bebas dari tabiat beliau sebagai manusia. Beliau tidak mempunyai alternatif
lain kecuali menerima apa yang diturunkan Allah, atau bersikap menunggu jika
wahyu terputus selama beberapa waktu. Ada kalanya wahyu turun berturut-turut
dan beliau merasa berat menghafalnya. Tetapi pernah juga wahyu terputus pada
saat-saat beliau sangat memerlukan.
Jibril
dalam “pemunculannya” guna menyampaikan wahyu, ternyata tidak dalam satu cara,
melainkan bervariasi, antara lain sebagai berikut:
1.
Suatu
kali ia muncul ke hadapan Rasulullah dalam bentuk rupanya yang asli.
2.
Pada
kali yang lain ia menjelma sebagai seorang manusia yang rupawan, seperti
penampilan seorang pemuda, yang dapat dilihat wujudnya, dapat didengar tutur
katanya oleh orang-orang yang hadir di sekitar Nabi.
3.
Kali
lainnya Jibril turun kepada Rasulullah dengan tidak menampakkan diri, namun
kehadirannya secara nyata memberi pengaruh terhadap perubahan pada diri
Rasulullah, sehingga beliau sampai bagaikan coma.
4.
Pada
kali lainnya pula, Jibril datang membawa wahyu kepada Rasul, laksana gaungnya
yang memekakkan telinga Rasul yang menerimanya.
5.
Cara
lainnya lagi, terkadang dapat didengar oleh orang-orang yang hadir: suara,
bagaikan gemuruhnya suara pasukan lebah, tepat di hadapan rasul yang mulia.
Syaikh
Muhammad Abduh (1849-1905 M) dalam Risalatut Tauhid telah memberi
kupasan soal ini, dan ia mendevinisikan wahyu sebagai berikut:
اَلوَحَيُ
هُوَ عِرْفَانٌ يَجِدُهُ اْلإِنْشَانُ فِى نَفْشِهِ وَ هُوَ يَتَيَقّنُ بِاَنّهُ
مِنْ قِبَلِ الّلهِ شُبْحَانَهُ وَ تَعَالَيَ بِواَشِطَةٍ اَوْ بِلاَ واَشِطَةٍ
بِصَوْثٍ كاَنَ اَوْ بِلاَصَوْتٍ
“Wahyu ialah suatu ‘irfan (pengetahuan) yang didapat manusia
sudah ada dalam dirinya dan ia yakin bahwa yang dirasakan itu berasal dari
Allah swt, baik datangnya melalui perantara atau tidak, dengan melalui suara
atau tidak.”
Jadi
yang disebut wahyu itu sebenarnya merupakan kesan batin yang mengandung makna
ajaran Tuhan. Kehadiran dalam jiwa yang menerimanya (Rasul/ Nabi) diyakini
sepenuhnya bahwa ia datang dari pada-Nya, suatu keyakinan yang bukan karena
adanya pengaruh dari pihak manapun, kecuali dari Allah sendiri.[7]
Kemudian, dimensi yang kedua, yakni dimensi pewahyuan
(اَلإْيْحَاءُ),dapat dipahami dari
rumusan Abd. Adzim az Zarqani mengenai wahyu menurut syara’:
اَاَنْ يُعْلِمَ اللّهُ تَعاَلَي مِنْ اصْطَفاَهُ مِنْ
عِباَدِهِ كُلّ ماَ اَراَدَ اطّلاَعَهُ عَلَيْهِ مِنْ اَلْواَنِ الْهِداَيَةِ
وَالْعِلْمِ وَلَكِنْ بِطَرِيْقَةٍ سِرّيّةٍ غَيْرُ مُعْتَادَةٍ لِلْبَشَرِ
“Adapun pengertian wahyu dalam istilah
syara’ ialah pemberitahuan Allah swt kepada
hamba-hamba–Nya yang terpilih mengenai segala hal yang ia kehendaki untuk dikemukakan–Nya,baik itu rupa-rupa
petunjuk maupun ilmu, namun penyampaiannya dengan cara/jalan rahasia, dan tidak
terjadi pada manusia binasa.”
Tentang rumusan-rumusan pengertian wahyu yang banyak
dijumpai dalam kitab-kitab, bukanlah membicarakan soal hakekat wahyu,[8]
melainkan hanya merupakan rekaan-rekaan para ulama dalam mendekati dan
mengembangkan pengertian wahyu sejauh yang dapat mereka jangkau dan rumuskan,
dalam batas-batas kemampuan mereka.
Misalnya al-Qusyairi mengemukakan:
“Wahyu itu menerima pembicaraan secara rohani, kemudian pembicaraan itu
berbentuk, lalu terpatri dalam hati, atau wahyu itu merupakan limpahan ilmu
yang dituangkan Allah ke dalam hati Nabi, dengan perantaraan “pena pengukir”
yang disebut dengan akal fa’al atau amalak muqarrab.”
b. Pengertian
al-Qur’an[9]
Secara etimologis, kata al-Qur’an mengandung arti
bacaan atau yang dibaca. Lafal al-Qur’an dengan arti bacaan, misalnya dalam
firman Allah sebagai berikut:
w õ8ÌhptéB ¾ÏmÎ y7tR$|¡Ï9 @yf÷ètGÏ9 ÿ¾ÏmÎ ÇÊÏÈ
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena
hendak cepat-cepat (menguasai)nya.”
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya.”
#sÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya
itu.”(Q.S. al-Qiyamah: 16-18).
Mengenai
lafal al-Qur’an sendiri disoroti oleh para ulama, diantara pendapat yang ada sebagai berikut:
a.
Imam
Syafi’ie (105-204 H) sebagai salah seorang pendiri mazhab berpendapat, bahwa:
kata al-Qur’an ditulis dan dibaca tanpa memakai huruf hamzah, yakni al-Quraan
bukan al-Qur’an dengan berhamzah. Dia tidak merupakan musytaq dari kata apapun.
Ia merupakan nama yang secara khusus diberikan oleh Allah untuk kitab suci yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagaimana halnya kata Injil dan Taurat yang
juga khusus dipergunakan sebagai nama-nama kitabullah, yang masing-masing di
turunkan kepada Nabi ‘Isa dan Musa as.
b.
Imam
al-Farra’ (wafat 207 H) seorang ahli bahasa yang cukup terkenal berpendapat,
bahwa: kata al-Qur’an tidak memakai hamzah, namun ia musytaq dari kata: قَراَعِنُ Yang
merupakan isim jama’ dari kata: قَرِيْنَةٌ yang berarti petunjuk atau indikator. Alasan pendapat ini adalah karena dalam
kenyataannya sebagian ayat-ayat petunjuk/indikator lainnya berfungsi sebagai
petunjuk/indikator terhadap yang dimaksudkan oleh ayat lain yang serupa.
Ayat-ayat al-Qur’an, satu dengan yang lainnya saling memberikan petunjuk.
c.
Al-Asy’ari
(wafat 324 H) seorang ahli dan pendiri ilmu tauhid/ilmu kalam, pemuka aliran
sunny, berpendapat bahwa: kata al-Qur’an tidak berhamzah. Ia mustyaq dari
kata
Yang mengandung
arti menggabungkan. Dalam arti bahwa dalam kenyataannya, surat-surat yang
berjumlah 114, dan ayat-ayat yang jumlahnya melebihi 6200 itu dihimpun dan
digabungkan dalam satu mushaf.
d.
Az-
Zajjaj (wafat 311 H) pengarang kitab Ma’anil Qur’an berpendapat bahwa:
kata al-Qur’an berhamzah, yaitu dengan wazan فُعْلاَنُ ,juga ia musytaq dari kataاَلْقَرَاءُ yang berarti penghimpunan. Hal ini karena sesungguhnya kitab suci
yang dinamai dengan al-Qur’an itu di dalamnya menghimpun intisari ajaran-ajaran
dari kitab-kitab suci sebelumnya, sebagaimana firman Allah:
×Aqßu z`ÏiB «!$# (#qè=÷Gt $ZÿçtྠZot£gsÜB ÇËÈ
“(Yaitu)
seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang
disucikan (Al Quran),
$pkÏù Ò=çGä. ×pyJÍhs% ÇÌÈ
“Di dalamnya
terdapat (isi) Kitab-Kitab yang lurus”
e.
Al-Lihyani
(wafat 215 H) yang juga ahli bahasa berpendapat bahwa: kata al-Qur’an itu
berhamzah, sebagai isim mashdar,dia musytaq dari lafal قَرَاءَ yang berarti membaca.
Menurut beliau lafal al-Qur’an adalah mashdar dengan arti isim maf’ul,
yaitu yang dibaca, karena bukan saja al-Qur’an harus dibaca oleh manusia,
terutama oleh penganutnya, tetapi juga karena kitab ini dalam kenyataannya
selalu dibaca oleh mereka yang mencintainya, baik waktu shalat maupun di luar
shalat.
Menurut
pengertian terminologis,[10]
ternyata banyak definisi al-Qur’an dikemukakan oleh para ulama dari berbagai
keahlian,[11]
definisi al-Qur’an yang disepakati oleh para ahli sebagaimana dirumuskan Abdul
Wahhab Khallaf sebagai berikut:
اَلْقُرْاَنُ هُوَ كَلَامُ اللّهِ الّذِي نَزَلَ بِهِ الرّوْحُ
الأَمِيْنُ عَلَي قَلْبِ رَسُوْلِ اللّهِ مُحَمّدٍ ابْنِ عَبْدِ اللّهْ
بِاَافَاظِهِ الْعَرَبِيَةِ وَمَعَانِيْهِ الْحِفَةِ لِيَكُوْنَ حُجّةً لِلرّسُوْلِ
عَلَي اَنّهُ رَسُوْلُ اللّهِ وَدُسْتُوْرَاللنّاسِ يَهْتَدُوْنَ بِهْداَهُ
وَقُنَةً تَعَتَدُوْنَ بِتِلاَوَتِهِ وَ هُوَ الْمُدَوّنُ بَيْنَ دَفَنَي
الْمُصْحَفِ الْمَبْدُوَءُ بِشُوْرَةِالْفاَتِحَةِ الْمَخْتُوْمُ بِسُوْرَةِ
النّاسِ الْمَنْقُوْلُ اِلَيْناَ بِا لتّواَ تُرِ كِتاَبَةً وَ مُشَا فَهَةً
جِيْلاً عَنْ جِيْلٍ مَحْفُوَظً مِنْ اَيّ تَغْبِيْرٍ اَوْ تَبْدِيْلٍ
“al-Qur’an adalah firman Allah yang
diturunkan kepada hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah melalui al-Ruhul Amin
(Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar,
agar ia menjadi hujjah bagi Rasul, bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi
undang-undang bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana
pendekatan diri dan ibadah kepada Allah dengan membacanya. Al-Qur’an itu
terhimpun dalam mushaf, dimulai dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan
surat al-Nas, disampaikan kepada kita secara mutawatir dari generasi ke
generasi secara tulisan maupun lisan. Ia terpelihara dari perubahan atau
pergantian.
D. Perbedaan
Wahyu dan al-Qur’an
‘Abd al-Wahhab Khallaf merumuskan al-Qur’an sebagai
berikut:
“al-Quran ialah firman Allah yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril)
ke dalam hati sanubari Rasul Allah Muhammad bin ‘Abd Allah sekaligus bersama
lafal Arab dan maknanya, benar-benar sebagai bukti bagi Rasul bahwa ia adalah
utusan Allah dan menjadi pegangan bagi manusia agar mereka terbimbing dengan
petunjuk-Nya ke jalan yang benar, serta membacanya bernilai ibadah. Semua
firman itu terhimpun di dalam mushaf yang diawali dengan surat al-Fatihah dan
ditutup dengan surat al-Nas, diriwayatkan secara mutawatir dari satu generasi
ke generasi yang lain melalui tulisan dan lisan, serta senantiasa terpelihara
keorisinilannya dari segala bentuk perubahan dan penukaran atau penggantian.
Dalam definisi ini terlihat dengan jelas beberapa
unsur pokok yang dimiliki oleh al-Qur’an yang merupakan kriteria yang
membedakannya dari karangan atau kalam makhluk. Unsur-unsur itu ialah sebagai
berikut:
·
Firman Allah. Firman, artinya titah atau sabda. Dalam
bahasa Arab disebut kalam. Jadi firman Allah adalah kalam Allah, dengan
demikian, al-Qur’an yang diterima oleh Nabi Muhammad saw bukan hanya maknanya
saja, melainkan sekaligus bersama lafalnya.
·
Dibawa turun oleh Jibril lafal dan maknanya. Unsur ini
memberikan batasan bahwa al-Qur’an yang diterima Nabi Muhammad saw itu tidak
langsung dari Allah melainkan melalui malaikat Jibril. Sementara hadis-hadis
Nabi, termasuk hadis qudsi, diilhamkan lansung oleh Allah tanpa melalui Jibril.
Di sinilah terletak salah satu perbedaan yang prinsipil antara al-Qur’an dengan
hadis.
Kedua term ini perlu dibedakan
secara tegas dan jelas supaya kita terhindar dari pemahaman yang keliru. Jika
diamati dengan cermat kekeliruan paham sebagian kaum orientalis seperti Helmut
Gatje, berpangkal dari sini. Ia tidak dapat membedakan antara al-Qur’an dan
hadis. Dengan dasar itu ia berkata: “ Tak seorang pun dapat mengklaim bahwa
al-Qur’an memuat semua wahyu. Melalui riwayat, sejumlah surat pendek
disampaikan kepada kita, yang secara jelas ditunjukkan sebagai bagian yang
orisinal dari wahyu, namun tidak terdapat dalam al-Qur’an”.
Kekeliruan Gatje itu, sebagaimana telah disebut di
muka dikarenakan ia cenderung memahami wahyu identik dengan al-Qur’an.[12]
Pemahaman ini menghasilkan konklusi: wahyu adalah al-Qur’an, dan al-Qur’an
adalah wahyu. Kesimpulan ini sangat rancu karena wahyu bukan hanya al-Qur’an
melainkan semua yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw adalah wahyu. Jadi
al-Qur’an merupakan bagian dari wahyu itu. Bila ini telah dipahami, maka wahyu
yang dianggap oleh Gatje belum masuk ke dalam al-Qur’an, kemungkinannya ialah
hadis qudsi[13]
yang secara tegas memang diriwayatkan Nabi saw langsung dari Tuhan.
Dengan ungkapan lain, tuduhannya itu tidak terbukti
karena hadis qudsi memang bukan al-Qur’an, karenanya hadis tersebut tidak boleh
masuk ke dalam al-Qur’an dan jika dipaksakan juga memasukannya, niscaya akan
merusak keorisinalan al-Qur’an, dan bahkan dapat membuatnya tidak dipercayai
lagi sebagai kitab suci.
Bukti kerasulan Nabi Muhammad. Al-Qur’an menjadi bukti
atas kerasulan beliau, artinya al-Qur’an merupakan mukjizat baginya. Unsur ini
perlu ditegaskan agar tidak masuk kedalam al-Qur’an semua perkataan Nabi saw
yang tidak berfungsi sebagai mukjizat seperti hadis-hadis beliau sebagaimana
telah disebutkan. Meskipun hadis qudsi diriwayatkannya langsung dari Allah,
namun tidak merupakan mukjizat baginya. Dari itu hadis tersebut tidak sama
kedudukannya dengan al-Qur’an, bahkan dapat membatalkan shalat jika dibaca
sebagai ganti dari ayat-ayat al-Qur’an.
Terhimpun di dalam mushaf. Unsur ini memberi penegasan
bahwa ayat-ayat yang dapat diterima sebagai al-Qur’an ialah yang tidak
menyimpang dari isi mushaf ‘usmani atau bertentangan dengannya seperti isi
mushaf pribadi para sahabat yang tidak cocok dengan apa yang termaktub dalam
mushaf usmani, begitu pula al-Qur’an yang diklaim oleh Musailimat al-Kadzdzab
sebagai berasal dari Tuhan.
Diriwayatkan secara mutawatir. Artinya wahyu yang
diterima Rasul Allah saw itu harus diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang
menurut kondisi biasa mustahil mereka sepakat berdusta. Kondisi ini terus
berkesinambungan pada setiap tingkatannya sampai kepada perawi terakhir.
Periwayatan serupa inilah yang disebut mutawatir. Kriteria ini sangat diperlukan
supaya diperoleh keyakinan yang kuat bahwa al-Qur’an yang disampaikan oleh para
perawi betul-betul berasal dari Nabi saw sebagai wahyu yang diturunkan Allah.
Hanya berita yang mutawatirlah satu-satunya yang memberikan keyakinan penuh
atas keasliannya bagi si penerimanya.
Membacanya bernilai ibadah. Ini memberikan batasan dan
sekaligus mendorong umat Islam agar sering membaca al-Qur’an sebab membacanya
adalah salah satu bentuk amal yang bernilai ibadah, sementara hadis-hadis Nabi
tidak mempunyai nilai serupa itu. Diawali dengan surat al-Fatihah dan ditutup
dengan surat al-Nas. Persyaratan ini merupakan penegasan ulang dan melengkapi
kriteria-kriteria yang telah disebutkan sebelumnya. Artinya, surat atau ayat
yang tidak masuk ke dalam batas yang disebutkan itu tidak dapat diterima
sebagai al-Qur’an.
Sekalipun ucapan-ucapan Rasulullah dalam hadits-hadits
tauqifiyyah yang intinya berasal dari wahyu yang diterimanya, namun atas
perintah beliau sendiri pencatatannya dipisahkan dari Kitabullah, meskipun
hadits-hadits tadi tampak erat sekali kaitannya dengan ayat-ayat al-Qur’an
sebagai hasil penafsirannya. Hal itu karena hadits-hadits tauqifiyyah
dikemukakan dan dijelaskan dengan cara dan kata-kata beliau sendiri. Dengan
demikian al-Qur’anul-Karim tidak tercampur sama sekali, baik oleh cara
penjelasan beliau sendiri maupun oleh orang lain.
Hadits-hadits qudsi sekalipun, yang oleh para ulama
diakui berasal dari Allah, pencatatannya dilakukan secara terpisah dari
al-Qur’an. Cara demikian itu ditempuh karena Rasulullah hendak menjaga
Kitabullah agar tidak bercampur dengan hadits-hadits beliau sendiri. Kecuali
itu memang ada kesan kuat bagi orang-orang yang mendengarnya bahwa susunan
kalimat hadits-hadits beliau adalah kalimat beliau sendiri sebagai manusia,
walaupun maknanya berasal dari Allah swt.
E. Tahap-tahap
penyampaian al-Qur’an
Peranan Nabi Muhammad dipersiapkan secara bertahap,
suatu masa yang penuh kebimbangan dalam melihat berbagai kejadian dan visi
pandangan yang ada, juga ikut ambil bagian dalam mempersiapkan kematangan
jiwanya di mana Jibril berulang kali hadir memperkenalkan diri. Pertama kali
muncul di depan Nabi Muhammad saat ia berada di Gua Hira, Jibril minta membaca
dan beliau mengatakan tak tahu. Malaikat mengulangi permintaannya tiga kali dan
ia menjawab dalam keadaan serba bingung dan ketakutan sebelum mengetahui kenabian
yang tak terduga dan pertama kali mendengar al-Qur’an:
ù&tø%$# ÉOó$$Î y7Înu Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ ù&tø%$# y7uur ãPtø.F{$# ÇÌÈ Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷èt ÇÎÈ
Artinya:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar
(manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya”.(QS. Al-Alaq: 1-5)
Dikejutkan
oleh perasaan dengan melihat sesuatu yang tak pernah terlintas dalam pikiran
tentang tugas tersebut, Nabi Muhammad kembali dalam keadaan gemetar menemui
Khadijah minta agar dapat menghibur dan mengembalikan ketenteraman jiwanya.
Sebagai seorang Arab, tentu ia paham susunan ekspresi syair dan prosa, akan
tetapi tak terlintas di otak sama sekali tentang ayat-ayat wahyu al-Qur’an yang
ia terima. Sesuatu yang tak pernah terdengar sebelumnya serta susunan kata-kata
yang tak ada bandingannya.[14]
Al-Qur’an
itu sampai kepada Nabi Muhammad saw melalui tiga tahap:
Pertama,
penyampaian al-Qur’an dari Allah kepada lawh al-mahfuzh. Maksudnya,
sebelum al-Qur’an disampaikan kepada Rasulullah saw sebagai utusan Allah
terhadap manusia, ia terlebih dahulu disampaikan kepada lawh al-mahfuzh, yaitu
suatu lembaran yang terpelihara di mana al-Qur’an pertama kalinya ditulis pada
lembaran tersebut. Allah menjelaskan berikut ini.
ö@t uqèd ×b#uäöè% ÓÅg¤C ÇËÊÈ Îû 8yöqs9 ¤âqàÿøt¤C ÇËËÈ
“Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, yang
(tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh”. (QS. Al-Buruj:
21-22)
Tidak
ada manusia yang tahu bagaimana cara penyampaian al-Qur’an dari Allah ke lawh
al-mahfuzh. Dan manusia tidak wajib mengetahuinya, tetapi wajib
mempercayainya karena begitu yang dikatakan Allah.
Tahap
kedua adalah turunnya al-Qur’an[15]
ke langit pertama dengan sekaligus. Di langit pertama itu, ia disimpan pada bayt
al-‘izzah. Penurunan tahap kedua ini bertepatan dengan malam qadar, seperti
yang dijelaskan dalam surat al-Qadr ayat 1, ad-Dukhan ayat 3 dan al-Baqarah
ayat 185. Ibnu Abbas juga mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh
az-Zarqani, “al-Qur’an diturunkan secara sekaligus ke langit dunia pada malam
qadar. Setelah itu, ia diturunkan kepada Nabi secara berangsur-angsur selama 20
tahun.
Tahap
ketiga adalah turunnya al-Qur’an dari bayt al-‘izzah secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw melalui Jibril selama 22 tahun 2
bulan 22 hari atau selama 23 tahun. Jibril menyampaikan wahyu ke dalam hati
Nabi, sehingga setiap kali wahyu itu disampaikan beliau langsung menghafalnya.
Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 97 menyebutkan hal tersebut,[16]
yaitu:
ö@è% `tB c%x. #xrßtã @Îö9ÉfÏj9 ¼çm¯RÎ*sù ¼çms9¨tR 4n?tã y7Î6ù=s% ÈbøÎ*Î «!$# $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt Ïm÷yt Yèdur 2uô³ç ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÒÐÈ
“Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka
Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah;
membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita
gembira bagi orang-orang yang beriman.”
Klasifikasi
tahap penurunan al-Qur’an di atas didasarkan atas penyampaian al-Qur’an dari
Allah kepada Nabi Muhammad saw. Apabila klasifikasi tersebut didasarkan atas
periode penyampaian dakwah Islam dan penanaman serta pertumbuhan ajaran Islam,
maka penurunan al-Qur’an dapat diklasifikasikan pula kepada periode Mekah dan
Madinah. Periode Mekah berlangsung lebih kurang 13 tahun dan periode Madinah
lebih kurang selama 10 tahun. Dalam kajian ulum al-Qur’an, hal ini disebut
dengan ilmu al-makkiyah wa al-madaniyah. Jumlah surah yang diturunkan
pada periode Mekah lebih banyak dari jumlah surah yang diturunkan pada periode
Madinah. Surah yang diturunkan pada periode pertama adalah berjumlah 86 surah,
sedangkan periode kedua berjumlah 28 surah. Perbedaan antara kedua periode ini
ditandai dengan perjalanan dakwah Islam oleh Rasul, yaitu yang terdiri dari
sebelum hijrah yang disebut dengan periode Mekah dan setelah hijrah yang
disebut dengan periode Madinah.
BAB III
PENUTUP
Menurut pengertian bahasa (ethimologis) kata
al-Wahyu mengandung arti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu ia pun
mempunyai arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Jadi yang disebut wahyu itu sebenarnya merupakan kesan batin yang
mengandung makna ajaran Tuhan. Kehadiran dalam jiwa yang menerimanya (Rasul/
Nabi) diyakini sepenuhnya bahwa ia datang dari pada-Nya, suatu keyakinan yang
bukan karena adanya pengaruh dari pihak manapun, kecuali dari Allah sendiri.
Secara etimologis, kata al-Qur’an mengandung arti bacaan atau yang dibaca.
Ringkasannya
ialah, bahwa al-Qur’an adalah wahyu Ilahi, kalamullah, yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw sebagai Rasulullah akhir zaman, yang dalam bentuknya sekarang
termaktub dengan jelas dalam mushaf
Utsmani, yang sampai kepada kita selaku umatnya dengan jalan mutawatir, jika
kita baca, baik pada waktu shalat maupun di luar shalat bernilai ibadah, dan
yang dihukumkan kafir orang yang mengingkarinya.
DAFTAR PUSTAKA
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Jawa Barat: Pustaka
Setia, 2006
Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir,
Jakarta: Bulan Bintang, 1999
Ali hasan & Rif’at Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir:
PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1992
Abuddin Nata, al-Qur’an dan Hadits, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1996
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011
Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999
M. F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur’an, Malang:
UIN Malang Press, 2008
M. Al-A’zami, Sejarah
Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, Jakarta: Gema Insani, 2005
Kadar Yusuf, Studi al-Qur’an, Jakarta: Amzah, 2012
[1] Lihat, Rachmat
Syafe’i, (Pengantar Ilmu Tafsir, Jawa Barat: Pustaka Setia, 2006), h.
23.
[2] Wahyu itu ialah: yang
dibisikkan ke dalam sukma, diilhamkan dan isyarat cepat yang lebih mirip kepada
dirahasiakan daripada dilahirkan. Wahyu menurut bahasa ialah: isyarat yang
cepat dengan tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan bukan dengan
tangan. Sedangkan wahyu menurut istilah
ialah: nama bagi sesuatu yang dicampakkan dengan cara cepat dari pada Allah ke
dalam dada Nabi-nabiNya, sebagaimana
dipergunakan juga untuk lafal al-Qur’an. Lihat, Hasbi as-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1999), h.
26-27.
[3] Ali hasan
& Rif’at Syauqi Nawawi, (Pengantar Ilmu Tafsir: PT. Bulan Bintang,
Jakarta, 1992), h. 3.
[4] Di dalam kitab
al-Masyariq, bahwa wahyu itu pada
asalnya,: “sesuatu yang diberitahukan dalam keadaan tersembunyi dan cepat”.
Wahyu Allah kepada Nabi-nabiNya ialah: pengetahuan-pengetahuan yang Allah
campakkan ke dalam jiwa Nabi, yang Allah kehendaki akan mereka sampaikan kepada
manusia untuk menunjuki mereka dan memperbaiki mereka di dalam dunia serta
membahagiakan mereka di dalam akhirat.” Nabi, sesudah menerima wahyu itu,
mempunyai kepercayaan yang penuh, bahwa yang diterimanya itu adalah dari pada
Allah. Lihat, Op. Cit, h. 27.
[5] Kedua dimensi tersebut amat perlu didudukkan pada
proporsinya, dipahami secara baik dan cermat, mengingat apa yang disebut dengan
wahyu bukanlah sesuatu yang mudah dan sepele untuk dipahami, melainkan sesuatu
yang unik dan musykil, karena ia datang dari Yang Maha Gaib (immateri) ke alam
syahadah yang bersifat materi. Mengenai di mensi pertama ( ), dalam
kitab al-Masyaariq dijelaskan, bahwa pada dasarnya merupakan sesuatu yang
diberitahukan dalam keadaan tersembunyi dan prosesnya terjadi secara cepat.
Dimaksud engan cepat, adalah sesuatu yang berupa pengetahuan-pengetahuan yang
ditanamkan sedemikian rupa ke dalam jiwa penerimanya, sekaligus, tanpa
terlebih dahulu melalui proses
pemikiran/pertimbangan dan tidak didahului dengan fase muqaddimah. Tegasnya,
wahyu Allah kepada Rasul dan Nabi-Nya ialah: “Pengetahuan-pengetahuan yang
ditanamkan oleh Allah kedalam jiwa para Rasul dan Nabi, dimaksudkan agar hal
itu disampaikan oleh mereka kepada manusia untuk dijadikan pegangan dan sebagai
petunjuk (hidayah) bagi kebaikan hidup mereka di dunia serta keselamatan dan kebahagiaan hidup mereka di
akhirat; dan para Rasul dan Nabi setelah menerima wahyu meyakini sepenuhnya bahwa apa yang diterimanya itu
datang dari Allah swt. Suatu keyakinan yang timbul bukan karena hasil
perenungan atau pemikiran, melainkan karena pengaruh dari wahyu sendiri, suatu
karakteristik yang dibawa bersamaan dengan hadirnya wahyu itu. Lihat, Ibid, hal. 7.
[6] Subhi as-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu al-Qur’an, Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1999, h. 35.
[7] Suatu contoh yang patut dikemukakan adalah kasus
Nabi Ibrahim as yang pada suatu waktu pernah menerima wahyu melalui media mimpi, berupa perintah
Allah terhadap dirinya untuk
menyembelih puteranya tercinta. Perintah itu tidak ringan bagi seorang
ayah yang hanya mempunyai anak satu-satunya. Akan tetapi, Nabi Ibrahim as
sungguhpun tugas ini dirasa amat berat baginya, ternyata tidak dirasakannya
perintah itu, bahkan dengan mantap dan keteguhan hati, berita berat itu
disampaikannya kepada puteranya Isma’il, dan Isma;il pun menurut keterangan
al-Qur’an menerimanya dengan sikap tawakkal dan penuh kesabaran. Lihat, Ibid,
h. 9.
[8] Abul Baqa’
mengatakan bahwa wahyu adalah: pembicaraan yang tersembunyi dapat difahamkan
dengan cepat. Dan dia tidak tersusun dari huruf yang memerlukan gelombang
suara. Lihat, Op. Cit, h. 28.
[9] Para
Mutakallim menetapkan, bahwa hakikat al-Qur’an ialah: “makna yang berdiri pada
dzat Allah”. Ulama-ulama Mu’tazilah
berpendapat, bahwa hakikat al-Qur’an ialah: huruf-huruf dan suara yang
dijadikan Allah, yang setelah berwujud lalu hilang dan lenyap. Kata al-Ghazaly
dalam al Mustashfa: “Hakikat al-Qur’an ialah: Kalam yang berdiri pada dzat
Allah, yaitu: suatu sifat yang qadim dari antara sifat-sifatNya. Dan kalam itu
lafal musytarak, dipergunakan untuk lafal yang menunjuk kepada makna,
sebagaimana dipergunakan untuk makna yang ditunjuk oleh lafal. Lihat, Op.Cit,
h. 24.
[10] Menurut Manna’
al-Qaththan, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad saw
dan membacanya adalah ibadah. Lihat, Abuddin Nata, al-Qur’an dan Hadits,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h. 54.
[11] Berbagai
definisi al-Qur’an telah diberikan oleh para ulama sesuai dengan latar belakang
keahlian mereka masing-masing. Kaum teolog, misalnya, cenderung mendefinisikan
dari sudut pandangan teologis seperti Khulabiyyah, Asy’ariyyah, Karamiyyah,
Maturidiyyah dan penganut sifatiyyah lainnya, berkata: “al-Qur’an ialah Kalam
Allah yang qadim tidak makhluk”. Sebaliknya kaum Jahmiyyah, Muktazilah dan
lain-lain yang menganut paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, menyatakan
bahwa al-Qur’an ialah “ makhluk (tidak qadim). Sementara itu kaum filosof dan
al-Shabi’ah, melihat al-Qur’an dari sudut pandang filosofis. Itulah sebabnya
mereka berpendapat bahwa al-Qur’an ialah” makna yang melimpah kepada jiwa”. Di
samping itu ahli bahasa Arab, ulama Fiqih, ushul Fiqih dan para Mufasir, lebih
menitikberatkan pengertiannya pada teks atau lafal yang diturunkan Allah swt
kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas
sebagaimana dinyatakan oleh Shubhi al-Shalih, Muhammad ‘Ali al-Shabuni, dan
lain-lain: al-Qur’an ialah kalam Allah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada Nabi saw dengan perantaraan
Jibril, yang tertulis dalam mushaf mulai dari surat al- fatihah sampai
dengan surat al-Nas, yang disampaikan oleh Rasul Allah secara mutawatir, dan
membacanya bernilai ibadah. Lihat, Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 15-16.
[12] Karena itu
al-Qur’an secara cermat menamakan apa yang diturunkan Allah ke dalam hati Nabi
Muhammad sebagai “wahyu”, yaitu suatu lafadz yang mengandung keseragaman makna
wahyu yang diturunkan kepada semua nabi dan rasul. Lihat, Subhi as-Shalih, Membahas
Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), h. 17.
[13] Hadis qudsi
ialah hadis yang langsung diriwayatkan Nabi saw dari Tuhan. Dari itu hadis ini
juga disebut “hadis ilahi” (firman Tuhan). Adapun hadis biasa atau hadis
nabawi (sabda nabi) tidak diriwayatkan Nabi dari Allah tapi langsung dari
dirinya sendiri. Dalam meriwayatkan hadis qudsi biasanya perawi berkata: “Rasul
Allah bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Tuhannya.” Sementara dalam
meriwayatkan al-Qur’an perawi berkata: Allah telah berfirman: jadi dalam
meriwayatkan hadis qudsi Nabi menyadarkannya langsung kepada Tuhan, sedang
dalam meriwayatkan hadis nabawi tidak demikian . Lihat, Ibid, h.
18.
[14] M. Al-A’zami, Sejarah
Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: Gema Insani, 2005),
h. 50-51.
[15] Pendapat ulama
mengenai cara turunnya al-Qur’an berbeda-beda, namun secara garis besar dapat
dibagi menjadi dua, yaitu:
1.
Pendapat yang menyatakan bahwa
al-Qur’an diturunkan sekaligus. Pandangan ini berdasarkan dalil-dalil:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉitur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù (
`tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu
ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan
hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur.”
2.
pendapat kedua melihat bahwa pendapat pertama ini
bertentangan dengan kenyataan historis yang menunjukkan bahwa al-Qur’an
diturunkan berangsur-angsur sampai selama kurang lebih dua puluh tiga tahun.
Oleh karenanya, mayoritas ulama berpendapat bahwa tiga ayat tersebut
menjelaskan awal mula turunnya al-Qur’an secara keseluruhan di Bulan Ramadhan
ke lauh al-mahfudh, kemudian Jibril as menurunkan al-Qur’an kepada Nabi
saw sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selama kurang lebih 23
tahun. Lihat, M. F. Zenrif, Sintesis Paradigma Studi al-Qur’an, (Malang:
UIN Malang Press, 2008), h. 6-7.
[16] Kadar Yusuf, Studi
al-Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 16-17.
0 komentar:
Posting Komentar