Pola Fikir Imam Hanafi

FITRI YAFRIANTI


Pola Fikir Imam Hanafi

A.    Pembahasan
Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit terlahir (di Ambar, Kota Kufah) tahun 80 H di Zaman Dinasti Umayyah, ketika raja Abdul Malik bin Marwan memerintah.[1] Imam Hanifah  diberi gelar an-Nu’man (yang berarti darah atau roh), agar menjadi generasi penerus kebaikan. Karena ayah beliau terkenal sebagai tulang punggung fiqih dan masyarakat. Dari tangan beliau (ayah Abu Hanifah) fiqih dan sistematikanya muncul.
Sedangkan gelar Hanifah (mu’annats dari kata hanif) yang berarti ahli ibadah, diperoleh karena beliau senang atau condong terhadap agama kebenaran. Dikatakan pula bahwa latar belakang Imam Abu Hanifah mendapat gelar tersebut (hanifah) karena beliau terus-menerus membawa tinta (tinta dalam bahasa Iraq adalah hanifah).[2] Imam Abu Hanifah termasuk di antara orang-orang yang paling tampan, fasih dalam berbicara, sempurna  dalam menyampaikan ide, merdu suaranya, serta jelas dalam menyampaikan aspirasinya.
Pada umur 22 tahun, Abu Hanifah belajar kepada Hammad bin Abi Sulaiman, yaitu selama 18 tahun hingga gurunya wafat. Beliau mempelajari fiqih Iraqi, yang merupakan saripati fiqih Ali, Ibnu Mas’ud, dan fatwa An-Nakha’iy. Dari Atha, beliau menerima ilmunya Ibnu Abbas dan Ibnu Umar kemudian Imam Abu Hanifah belajar pada ulama-ulama lain yang ada di Mekah dan Madinah. Abu Hanifah berkata, “Aku berada di dalam tambang ilmu dan fiqih, aku menghadiri majelis ulama dan aku taat serta tekun kepada mereka.” Hal tersebut menunjukkan bahwa Abu Hanifah hidup dalam zaman keemasan ilmu pengetahuan.
Guru-gurunya juga terdiri atas berbagai golongan, seperti golongan jama’ah, dan yang lain-lain. Oleh karena itu, Abu Hanifah boleh dikatakan belajar dari murid-murid Umar, Ali, dan Ibnu Mas’ud ra. Mereka adalah sahabat-sahabat Rasulullah SAW yang mempergunakan daya akalnya untuk ijtihad.
Abu Hanifah bertemu dengan beberapa sahabat Rasul, seperti Anas bin Malik (tahun 93 H), Abdullah bin Abi Aufa’ (tahun 87 H), Watsilah bin Asqa’ (tahun 85 H), Abu Thufail Amir (tahun 102 H), dan Sahal bin Sa’ad (tahun 88 H), namun Abu Hanifah tidak menerima hadits dan meriwayatkan hadits dari mereka. Dengan demikian, Imam Abu Hanifah dapat dimasukkan dalam golongan tabi’in. Selain itu, Imam Abu Hanifah adalah seorang Mujtahid yang ahli ibadah,sebagaimana disebutkan dalam Kitab I’anatut Thalibin bahwasanya Imam Abu Hanifah adalah seorang ahli ibadah, ahli zuhud,dan seorang yang sudah mencapai tingkat ma’rifat kepada Allah SWT.    
Abu Hanifah juga mendalami ilmu tafsir, hadits, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqih, dan keahliannya itu diakui oleh ulama-ulama di zamannya, seperti Imam Hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakannya untuk member fatwa dan pelajaran fiqih kepada murid-muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i: “Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqih”. Karena kepeduliannya yang sangat besar terhadap hukum Islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqih untuk bermusyawarah tentang hukum-hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan beliau sendiri yang mengetuai lembaga tersebut.
Imam Abu Hanifah benar-benar menggali ilmu sebanyak-banyaknya, sampai batasnya. Beliau memiliki kelebihan di bidang teori, analogi, dan logika sehingga beliau dikatakan sebagai tokoh rasionalis.[3] Dalam disiplin ilmu syari’at, bahasa, sastra serta filsafat, beliau bagaikan lautan yang tak terbendung dan tidak ada yang mengungguli.
Dalam disiplin ilmu fiqih beliau sangatlah diakui. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Imam Syafi’i bahwa manusia berhutang budi pada Abu Hanifah dalam ilmu fiqih. Kemampuannya dalam ilmu Fiqih dapatlah diketahui dari penuturan Abu Yusuf yang mengatakan bahwa dia (Abu Yusuf) tidak pernah mengetahui seorang pun yang melebihi kemampuan Abu Hanifah. Hal ini dapat kita lihat dari nasyid Abu Mu’ayyad sebagai berikut:
“Abu Hanifah telah menyelami ilmu sehingga mengungguli puncak gunung. Dari sana beliau sampai pada ilmu fiqih sehingga sampai pada dasarnya. Petunjuk beliau berguna untuk setiap orang yang membutuhkan. Kecerdasannya sangat tinggi. Tapi beliau tidak suka meremehkan orang. Setelah itu beliau mengangkat dirinya sebagai mufti bagi manusia, meskipun banyak orang yang dengki kepadanya. Fiqih beliau benar-benar tinggi di masa krisis fiqih, yaitu ketika lembaga fiqih telah dihancurkan oleh orang-orang yang menentangnya. Golongan sesat mengarahkan kendaraan pada beliau, tapi akhirnya beliau juga memberikan petunjuk pada mereka.[4]
Karya-karyanya dari ilmu fiqih adalah Al-Musnad, Al-Kharaj dan dinisbatkan kepadanya kitab Al-Fiqhu al-Akbar.[5]
B.     Metode yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbat)
Metode yang digunakan oleh Abu Hanifah dalam menetapkan hukum (istinbat) berdasarkan pada tujuh hal pokok:
1.      Al-Qur’an sebagai sumber dari  segala sumber hukum.
2.      Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal-hal yang global yang ada dalam Al-Qur’an.
3.      Fatwa sahabat (Aqwal Assahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbab nuzulnya serta asbabul khurujnya hadits dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabi’in tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat.
4.      Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al-Qur’an, hadits maupun Aqwal Asshabah.
5.      Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya dikarenakan tidak tepatnya Qiyas atau Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash.
6.      Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.
7.      ‘Urf  yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an,  Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar  besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqih Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqih Akhbar.  Imam hanafi dalam memberikan pengajaran kepada murid-muridnya yang telah dewasa ialah dengan menekankan agar murid-muridnya dapat lebih kritis dan dewasadalam berfikir, tidak hanya menitik beratkan kepada apa yang telah beliau jelaskan saja, dengan maksud agar para murid-muridnya dapat mencari dan menyelidiki dari mana asal dan sumber pengetahuan yang beliau sampaikan serta membahas hukum-hukum agama dengan sebaik-baiknya, seluas-luasnya dan dengan arti kata yang sebenarnya mengikuti ajaran Allah dan sunah-sunah rasulnya.
Lebih jelasnya bahwa imam hanafi terhadap para muridnya hanya selaku pengajar (guru) saja dan tidak terikat pribadi beliau. Mereka diberi kemerdekaan untuk berfikir, dibebaskan untuk memecahkan masalah-masalah yang perlu dipecahkan, bahkan sewaktu-waktu diperkenankan untuk membantah terhadap pengajaran-pengajaran atau pendapat-pendapat beliau tentang segala masalah yang kiranya terasa olehnya menyalahi wahyu ilahi atau berlawanan dengan hadits nabi, yang disertai dengan penyelidikan akal yang bersih, murni dari segala macam pengaruh.
Abu Hanifah di dalam mengeluarkan hukum-hukum fiqih seperti apa yang dikatakannya: “Sesungguhnya saya berpegang teguh dengan kitab Allah jika saya menemui ketentuan hukumnya. Jika saya tidak menemui ketentuan di dalamnya, maka saya berpedoman dengan Sunnah Rasulullah. Jika tidak saya temui dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, maka saya akan berpedoman pada pendapat-pendapat para sahabat beliau, dan jika saya tidak menemukan ketentuan hukum tersebut maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.[6]
Sedangkan wafatnya imam hanafi didalam satu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari Abu Jafar Al-mansur memanggil Imam Abu Hanifah, Imam Sufyan Ats Sauri, dan Imam Syarik An Naha’y untuk datang dan menghadap kepadanya.
Setelah mereka bertiga menghadap baginda raja, kemudian mereka satu persatu diberikan jabatan sebagai qadhi. Imam Abu Sufyan dipercaya untuk menjadi wadhi di kota Bashrah, Imam Syarik diberikan kepercayaan untuk menjadi qadhi di ibu kota, dan Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut, selanjutnya baginda raja memerintahkan mereka untuk berangkat ke kota tempat mereka harus bertugas dan memberikan ancaman bahwa “barang siapa menolak jabatan yang diberikan oleh baginda raja akan menerima hukuman berupa cambukan seratus kali pukulan”.
Imam Syarik menerima jabatan itu dan segera menempati kota tempat ia harus melaksanakan tugas sebagai qadhi, Imam Abu Sufyan menolak jabatan tersebut dan melarikan diri ke Yaman, sementara Imam Abu Hanifah menolak jabatan tersebut dan tidak pula melarikan diri kemanapun. Oleh sebab itu lalu Imam Abu Hanifah dipenjarakan dan diberi hukuman seratus kali cambukan serta dikalungkan di lehernya besi yang sangat berat.
Selama menjalani hukuman penjara dan hukuman cambuk tersebut, tidak henti-hentinya Al-Mansur  memerintahkan kepada ibu Imam Hanafi untuk merayu putranya agar mau menerima jabatan sebagai qadhi, namun dengan jawaban yang tegas beliau tetap menolak jabatan tersebut hingga pada suatu hari Al-Manshur memanggil beliau dan memberikan satu gelas air yang telah dicampur dengan racun serta memaksa Imam Abu Hanifah untuk meminumnya, setelah meminum air yang diberikan oleh Al-Manshur tersebut, Imam Abu Hanifah dimasukan kembali kedalam penjara, dan pada saat itu pula dalam keadaan bersujud Imam Abu Hanifah wafat. Abu Hanifah wafat pada tahun 150 H (767 M) pada usia 70 tahun, jenazahnya di makamkan di Al-Khaizaran, sebuah tempat perkuburan yang terletak di kota Baghdad.                            

           


C.    Penutup
Almarhum Ahmad Basya Timur dalam risalahnya bercerita tentang mazhab Imam Hanafi. Sebagaimana  ringkasan berikut: mazhab Imam Hanafi merupakan paling awalnya mazhab yang empat. Pendirinya adalah Imam Agung Abu Hanifah an-Nu’man al-Kufi yang dilahirkan pada tahun 70, meninggal di Baghdad pada tahun 150 H.
Seluruh penduduk Mesir tidak ada yang mengetahui mazhab ini, sampai Ismail bin Yasa’ al-Kufi menjadi hakim sekitar tahun 164 H. Beliau adalah hakim pertama kali di Mesir yang bermazhab Hanafi. Beliau orang pertama kali yang mengikuti  mazhab hanafi. Beliau adalah hakim yang baik, namun suatu waktu beliau menghilangkan waqaf dan dalam masalah ini sangat memberatkan penduduk Mesir. Lalu mereka berkata: “Kamu telah memutuskan suatu hukum yang belum pernah kami ketahui di negeri kami”. Mahdi lalu memecat Ismail bin Yasa’ dari jabatannya sebagai hakim. Setelah itu mazhab Abu Hanifah tersebar di Mesir selama dua periode dinasti Abbasiyah.[7]











Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam, Jakarta: Depag, 1986
Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
Syaikh Muhammad  Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005
AB Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, Solo: Ramadhani, 1993



[1] Abu Hanifah An-Nu’man Ibn Tsabit, lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat tahun 150 H/676 M. Departemen Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam, (Jakarta: Depag, 1986), hal. 15.  
[2] Beliau lahir dan dibesarkan di Arab, sedangkan nenek moyang beliau berasal dari Faris. Hal itu tidak masalah bagi Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membeda-bedakan antara imam Faris dan Arab. Karena takwa adalah paling tingginya nasab dan kuatnya hitungan. Sikap tersebut didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya paling mulia kamu di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa kepadaNya.” Dan Nabi pernah bersabda di saat haji wada’: “Wahai manusia, Tuhanmu satu. Tidak ada prioritas bagi Arab atas luar Arab(ajami), atau luar Arab atas Arab. Tidak ada prioritas bagi hitam atas merah, atau merah atas hitam, kecuali takwa.” Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 4.
[3] Imam Suyuti pernah bercerita: Ada ulama yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memberikan kabar gembira pada Imam Abu Hanifah melalui hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Beliau bersabda: “Seandainya ilmu digantung pada bintang tsuraiya, niscaya salah satu pemuda dari Bani Faris akan mendapatkan ilmu tersebut.” Hadits mulia ini menjadi pegangan yang benar tentang berita gembira dan keutamaan Abu Hanifah. Hal ini juga diperkuat dengan tidak adanya orang maupun sahabat beliau yang melebihi kepandaian Abu Hanifah pada waktu itu. Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, hal. 5.
[4] Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, hal. 6.
[5] Syaikh Muhammad  Sa’id, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal. 338.
[6] AB Wahhab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, (Solo: Ramadhani, 1993), hal. 84.
[7]  Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, hal. 45. 

0 komentar:

Posting Komentar