SEJARAH DAN LATAR BELAKANG BIMBINGAN DAN
KONSELING
Disusun
Oleh: Fitri Yafrianti
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”
[Ungkapan]
A.
Pendahuluan
Istilah Bimbingan dan Konseling sudah sangat popular
dewasa ini, bahkan sangat penting peranannya dalam sistem pendidikan kita. Ini semua terbukti karena Bimbingan dan
Konseling telah dimasukan dalam kurikulum dan bahkan merupakan ciri khas
dari kurikulum SMP dan SMA/SMK tahun
1975, 1984, 1994, 2004, dan KTSP di seluruh Indonesia. Bimbingan dan Konseling
merupakan salah satu komponen dari pendidikan kita, mengingat bahwa Bimbingan
dan Konseling adalah suatu kegiatan bantuan dan tuntunan yang diberikan kepada
individu pada umumnya, dan siswa pada khususnya di sekolah dalam rangka meningkatkan
mutunya. Hal ini sangat relevan jika dilihat dari perumusan bahwa pendidikan
itu adalah merupakan usaha sadar yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian
dan potensi-potensinya (bakat, minat, dan kemampuannya). Berikut ini akan di
jelaskan secara singkat sejarah dan latar belakang Bimbingan dan Konseling.
B.
Sejarah dan latar belakang Bimbingan dan Konseling Di Amerika Serikat
Di Amerika awal sejarah Bimbingan dimulai pada
permulaan abad ke-20 dengan didirikannya suatu “Vocational Bureau” tahun 1908 oleh Frank Parsons, yang untuk selanjutnya dikenal dengan nama “The Father of Guidance” yang menekankan
pentingnya setiap individu diberikan pertolongan agar mereka dapat mengenal
atau memahami berbagai kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya dengan tujuan
agar dapat dipergunakan secara inteligen dalam memilih pekerjaan yang tepat
bagi dirinya. Awal perkembangan gerakan Bimbingan telah dilengkapi dengan
didirikannya organisasi profesi National
Vocational Guidance Association (NVGA)
tahun 1913.
Kemunculan
Bimbingan dan Konseling Sekolah
Pekerjaan Jesse Davis, Eli Weaver, Frank Parsons, dan sejumlah pelopor lain menciptakan momentum untuk pengembangan
suatu profesi Bimbingan dan Konseling
sekolah. Sepanjang tahun 1920, 1930, dan sampai tahun 1940, banyak peristiwa
yang terjadi yang memberi daya dorong, kejelasan, dan arah terhadap munculnya
profesi Bimbingan dan Konseling sekolah. Secara kebetulan, pengembangan profesi
konseling sekolah ini, berakar dengan
ditemukannya gerakan bimbingan vokasional, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang focus profesi yang sempit
hanya pada pengembangan vokasional.
·
Sebelum Perang Dunia II
Setelah gerakan bimbingan vokasional dimulai tahun
1900, Perang Dunia I merupakan peristiwa utama yang memberikan dampak pada
perkembangan profesi bimbingan dan konseling. Sepanjang perang dunia pertama,
militer AS mulai mengadakan pelatihan dalam prosedur kelompok untuk menyaring
dan menggolongkan orang yang wajib militer. Testing Intelegensi, yang
dikembangkan permulaan dekade, adalah katalisator untuk gerakan ini. Tahun 1930
ditemukan teori Bimbingan dan Konseling yang pertama yang disebut Teori Sifat
dan Faktor (Trait and Factor Theory),
yang dikembangkan oleh E. G. Williamson di Universitas Minnesota. Penggunaan
Program Vokasional Parsons’s sebagai batu loncatan, Williamson dan
kawan-kawannya menjadi penganjur utama yang terkenal sebagai pendekatan counselor-centered atau konselor direktif (directive or counselor-centered approach) pada konseling sekolah. Dalam
bukunya How to Counsel Students, Williamson
(1939) menulis konselor semestinya menetapkannya bahwa “sudut pandang dengan terbatas, mencoba
melalui penampilan untuk meringankan siswa”. Di dalam pendekatan langsung ini,
konselor diharapkan untuk memberikan informasi dan mengumpulkan data untuk
mempengaruhi dan memotivasi para siswa.
·
Perang Dunia II dan Pengaruh Pemerintah
Ketika
Amerika Serikat sedang memasuki Perang Dunia II, pemerintah meminta
bantuan dari konselor dan psikolog untuk membantu menyaring, memilih, dan
pelatihan spesialis militer dan industri. Contoh lain dari pengaruh pemerintah
dalam profesi konseling adalah Undang-Undang George-Barden Act tahun 1946. Perundang-undangan ini memberikan
dana untuk pengembangan dan mendukung aktivitas bimbingan dan konseling di
sekolah.
C.
Sejarah dan latar belakang Bimbingan dan Konseling Di Indonesia
Kegiatan “Bimbingan”
pada hakikatnya telah berakar dalam seluruh kehidupan dan perjuangan
bangsa Indonesia. Akan tetapi patut diakui bahwa bimbingan yang bersifat ilmiah
dan profesional masih belum berkembang secara mantap atas dasar falsafah
Pancasila. Berikut ini akan dibahas mengenai perkembangan usaha bimbingan dalam
pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan, dekade 40-an, dekade 50-an, dekade
60-an, dekade 70-an, dan dekade 80-an.
·
Sebelum Kemerdekaan
Masa sebelum kemerdekaan yaitu pada masa penjajahan
Belanda dan Jepang, kehidupan rakyat Indonesia berada dalam cengkeraman
penjajah: Pendidikan diselenggarakan untuk kepentingan penjajah. Para siswa
dididik untuk mengabdi untuk kepentingan penjajah. Dalam situasi seperti ini
upaya bimbingan sudah tentu diarahkan bagi perwujudan tujuan pendidikan masa
itu yaitu menghasilkan manusia pengabdi penjajah. Rakyat Indonesia yang cinta
akan Nasionalisme dan kemerdekaan berusaha untuk memperjuangkan kemandirian
bangsa Indonesia melalui pendidikan. Salah satu diantaranya adalah Taman Siswa
yang dipelopori oleh K.H. Dewantara. Dengan falsafah dasarnya yang terkenal
yaitu: “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya
Mangun Karso, dan Tut Wuri
Handayani,” dari sudut pandangan bimbingan hal tersebut pada hakikatnya
adalah dasar bagi pelaksanaan bimbingan. Dengan dasar itu siswa dibantu untuk
mandiri melalui prinsip keteladanan, motivasi dan bimbingan.
·
Dekade 40-an: Perjuangan
Dekade 40-an bangsa Indonesia merupakan tonggak
sejarah yang amat penting, karena pada decade inilah rakyat Indonesia
memproklamasikan kemerdekaannya yaitu 17 Agustus 1945. Kemerdekaan merupakan
kulminasi perjuangan untuk mencapai kehidupan kebangsaan yang bebas dan mandiri
di tengah-tengah bangsa lain di dunia. Meskipun kemerdekaan telah
diproklamasikan akan tetapi bangsa Indonesia masih harus berjuang keras untuk
eksistensi dirinya. Melalui kegiatan pendidikan serba darurat maka pada saat
itu diupayakan secara bertahan memecahkan masalah besar tadi antara lain
melalui pemberantasan buta huruf. Tetapi yang lebih mendalam adalah mendidik
bangsa Indonesia agar memahami dirinya sebagai bangsa yang merdeka: Sesuai
dengan jiwa Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Hal ini pulalah yang
menjadi focus utama dalam bimbingan pada saat itu.
·
Dekade 50-an: Perjuangan
Menjelang dekade 50-an pengakuan kedaulatan terhadap
Indonesia tercapai. Akan tetapi bangsa Indonesia masih harus menghadapi
tantangan yang amat besar yaitu menstabilkan berbagai aspek kehidupan yang
terkoyak-koyak selama penjajahan dan perjuangan kemerdekaan. Kegiatan bimbingan
pada masa decade ini lebih banyak tersirat dalam berbagai kegiatan pendidikan.
Upaya membantu siswa dalam mencapai prestasi lebih banyak dilakukan oleh para
guru di kelas atau di luar kelas. Akan tetapi pada hakikatnya bimbingan telah
tersirat dalam pendidikan dan benar-benar menghadapi tantangan dalam membantu
siswa di sekolah agar dapat berprestasi meskipun dalam situasi yang amat
darurat.
·
Dekade 60-an: Perintisan
Memasuki dekade 60-an politik kurang begitu
menguntungkan dengan klimaksnya pemberontakan G 30 S/PKI tahun 1965. Akan
tetapi, dalam decade ini pula lahir Orde Baru tahun 1966, yang kemudian
meluruskan dan menegakkan, serta sudah mulai mantap dalam merintis kearah
terwujudnya suatu system pendidikan nasional.[1]
Keadaan di atas memberikan tantangan bagi keperluan
layanan bimbingan dan konseling di sekolah sebagai salah satu kelengkapan sistem.
Layanan bimbingan diperlukan tidak hanya sebagai sesuatu yang implisit tapi
diperlukan sebagai suatu yang eksplisit. Di sinilah timbul tantangan untuk
mulai merintis pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling yang berprogram dan
terorganisasi dengan baik. Beberapa upaya perintisan yang telah dilakukan,
yaitu:
1. Anjuran dari para pengelola, agar
sekolah-sekolah melaksanakan bimbingan dan konseling
2. Dibukanya jurusan bimbingan dan
konseling pada beberapa IKIP dan masuknya mata kuliah bimbingan dan konseling
di IKIP
3. Penyelenggaraan penataran bagi para petugas
atau calon petugas bimbingan dan konseling di sekolah.
4. Gerakan memasyarakatkan perlunya
bimbingan dan konseling di sekolah
5. Publikasi kepustakaan yang berkaitan
dengan bimbingan dan konseling.
·
Dekade 70-an: Penataan
Setelah dirintis dalam dekade 60-an, bimbingan
dicoba penataannya dalam dekade 70-an. Dalam dekade ini bimbingan diupayakan
aktualisasinya melalui penataan legalitas sistem; konsep, dan pelaksanaannya.[2]
Beberapa upaya kegiatan penataan bimbingan selama decade ini, yaitu:
1. Pemantapan layanan bimbingan dan
konseling di sekolah berdasarkan Kurikulum 1975. Karena pada dasarnya Kurikulum 1975/1976
merupakan legalitas layanan bimbingan dan konseling di sekolah.
2. Kegiatan penataran bagi berbagai pihak
yang terlibat: dalam bimbingan dan konseling mulai dari tingkat nasional sampai
ke daerah.
3. Pemantapan layanan bimbingan dan
konseling untuk menunjang inovasi di PPSP
4. Adanya program darurat dalam upaya
pengadaan tenaga bimbingan dan konseling antara lain PGSLP yang disempurnakan.
5. Pemantapan kurikulum jurusan bimbingan
dan konseling pada LPTK
6. Mulai dibuka program Pasca Sarjana
bidang, bimbingan dan konseling (di IKIP Bandung tahun 1977)
7. Perintisan pelaksanaan layanan bimbingan dan konseling di perguruan
tinggi
8. Kelahiran IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan
Indonesia) di Malang bulan Desember 1975, sebagai wadah para petugas bimbingan.
·
Dekade 80-an: Pemantapan
Setelah melalui penataan dalam decade 70-an, maka
dalam decade 80-an ini bimbingan diupayakan agar mantap. Pemantapan terutama
diusahakan untuk menuju kepada perwujudan bimbingan yang profesional. Dengan tuntutan pembangunan dalam decade
80-an, pendidikan perlu lebih dikelola secara professional. Demikian pula
kaitannya dengan layanan bimbingan, maka dalam decade ini bimbingan perlu
dimantapkan secara profesional dan proporsional. Beberapa upaya yang
dilaksanakan, yaitu:
1. Upaya penerangan bimbingan terpadu dalam
pengelolaan dan layanan
2. Penekanan layanan bimbingan karier dalam
keseluruhan layanan bimbingan baik di sekolah maupun di luar sekolah
3. Penyempurnaan system penataran para
petugas di lapangan
4. Penyempurnaan kurikulum jiwa bimbingan
konseling yang lebih mengarah kepada pencapaian kompetensi profesional.
Menyongsong Era
Lepas Landas
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang
periodisasi perkembangan gerakan bimbingan dan konseling, di Indonesia ada melalui lima
periode, yaitu periode prawancara, pengenalan, permasyarakatan, konsolidasi,
dan tinggal landas (Prayitno, 2003).
·
Periode I dan II: (Sebelum 1960 sampai 1970-an)
Prawacana dan Pengenalan
Pada periode prawacana (periode I) pembicaraan
tentang konseling (istilah yang dipakai semula bimbingan dan penyuluhan,
disingkat BP) telah dimulai, terutama oleh para pendidik pernah mempelajari di
luar negeri. Periode awal ini berpuncak pada dibukanya jurusan Bimbingan dan
Penyuluhan (BP) pada tahun 1963 (periode II) di IKIP Bandung (sekarang UPI). Pembukaan
jurusan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara langsung
memperkenalkan pelayanan BP kepada masyarakat akademik dan masyarakat pendidik
serta membina tenaga untuk melaksanakannya.
·
Periode III (1970 sampai 1990-an) Pemasyarakatan
Puncak dari periode kedua, dan sekaligus sebagai
awal dari periode ketiga ialah diberlakukannya Kurikulum 1975 (periode III)
untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas. Kurikulum baru ini secara
resmi mengintegrasikan ke dalamnya pelayanan BP untuk siswa. Seiring dengan
menyatunya BP ke sekolah, terbentuk pula organisasi profesi BP dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI)
pada tahun 1975 (periode III). Dalam pemberlakuan Kurikulum 1984 (kira-kira 10
tahun setelah kurikulum 1975) pelayanan BP difokuskan pada bidang bimbingan karier (periode III) melalui
paket-paket yang disusun secara khusus. Dalam kaitan itu berkembang pemahaman
yang mengindentikkan bimbingan karier dengan bimbingan penyuluhan, sehingga
pada waktu itu ada istilah BK/BP.
·
Periode IV: Konsolidasi (1990-2000)
Situasi yang kurang menggembirakan pada akhir 1980-
awal 1990-an itu dicoba untuk diatas. IPBI sebagai organisasi profesi yang ikut
bertanggung jawab atas kebenaran profesi konseling dan mutu pelayanannya,
berusaha keras untuk mengubah kebijakan “BP oleh semua guru” itu.
Keadaan seperti itu harus direformasikan. Upaya ini
menandai mulainya periode keempat, yaitu konsolidasi. Dalam periode ini
sangatlah diharapkan seluruh perangkat profesi, baik segi keilmuannya, para
pelaksana, maupun pelaksanaannya di lapangan dikonsolidasi sehingga menjadi
satu kesatuan sosok profesi yang utuh dan berwibawa. Sejumlah hal dapat dicatat
sebagai butir-butir yang menandai periode ini (periode IV), yaitu:
1. Diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling, istilah yang dipakai sekarang adalah: bimbingan dan
konseling, disingkat BK.
2. Pelayanan BK di sekolah hanya
dilaksanakan oleh guru pembimbing
yang secara khusus ditugasi untuk itu tidak lagi oleh sembarang guru yang dapat
ditugasi sebagai guru pembimbing.
3. Mulai diselenggarakan penataran
(nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing
4. Mulai adanya formasi untuk pengangkatan
menjadi guru pembimbing
5. Pola pelayanan BK di sekolah “dikemas”
dalam “BK pola-17”.
6. Dalam bidang kepengawasan sekolah
dibentuk kepengawasan bidang BK.
Bimbingan Berdasarkan Pancasila
Bimbingan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
pendidikan dan mempunyai tanggung jawab yang amat besar dalam mewujudkan
manusia pancasila. Karena itu seluruh kegiatan bimbingan di Indonesia tidak
lepas dari Pancasila baik secara konseptual maupun operasional. Secara singkat
dapat dikatakan bahwa hakikat bimbingan berdasarkan Pancasila adalah
keseluruhan upaya bimbingan yang bertitik tolak dari manusia Pancasila,
dilaksanakan oleh pembimbing Pancasilais, untuk membantu terbimbing dalam
mewujudkan diri sebagai manusia Pancasila, dan berlangsung melalui proses, dan
suasana yang sesuai dengan Pancasila.
1. Ketetapan
MPRS Tahun 1966 tentang Dasar Pendidikan Nasional.
2. Lahirnya
kurikulum SMA Gaya Baru 1964, dengan keharusan pelaksanaan bimbingan dan
konseling (bimbingan dan penyuluhan).
3. Lahirnya
kurikulum 1968
4. Kelahiran
IKIP sebagai perpaduan dari IPG dan FKIP berdasarkan Keputusan Presiden No.
1/1963.
5. Lahirnya
jurusan Bimbingan dan Konseling di IKIP tahun 1963. Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 23.
1. Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada IKIP di Indonesia, dengan eksperimen/
uji coba system modul, maju berkelanjutan, belajar tuntas, bimbingan dan
konseling.
2. Kelahiran
kurikulum 1975 yang dipandang lebih relevan dibanding dengan kurikulum 1968.
Kurikulum ini pada dasarnya merupakan legalitas bagi pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah
3. Penyempurnaan
kurikulum perguruan tinggi khususnya 19 IKIP/LPPK
4. Peningkatan
mutu guru
5. Pengembangan
buku teks
6. Dan
inovasi-inovasi lainnya dalam berbagai segi pendidikan. Dewa Ketut Sukardi, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, hal.
25.
0 komentar:
Posting Komentar