JUAL BELI

FITRI YAFRIANTI

  1. Pengertian jual beli
Menurut Etimologi, jual beli diartikan:



Artinya:                                                                                                                                  
“Pertukaran Sesuatu dengan Sesuatu (yang lain).”
Kata lain dari al-bai’ adalah asy-syira’, al-mubadah, dan at-tijarah.
Berkenaan dengan kata at-tijarah, dalam Al-Qur’an surat Fathir ayat 29 dinyatakan:

Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
Artinya:
“Mereka mengharapkan tijarah (perdagangan) yang tidak akan rugi.”
           
            Adapun jual beli menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
  1. Menurut ulama Hanafiyah:[1]


Artinya;
“Pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus ( yang dibolehkan).”
  1. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu’:


Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan.”


  1. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni:


Artinya:
“Pertukaran harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik.”




Artinya:
“Transaksi yang terjadi atas dasar suka sama suka dengan jalan tertentu.” [2]

  1. Dalil tentang Jual Beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan ijma’, yakni:
  1. Al-Qur’a, di antaranya:



Artinya:
“Padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”



Artinya:
“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.”



Artinya:
“Kecuali dengan  jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.”

b. As-sunnah, di antaranya:





Artinya:
“Nabi SAW. Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik. Beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.”
(HR.Bajjar, Hakim Menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’)

            Maksud mabrur dalam hadis diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain.




Artinya:
“Jual beli harus dipastikan harus saling meridhoi.”
(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah)

c. Ijma’
            Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.


  1. Rukun dan Pelaksanaan jual beli
Dalam menetapkan rukun jual-beli, di antara para ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli adalah ijab dan qabul yang menunjukkan pertukaran barang secara rida, baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Adapun rukun jual beli menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
  1. Bai’ (penjual)
  2. Mustari (pembeli)
  3. Shighat (ijab dan qabul)[3]
  4. Ma’qud ‘alaih (benda atau barang)
  1. Syarat jual beli
Syarat dalam jual beli sangatlah banyak. Terkadang dua orang yang melakukan jual beli atau salah satunya membutuhkan satu syarat atau lebih untuk melakukan transaksi jual beli.  Maka dari itu, di sini perlu dibahas dan diterangkan tentang syarat-syarat jual beli mengenai syarat apa yang harus, wajib, dan yang dianggap sah dalam  jual beli. Para ahli fiqih mendefinisikan bahwa yang disebut dengan syarat dalam jual beli adalah komitmen yang dijalin antara salah satu dari beberapa pihak yang mengadakan transaksi dengan lainnya untuk mengambil manfaat dari barang tersebut. Menurut mereka, sebuah syarat dalam jual beli tidak dianggap berlaku, kecuali jika tidak disebutkan dalam inti akadnya. Dengan demikian, tidak akan dianggap sah sebuah syarat yang dibuat sebelum akad atau setelah akad dibuat.[4]
E. Syarat dalam jual beli dibagi menjadi dua; syarat yang sah dan syarat yang tidak sah. Syarat yang sah adalah syarat yang tidak bertentangan dengan inti isi sebuah akad. Inti dari bentuk syarat ini wajib dilaksanakan sesuai dengan yang disepakati. Hal ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:


Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka.”  Bentuk

Selain itu juga, karena asal dari semua syarat adalah sah, kecuali syarat yang ditolak oleh Allah dan dilarang-Nya. Syarat sah ini ada dua bentuk.[5]
Syarat yang Tidak Sah; hal ini juga ada dua bentuk.
Syarat yang rusak yang membatalkan akad sejak awalnya. Seperti halnya jika ada dari salah satu pihak mengajukan syarat kepada pihak yang lain dalam sebuah akad. Seperti jika seseorang mengatakan, “Saya jual barang ini dengan syarat Anda menyewakan rumah Anda.” Syarat ini dianggap rusak dan tidak sah. Dilihat ari esensinya saja ia  akan menjadikan sebuah akad menjadi batal.[6]
 Inti dari jual beli adalah seseorang pembeli mempunyai hak guna secara mutlak terhadap barang yang ia beli. Hal ini sesuai dengan sabda sabda Rasulullah SAW,


“Barang siapa yang mensyaratkan sesuatu yang tidak ada dalam kitab Allah, maka syarat tersebut batal, meskipun ada seratus syarat yang ia buat.”
(Muttafaq Alaih)

Dalam jual beli terdapat empat macam syarat, yaitu syarat terjadinya akad (in’iqad), syarat sahnya akad, syarat terlaksananya akad (nafadz), dan syarat lujum. Secara umum tujuan adanya semua syarat tersebut antara lain untuk menghindari pertentangan di antara manusia, menjaga kemaslahatan orang yang sedang akad, menghindari jual-beli gharar (terdapat unsur penipuan), dan lain-lain. Jika jual-beli tidak memenuhi syarat terjadinya akad, akad tersebut batal. Jika tidak memenuhi syarat sah, menurut ulama Hanafiyah, akad tersebut fasid. Jika tidak memenuhi syarat nafadz, akad tersebut mauquf yang cenderung boleh, bahkan menurut ulama Malikiyah, cenderung kepada kebolehan. Jika tidak memenuhi syarat lujum, akad tersebut mukhayyir (pilih-pilih), baik khiyar untuk menetapkan maupun membatalkan.[7]  Di antara ulama fiqih berbeda pendapat dalam menetapkan persyaratan jual beli.
1. Menurut Ulama Hanafiah
Persyaratan yang ditetapkan oleh ulama Hanafiah berkaitan dengan syarat jual beli adalah:
  1. Syarat terjadinya Akad (In’iqad)
Adalah syarat-syarat yang telah ditetapkan syara’. Jika persyaratan ini tidak terpenuhi, jual beli batal. Tentang syarat ini, ulama Hanafiah menetapkan empat syarat, yaitu:  
  1. Syarat Aqid (orang yang akad)
Aqid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Berakal dan mumayyiz
    2.  Aqid harus berbilang, sehingga tidaklah sah akad dilakukan seorang diri. Minimal dilakukan dua orang, yaitu pihak yang menjual dan membeli.
  1. Syarat dalam Akad
Syarat ini hanya satu, yaitu harus sesuai antara ijab dan qabul. Namun demikian, dalam ijab qabul terdapat tiga syarat:
    1. Ahli akad
Menurut ulama Hanafiah, seorang anak yang berakal dan mumayyiz dapat menjadi ahli akad. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad anak mumayyiz bergantung pada izin walinya. Adapun menurut ulama Syafi’iyyah, anak mumayyiz yang belum baliqh tidak dibolehkan melakukan akad sebab ia belum dapat menjaga agama dan hartanya. Allah SWT, berfirman:
Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# ö/ä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ  
Artinya:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
(QS. An-Nisa’ :5)
    1. Qabul harus sesuai dengan ijab
    2. Ijab dan qabul harus bersatu
  1. Tempat akad
  2. Ma’qud ‘alaih (objek akad)
Ma’qum ‘alaih harus memenuhi empat syarat:
    1. Ma’qud ‘alaih harus ada, tidak boleh akad atas barang–barang yang tidak ada, seperti jual beli buah yang belum tampak. Secara umum dalil yang digunakan sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli buah yang belum tampak hasilnya.
    2. Harta harus kuat, tetap, dan bernilai, yakni benda yang mungkin dimanfaatkan dan disimpan.
    3. Benda tersebut milik sendiri
    4. Dapat diserahkan
  1. Syarat Pelaksanaan Akad  (Nafadz)
  1. Benda dimiliki aqid atau berkuasa untuk akad
  2. Pada benda tidak terdapat milik orang lain
Oleh karena itu, tidak boleh menjual barang sewaan atau barang gadai, sebab barang tersebut bukan miliknya sendiri, kecuali kalau diizinkan oleh pemilik sebenarnya, yakni jual beli yang ditangguhkan (mauquf).
      2. Madzhab Maliki
 Syarat-syarat yang dikemukakan oleh ulama Malikiyyah yang berkenaan dengan aqid (orang yang akad), shighat, dan ma’qud ‘alaih (barang) berjumlah 11 syarat.
  1. Syarat Aqid
Adalah penjual atau pembeli. Dalam hal ini terdapat tiga syarat, ditambah satu bagi penjual:
    1.  penjual dan pembeli harus mumayyiz
    2.  keduanya merupakan pemilik barang atau yang dijadikan wakil
    3   keduanya dalam keadaan sukarela.
    4.  penjual harus sadar dan dewasa
  1. Syarat dalam Shighat
 1.  tempat akad harus bersatu
       2. pengucapan ijab dan qabul tidak terpisah
  1. Syarat Harga dan yang diharamkan
    1. bukan barang yang dilarang syara’
    2. harus suci, maka tidak dibolehkan menjual khamar, dan lain-lain.
    3. bermanfaat menurut pandangan syara’
    4. dapat diketahui oleh kedua orang yang akad
    5. dapat diserahkan
3. Madzhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyah mensyaratkan 22 syarat, yang berkaitan dengan aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih. Persyaratan tersebut adalah:
a.       Syarat Aqid
1.      Dewasa atau sadar
Aqid harus baliq dan berakal, menyadari dan mampu memelihara agama dan hartanya.  Dengan demikian, akad anak mumayyiz dipandang belum sah.


2.      Tidak dipaksa atau tanpa hak
3.      Islam
4.      Pembeli bukan musuh
b.      Syarat Shighat
1.      Berhadap-hadapan
Pembeli atau penjual harus menunjukkan shighat akadnya kepada orang yang sedang bertransaksi dengannya, yakni harus sesuai dengan orang yang dituju. Dengan demikian, tidak sah berkata, “Saya menjual kepadamu!”
2.      Ditujukan pada seluruh badan yang akad
3.      Qabul diucapkan oleh orang yang dituju dalam ijab
4.      Harus menyebutkan barang atau harga
5.      Ketika mengucapkan shighat harus disertai niat (maksud)
6.      Pengucapan ijab dan qabul harus sempurna
7.      Ijab qabul tidak terpisah[8]
8.      Antara ijab dan qabul tidak terpisah dengan pernyataan lain
9.      Tidak berubah lafazh
10.  Bersesuaian antara ijab dan qabul secara sempurna
11.  Tidak dikaitkan dengan sesuatu
12.  Tidak dikaitkan dengan waktu
c.       Syarat Ma’qud ‘Alaih (barang)
1.      suci
2.      bermanfaat
3.      dapat diserahkan
4.      barang milik sendiri atau menjadi wakil orang lain
5.      jelas dan diketahui oleh kedua orang yang melakukan akad


4. Madzhab Hambali
Menurut ulama Hambali, persyaratan jual beli terdiri atas 11 syarat, baik dalam aqid, shighat, dan ma’qud ‘alaih.
    1. Syarat Aqid
1.      Dewasa[9]  
2.      Ada Keridhaan[10]
    1. Syarat Shighat
1.      Berada di tempat yang sama
2.      Tidak terpisah
3.      Tidak dikaitkan dengan sesuatu
    1. Syarat Ma’qud ‘alaih
1.      Harus berupa Harta[11]
2.      Milik penjual secara sempurna
3.      Barang dapat diserahkan ketika akad
4.      Barang diketahui oleh penjual dan pembeli[12]
5.      Harga diketahui oleh kedua pihak yang akad
6.      Terhindar dari unsure-unsur yang menjadikan akad tidak sah.




[1] Lihat, Rachmat Syafe’I, Fiqih Mu’amalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 73.
[2] Mahmud Yunus, Fiqih Wadih, (Jakarta: Sa’diyyah Putra, 1935), hal. 28.
[3] Akad (ijab Kabul) ialah ikatan kata antara penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan Kabul dilakukan, sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan). Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak mungkin, misalnya bisu atau yang lainny, boleh ijab kabul  dengan surat menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul. Lihat, Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 70.  
[4] Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehari-Hari, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 373.
[5]  Syarat yang ditujukan untuk kemaslahatan akad. Syarat tersebut akan berfungsi semakin memperkuat akad. Adanya kemaslahatan ini dilihat dari kemaslahatan barang yang diberi syarat. seperti persyaratan yang digunakan untuk kredit harga barang secara keseluruhan atau sebagainya dengan batas waktu tertentu. Hal ini akan menguntungkan pihak pembeli. Jika pihak pembeli dapat memenuhi syarat ini, maka ia wajib membeli barang tersebut. Begitu juga halnya  jika pembeli menentukan syarat tertentu pada barang yang akan dibeli, seperti kualitas barangnya harus bagus, atau produk barang tersebut berasal dari pabrik  tertentu. Sebab, keinginan seseorang itu berlainan sesuai dengan beragamnya barang. Maka, si pembeli mempunyai hak untuk membatalkan jual beli atau menunda pembeliannya jika ada suatu syarat yang tidak bisa dipenuhi. Sebab, suatu barang bisa diterima jika syarat yang diinginkan ada. Seorang pembeli berhak mencabut niatnya jika syarat itu tidak bisa dipenuhi oleh penjual. Dan jika ada permintaan untuk membayar selisih antara dua nilai barang, maka ia wajib membayarnya. Syarat sah dalam jual beli. Bentuknya  berupa syarat yang diajukan oleh salah satu dari dua pihak yang melakukan akad jual beli kepada pihak lainnya untuk mendapatkan suatu manfaat, pada hal-hal yang diperbolehkan dalam syara’. Seperti jika seorang pembeli mensyaratkan tempat hunian (rumah) yang akan dijual harus sampai jatuh tempo tertentu. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[6]  Karena nabi SAW tidak membolehkan terjadinya dua akad dalam sekali transaksi. Di antara syarat yang rusak yang membatalkan jual beli adalah syarat yang dengan sendirinya sudah menjadikan transaksi tersebut rusak, tapi tidak berpengaruh pada jual beli tersebut. Contohnya jika seorang pembeli memberi syarat kepada penjual sedang ia ternyata rugi, maka ia akan mengembalikan barang tersebut kepadanya.  Syarat yang semacam ini adalah syarat yang dianggap rusak atau batil. Sebab, pada hakikatnya ia telah bertentangan dengan inti dari akad jual beli. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[7] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 76.
[8] Antara ijab dan qabul tidak boleh diselingi oleh waktu yang terlalu lama, yang menggambarkan adanya penolakan dari salah satu pihak. Lihat, Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung:Pustaka Setia, 2001), hal 83.
[9] Aqid harus dewasa (baliqh dan berakal), kecuali pada jual beli barang-barang yang sepele atau telah mendapat izin dari walinya dan mengandung unsure kemaslahatan. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 83-84.
[10] Masing-masing aqid harus saling meridhai, yaitu tidak ada unsure paksaan, kecuali jika dikehendaki oleh mereka yang memiliki otoritas untuk memaksa, seperti hakim atau penguasa. Ulama hambali menghukumi makhruh bagi orang yang menjual barangnya karena terpaksa atau karena kebutuhan yang mendesak dengan harga diluar harga lazim. Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 84.
[11] Ma’qud ‘alaih adalah barang-barang yang bermanfaat menurut pandangan syara’. Adapun barang-barang yang tidak bermanfaat hanya dibolehkan  jika dalam keadaan terpaksa, misalnya membeli khamar sebab tidak ada lagi air lainnya.    Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hal. 84.
[12]  Ma’qud ‘alaih harus jelas dan diketahui kedua belah pihak yang melangsungkan akad.

0 komentar:

Posting Komentar