KONTRIBUSI EKONOM MUSLIM KLASIK
Oleh: Firmansyah & Fitri Yafrianti*
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
Agama Tanpa
Ilmu adalah Lumpuh”
[Ungkapan]
A.
Pendahuluan
Sehumpeter
(1954) menulis sebuah buku yang berjudul History of Economic Analysis seperti
yang dikutip oleh Muhammad Imaduddin. Buku tersebut memuat fondasi dan
pemikiran dasar ilmu ekonomi dan perkembangannya. Dalam bukunya tersebut, ia
menjelaskan sejarah perkembangan ekonomi yang terjadi di dunia. Hal yang
menarik adalah setelah akhir masa keemasan Gracco Roma di abad ke-8 Masehi,
sangat sedikit ditemukan pemikiran dan teori ekonomi yang signifikan dihasilkan
oleh ilmuan, bahkan masa ini berjalan hingga abad ke 13 yang ditandai dengan
masa St. Aquinas (1225-1274 M). Selama
kurang lebih lima abad tersebut, tidak begitu banyak teori dan karya ekonomi
yang dihasilkan oleh para pemikir di dunia barat. Schumpeter bahkan menyebutnya
sebagai Great Gap, atau terjadi
jurang atau jarak yang besar di antara dunia Barat dengan dunia Timur.[1]
Apabila
diteliti lebih dalam mengenai hal dimaksud, maka ditemukan bahwa pada masa
kegelapan dunia barat (dark age)
terhadap dunia keilmuan dan sains maka pada saat itu pengaruh gereja (Church Father) sangat kental terasa,
yaitu mereka membatasi para ahli dan ilmuan untuk menghasilkan karya ilmiah,
termasuk karya di bidang ekonomi. Bahkan seseorang dapat dianggap membelok dari
ajaran Tuhan bila mempunyai pemikiran yang bertentangan dengan ajaran gereja,
dan hukuman mati akan diberikan kepadanya. Pada abad kegelapan tersebut dunia
Barat mengalami kemunduran di bidang keilmuan. Di sisi lain, ditemukan bahwa
abad kegelapan yang dialami oleh dunia Barat justru berbanding terbalik dengan
perkembangan keilmuan pada dunia Timur (Islam). Pada masa tersebut adalah masa
keemasan umat Islam, yaitu banyak para ilmuan muslim berhasil memberikan
karya-karya ilmiah yang signifikan, salah satunya dalam perkembangan dunia ilmu
ekonomi. Banyak ilmuan muslim yang menulis, meneliti, dan menghasilkan
teori-teori ekonomi yang hasilnya hingga sekarang masih relevan untuk
dipelajari. Beberapa ilmuan muslim yang berhasil menghasilkan karya fenomenal
pada teori ekonomi di antaranya:
1. Abu Yusuf[2]
(113-182 H/731-798 M)
Salah satu karya Abu Yusuf yang sangat
monumental adalah Kitab al-Kharaj (Buku
tentang Perpajakan). Penulisan Kitab al-Kharaj
versi Abu Yusuf didasarkan pada perintah dan pertanyaan Khalifah Harun
ar-Rasyid mengenai berbagai persoalan perpajakan. Dengan demikian, Kitab al-Kharaj ini mempunyai orientasi
birokratik karena ditulis untuk merespon permintaan Khalifah Harun ar-Rasyid
yang ingin menjadikannya sebagai buku petunjuk administratif dalam rangka
mengelola lembaga Baitul Mal dengan baik dan benar, sehingga negara dapat hidup
makmur dan rakyat tidak terzalimi.
Secara umum, Kitab al-Kharaj berisi tentang berbagai ketentuan agama yang
membahas persoalan perpajakan, pengelolaan pendapatan dan pembelanjaan publik.
Dengan menggunakan pendekatan pragmatis dan bercorak fiqih, buku ini bukan
sekedar penjelasan tentang system keuangan Islam. Lebih daripada itu, ia
merupakan sebuah upaya untuk membangun system keuangan yang mudah dilaksanakan
sesuai dengan hukum Islam dalam kondisi yang selalu berubah dan sesuai dengan
persyaratan ekonomi.
Ø Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf
Dengan latar belakang sebagai seorang fuqaha beraliran ahl ar-ra’yu, Abu Yusuf cenderung memaparkan berbagai pemikiran
ekonominya dengan menggunakan perangkat analisis qiyas yang didahului dengan melakukan kajian yang mendalam terhadap
al-Qur’an, hadis Nabi, atsar Shahabi, serta praktik para penguasa yang saleh. Landasan
pemikirannya, seperti yang telah disinggung, adalah mewujudkan al-mashlahah al-‘ammah (kemaslahatan umum).
Kekuatan utama pemikiran Abu Yusuf adalah dalam
masalah keuangan publik. Dengan daya observasi dan analisisnya yang tinggi, Abu
Yusuf menguraikan masalah keuangan dan menunjukkan beberapa kebijakan yang
harus diadopsi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Suatu studi komparatif tentang pemikiran Abu
Yusuf dalam kitab ini menunjukkan bahwa berabad-abad sebelum adanya kajian yang
sistematis mengenai Keuangan Publik di Barat, Abu Yusuf telah berbicara tentang
kemampuan dan kemudahan para pembayar pajak dalam pemungutan pajak. Ia menolak
tegas pajak pertanian dan menekankan pentingnya pengawasan yang ketat terhadap
para pemungut pajak untuk menghindari korupsi dan tindak penindasan.
Abu Yusuf menganggap penghapusan penindasan dan
jaminan kesejahteraan rakyat sebagai tugas utama penguasa. Ia juga menekankan
pentingnya pengembangan infrastruktur dan menyarankan berbagai proyek
kesejahteraan. Selain di bidang keuangan publik, Abu Yusuf juga memberikan
pandangannya seputar mekanisme pasar dan
harga, seperti bagaimana harga itu ditentukan dan apa dampak dari adanya
berbagai jenis pajak.
Ø Negara dan Aktivitas Ekonomi
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama penguasa
adalah mewujudkan serta menjamin kesejahteraan rakyatnya. Ia selalu menekankan
pentingnya memenuhi kebutuhan rakyat dan mengembangkan berbagai proyek yang berorientasi
kepada kesejahteraan umum.[3] Menarik untuk dicatat bahwa persepsi Abu Yusuf
tentang pengadaan barang-barang public muncul dalam teori konvensional tentang
keuangan publik.
Ø Teori Perpajakan
Dalam hal perpajakan, Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip
yang jelas berabad-abad kemudian dikenal oleh para ahli ekonomi sebagai canons of taxation. Kesanggupan
membayar, pemberian waktu yang longgar bagi pembayar pajak dan sentralisasi
pembuatan keputusan dalam administrasi pajak adalah beberapa prinsip yang
ditekankannya. Dalam hal penetapan pajak ini, Abu Yusuf cenderung menyetujui
Negara mengambil bagian dari hasil pertanian dari para penggarap daripada
menarik sewa dari lahan pertanian. Menurutnya,
cara ini lebih adil dan tampaknya akan memberikan hasil produksi yang lebih
besar dengan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah garapan.
Argumen Abu Yusuf tersebut menunjukkan bahwa jumlah
pajak yang pasti berdasarkan ukuran tanah (baik yang ditanami maupun tidak)
dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Argumen kedua dan yang paling utama
dalam menentang sistem misahah adalah tidak ada adanya ketentuan apakah pajak
dikumpulkan dalam jumlah uang atau barang tertentu. Ia menyatakan:
“Jika harga-harga gandum turun,
pembebanan pajak dalam bentuk sejumlah uang tertentu (sebagai pengganti dari
sejumlah gandum tertentu) akan melampaui kemampuan para petani. Di sisi lain,
pajak dalam bentuk sejumlah barang tertentu akan membuat pemerintah mengalami
defisit karena menerima pendapatan yang rendah dan, sebagai konsekuensinya,
biaya-biaya pemerintah akan terpengaruh”.[4]
Ø Mekanisme Harga
Abu Yusuf tercatat sebagai ulama terawal yang mulai
menyinggung mekanisme pasar. Ia misalnya memerhatikan peningkatan dan penurunan
produksi dalam kaitannya dengan perubahan harga. Fenomena yang terjadi pada
masa Abu Yusuf adalah, ketika terjadi kelangkaan barang maka harga cenderung
akan tinggi, sedangkan pada saat barang tersebut melimpah, maka harga cenderung
untuk turun atau blebih rendah. Ia menentang penguasa yang menetapkan harga.
Argumennya didasarkan pada hadis Rasulullah Saw:
“Pada masa Rasulullah Saw,
harga-harga melambung tinggi. Para sahabat mengadu kepada Rasulullah dan
memintanya agar melakukan penetapan harga. Rasulullah Saw bersabda,
tinggi-rendahnya harga barang merupakan bagian dari ketentuan Allah, kita tidak
bisa mencampuri urusan dan ketetapan-Nya”.
Kecenderungan yang ada dalam pemikiran ekonomi Islam
adalah membersihkan pasar dari praktik penimbunan, monopoli, dan praktik korup lainnya dan kemudian membiarkan
penentuan harga kepada kekuatan permintaan dan penawaran.
2. Pemikiran Ekonomi Al-Syaibani[5]
(132-189 H/750-804 M)
Dalam mengungkapkan pemikiran ekonomi
Al-Syaibani, para ekonom Muslim banyak merujuk pada kitab al-Kasb, sebuah kitab yang lahir sebagai respons penulis terhadap
sikap zuhud yang tumbuh dan berkembang pada abad kedua Hijriyah. Secara
keseluruhan, kitab ini mengemukakan kajian mikroekonomi yang berkisar pada
teori kasb (pendapatan) dan
sumber-sumbernya serta pedoman perilaku produksi dan konsumsi.
Ø Al-Kasb (Kerja)
Al-Syaibani mendefinisikan al-kasb
(kerja) sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal. Dalam
ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas produksi. Devinisi
ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan aktivitas produksi dalam ekonomi
Islam adalah berbeda dengan aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam
ekonomi Islam, tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut
sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat terkait erat
dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara memperolehnya. Dengan
kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan jasa yang halal saja yang dapat
disebut sebagai aktivitas produksi.
Produksi suatu barang atau jasa, seperti dinyatakan
dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai utilitas
(nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa mempunyai nilai-guna
jika mengandung kemaslahatan. Dengan demikian, seorang Muslim termotivasi untuk
memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah tersebut. Hal ini
berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep yang objektif terhadap perilaku
produsen karena ditentukan oleh tujuan (maqashid)
syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
3.
Pandangan
Ekonomi Abu Ubaid[6]
(150-224 H)
Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha) terkemuka di masa hidupnya. Selama
menjabat qadi di Tarsus, ia sering
menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Berdasarkan hal tersebut,
Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada awal
abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi) yang menetapkan revitalisasi
sistem perekonomian berdasarkan al-Qur’an dan Hadis melalui reformasi
dasar-dasar kebijakan keuangan dan institusinya.
Bila dilihat dari sisi masa hidupnya yang relatif
dekat dengan masa hidup Rasulullah, wawasan pengetahuannya serta isi, format
dan metodologi Kitab al-Amwal, Abu
Ubaid pantas disebut sebagai pemimpin
dari “pemikiran ekonomi mazhab klasik” di antara para penulis tentang keuangan
public (public finance). Dalam hal
ini, Yahya ibn Adam ibn Sulayman dan Abu Al-Faraj Zayn Al-Din Abdul Al-Rahman
ibn Ahmad ibn Rajab Al-Sulami al-Hanbali (wafat 795 H/1393 M) merupakan para
pemikir Muslim yang cenderung mengikuti langkah dan pemikiran Abu Ubaid.
Seperti tergambarkan dalam karya monumentalnya, Kitab al-Amwal[7],
Abu Ubaid tampak jelas berusaha untuk mengartikulasikan ajaran Islam dalam
aktivitas kehidupan umat manusia sehari-hari. Inti dari doktrinnya adalah
pembelaan terhadap pelaksanaan distribusi kekayaan secara adil dan merata
berdasarkan prinsip-prinsip keadilan fiscal dengan sebaik dan sesempurna
mungkin. Menurut Abu Ubaid, pemberian hibah dalam berbagai bentuknya yang
dilakukan Negara atau penguasa terhadap seseorang atau sekelompok orang harus
berdasarkan pada besarnya pengabdian yang diberikan kepada masyarakat. Dengan
kata lain, Abu Ubaid ingin menyatakan bahwa segala kebijakan yang hanya
menguntungkan sekelompok masyarakat dan membebani sekelompok masyarakat lainnya
harus dihindari Negara semaksimal mungkin. Pemerintah harus mengatur harta
kekayaan Negara agar selalu dimanfaatkan demi kepentingan bersama dan mengawasi
hak kepemilikan pribadi agar tidak disalahgunakan sehingga mengganggu atau
mengurangi manfaat bagi masyarakat.
Semasa hidupnya, di samping aktif mengajar, Yahya
bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz. Di antara
berbagai karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al-Mustakhrijah fi al-Fiqh al-Maliki
dan kitab Ahkam al-Suq. Kitab Ahkam
al-Suq yang berasal dari benua Afrika pada abad ketiga Hijriyah ini
merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu
penyajian materi yang berbeda dari pembahasan-pembahasan fiqih pada umumnya.
Tentang kitab
Ahkam al-Suq, Yahya ibn Umar
menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan
mendasar, yaitu pertama, hukum syara’
tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu
wilayah; kedua, hukum syara’ tentang
harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuan liberalisasi harga,
sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen.
Ø Pemikiran Ekonomi
Menurut Yahya bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari ketakwaan seorang Muslim kepada Allah Swt. Hal
ini berarti bahwa ketakwaan merupakan asas dalam perekonomian Islam, sekaligus
factor utama yang membedakan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.
Seperti yang telah disinggung, focus perhatian Yahya
ibn Umar tertuju pada hukum-hukum pasar yang terefleksikan dalam pembahasan
tentang tas’ir (penetapan harga). Tampaknuya, ia ingin
menyatakan bahwa eksistensi harga merupakan hal yang sangat penting dalam
sebuah transaksi dan pengabaian terhadapnya akan dapat menimbulkan kerusakan
dalam kehidupan masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, Yahya bin Umar berpendapat
bahwa al-tas’ir (penetapan harga)
tidak boleh dilakukan. Ia berhujjah dengan berbagai hadis Nabi Muhammad Saw;
antara lain:
“Dari Anas bin Malik, ia berkata:
“Telah melonjak harga (di pasar) pada masa Rasulullah Saw. Mereka (para
sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga bagi kami”. Rasulullah
menjawab: “Sesungguhnya Allah-lah yang menguasai (harga), yang memberi rezeki,
yang memudahkan, dan yang menetapkan harga. Aku sungguh berharap bertemu dengan
Allah dan tidak seorang pun (boleh) memintaku untuk melakukan suatu kezaliman
dalam persoalan jiwa dan harta”. (Riwayat Abu Dawud).
Jika kita mencermati konteks hadis
tersebut, tampak jelas bahwa Yahya ibn Umar melarang kebijakan penetapan harga
(tas’ir) jika kenaikan harga yang
terjadi adalah semata-mata hasil interaksi penawaran dan permintaan yang alami.
Dengan kata lain, dalam hal demikian, pemerintah tidak mempunyai hak untuk
melakukan intervensi harga. Menurut Dr. Rifa’at Al-Audi, pernyataan Yahya bin
Umar yang melarang praktik banting harga (dumpling)
bukan dimaksudkan untuk mencegah harga-harga menjadi murah. Namun, pelarangan
tersebut dimaksudkan untuk mencegah dampak negatifnya terhadap mekanisme pasar
dan kehidupan masyarakat secara keseluruhan.
Tentang ihtikar[9],
Yahya bin Umar menyatakan bahwa timbulnya kemudaratan terhadap masyarakat
merupakan syarat pelarangan penimbunan barang. Apabila hal tersebut terjadi,
barang dagangan hasil timbunan tersebut harus dijual dan keuntungan dari hasil
penjualan ini disedekahkan sebagai pendidikan terhadap para pelaku ihtikar. Adapun para pelaku ihtikar itu sendiri hanya berhak
mendapatkan modal pokok mereka.
5.
Pemikiran
Ekonomi Al-Mawardi[10]
Pada dasarnya, pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar
paling tidak pada tiga buah karya tulisnya, yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam Kitab
Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang
Muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan,
perdagangan dan industri.
Ø Negara
dan Aktivitas Ekonomi
Teori keuangan public selalu terkait dengan peran
Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk
memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan ini pun tidak
luput dari perhatian Islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan)
merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan
pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan
pengelolaan dunia.
Dalam perspektif ekonomi, pernyataan Al-Mawardi ini
berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material
dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu
merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Lebih jauh, Al-Mawardi
berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan Negara tersebut tidak
mampu memenuhi kebutuhan anggaran Negara atau terjadi deficit anggaran, Negara
diperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada
public.
Ø Perpajakan
Sebagaimana
trend pada masa klasik, masalah
perpajakan juga tidak luput dari perhatian Al-Mawardi. Menurutnya penilaian
atas kharaj harus bervariasi sesuai
dengan factor-faktor yang menentukan
kemampuan tanah dalam membayar pajak, yaitu kesuburan tanah, jenis
tanaman dan sistem irigasi. Di samping ketiga factor tersebut, Al-Mawardi juga
mengungkapkan factor yang lain, yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar. Dengan demikian,
dalam pandangan Al-Mawardi, keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar
pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat factor
dalam melakukan penilaian suatu objek kharaj,
yaitu kesuburan tanah, jenis tanaman, sistem irigasi dan jarak tanah ke pasar. Tentang
metode penetapan kharaj, Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu
dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah Islam, yaitu:
a. Metode
Misahah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah.
b. Metode
penetapan kharaj berdasarkan ukuran
tanah yang ditanami saja.
c. Metode
Musaqah, yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil
produksi (proportional tax).
Ø Baitul
Mal
Seperti yang telah dikemukakan, Al-Mawardi
menyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan
dasar setiap warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal)
yang didirikan secara permanen. Melalui lembaga ini, pendapatan negara dari
berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai
dengan alokasinya masing-masing.
Lebih jauh, Al-Mawardi menegaskan, adalah tanggung
jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan public. Ia mengklasifikasikan
berbagai tanggung jawab Baitul Mal ke dalam dua hal, yaitu:
a. Tanggung
jawab yang timbul dari berbagai harta benda yang disimpan di Baitul Mal sebagai
amanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak, dan
b. Tanggung
jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi asset kekayaan
Baitul Mal itu sendiri.
6.
Pemikiran
Ekonomi Al-Ghazali[11]
0 komentar:
Posting Komentar