ILMU PENGETAHUAN BERDASARKAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN

FITRI YAFRIANTI


 ILMU PENGETAHUAN BERDASARKAN PERSPEKTIF AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN 

A. Pendahuluan

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Mujadalah, 58: 11)
 Ayat tersebut di atas sering digunakan para ahli untuk mendorong diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau mengadakan dan menghadiri majelis ilmu. Orang yang mendapatkan ilmu itu selanjutnya akan mencapai derajat[1] yang tinggi dari Allah.

 Masalah yang menarik untuk dikaji dalam kaitan dengan ayat ini adalah berkenaan dengan utu al-‘ilm (Yang diberikan ilmu). Siapakah orang-orang yang diberikan ilmu tersebut? Untuk menjawab masalah ini, kita perlu terlebih dahulu membahas tentang apa yang dimaksud dengan ilmu.  Kata ilmu berasal dari bahasa Arab ‘ilm yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang berarti ketidaktahuan atau kebodohan.[2]
Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilm adalah bentuk masdar dari alima, ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria, pengarang buku Mu’jam Maqayis al-Lughah bahwa kata ‘ilm mempunyai arti denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid al-jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui hakikat sesuatu (idrak al-sya’i bi haqq qatih).[3]
Kata ilmu biasa disepadankan dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqih (pemahaman), hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata yang paling sering digunakan. Ada dua jenis pengetahuan: pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah.  Pengetahuan biasa diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, seperti perasaan, pikiran, pengalaman, pancaindera, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya. Dalam bahasa Inggris, jenis pengetahuan ini disebut knowledge.
Pengetahuan ilmiah juga merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakan, dan kegunaan pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pengetahuan ilmiah memperhatikan obyek ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis dari pengetahuan itu sendiri. Jenis pengetahuan ini dalam bahasa inggris disebut science. Ilmu yang dimaksudkan di sini adalah pengetahuan jenis kedua. Orang yang akan diangkat derajatnya di sisi Allah sebagaimana disebutkan ayat di atas adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan atau science (sains).

Dengan mempelajari ilmu agama seseorang diharapkan lebih dekat kepada Allah dan dengan melalui ilmu pengetahuan yang lainnya seseorang akan mendapatkan kesejahteraan, kemajuan hidup duniawi yang menjadi bekal hidup akhiratnya. Ilmu-ilmu pengetahuan itu menurut pandangan Islam, tidak terlepas hubungannya dengan ilmu-ilmu Allah. Oleh karena itu, orang yang berilmu pengetahuan akan mampu mengenal Allah sesuai dengan prinsip-prinsip pendekatan disiplin keilmuaannya.masing-masing. Semuanya akan mengalir kearah Yang Maha sebagai sumber segalailmu. Orang yang beriman dan berilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak Allah itulah yang diangkat derajatnya lebih tinggi dari pada orang lain. Antara iman dan ilmu pengetahuan terjadi hubungan fungsional yang bersifat saling memperkokoh dan saling mempengaruhi. Sehingga orang yang makin bertambah ilmu pengetahuannya, semakin bertambah kuat imannya. Sebaliknya, semakin kuat imannya maka akan semakin mendorong untuk menambah ilmu pengetahuannya. Nabi Muhammad saw pernah member petunjuk sebagai berikut:

“Barangsiapa bertambah ilmu pengetahuannya, tapi tidak bertambah petunjuk (Tuhan) maka ia tidaklah kecuali makin jauh dari Tuhannya.”[4]  
 Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al-Qur’an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-‘ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT.[5] Dari keterangan ayat, dapat diperoleh informasi antara lain bahwa ajaran Islam dari sejak awal meletakkan semangat keilmuan pada posisi yang amat penting.
Di dalam surat al-Mujadalah ayat 11 terkandung motivasi yang amat kuat agar orang giat menuntut  ilmu pengetahuan, yaitu dengan memberikan kedudukan yang tinggi dalam pandangan Allah SWT. Orang yang berilmu akan mengerjakan segala sesuatu perbuatan dengan dasar pengertian dan keyakinan yang lebih kuat, sehingga ia tidak akan bertindak serampangan atau ngawur.
Ilmu juga merupakan alat penunjuk jalan yang seolah-olah merupakan obor atau pelita yang menerangi jalan (hidup) yang akan dan harus ditempuh oleh seseorang. Orang-orang arif-bijaksana mengatakan bahwa ilmu adalah bagaikan cahaya, dan kata Imam Syafi’i:[6]



“Ilmu itu adalah cahaya dan cahaya Allah tidak diberikan kepada orang-orang yang suka berbuat maksiat”.



“Muliakanlah para ulama ahli ilmu, sesungguhnya mereka itu ahli waris para nabi. Barangsiapa memuliakan ulama berarti telah memuliakan Allah  dan Rasulnya”.

Betapa amat tingginya kehormatan yang diberikan kepada para ulama, di mana kita disuruh memuliakan karena kealiman mereka. Ulama yang dimaksud di sini adalah ulama yang taat kepada Allah dan RasulNya dan konsekwen dengan ajaran-ajaran agama. Namun dalam perkembangannya motivasi tersebut mengalami pasang surut pelaksanaannya. Ada saat-saat ummat Islam giat mengembangkan ilmu pengetahuan [7], dan ada saat-saat ummat Islam mengalami kelesuan bahkan menjauhkan diri dari ilmu pengetahuan sebagaimana terlihat di abad pertengahan.[8]
            Sejalan dengan itu, ummat Islam mulai mengkaji secara seksama terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang ada hubungannya dengan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Berkaitan dengan ini, perselisihan pendapat para ulama sudah lama berlangsung. Dalam kitabnya jawahir al-Qur’an, imam al-Ghazali menerangkan pada bab khusus bahwa seluruh cabang ilmu-ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah diketahui maupun yang belum, semuanya bersumber dari al-Qur’an al-Karim. Al-Imam al-Syathibi (w. 1388 M)., tidak sependapat dengan al-Ghazali. Dalam kitabnya, al-Muwafaqat, ia antara lain berpendapat bahwa para sahabat tentu lebih mengetahui al-Qur’an dan apa-apa yang tercantum di dalamnya, tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang menyatakan bahwa al-Qur’an mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Berkenaan dengan pendapat para ulama tersebut, H.M. Quraish Shihab mengatakan: “menurut hemat kami, membahas hubungan al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul di dalamnya, dan bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah. Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri. Penggunaan al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh dilepaskan dari tujuan pokok al-Qur’an yang bukan diarahkan untuk menerangkan persoalan-persoalan ilmiah, tetapi  tujuannya  adalah memberikan petunjuk kepada manusia demi kebahagian hidupnya di dunia dan di akhirat kelak.


“Orang yang menginginkan (kebahagiaan) di dunia haruslah mencapainya dengan ilmu pengetahuan, dan orang yang mengiginkan (kesejahteraan)  di akhirat haruslah pula mencapainya dengan ilmu. Dan barang siapa menginginkan (kebahagiaan) di dunia dan di akhirat haruslah mencapainya dengan ilmu. [9]
Hadits nabi ini dengan sangat jelas menunjukkan amat pentingnya ilmu pengetahuan bagi siapa saja yang ingin hidup bahagia. Di dunia ia harus belajar ilmu pengetahuan umum, dan untuk akhiratnya ia harus mempelajari ilmu-ilmu agama. Kemudian ia harus bisa memanfaatkan dan mempergunakan kedua jenis ilmu pengetahuan itu untuk mencapai kebahagian hidup di dunia  dan akhirat yang sebenarnya saling kait mengait.
Al-Qur’an tidak meninggalkan sedikitpun dan tidak lengah  dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok al-Qur’an, yaitu masalah-masalah akidah, syari’ah dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan. Kandungan ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana dikemukakan di atas telah memberikan petunjuk, landasan dan motivasi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut.[10] Hubungan pengembangan ilmu pengetahuan dengan tujuan-tujuan pokok al-Qur’an tersebut dapat dilihat lebih lanjut dalam ayat sebagai berikut:
ô`¨Br& uqèd ìMÏZ»s% uä!$tR#uä È@ø©9$# #YÉ`$y $VJͬ!$s%ur âxøts notÅzFy$# (#qã_ötƒur spuH÷qu ¾ÏmÎn/u 3 ö@è% ö@yd ÈqtGó¡o tûïÏ%©!$# tbqçHs>ôètƒ tûïÏ%©!$#ur Ÿw tbqßJn=ôètƒ 3 $yJ¯RÎ) ㍩.xtGtƒ (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÒÈ    
“(apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”(Q.S. al-Zumar, 39: 9).



Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui (berilmu=ulama) dengan melakukan ibadah di waktu malam,  takut terhadap siksaan Allah di akhirat serta mengharapkan rahmat dari Allah; dan juga menerangkan bahwa sikap yang demikian itu merupakan salah satu cirri dari ulu al-bab, yaitu orang yang menggunakan pikiran, akal dan nalar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan ilmu pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan ketinggian akhlak yang mulia.
Sehubungan dengan ayat                                                                    (adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?),  al-Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai Rasul kepada kaummu, adakah sama orang-orang yang mengetahui bahwa ia akan mendapatkan pahala karena ketaatan kepada Tuhannya dan akan mendapatkan siksa yang disebabkan karena kedurhakaannya, dengan orang-orang yang tidak mengetahui hal yang demikian itu? Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukkan bahwa yang pertama (orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan yang kedua (orang-orang yang tidak mengetahui) akan mendapat kehinaan dan keburukan. Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa catatan sebagai berikut:
Pertama,  al-Qur’an sangat mendorong dikembangkannya ilmu pengetahuan. Hal ini terlihat dari banyaknya ayat al-Qur’an yang menyuruh manusia agar menggunakan akal pikiran dan segenap potensi yang dimilikinya untuk memperhatikan segala ciptaan Allah SWT.
Kedua, dorongan al-Qur’an terhadap pengembangan ilmu pengetahuan tersebut terlihat pula dari banyaknya ayat al-Qur’an (lebih dari 700 ayat) yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan; pujian dan kedudukan yang tinggi bagi orang-orang yang berilmu serta pahala bagi yang menuntut ilmu.[11]
Ketiga, sungguhpun banyak temuan di bidang ilmu pengetahuan yang sejalan dengan kebenaran ayat-ayat al-Qur’an, namun al-Qur’an bukanlah buku tentang ilmu pengetahuan. Al-Qur’an tidak mencakup seluruh cabang ilmu pengetahuan.
Keempat, bahwa temuan manusia dalam bidang ilmu pengetahuan patut dihargai. Namun tidak sepatutnya membawa dirinya menjadi sombong dibandingkan dengan kebenaran al-Qur’an.[12]Temuan manusia tersebut bersifat terbatas, terkadang keliru, dan suatu saat mungkin dianggap salah dan harus ditinggalkan. Sedangkan al-Qur’an bersifat mutlak, pasti benar, berlaku sepanjang zaman. 
Kelima, al-Qur’an adalah kitab yang berisi petunjuk (hudan) termasuk petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu agar ilmu pengetahuan dikembangkan untuk tujuan peningkatan ibadah, akidah dan akhlak yang mulia.
Kenam, kemajuan yang dicapai oleh manusia dalam bidang ilmu pengetahuan harus ditujukan untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan di akhirat. Hal ini akan terjadi manakalah tujuan dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak dilepaskan dari dasar peningkatan ibadah, akidah dan akhlak tersebut.
Ketujuh, sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an tidak hanya mendorong manusia agar mengembangkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memberikan dasar bidang dan ruang lingkup ilmu pengetahuan, cara menemukan dan mengembangkannya, tujuan penggunaannya, serta sifat dari ilmu pengetahuan itu sendiri.    
Kedelapan, al-Qur’an tidak hanya menjelaskan tentang sumber ilmu (ontologi), melainkan juga tentang cara mengembangkan ilmu (epistemologi) dan pemanfaatan ilmu (aksiologi). Sumber ilmu itu pada garis besarnya ada dua, yaitu ilmu yang bersumber pada wahyu (al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli; dan yang bersumber pada alam melalui penalaran yang menghasilkan ilmu naqli. Ilmu yang bersumber pada naqli ini adalah ilmu-ilmu agama (Tafsir, Hadits, Fikih, Tauhid, Tasawuf, Sejarah dan sebagainya).
Ilmu-ilmu naqli dihasilkan dengan cara memikirkan secara mendalam (berijtihad) dengan metode tertentu dan persyaratan tertentu; sedangkan ilmu-ilmu aqli dihasilkan melalui penelitian kuantitatif (di laboratorium dengan menggunakan alat ukur, timbangan dan sebagainya) dan penelitian kualitatif (terjun langsung mengamati, mewawancarai dan berdialog serta bergaul dengan masyarakat). Ilmu-ilmu tersebut harus diabadikan untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya.   

B. Implikasi Kependidikan
Pemahaman terhadap ayat-ayat al-Qur’an dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Keterkaitan ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
Pertama, sungguhpun tujuan akhir dari pendidikan adalah mengubah sikap mental dan prilaku tertentu yang dalam konteks Islam adalah agar menjadi seorang muslim yang terbina seluruh potensi dirinya sehingga dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah dalam rangka beribadah kepada Allah, namun dalam proses menuju kearah tersebut diperlukan adanya upaya pengajaran. Dengan kata lain pengajaran adalah salah satu sarana untuk mencapai tujuan pendidikan.
  Kedua, bahwa dalam kegiatan pengajaran tersebut, seorang guru mau tidak mau harus mengajarkan ilmu pengetahuan, karena dalam ilmu pengetahuan itulah akan dijumpai berbagai informasi, teori, rumus, konsep-konsep dan sebagainya yang diperlukan untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Dari proses pengajaran yang demikian itu akan terciptalah pemahaman, penghayatan dan pengalaman.
Ketiga, bahwa melalui pendidikan diharapkan pula lahir manusia yang kreatif, sanggup berfikir sendiri, walaupun kesimpulannya lain dari yang lain, sanggup mengadakan penelitian, penemuan dan seterusnya. Sikap yang demikian itu amat dianjurkan dalam al-Qur’an.

Keempat, bahwa pelaksanaan pendidikan harus mempertimbangkan prinsip pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan petunjuk al-Qur’an. Yaitu pengembangan ilmu pengetahuan yang ditujukan bukan semata-mata untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, melainkan untuk membawa manusia semakin mampu menangkap hikmah di balik ilmu pengetahuan, yaitu rahasia keagungan Allah SWT. Dari keadaan yang demikian itu, maka ilmu pengetahuan tersebut akan memperkokoh akidah, meningkatkan ibadah dan akhlak yang mulia.
  Kelima, pengajaran berbagai ilmu pengetahuan dalam proses pendidikan yang sesuai dengan ajaran al-Qur’an, akan menjauhkan manusia dari sikap takabur, sekuler, dan ateistik, sebagaimana yang pada umumnya dijumpai pada pengembangan ilmu pengetahuan di mayarakat Barat dan Eropa.
Keenam, pendidikan harus mampu mendorong anak didik agar mencintai ilmu pengetahuan, yang terlihat dari terciptanya semangat dan etos keilmuan yang tinggi; memelihara, menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang  dimilikinya, bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya itu untuk kepentingan dirinya, agama, bangsa dan Negara. [13]














Daftar Pustaka
Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, Jakarta: Azyumardi Azra, 2002
M. Ichsan Hadisaputra, Anjuran Al-Qur’an dan Hadits, Surabaya: Al-Ikhlas  
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2006



[1] Kata derajat di akhir ayat ini berbentuk jama’ atau plural yang menunjukkan bahwa kemuliaan yang diberikan oleh Allah itu sangat tinggi tingkatannya. Ibn Abbas r.a., salah seorang sahabat yang banyak menyertai Nabi dalam banyak kesempatan mengemukakan bahwa orang yang beriman dan berilmu atau mukmin-mukmin-alim itu lebih tinggi derajatnya Sembilan ratus tingkat dibandingkan dengan seorang mukmin awam yang tidak berilmu, derajat yang dimaksudkan di sini adalah terutama derajat hidup di akhirat, namun di dalam kehidupan masyarakat pun pada umumnya orang pandai itu mendapat tempat yang terhormat di hati mereka. M. Ichsan Hadisaputra, Anjuran Al-Qur’an dan Hadits, (Surabaya: Al-Ikhlas), hal. 2.   
[2] Lihat, Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: Azyumardi Azra, 2002), hal. 154-155.
[3]  Lihat, Abuddin Nata, hal. 155.
[4] H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hal. 140-141.
[5] Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-‘Alim dan ‘Alim, yang artinya “Yang Maha Mengetahui, atau Yang Maha Tahu”. Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bias digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 157.
[6] M. Ichsan Hadisaputra, Anjuran Al-Qur’an dan Hadits, hal. 3.  

[7] Pengembangan ilmu pengetahuan mengalami kemajuan di zaman klasik, sekitar tahun 670 sampai dengan tahun 1300 M., yaitu sejak zaman Rasulullah, Khulafa’al-Rasyiddin, Bani Umayyah dan Bani Abbas. Pada masa Rasulullah SAW pengembangan ilmu lebih terlihat pada praktek ilmu, bukan teori ilmu, dan terbatas pada ilmu agama Islam. Hal yang demikian, mengingat pada zaman Rasulullah SAW adalah zaman di mana ajaran Islam baru mengalami proses pembentukan. Demikian pula di zaman Kulafa al-Rasyiddin tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di zaman Rasulullah, dengan sedikit penambahan, yaitu munculnya para sahabat yang giat melakukan penelitian  terhadap ayat-ayat al-Qur’an untuk dikumpulkan menjadi mushaf, dan mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah untuk dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat. Selanjutnya di zaman Bani Umayyah terakhir perhatian terhadap ilmu agama mulai meningkat, dan sedikit perhatian terhadap ilmu pengetahuan umum. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan mengalami kemajuan di zaman Bani  Abbas yang selanjutnya disebut zaman keemasan Islam. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 158-158.
[8] Pada abad pertengahan (abad ke-13-18 M). perkembangan ilmu pengetahuan umum mengalami penurunan amat drastis. Paa masa ini perhatian ummat Islam lebih banyak difokuskan pada pengembangan ilmu-ilmu agama Islam. Itupun terbatas hanya pada pemberian syarah, komentar dan keterangan terhadap karya para ulama di abad klasik. Karya-karya orisinal baik dalam bidang ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum nyaris tidak dijumpai. Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 161-162.

[9]  M. Ichsan Hadisaputra, Anjuran Al-Qur’an dan Hadits, hal. 5.
[10] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 164-165.
[11]  Di Hari Kiamat nanti tinta seorang ulama dan darah seorang syuhada akan ditimbang; Orang yang menyintai ilmu dan ulama tidak akan dihitung ksalahannya sepanjang hayat (dinukil oleh al-Qadli Husain bin Muhammad); Orang yang memuliakan seseorang yang berilmu sama nilainya dengan memuliakan tujuh puluh nabi; dan orang yang memuliakan orang yang menuntut ilmu sama nilainya dengan memuliakan tujuh puluh syuhada (hadits ini terdapat dalam Kitab Kanzul Amal juz V); Orang yang mengagungkan seorang ulama seolah-olah mengagungkan Allah; dan orang yang meremehkan seorang ulama seolah-olah meremehkan Allah dan Rasul-Nya (Hadits ini dinukil oleh al-Syarmasahiy); Lihat,   Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 167.    
[12] Dalam pandangan Islam, seorang yang alim (berilmu)harus senantiasa memelihara ilmunya sebagaimana yang dilakukan para ulama terdahulu; bersifat zuhud yaitu tidak mencintai harta, melainkan sekedar untuk mencukupi dirinya dan tidak memperbudaknya; menjauhi tempat-tempat yang dapat megurangi muru’ah (kewibawaannya); memelihara syi’ar Islam; memikirkan makna dan hikmah yang terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an dan menjauhkan diri dari akhlak tercela lainnya. Lihat,    Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 168.
[13]  Abuddin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, hal. 164-165.

0 komentar:

Posting Komentar