- Pengertian jual beli
Menurut Etimologi, jual beli diartikan:
Artinya:
“Pertukaran Sesuatu dengan Sesuatu (yang lain).”
Kata lain dari al-bai’
adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah,
dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 dinyatakan:
“Ï%©!$# Ÿ@yèy_
ãNä3s9 uÚö‘F{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAt“Rr&ur
z`ÏB
Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB
ylt÷zr'sù
¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$#
$]%ø—Í‘
öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#y‰Rr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ
Artinya:
“Mereka mengharapkan
tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”
Adapun jual beli
menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya,
antara lain:
- Menurut ulama Hanafiyah:[1]
Artinya;
“Pertukaran harta (benda)
dengan harta berdasarkan cara khusus ( yang dibolehkan).”
- Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’:
Artinya:
“Pertukaran harta dengan
harta untuk kepemilikan.”
- Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni:
Artinya:
“Pertukaran harta dengan
harta, untuk saling menjadikan milik.”
Artinya:
“Transaksi yang terjadi
atas dasar suka sama suka dengan jalan tertentu.” [2]
- Dalil tentang Jual Beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan ijma’,
yakni:
- Al-Qur’a, di antaranya:
Artinya:
“Padahal Allah telah
menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
Artinya:
“Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual-beli.”
Artinya:
“Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama
suka.”
b. As-sunnah, di antaranya:
Artinya:
“Nabi SAW. Ditanya tentang
mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, seseorang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.”
(HR.Bajjar, Hakim Menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)
Maksud mabrur dalam hadis diatas adalah jual
beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.
Artinya:
“Jual beli harus dipastikan
harus saling meridhoi.”
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)
c. Ijma’
Ulama telah sepakat
bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan
atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan
barang lainnya yang sesuai.
- Rukun dan Pelaksanaan jual beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli, di antara para ulama terjadi
perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan
ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat,
yaitu:
- Bai’ (penjual)
- Mustari (pembeli)
- Shighat (ijab dan qabul)[3]
- Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
- Syarat jual beli
Syarat dalam jual beli sangatlah banyak. Terkadang dua
orang yang melakukan jual beli atau salah satunya membutuhkan satu syarat atau
lebih untuk melakukan transaksi jual beli. Maka dari itu, di sini perlu dibahas dan
diterangkan tentang syarat-syarat jual beli mengenai syarat apa yang harus,
wajib, dan yang dianggap sah dalam jual
beli. Para ahli fiqih mendefinisikan bahwa yang disebut dengan syarat dalam
jual beli adalah komitmen yang dijalin antara salah satu dari beberapa pihak
yang mengadakan transaksi dengan lainnya untuk mengambil manfaat dari barang
tersebut. Menurut mereka, sebuah syarat dalam jual beli tidak dianggap berlaku,
kecuali jika tidak disebutkan dalam inti akadnya. Dengan demikian, tidak akan
dianggap sah sebuah syarat yang dibuat sebelum akad atau setelah akad dibuat.[4]
E. Syarat dalam
jual beli dibagi menjadi dua; syarat yang sah dan
syarat yang tidak sah. Syarat yang sah
adalah syarat yang tidak bertentangan dengan inti isi sebuah akad. Inti dari
bentuk syarat ini wajib dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati. Hal ini
sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka.” Bentuk
Selain itu juga, karena asal dari semua syarat adalah
sah, kecuali syarat yang ditolak oleh Allah dan dilarang-Nya. Syarat sah ini
ada dua bentuk.[5]
Syarat yang Tidak
Sah; hal ini juga ada dua bentuk.
Syarat yang rusak yang membatalkan akad sejak awalnya.
Seperti halnya jika ada dari salah satu pihak mengajukan syarat kepada pihak
yang lain dalam sebuah akad. Seperti jika seseorang mengatakan, “Saya jual
barang ini dengan syarat Anda menyewakan rumah Anda.” Syarat ini dianggap rusak
dan tidak sah. Dilihat ari esensinya saja ia akan menjadikan sebuah akad menjadi batal.[6]
Inti dari jual
beli adalah seseorang pembeli mempunyai hak guna secara mutlak terhadap barang
yang ia beli. Hal ini sesuai dengan sabda sabda Rasulullah SAW,
“Barang siapa yang
mensyaratkan sesuatu yang tidak ada dalam kitab Allah, maka syarat tersebut
batal, meskipun ada seratus syarat yang ia buat.”
(Muttafaq Alaih)
Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu
syarat terjadinya akad (in’iqad),
syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum.
Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan
di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari
jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain. Jika jual-beli tidak
memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi
syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi
syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah,
cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar
untuk menetapkan maupun membatalkan.[7]
Di antara ulama fiqih berbeda pendapat
dalam menetapkan persyaratan jual beli.
1. Menurut Ulama Hanafiah
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanafiah
berkaitan dengan syarat jual beli adalah:
- Syarat terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika
persyaratan ini tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama
Hanafiah menetapkan empat syarat, yaitu:
- Syarat Aqid (orang yang akad)
Aqid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- Berakal dan mumayyiz
- Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.
- Syarat dalam Akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab
dan qabul. Namun demikian, dalam ijab qabul terdapat tiga syarat:
- Ahli akad
Menurut ulama Hanafiah, seorang anak yang berakal dan
mumayyiz dapat menjadi ahli akad. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa
akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama
Syafi’iyyah, anak mumayyiz yang belum baliqh tidak dibolehkan melakukan akad
sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya. Allah SWT, berfirman:
Ÿwur
(#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_
ª!$#
ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ã—ö‘$#ur
$pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm;
Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ
Artinya:
“Dan janganlah
kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka
yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(QS. An-Nisa’ :5)
- Qabul harus sesuai dengan ijab
- Ijab dan qabul harus bersatu
- Tempat akad
- Ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qum ‘alaih harus memenuhi empat syarat:
- Ma’qud ‘alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang–barang yang tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak. Secara umum dalil yang digunakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli buah yang belum tampak hasilnya.
- Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
- Benda tersebut milik sendiri
- Dapat diserahkan
- Syarat Pelaksanaan Akad (Nafadz)
- Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
- Pada benda tidak terdapat milik orang lain
Oleh karena itu, tidak boleh menjual
barang sewaan atau barang gadai, sebab barang tersebut bukan miliknya sendiri,
kecuali kalau diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang
ditangguhkan (mauquf).
2. Madzhab Maliki
Syarat-syarat
yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah yang berkenaan dengan aqid (orang yang
akad), shighat, dan ma’qud ‘alaih (barang) berjumlah 11 syarat.
- Syarat Aqid
Adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga
syarat, ditambah satu bagi penjual:
1. penjual dan pembeli harus mumayyiz
2. keduanya merupakan pemilik barang atau yang
dijadikan wakil
3 keduanya dalam keadaan sukarela.
4. penjual harus sadar dan dewasa
- Syarat dalam Shighat
1. tempat akad harus bersatu
2. pengucapan
ijab dan qabul tidak terpisah
- Syarat Harga dan yang diharamkan
- bukan barang yang dilarang syara’
- harus suci, maka tidak dibolehkan menjual khamar, dan lain-lain.
- bermanfaat menurut pandangan syara’
- dapat diketahui oleh kedua orang yang akad
- dapat diserahkan
3. Madzhab
Syafi’i
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan
dengan aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a.
Syarat
Aqid
1.
Dewasa
atau sadar
Aqid harus baliq dan berakal,
menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, akad anak mumayyiz dipandang
belum sah.
2.
Tidak
dipaksa atau tanpa hak
3.
Islam
4.
Pembeli bukan
musuh
b.
Syarat Shighat
1.
Berhadap-hadapan
Pembeli atau penjual harus menunjukkan shighat akadnya
kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan
orang yang dituju. Dengan demikian, tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!”
2.
Ditujukan
pada seluruh badan yang akad
3.
Qabul
diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
4.
Harus menyebutkan
barang atau harga
5.
Ketika
mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6.
Pengucapan
ijab dan qabul harus sempurna
7.
Ijab qabul
tidak terpisah[8]
8.
Antara ijab
dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9.
Tidak
berubah lafazh
10.
Bersesuaian
antara ijab dan qabul secara sempurna
11.
Tidak
dikaitkan dengan sesuatu
12.
Tidak
dikaitkan dengan waktu
c.
Syarat Ma’qud
‘Alaih (barang)
1.
suci
2.
bermanfaat
3.
dapat
diserahkan
4.
barang
milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5.
jelas dan
diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad
4. Madzhab
Hambali
Menurut ulama Hambali, persyaratan
jual beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih.
- Syarat Aqid
1.
Dewasa[9]
2.
Ada Keridhaan[10]
- Syarat Shighat
1.
Berada di
tempat yang sama
2.
Tidak
terpisah
3.
Tidak
dikaitkan dengan sesuatu
- Syarat Ma’qud ‘alaih
1.
Harus
berupa Harta[11]
2.
Milik
penjual secara sempurna
3.
Barang
dapat diserahkan ketika akad
4.
Barang
diketahui oleh penjual dan pembeli[12]
5.
Harga
diketahui oleh kedua pihak yang akad
6.
Terhindar
dari unsure-unsur yang menjadikan akad tidak sah.
[1] Lihat, Rachmat Syafe’I, Fiqih
Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 73.
[2] Mahmud Yunus, Fiqih Wadih,
(Jakarta: Sa’diyyah Putra, 1935), hal. 28.
[3] Akad (ijab Kabul) ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli.
Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan Kabul dilakukan, sebab ijab
kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan
dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainny, boleh
ijab kabul dengan surat menyurat yang mengandung
arti ijab dan kabul. Lihat, Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 70.
[4] Saleh Al-Fauzan, Fiqih
Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 373.
[5] Syarat yang ditujukan untuk kemaslahatan akad. Syarat tersebut akan
berfungsi semakin memperkuat akad. Adanya kemaslahatan ini dilihat dari
kemaslahatan barang yang diberi syarat. seperti persyaratan yang digunakan
untuk kredit harga barang secara keseluruhan atau sebagainya dengan batas waktu
tertentu. Hal ini akan menguntungkan pihak pembeli. Jika pihak pembeli dapat
memenuhi syarat ini, maka ia wajib membeli barang tersebut. Begitu juga
halnya jika pembeli menentukan syarat
tertentu pada barang yang akan dibeli, seperti kualitas barangnya harus bagus,
atau produk barang tersebut berasal dari pabrik
tertentu. Sebab, keinginan seseorang itu berlainan sesuai dengan
beragamnya barang. Maka, si pembeli mempunyai hak untuk membatalkan jual beli
atau menunda pembeliannya jika ada suatu syarat yang tidak bisa dipenuhi.
Sebab, suatu barang bisa diterima jika syarat yang diinginkan ada. Seorang
pembeli berhak mencabut niatnya jika syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh
penjual. Dan jika ada permintaan untuk membayar selisih antara dua nilai
barang, maka ia wajib membayarnya. Syarat sah dalam jual beli. Bentuknya
berupa syarat yang diajukan oleh salah satu dari dua pihak yang
melakukan akad jual beli kepada pihak lainnya untuk mendapatkan suatu manfaat,
pada hal-hal yang diperbolehkan dalam syara’. Seperti jika seorang pembeli
mensyaratkan tempat hunian (rumah) yang akan dijual harus sampai jatuh tempo
tertentu. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[6] Karena nabi SAW tidak
membolehkan terjadinya dua akad dalam sekali transaksi. Di antara syarat yang
rusak yang membatalkan jual beli adalah syarat yang dengan sendirinya sudah
menjadikan transaksi tersebut rusak, tapi tidak berpengaruh pada jual beli
tersebut. Contohnya jika seorang pembeli memberi syarat kepada penjual sedang
ia ternyata rugi, maka ia akan mengembalikan barang tersebut kepadanya. Syarat yang semacam ini adalah syarat yang
dianggap rusak atau batil. Sebab, pada hakikatnya ia telah bertentangan dengan
inti dari akad jual beli. Rachmat Syafei, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[7] Rachmat Syafei, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[8] Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu
lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak. Lihat, Rachmat
Syafei, Fiqih Muamalah,
(Bandung:Pustaka Setia, 2001), hal 83.
[9] Aqid harus dewasa (baliqh dan berakal), kecuali pada jual beli
barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung
unsure kemaslahatan. Rachmat Syafei, Fiqih
Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 83-84.
[10] Masing-masing aqid harus saling meridhai, yaitu tidak ada unsure
paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk
memaksa, seperti hakim atau penguasa. Ulama hambali menghukumi makhruh bagi
orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang
mendesak dengan harga diluar harga lazim. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 84.
[11] Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut
pandangan syara’. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya
dibolehkan jika dalam keadaan terpaksa,
misalnya membeli khamar sebab tidak ada lagi air lainnya. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 84.
[12] Ma’qud ‘alaih harus jelas
dan diketahui kedua belah pihak yang melangsungkan akad.
0 komentar:
Posting Komentar