Hadis Tentang Jinayah:
Pelaksanaan Hukuman Mati dan Kisos
Oleh:
Fitri Yafrianti
“Tidak boleh terjadi kerusakan terhadap
manusia dan tidak boleh manusia
melakukan perusakan terhadap orang lain ”
[Hadits
Nabi]
A.
Pendahuluan
Jinayah menurut
pengertian bahasa adalah bentuk jamak dari kata tunggal jinayyah, yang berarti:
dosa/ kesalahan dan kejahatan. Sedangkan jinayah
menurut pengertian istilah (terminologi) adalah setiap tindakan aniaya terhadap
jiwa ataupun harta. Di kalangan ulama fiqih,[1]
definisi jinayah lebih
dispesifikasikan lagi dengan sesuatu yang bisa menyakiti badan, sedangkan
kejahatan terhadap harta benda dinamakan dengan ghashab (memakai harta benda orang lain tanpa izin), merampas/
merampok, mencuri, korupsi,dan merusak.[2]
Kejahatan terhadap jiwa atau nyawa seseorang adalah
yang mewajibkan seseorang dikenai qishash atau membayar harta benda dan
kafarah atau denda. Semua ulama telah
sepakat mengenai haramnya membunuh seseorang yang tidak diperbolehkan
atau tanpa adanya legalisasi dari agama. Ini berdasarkan dalil dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah:
Firman
Allah SWT:
* ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6/u öNà6øn=tæ ( wr& (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© (
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ( wur (#þqè=çFø)s? Nà2y»s9÷rr& ïÆÏiB 9,»n=øBÎ) (
ß`ós¯R öNà6è%ãötR öNèd$Î)ur (
wur (#qç/tø)s? |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur ÆsÜt/ ( wur (#qè=çGø)s? [øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4
ö/ä3Ï9ºs Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ
Artinya:
Katakanlah:
"Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu:
janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap
kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut
kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah
kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.[3]
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).
(Al-An’aam: 151).
Sabda
Rasulullah:
“Tidak dihalalkan darah
seorang muslim kecuali karena tiga hal; seorang yang telah menikah dan berzina,
orang yang membunuh orang, dan yang meninggalkan agama dan memisahkan diri
dari jamaahnya.” (HR.
Muslim dan Lainnya).
B.
Teks Hadits dan Penjelasan Hadits
“Yahya meriwayatkan
kepadaku dari Malik, dari Umar bin Husain (maula ‘Aisyah binti Qudamah), bahwa
Abdul Malik bin Marwan telah memberi (wewenang) wali lelaki korban pembunuhan
yang dibunuh oleh seseorang dengan tongkat untuk melakukan qishash. Maka
kemudian wali korban pun balas membunuhnya dengan menggunakan tongkat.”[4]
Malik berkata, “Masalah yang telah menjadi
kesepakatan kami dan tidak lagi didebatkan di antara kami bahwa jika sseorang
memukul orang lain dengan tongkat, atau melempari dengan batu, atau
mencederainya dengan sengaja, kemudian lelaki itu meninggal dunia, maka
tindakannya itu termasuk dalam kategori pembunuhan disengaja atau terencana yang
patut dijatuhi hukuman qishash[5].
Pembunuhan terencana,[6]
menurut pendapat kami, jika seseorang sengaja memukul lelaki lain hingga
merenggut atau menghilangkan nyawanya. Termasuk pembunuhan terencana juga,
seseorang yang memukul orang lain dalam sebuah perseteruan atau permusuhan yang
terjadi antara mereka berdua, kemudian pukulannya itu menyebabkan keluarnya
banyak darah, hingga orang yang dipukul meninggal dunia. Maka dalam kasus ini
pelakunya harus bersumpah lima puluh kali.” Malik berkata, “Menurut kami, orang
yang dijatuhi hukuman mati adalah beberapa lelaki merdeka yang membunuh
seseorang lelaki merdeka. Begitu pula dengan beberapa orang wanita yang
membunuh seorang wanita. Atau seorang budak yang membunuh budak yang lain.”
“Yahya meriwayatkan kepadaku
dari Malik, ia telah mendapat kabar bahwa Marwan bin Al Hakam pernah
melayangkan surat kepada Mu’awiyah bi Abu Sufyan yang menyebutkan bahwa ia
pernah dihadapkan dengan seorang lelaki mabuk yang telah membunuh lelaki lain.
Kemudian Mu’awiyah membalas surat itu agar Marwan menghukum mati lelaki
pembunuh tersebut”.[7]
Yahya
mengungkapkan, “Malik berkata, ‘Pendapat terbaik yang pernah kami dengar dalam
penafsiran firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (
çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4
ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash[8]
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat
suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan
cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang
memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.(Qs.
Al Baqarah: 178).
Firman Allah tersebut di atas
mengandung arti bahwa pelaksanaan qishash,
walaupun kelihatannya kejam dan menakutkan, namun daya cegahnya terhadap orang
untuk melakukan pembunuhan begitu ampuh, hingga pembunuhan walaupun tidak
mungkin dihabiskan, setidaknya dapat diperkecil. Dengan begitu jiwa manusia
akan terjamin dari pembunuhan.
Tujuan sanksi hukuman itu pada hakikatnya
lebih bersifat preventif yaitu mempertakut atau menjerakan orang untuk
melakukan atau mengulangi melakukan tindak kejahatan. Bentuk-bentuk sanksi
hukuman yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya dalam bentuk hukuman pokok adalah:
hukuman mati (qisash), hukuman mati (non qisash), jilid (hukuman cambuk),
potong tangan, dan penghilangan anggota tubuh.[9]
Bahwa sanksi qishash
juga dikenakan bagi kaum wanita, sebagaimana halnya diberlakukan kepada
kalangan kaum laki-laki. Wanita merdeka dijatuhi hukuman mati karena membunuh
wanita merdeka lainnya, seperti halnya orang merdeka membunuh orang merdeka
lainnya. Budak perempuan dijatuhi hukuman mati karena membunuh budak perempuan
lainnya, seperti halnya budak yang dijatuhi hukuman mati karena telah membunuh
budak lainnya.
Jadi, hukum qishash
dierlakukan pada kalangan wanita seperti halnya itu diberlakukan pada kaum
laki-laki. Qishash juga berlaku antara laki-laki dan wanita. Karena Allah SWT
telah berfirman:
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4
`yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4
`tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Artinya:
Dan Kami telah tetapkan
terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.(Qs. Al Ma’idah: 45).
Allah SWT menyebutkan “…Jiwa (dibalas) dengan jiwa”.
Jadi, jiwa wanita merdeka yang dihilangkan oleh lelaki merdeka harus dibalas
dengan jiwa lelaki merdeka. Dan begitu pula luka yang menimpa dirinya.” Tentang
seorang lelaki yang menahan seseorang lainnya atas perintah pihak lain,
kemudian ia memukulnya hingga lelaki itu menemui ajalnya di tempat, Malik
menilai, “Jika ia menahan lelaki itu, sedangkan ia sendiri melihat bahwa ia
sengaja atau berencana membunuhnya, maka kedua-duanya dijatuhi hukuman mati.
Namun jika ia menahan dan berniat hanya ingin menyakitinya dengan pukulan biasa
dan tidak berniat atau berencana membunuhnya, maka si pembunuh dijatuhi hukuman
mati. Sedangkan lelaki yang menahannya dijatuhi hukuman seberat-beratnya dan
dikurung satu tahun dalam tahanan. Karena ia telah menahan lelaki tersebut dan
ia tidak dikenai hukuman qishash.”
Malik mengungkapkan, “Tentang lelaki yang membunuh
lelaki lain dengan terencana atau disengaja, atau membutakan mata lelaki lain
dengan sengaja atau terencana, kemudian si pembunuh dibunuh atau matanya
dibutakan sebelum ia dijatuhi hukuman qishash,
maka si pelaku tidak dikenakan denda dan hukuman qishash. Dan itu merupakan hak pihak yang dibunuh atau yang
dibutakan matanya dengan sesuatu yang telah hilang atau pergi. Selain itu,
perkara tersebut sama seperti kasus lelaki yang membunuh lelaki lain dengan
sengaja atau terencana, kemudian si pembunuh meninggal dunia, maka pihak korban
berhak memperoleh denda atau lainnya jika si pelaku pembunuhan meninggal dunia.
Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# (
çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4
ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3
y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik,
dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka
baginya siksa yang sangat pedih. (Qs. Al Baqarah: 178).
Malik berkata, “Qishash
hanya diberlakukan bagi pelaku yang telah membunuh. Dan jika si pembunuh
meninggal dunia, maka ia tidak didenda atau dibalas dengan hukuman qishash.” Selain itu, Malik menilai,
“Jika terjadi tindak pencideraan yang dilakukan antara orang merdeka dan budak,
maka tidak ada sanksi qishash. Sedangkan
budak jika membunuh orang merdeka dengan sengaja atau terencana, maka ia
dijatuhi hukuman mati. Tapi tidak sebaliknya, orang merdeka tidak dijatuhi
hukuman mati karena telah membunuh budak, meskipun ia membunuhnya dengan
sengaja atau terencana. Itulah pendapat terbaik yang pernah kami dengar.”
Yahya meriwayatkan kepadaku dari Malik, bahwa ia
telah menemukan ulama yang berpendapat dalam perkara orang yang berwasiat
kepada orang lain agar ia memaafkan pembunuhnya ketika dilakukan dengan sengaja
atau terencana. Itu boleh dilakukan, dan si korban lebih berhak atas darah atau
nyawanya sendiri daripada keluarga atau wali lainnya.
Tentang lelaki yang memaafkan pembunuhan yang disengaja atau terencana setelah ia
menuntut haknya dan telah menerimanya, Malik menilai, “Pihak pembunuh tidak
dikenakan denda apapun kecuali jika pihak yang memaafkan tindak pembunuhannya
itu mensyaratkan denda saat memberikan pengampunan. Jika pihak pembunuh
terencana diberi maaf atau pengampunan dari pihak korban, maka ia dijatuhi hukuman
cambuk seratus kali dan dikurung selama setahun.”
Malik mengungkapkan, “Jika seseorang membunuh dengan
sengaja atau terencana dan ada bukti-bukti yang menguatkannya, sedangkan pihak
korban memiliki beberapa orang anak laki-laki dan perempuan, kemudian anak-anak
laki-laki si korban memaafkannya sementara anak-anak perempuannya menolak, maka
pengampunan atau maaf yang diberikan oleh pihak anak-anak laki-laki si korban
boleh dilakukan meski anak-anak perempuan menolak. Selain itu, dalam masalah
menuntut hak nyawa orang tua, anak perempuan tidak diterima jika bersama anak
laki-laki. Dan pengampunan atau maaf hanya dapat dilakukan laki-laki.”
Yahya mengungkapkan, Malik telah berkata, “Masalah
yang telah menjadi kesepakatan kami, bahwa orang yang mematahkan tangan atau
kaki orang lain dengan sengaja, maka ia dijatuhi hukuman qishash dan tidak dikenakan denda.
Disamping itu, tidak seorangpun boleh dijatuhi
hukuman qishash kecuali jika si
korban telah sembuh dan pulih dari cederanya. Setelah si korban sembuh, baru
boleh di-qishash. Jika luka atau
cedera korban menjadi seperti luka pertama ketika ia sembuh, maka si pelaku
dikenakan qishash. Jika luka atau
cedera orang yang di-qishash
bertambah parah atau meninggal dunia, maka pihak korban yang dicederai pertama
tidak dibebani apapun. Dan jika cedera atau luka orang yang di-qishash sembuh, sementara korban cedera
pertama lumpuh atau lukanya sembuh namun terdapat cacat atau kekurangan pada
tubuhnya, maka korban tidak dapat menuntut pelakunya untuk di- qishash karena cacat tersebut. Namun si
pelaku hanya di-qishash sesuai dengan
cacat yang ada atas pecideraan tangan saat pertama kejadian, atau kerusakan
yang terjadi. Dan terhadap luka atau cedera bagian tubuh lainnya, juga berlaku
hukum seperti itu.”
Malik
berkata, “Jika seorang suami sengaja menciderai istrinya, hingga membuat mata
istrinya buta, atau tangannya patah, atau jari-jarinya patah, atau cedera lain
sejenis,maka sang suami harus di-qishash.
Adapun jika seorang suami memukuli istrinya dengan tali atau cambuk, kemudian
pukulannya itu mencederai istrinya di luar keinginannya serta tidak dilakukan
dengan sengaja, maka sang suami dikenakan denda sesuai dengan cedera yang
ditimbulkannya, dan ia tidak di-qishash.”
“Yahya meriwayatkan
kepadaku dari Malik, ia telah mendapat kabar bahwa Abu Bakar bin Muhammad bin
‘Amru bin Hazm pernah menjatuhkan hukuman qishash karena (pecideraan) paha
hingga patah.
DAFTAR PUSTAKA
Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006
Abu Malik Kamal Bin As- Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunah, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Jalaluddin Assayuti, Tafsir Al-Quran Jalalain, (Bandung: Toha Putra, 1997
Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007
Amir Syarifuddin Kencana, Garis-garis Besar Fiqih,
Jakarta: Pustaka Setia, 2003
[1] Semua ahli fiqih kita
telah mengetahui bahwa kata jinayatun itu
jamak dari kata jinayah yang dari
segi bahasa bermakna kejahatan terhadap jiwa seseorang atau harta benda atau
kehormatan. Mereka telah memasukan daftar kategori pertama, di antaranya adalah
(kejahatan terhadap jiwa seseorang) dalam kitab jinaayaat. Sedangkan, untuk kategori yang kedua dari ketiga
(kejahatan terhadap harta benda dan kehormatan) kita kenal dalam bab al-Huduud. Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, (Jakarta: Gema
Insani, 2006), hal. 767.
[2] Abu Malik Kamal Bin
As- Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunah, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal.
310.
[3]
Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad,
rajam dan sebagainya. Jalaluddin Assayuti, Tafsir
Al-Quran Jalalain, (Bandung: Toha Putra, 1997), hal. 518.
[4] Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), hal. 352.
[5] Ibnu Qayyim berkata,
“Pembunuhan itu berhubungan dengan tiga hak; hak Allah, hak orang yang dibunuh,
dan hak wali dari orang yang terbunuh. Jika seorang pembunuh telah berdamai dan
mengutarakan penyelesaiannya kepada wali dari orang yang terbunuh, atas dasar
takut kepada Allah, kemudian dia bertaubat dengan sungguh-sungguh, maka telah
gugurlah hak Allah dengan cara bertaubat. Adapun hak wali dari orang yang
terbunuh, maka dapat diselesaikan dengan cara memenuhi qishash atau berdamai atau dengan adanya maaf dari pihak wali yang
terbunuh. Kalau sudah ditempuh yang demikian, maka tinggallah hak orang yang
dibunuhnya. Allahlah yang akan memindahkan kebaikan orang yang membunuh kepada
orang yang dibunuhnya pada hari kiamat dan Dia akan mendamaikan kedua belah
pihak.” Saleh Al- Fauzan, Fiqih Sehari-hari, hal. 769.
[6] Pembunuhan dengan
sengaja menurut definisi jumhur ulama adalah: “memukul dengan benda tajam atau
benda tidak tajam (namun diyakini bisa menghilangkan nyawa).” Sementara itu,
ulama madzhab Hanafi mendefinisikan pembunuhan dengan sengaja sebagai:
kesengajaan memukul korban (terbunuh) di bagian manapun dari tubuhnya dengan
menggunakan sesuatu yang bisa memotong atau menembus bagian tubuh tersebur,
misalnya pedang, kayu runcing, dan lain-lain. Sedangkan menurut Prof. Abdul
Qadir Audah mendefinisikan pembunuhan dengan sengaja sebagai “perbuatan yang
bisa menghilangkan nyawa diiringi dengan niat membunuh korban.” Abu Malik Kamal
bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih Sunah, (Jakarta:
Pustaka Setia, 2007), hal. 312.
[7] Lihat: Imam Malik bin Anas, Al Muwaththa’ Imam Malik, hal. 353.
[8]
Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan,
bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu
dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan
baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya.
bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh
yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka
terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang
pedih. Jalaluddin Assayuti, Tafsir
Al-Quran Jalalain, (Bandung: Toha Putra, 1997), hal. 111.
[9] Para ulama
mengelompokan jinayah itu dengan melihat kepada sanksi hukuman apa yang
ditetapkan, kepada tiga kelompok:
1.
Qisash-
diyat;
yaitu tindak kejahatan yang sanksi hukumannya adalah balasan setimpal (qisash) dan denda darah (diyat). Yang termasuk dalam kelompok ini
adalah pembunuhan, pelukaan dan penghilangan bagian/ anggota tubuh.
2.
Hudud; yaitu kejahatan/ jinayah yang sanksi hukumannya
ditetapkan sendiri secara pasti oleh Allah dan Rasul-Nya. Yang termasuk dalam
kelompok ini adalah: pencurian, perampokan, perzinaan, dan pemberontakan.
3.
Ta’zir; yaitu kejahatan lain
yang tidak diancam dengan qisash-diyat
dan tidak pula dengan hudud. Dalam
hal ini ancamanya ditetapkan oleh penguasa. Amir Syarifuddin Kencana,
Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta: Pustaka Setia, 2003), hal. 256.
0 komentar:
Posting Komentar