KONTRIBUSI EKONOM MUSLIM KLASIK
Oleh: Fitri Yafrianti*
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”
[Ungkapan]
A.
Pendahuluan
Sehumpeter (1954) menulis sebuah buku yang berjudul
History of Economic Analysis seperti yang dikutip oleh Muhammad
Imaduddin. Buku tersebut memuat fondasi dan pemikiran dasar ilmu ekonomi dan
perkembangannya. Dalam bukunya tersebut, ia menjelaskan sejarah perkembangan
ekonomi yang terjadi di dunia. Hal yang menarik adalah setelah akhir masa
keemasan Gracco Roma di abad ke-8 Masehi, sangat sedikit ditemukan pemikiran
dan teori ekonomi yang signifikan dihasilkan oleh ilmuan, bahkan masa ini
berjalan hingga abad ke 13 yang ditandai dengan masa St. Aquinas (1225-1274 M).
Selama kurang lebih lima abad tersebut,
tidak begitu banyak teori dan karya ekonomi yang dihasilkan oleh para pemikir
di dunia barat. Schumpeter bahkan menyebutnya sebagai Great Gap, atau terjadi jurang atau jarak yang besar di antara dunia
Barat dengan dunia Timur.[1]
Apabila diteliti lebih dalam mengenai hal dimaksud,
maka ditemukan bahwa pada masa kegelapan dunia barat (dark age) terhadap dunia keilmuan dan sains maka pada saat itu
pengaruh gereja (Church Father)
sangat kental terasa, yaitu mereka membatasi para ahli dan ilmuan untuk
menghasilkan karya ilmiah, termasuk karya di bidang ekonomi. Bahkan seseorang
dapat dianggap membelok dari ajaran Tuhan bila mempunyai pemikiran yang
bertentangan dengan ajaran gereja, dan hukuman mati akan diberikan kepadanya. Pada
abad kegelapan tersebut dunia Barat mengalami kemunduran di bidang keilmuan. Di
sisi lain, ditemukan bahwa abad kegelapan yang dialami oleh dunia Barat justru
berbanding terbalik dengan perkembangan keilmuan pada dunia Timur (Islam). Pada
masa tersebut adalah masa keemasan umat Islam, yaitu banyak para ilmuan muslim
berhasil memberikan karya-karya ilmiah yang signifikan, salah satunya dalam
perkembangan dunia ilmu ekonomi. Banyak ilmuan muslim yang menulis, meneliti,
dan menghasilkan teori-teori ekonomi yang hasilnya hingga sekarang masih
relevan untuk dipelajari. Beberapa ilmuan muslim yang berhasil menghasilkan
karya fenomenal pada teori ekonomi di antaranya:
Salah satu karya Abu Yusuf yang
sangat monumental adalah Kitab al-Kharaj
(Buku tentang Perpajakan). Penulisan Kitab al-Kharaj
versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan Khalifah Harun
ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, Kitab al-Kharaj ini mempunyai orientasi
birokratik karena ditulis untuk merespon permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid
yang ingin menjadikannya sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka
mengelola lembaga Baitul Mal dengan baik dan benar, sehingga negara dapat hidup
makmur dan rakyat tidak terzalimi.
Secara umum, Kitab al-Kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang
membahas persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan publik.
Dengan menggunakan pendekatan pragmatis dan bercorak fiqih, buku ini bukan
sekedar penjelasan tentang system keuangan Islam. Lebih daripada itu, ia
merupakan sebuah upaya untuk membangun system keuangan yang mudah dilaksanakan
sesuai dengan hukum Islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan
persyaratan ekonomi.
Ø Pemikiran
Ekonomi Abu Yusuf
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-ra’yu, Abu Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemikiran
ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap
al-Qur’an, hadis Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang saleh. Landasan
pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf
adalah dalam masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya
yang tinggi, Abu Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa
kebijakan yang harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan
rakyat. Suatu studi komparatif tentang
pemikiran Abu Yusuf dalam kitab ini menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum
adanya kajian yang sistematis mengenai Keuangan Publik di Barat, Abu Yusuf
telah berbicara tentang kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam
pemungutan pajak. Ia menolak tegas pajak pertanian dan menekankan pentingnya
pengawasan yang ketat terhadap para pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan
tindak penindasan.
Abu Yusuf menganggap penghapusan
penindasan dan jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia
juga menekankan pentingnya pengembangan infrastruktur dan menyarankan berbagai
proyek kesejahteraan. Selain di bidang keuangan publik, Abu Yusuf juga
memberikan pandangannya seputar mekanisme
pasar dan harga, seperti bagaimana harga itu ditentukan dan apa dampak
dari adanya berbagai jenis pajak.
Ø Negara
dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama
penguasa adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu
menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai
proyek yang berorientasi kepada kesejahteraan umum.[3] Menarik untuk dicatat bahwa persepsi Abu Yusuf
tentang pengadaan barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang
keuangan publik.
Ø Teori
Perpajakan
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip
yang jelas berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan
membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi
pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang
ditekankannya. Dalam hal penetapan pajak ini, Abu Yusuf cenderung menyetujui
Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada
menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya,
cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih
besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan
bahwa jumlah pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami
maupun tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Argumen kedua dan
yang paling utama dalam menentang sistem misahah
adalah tidak ada adanya ketentuan
apakah pajak dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Ia menyatakan:
“Jika harga-harga gandum turun,
pembebanan pajak dalam bentuk sejumlah uang tertentu (sebagai pengganti dari
sejumlah gandum tertentu) akan melampaui kemampuan para petani. Di sisi lain,
pajak dalam bentuk sejumlah barang tertentu akan membuat pemerintah mengalami
defisit karena menerima pendapatan yang rendah dan, sebagai konsekuensinya,
biaya-biaya pemerintah akan terpengaruh”.[4]
Ø Mekanisme
Harga
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal
yang mulai menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan peningkatan
dan penurunan produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena yang
terjadi pada masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga
cenderung akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga
cenderung untuk turun atau blebih rendah. Ia menentang penguasa yang menetapkan
harga. Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
“Pada masa
Rasulullah Saw, harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada
Rasulullah dan memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah Saw
bersabda, tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah,
kita tidak bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”.
Kecenderungan yang ada dalam
pemikiran ekonomi Islam adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli,
dan praktik korup lainnya dan kemudian
membiarkan penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.
2. Pemikiran
Ekonomi Al-Syaibani[5]
(132-189 H/750-804 M)
Dalam mengungkapkan pemikiran
ekonomi Al-Syaibani, para ekonom Muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, sebuah kitab yang lahir sebagai
respons penulis terhadap sikap zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua
Hijriyah. Secara keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian mikroekonomi yang
berkisar pada teori kasb (pendapatan)
dan sumber-sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi.
Ø Al-Kasb
(Kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-kasb
(kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam
ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Devinisi
ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi
Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam
ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut
sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat
dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan
kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat
disebut sebagai aktivitas produksi.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti
dinyatakan dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai
utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai
nilai-guna jika mengandung kemaslahatan. Dengan demikian, seorang Muslim
termotivasi untuk memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah
tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif
terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid) syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat.
3.
Pandangan Ekonomi Abu Ubaid[6]
(150-224 H)
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama
menjabat qadi di Tarsus, ia sering
menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Berdasarkan hal tersebut,
Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada awal
abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi
sistem perekonomian berdasarkan al-Qur’an dan Hadis melalui reformasi
dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya.
Bila dilihat dari sisi masa hidupnya
yang relatif dekat dengan masa hidup Rasulullah, wawasan pengetahuannya serta
isi, format dan metodologi Kitab al-Amwal,
Abu Ubaid pantas disebut sebagai
pemimpin dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” di antara para penulis
tentang keuangan public (public finance).
Dalam hal ini, Yahya ibn Adam ibn Sulayman dan Abu Al-Faraj Zayn Al-Din Abdul
Al-Rahman ibn Ahmad ibn Rajab Al-Sulami al-Hanbali (wafat 795 H/1393 M)
merupakan para pemikir Muslim yang cenderung mengikuti langkah dan pemikiran
Abu Ubaid.
Seperti tergambarkan dalam karya
monumentalnya, Kitab al-Amwal[7],
Abu Ubaid tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan ajaran Islam dalam
aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari. Inti dari doktrinnya adalah
pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan fiscal dengan sebaik dan sesempurna
mungkin. Menurut Abu Ubaid, pemberian hibah dalam berbagai bentuknya yang
dilakukan Negara atau penguasa terhadap seseorang atau sekelompok orang harus
berdasarkan pada besarnya pengabdian yang diberikan kepada masyarakat. Dengan
kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya
menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya
harus dihindari Negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta
kekayaan Negara agar selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi
hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga mengganggu atau
mengurangi manfaat bagi masyarakat.
Semasa hidupnya, di samping aktif
mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai
40 juz. Di antara berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al-Mustakhrijah
fi al-Fiqh al-Maliki dan kitab Ahkam
al-Suq. Kitab Ahkam al-Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ketiga
Hijriyah ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu
penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya.
Tentang
kitab Ahkam al-Suq, Yahya ibn Umar
menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan
mendasar, yaitu pertama, hukum syara’
tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu
wilayah; kedua, hukum syara’ tentang
harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga,
sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
Ø Pemikiran
Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas
ekonomi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim
kepada Allah Swt. Hal ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam
perekonomian Islam, sekaligus factor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan
ekonomi konvensional.
Seperti yang telah disinggung, focus perhatian
Yahya ibn Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam
pembahasan tentang tas’ir (penetapan harga). Tampaknuya, ia ingin
menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan
dalam kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar
berpendapat bahwa al-tas’ir
(penetapan harga) tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis
Nabi Muhammad Saw; antara lain:
“Dari Anas bin
Malik, ia berkata: “Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw.
Mereka (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”.
Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang
memberi rezeki, yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh
berharap bertemu dengan Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk
melakukan suatu kezaliman dalam persoalan jiwa dan harta”.
(Riwayat Abu Dawud).
Jika
kita mencermati konteks hadis tersebut, tampak jelas bahwa Yahya ibn Umar
melarang kebijakan penetapan harga (tas’ir)
jika kenaikan harga yang terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran
dan permintaan yang alami. Dengan kata lain, dalam hal demikian, pemerintah
tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi harga. Menurut Dr. Rifa’at
Al-Audi, pernyataan Yahya bin Umar yang melarang praktik banting harga (dumpling) bukan dimaksudkan untuk
mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan tersebut dimaksudkan
untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar dan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan.
Tentang
ihtikar[9],
Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat
merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi,
barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil
penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak
mendapatkan modal pokok mereka.
5.
Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi[10]
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi
Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi
dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan
tentang perilaku ekonomi seorang Muslim serta empat jenis mata pencaharian
utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri.
Ø Negara dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan public selalu terkait
dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan
untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan ini pun
tidak luput dari perhatian Islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan)
merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan
pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan
pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi
ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan
material dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu
merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, Al-Mawardi
berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut tidak
mampu memenuhi kebutuhan anggaran Negara atau terjadi deficit anggaran, Negara
diperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada
public.
Ø Perpajakan
Sebagaimana
trend pada masa klasik, masalah
perpajakan juga tidak luput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya penilaian
atas kharaj harus bervariasi sesuai
dengan factor-faktor yang menentukan
kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis
tanaman dan sistem irigasi. Di samping ketiga factor tersebut, Al-Mawardi juga
mengungkapkan factor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Dengan demikian,
dalam pandangan Al-Mawardi, keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar
pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor
dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj,
yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar. Tentang
metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu
dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
a. Metode Misahah, yaitu metode penetapan kharaj
berdasarkan ukuran tanah.
b. Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja.
c. Metode Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj
berdasarkan persentase dari hasil produksi (proportional
tax).
Ø Baitul Mal
Seperti yang telah dikemukakan,
Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka
memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan
negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan
negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan
dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
Lebih jauh, Al-Mawardi menegaskan,
adalah tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan public. Ia
mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal ke dalam dua hal, yaitu:
a. Tanggung jawab yang timbul dari berbagai
harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai amanah untuk didistribusikan
kepada mereka yang berhak, dan
b. Tanggung jawab yang timbul seiring
dengan adanya pendapatan yang menjadi asset kekayaan Baitul Mal itu sendiri.
6.
Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali[11]
Seperti halnya para cendekiawan
Muslim terdahulu, perhatian Al-Ghazali terhadap kehidupan masyarakat tidak
terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia. Ia melakukan studi keislaman secara luas untuk mempertahankan ajaran
agama Islam. Oleh karena itu, kita tidak menemukan sebuah karya tulisnya yang
khusus membahas Ekonomi Islam. Perhatiannya di bidang ekonomi itu terkandung
dalam berbagai studi fiqihnya, karena ekonomi Islam, pada hakikatnya, merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari fiqih Islam.
Namun demikian, pemikiran-pemikiran
ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf. Corak pemikiran
ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya’
‘Ulum al-Din, al-Mustashfa, Mizan Al-‘Amal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.
DAFTAR
PUSTAKA
Zainuddin Ali, Hukum
Ekonomi Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008
Mawardi, M.SI, Ekonomi
Islam, Riau: Unri Press, 2007
DR. M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta: Tazkiah
Cendekia, 2001
KH. Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi Dalam Perspektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Dua, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004
* Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim
Riau, (UIN SUSKA). Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama
Islam
(kosentrasi fiqih) Semester VI, sekarang sedang menyelesaikan Program SI.
[1] Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), hal. 39.
[2] Ya’qub bin Ibrahim
bin Habib bin Khunais bin Sa’ad Al-Anshari Al-Jalbi Al-Kufi Al-Baghdadi, atau
yang lebih dikenal sebagai Abu Yusuf, lahir di Kufah pada tahun 113 H (731 M)
dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 182 H (798 M). Abu Yusuf menimba berbagai ilmu kepada banyak
ulama besar, seperti Abu Muhammad Atho bin as-Saib Al-Kufi, Sulaiman bin Mahran
Al-A’masy, Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Abdurrrahman bin Abi Laila, Muhammad
bin Ishaq bin Yassar bin Jabbar, dan Al-Hajjaj bin Arthah. Selain itu, ia juga
menuntut ilmu kepada Abu Hanifah. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008), hal. 231-232.
[3] Dengan mengutip
pernyataan Umar ibn Al-Khattab, ia mengungkapkan bahwa sebaik-baik penguasa
adalah mereka yang memerintah demi
kemakmuran rakyatnya dan seburuk-buruk penguasa adalah mereka yang memerintah
tetapi rakyatnya malah menemui kesulitan. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 236.
[4] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 243.
[5] Abu Abdillah Muhammad
bin Al-Hasan bin Farqad Al-Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di kota
Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umawiyyah. Ayahnya
berasal dari negeri Syaiban di wilayah jazirah Arab. Bersama orang tuanya,
Al-Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat
kegiatan ilmiah. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi
Ketiga, hal. 255.
[6] Abu Ubaid bernama
lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi.
Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah, Khurasan, sebelah barat laut
Afghanistan. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi
Ketiga, hal. 264.
[7]
Kitab al-Amwal secara khusus
memfokuskan perhatiannya pada masalah Keuangan Publik (Public Finance) sekalipun mayoritas materi yang ada di dalamnya
membahas permasalahan administrasi pemerintahan secara umum. Kitab al-Amwal menekankan beberapa isi
mengenai perpajakan dan hukum pertanahan serta hukum administrasi dan hukum
internasional. Oleh karena itu, pada dua abad pertama sejak Islam diturunkan,
kitab ini menjadi salah satu referensi utama tentang pemikiran hukum ekonomi di
kalangan para cendekiawan Muslim. Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 269.
[8] Yahya bin Umar
merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar
Yahya bin Umar bin Yusuf Al-Kannani Al-Andalusi ini lahir pada tahun 213 H dan
dibesarkan di Kordova, Spanyol. Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 282.
[9] Islam secara tegas
melarang ihtikar, yakni mengambil
keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang
untuk harga yang lebih tinggi. Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 290.
[10] Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib
Al-Mawardi Al-Basri al-Syafi’I lahir di kota Basrah pada tahun 364 H (974 M). Adiwarman
Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal. 300.
[11] Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Tusi
Al-Ghazali lahir di Tus, sebuah kota kecil di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H (1058
M). Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Edisi Ketiga, hal.
314.
0 komentar:
Posting Komentar