RUJUK DAN HUKUMNYA

PENGERTIAN RUJUK DAN HUKUMNYA
Oleh: Fitri Yafrianti
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ   
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”
[Al-Qur’an, Surat Arum: 21]

A.    Pendahuluan
Perkawinan merupakan masalah yang essensi bagi kehidupan manusia, oleh karena di samping perkawinan sebagai sarana untuk membentuk keluarga, perkawinan juga merupakan kodrati manusia untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Menikah adalah sunnah Rasulullah. Sunnah yang paling membawa kenikmatan dan sekaligus bertabur pahala dan kemuliaan. Betapa indah dan bahagia, sebuah pernikahan yang dibangun di atas pondasi keimanan dan kasih sayang, diliputi semangat saling memahami dan melayani, dan dihiasi keluasan ilmu dan budi pekerti. Pernikahan yang demikian, adalah idaman dan dambaan setiap insan. Bahtera rumah tangga yang dibinanya siap berlayar mengarungi samudera kehidupan yang demikian panjang; terkadang berjalan mulus dan lancar, dan terkadang penuh badai dan gelombang.[1] Agar hakekat perkawinan tersebut tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif, maka kiranya perlu adanya pengaturan tersendiri. Dalam makalah ini kami akan membahas tentang pengertian rujuk dan hukumnya.  

B.     Pengertian Rujuk[2]
Ruju’ atau dalam istilah hukum disebut raj’ah secara arti kata berarti “kembali”.[3] Orang yang rujuk kepada istrinya berarti kembali kepada istrinya. Sedangkan definisinya dalam pengertian fiqh menurut al-Mahalli ialah:
“Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan ba’in, selama dalam masa iddah. “
Rujuk yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa Indonesia terpakai yang artinya menurut KBBI adalah,
“Kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih di masa iddah.[4] 
Ulama Hanafiyah memberi definisi ruju’ sebagaimana dikemukakan oleh Abu Zahrah, sebagai berikut:
Ruju’ ialah melestarikan perkawinan dalam masa iddah talak (raj’i).
Menurut Asy Syafi’i:

Ruju’ ialah mengembalikan status hukum perkawinan sebagai suami istri di tengah-tengah iddah setelah terjadinya talak (raj’i).
Dapat dirumuskan bahwa ruju’ ialah “mengembalikan status hukum perkawinan secara penuh setelah terjadi talak raj’i yang dilakukan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya dalam masa iddah, dengan ucapan tertentu”.[5]  
Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan terjadinya talak antara suami istri meskipun berstatus talak raj’i, namun pada dasarnya talak itu mengakibatkan keharaman hubungan seksual antara keduanya. Oleh karena itu, kendati bekas suami dalam masa iddah berhak meruju’ bekas istrinya itu dan mengembalikannya sebagaimana suami istri yang sah secara penuh, namun karena timbulnya keharaman itu berdasarkan talak yang diucapkan oleh bekas suami terhadap bekas istrinya itu, maka untuk menghalalkan kembali bekas istrinya menjadi istrinya lagi haruslah dengan pernyataan ruju’yang diucapkan oleh bekas suami dimaksud. Hak meruju’ bekas suami terhadap bekas istrinya yang ditalak raj’i diatur berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
Artinya:
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Tidak  dibenarkan bekas suami mempergunakan hak meruju’ itu dengan tujuan yang tidak baik, misalnya untuk menyengsarakan bekas istrinya,atau untuk mempermainkannya, sebab dengan demikian bekas suami itu berbuat aniaya atau berbuat zhalim, sedangkan berbuat zhalim itu diharamkan. Firman Allah surat Al-Baqarah ayat 231 menyatakan:[6]
#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|  7$rã÷èoÿÏ3 4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿwur (#ÿräÏ­Fs? ÏM»tƒ#uä «!$# #Yrâèd 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr& Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏètƒ ¾ÏmÎ/ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br& ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ  
Artinya:
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
Apabila suami menjatuhkan talaknya di waktu istri sedang haid, maka suami wajib merujuk istrinya kembali, karena talak di waktu haid ini tidak sesuai dengan tuntutan. Ketentuan ini sesuai dengan  hadits dari Ibnu Umar ra bahwa ia mentalak istrinya di waktu haid, lalu Umar ra bertanya kepada Rasulullah saw perihal tersebut, lalu Rasulullah bersabda kepada Umar untuk memerintahkan kepada anaknya itu agar merujuk istrinya, dengan sabda beliau:


“Perintahkanlah ia (anakmu), hendaklah ia ,merujuk istrinya, lalu ia memeliharanya sehingga suci dari haid, kemudian haid, kemudian suci lagi, kemudian jika ia mau hendaklah ia pelihara sesudah itu, atau jika ia berkehendak boleh ia mentalaknya sebelum ia mencampurinya. Demikian itulah waktu yang diizinkan Allah bagi suami untuk mentalak istrinya.
(Muttafaq ‘Alaih).
Dengan demikian, status hukum suami merujuk istrinya itu tergantung kepada motif dan tujuannya serta sesuai atau tidaknya cara menjatuhkan talak itu dengan tuntunan sunnah sehingga dengan demikian hukum suami merujuk bekas istrinya itu boleh jadi wajib, sunnat, mubah, makhruh dan haram.[7]
C.    Hukum Ruju’
Syaikh Hasan Ayyub dalam bukunya yang berjudul Fiqih Keluarga, mengatakan bahwa hukum rujuk ada beberapa macam:
1.      Haram, apabila rujuknya itu menyakiti sang istri.
2.      Makruh, jika perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami istri).
3.      Jaiz (boleh), dan inilah hokum rujuk yang asli.
4.      Sunat, jika dengan rujuk itu suami bermaksud untuk memperbaiki keadaan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya. 
Ibnu Rusdy membagi hukum rujuk kepada dua: hukum rujuk pada talak raj’i dan hukum rujuk pada talak ba’in.  
a.      Hukum Rujuk pada Talak Raj’i
Kaum muslimin telah sependapat bahwa suami mempunyai hak merujuk istri pada talak raj’i, selama istri masih berada dalam masa iddah, tanpa mempertimbangkan persetujuan istri, berdasarkan firman Allah:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ    
Artinya:
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.[8]
Fuqaha berbeda pendapat tentang cara meruju’. Segolongan fuqaha berpendapat bahwa ruju’ hanya dapat terjadi dengan kata-kata saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i. fuqaha yang lain berpendapat bahwa ruju’ harus dengan menggauli istri. Dan fuqaha yang berpendapat demikian terbagi menjadi dua golongan: Golongan Pertama, berpendapat bahwa ruju’ dengan penggaulan hanya dianggap sah apabila diniatkan untuk meruju’, karena bagi golongan ini, perbuatan dipersamakan dengan kata-kata beserta niat. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik. Akan tetapi golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah, mempersoalkan ruju’ dengan penggaulan, jika ia bermaksud meruju’, dan ini tanpa niat.[9] 
Imam Syafi’I berpendapat bahwa rujuk itu dipersamakan dengan perkawinan, dan bahwa Allah telah memerintahkan untuk diadakan penyaksian, sedangkan penyaksian tidak terdapat kecuali pada kata-kata.
b.      Hukum Rujuk pada Talak Ba’in
Talak Ba’in karena Talak Tiga Kali.
Mengenai istri yang ditalak tiga kali, para ulama mengatakan bahwa ia tidak halal lagi bagi suaminya yang pertama, kecuali sesudah digauli (oleh suami lain), berdasarkan hadits Rifa’ah bin Sama’ul:





Sesungguhnya Rifa’ah menceraikan istrinya, Tamimah binti Wahb pada masa Rasulullah saw tiga kali, maka tamimah kawin dengan Abdurrahman bin Zubeir. Kemudian Abdurrahman berpaling daripadanya tanpa dapat menggaulinya, lalu iapun menceraikannya. Maka Rifa’ah (suaminya yang pertama) bermaksud hendak mengawininya dan berkata: Tamimah tidak halal bagimu sehingga ia merasakan madu (berjima’ dengan suami lain).

Imam Malik dan Ibn Al-Qasim berpendapat bahwa yang menyebabkan halalnya istri yang ditalak tiga kali hanya pergaulan yang sah yang terdapat pada akad nikah yang sah pula, bukan dalam keadaan puasa, haji, haid atau I’tikaf. Imam Syafi’I, Abu Hanifah, Al-Tsaury dan Al-Auza’I menentang kedua fuqaha tersebut dalam masalah ini dengan mengatakan bahwa setiap pergaulan (jima’) menyebabkan kehalalan, baik terjadi pada akad nikah yang rusak atau pada waktu yang dilarang (dalam ihram misalnya).   
Dalam Kompilasi Hukum Islam, masalah rujuk dijelaskan pada Bab XVII, dengan pasal-pasal sebagai  berikut:
Pasal 163
1.   Seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah.
2.   Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal:
·         Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali
·         Putusnya perkawinan berdasarkan putusan Pengadilan dengan alasan-alasan selain zina dan khulu’.
Pasal 164
Seorang wanita dalam masa iddah talak raj’I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 165
Rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal 166
Rujuk harus dapat dibuktikan dengan kutipan Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

 
DAFTAR PUSTAKA
 Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Moh. Rifa’I, Fiqih Islam Lengkap, Semarang:  Karya Toha Putra, 1978
Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005








* Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, (UIN SUSKA). Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam (kosentrasi fiqih) Semester V, sekarang sedang menyelesaikan Program SI.
[1] Syaikh Hafizh Ali Syuaisyi’, Kado Pernikahan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. Vii.
[2] Kata rujuk berasal dari bahasa Arab yang berarti kembali. Sedangkan menurut istilah syari’at, yang dimaksud rujuk adalah mengembalikan isteri yang telah diceraikan pada pernikahan yang asal sebelum diceraikan. Syaikh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal. 327.  
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 337.
[4]  Devinisi yang dikemukakan KBBI tersebut di atas secara esensial bersamaan maksudnya dengan yang dikemukakan dalam kitab fiqh, meskipun redaksional sedikit berbeda. Dari definisi-definisi tersebut di atas terlihat beberapa kata kunci yang menunjukkan hakikat dari perbuatan hukum yang bernama rujuk itu. Pertama, kata atau ungkapan “kembalinya suami kepada istri” hal ini mengandung arti bahwa di antara keduanya sebelumnya telah terikat dalam tali perkawinan, namun ikatan tersebut sudah berakhir dengan perceraian. Laki-laki yang kembali kepadaorang lain dalam bentuk perkawinan, tidak disebut rujuk dalam pengertian ini. Kedua, ungkapan atau kata “ yang telah ditalak dalam bentuk raj’i”, tidak disebut rujuk. Ketiga: kata atau ungkapan “masih dalam masa iddah”, mengandung arti bahwa rujuk itu hanya terjadi selama istri masih berada dalam iddah.  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,hal. 338.  

[5] Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 286.
[6] H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat,  (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 329.
[7]  H.M.A. Tihami, Fiqih Munakahat,  hal. 330.
[8][142] Quru' dapat diartikan suci atau haidh. [143] Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan Kesejahteraan rumah tangga (Lihat surat An Nisaa' ayat 34).
[9] Perbedaan pendapat antara Imam Malik dan Imam Abu Hanifah disebabkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa ruju’ itu mengakibatkan halalnya penggaulan, karena dipersamakan dengan istri yang terkena ila’ (sumpah tidak akan menggauli istri) dan istri yang terkena zhihar (pengharaman istri untuk dirinya), di samping karena hak milik  atas istri belum terlepas daripadanya, dan karena itu terdapat hubungan saling mewarisi antara keduanya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa menggauli istri yang tertalak raj’I adalah haram, sehingga suami merujuknya. Karena itu diperlukan niat.  Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, hal. 291. 

0 komentar:

Posting Komentar