TAFSIR AHKAM:
PEREMPUAN
YANG HARAM DINIKAHI
Oleh: Fitri Yafrianti*
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu
yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang
perempuan…”
(Q.S. An-Nisa [4]: 23)
A. Pendahuluan
Perkawinan adalah salah satu sunatullah yang umum
berlaku pada semua mahluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun
tumbuh-tumbuhan. Allah swt berfirman:
`ÏBur Èe@à2 >äóÓx« $oYø)n=yz Èû÷üy`÷ry ÷/ä3ª=yès9 tbrã©.xs?
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat kebesaran Allah.”
Perkawinan adalah suatu
cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,
berkembang biak dan kelestarian
hidupnya., setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang
positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan.[1]
Allah swt berfirman:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 …
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak..” (QS.
An-Nisa’ [4]: 1)
Manusia,
demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliannya, Allah swt adakan hukum sesuai
yang dengan martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan
diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridha meridhai, dan dengan
upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya rasa ridha meridhai tersebut.
Namun
walaupun Allah swt menyunahkan kepada setiap manusia untuk menikah, disitu ada
aturan, dan batasan serta larangannya tersendiri. Allah swt menjelaskan dalam
surat An-Nisa’ ayat 19-24 bahwa tidak semua yang wanita yang ada di dunia ini
boleh untuk dinikahi (mahram)[2]
karena dengan alasan-alasan tertentu. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini
akan ditafsirkan surat An-nisa tersebut yang menjelaskan wanita-wanita yang
haram dinikahi.
B.
Ayat-Ayat Tentang Wanita Yang Haram Dinikahi
Surat
An-Nisa’: 19-24.
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ ÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B ÇËÉÈ y#øx.ur ¼çmtRräè{ù's? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî ÇËÊÈ wur (#qßsÅ3Zs? $tB yxs3tR Nà2ät!$t/#uä ÆÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 4 ¼çm¯RÎ) tb$2 Zpt±Ås»sù $\Fø)tBur uä!$yur ¸xÎ6y ÇËËÈ
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈàM»oY|ÁósßJø9$#ur z`ÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# wÎ) $tB ôMs3n=tB öNà6ãY»yJ÷r& ( |=»tGÏ. «!$# öNä3øn=tæ 4 ¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr'Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 $yJsù Läê÷ètGôJtGó$# ¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù Æèduqã_é& ZpÒÌsù 4 wur yy$oYã_ öNä3øn=tæ $yJÏù OçF÷|ʺts? ¾ÏmÎ/ .`ÏB Ï÷èt/ ÏpÒÌxÿø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã $VJÅ3ym ÇËÍÈ
“Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan
janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari
apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan
keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu
tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai
sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa
[4]: 19)
“Dan jika kamu ingin
mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada
seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali
dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?” (QS.
An-Nisa [4]: 20)
“Bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil
dari kamu Perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisa [4]: 20)
“Dan janganlah kamu
kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang
telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An-Nisa [4]: 21)
“Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang
perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak
perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu;
saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa
kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu);
dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali
yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa [4]: 23)
“Dan (diharamkan juga
kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki
(Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan
Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan
hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu
nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan
sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap
sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu[284].
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]: 24)
C. Hubungannya Dengan Ayat-ayat
Sebelumnya
Ayat-ayat
dipermulaan surat an-Nisa ini, Allah melarang kita menirukan beberapa tradisi
jahiliyah perihal anak-anak yatim, hak anak yatim dan mengawini anak yatim
tanpa mas kawin. Juga kezaliman yang mereka lakukan dalam masalah warisan,
dimana orang perempuan dan anak kecil tidak diberi hak atas harta peninggalan,
dengan alasan karena mereka itu tidak dapat mempertahankan keluarga, tidak dapat
memanggul senjata, dari beberapa tugas sosial.
Maka ayat-ayat ini menerangkan satu
macam lagi dari bentuk kezhaliman yang pernah dialami oleh perempuan-perempuan
jahiliyah.[3]
Itulah sebabnya, lalu Allah mengharamkan semua itu dan memerintahkan untuk selalu
berbuat baik terhadap perempuan, dengan pergaulan dan persahabatan yang baik.
Ia panggilnya kaum perempuan untuk menyadari dirinya dari kezhaliman dan
permusuhan yang nyata-nyata itu.[4]
D.
Asbabun Nuzul
1. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, ia
berkata: Orang-orang jahiliyah dahulu, apabila seorang laki-laki meninggal
dunia, maka keluarganyalah yang berhak mewarisi istrinya, kalau suka akan
dikawin sendiri, dan kalau tidak suka akan dikawinkan denagn laki-laki lain,
bahkan kalau ia mau tidak akan dikawinkan untuk selamanya. Dialah yang lebih
berhak atas segala-galanya dari pada keluarga perempuan itu sendiri.[5]
Begitulah, lalu diturunkan ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal
bagimu mewarisi perempuan dengan paksa….” (Ayat 19).[6]
2.
Diriwayatkan, bahwa orang-orang jahiliyah
dahulu, apabila ada seorang laki-laki yang meninggal dunia, maka anak
laki-lakinya dari perempuan lain atau walinya datang, lalu mewarisi perempuan
yang ditinggal mati suaminya itu, sebagaimana dia mewarisi hartanya. Perempuan
itu dilempari pakaian. Kemudian kalau ia mau, ia kawin sendiri dengan mahar/mas
kawin cukup dari suaminya yang pertama tadi, dan kalau mau, ia kawinkannya dengan
laki-laki lain sedang maskawinnya diambilnya. Begitulah, lalu cara-cara seperti itu dilarang, yaitu dengan
diturunkannya ayat (19) itu.
3.
Diriwayatkan, bahwa Abu Qais bin Aslat ketika meninggal
dunia, istrinya dipinang oleh anaknya sendiri yaitu Qais. Lalu istri itu
berkata : Engkau ku anggap sebagai anakku, dan engkau adalah termasuk
putera terbaik di kalangan kaummu. Tunggu dulu, aku akan datang ketempat
Rasulullah saw. Minta izin, seraya berkata : Kuanggap dia itu sebagai
anak, maka bagaimanakah pendapatmu ? Rasulullah saw. Menjawab : Kembalilah
kerumah. Begitulah, maka tidak lama kemudian turunlah ayat ‘’ Dan
jangan kamu mengawini perempuan yan pernah dikawini oleh ayah-ayahmu…’’(Ayat
22).
E.
Tafsir Ayat
1. Dalam firman Allah : “Kiranya
ketidaksukaanmu tentang sesuatu, Allah akan menjadikan padanya kebaikan yang
banyak” itu memberikan dorongan kepada para suami supaya sabar dalam menghadapi
istrinya dan bergaul dengan cara yang baik, sampaipun ketika dalam keadaan
benci kepada mereka. Sebab sering kali terjadi sesuatu yang tidak disukai oleh
jiwa, namun didalamnya terkandung kebaikan yang besar.[7]
Ayat ini membimbing kita ke satu kaidah yang umum, bukan hanya terhadap
perempuan saja, bahkan meliputi seluruh persoalan. Inilah rahasia firman Allah tersebut. Karena itu Allah
tidak mengatakan : ”Kiranya kebencianmu kepada istri”, padahal utamanya
ayat ini berkisar tentang persoalan berbuat baik kepada istri. Perhatikanlah
rahasia itu, karena dia sangat halus.
2. Dalam ayat 21 itu Allah menyebut
“bercampur suami istri” dengan kinayah dengan “satu sama lain sudah
hidup bersatu”, adalah suatu kinayah (sindiran) yang halus sekali, seperti
kata: lamasa, massa, qaruba, dan ghasyia (menyentuh, meraba, mendekati, dan
menyelimuti). Semua itu adalah kinayah tentang bercampur. Ini memberikan
didikan kepada umatnya supaya membiasakan berlaku sopan dan berperangai dengan
perangai Al-Quran. Ibnu ‘Abbas mengatakan: Ifdha’ dalam ayat ini berarti
jima’, tetapi Allah justru berbicara dengan kinayah. sedang
apa yang disebut “kinayah”, yaitu berbicara dengan cara yang tidak
terang-terangan.
3. Al-Qurthubi berkata: ‘Umar bin Khathab
pernah berkhutbah, yaitu ia berbicara:
“Hai
manusia!Jangan kamu berlebih-lebihan dalam memberikan maskawin kepada
perempuan, sebab kalau itu dipandang sebagai menghargai perempuan, niscaya
Rasulullah saw.-lah yang paling tinggi (penghargaannya kepada perempuan) daripada
kalian, namun ia pun tidak pernah memberi maskawin kepada istrinya seseorang
terhadap anak perempuannya, lebih dari 12 uqiyah”.
Mendenagr
khutbah itu, ada seorang perempuan berdiri seraya berkata: Hai ‘Umar! Allah
memperkenankan kepada kami begitu, tetapi justru engkau mengharamkanya?
Bukankah Allah telah berfirman: “…padahal kamu telah memberikan (maskawin)
kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak… Maka janganlah kamu
mengambil barang sedikit pun dari padanya…”? Lalu ‘Umar berdiri lagi, seraya
berkata: “Perempuan itu yang betul, ‘Umar yang salah. Semua orang lebih
mengerti dari padamu hai ‘Umar”, dan ia pun tidak menyanggah bantahan perempuan
tersebut.
4.Zamakhsyari berkata:
“Perjanjian yang keras itu ialah hak bersahabat
dan tidur bersama. Disifatinya perjanjian itu dengan keras, karena menunjukkan
kuatnya dan besarnya perjanjian tersebut. Mereka berkata: bersahabat 20 hari
saja sudah menjadi kerabat, apabila persatuan dan percampuran yang terjadi
antara suami istri…”
Asy-Syahab al-Khafaji berkata:
“Bahkan bersahabat
satu hari saja sudah menjadi kerabat, seperti yang dikatakan oleh seorang
penyair”:
صحبة يوم نسب قريب _ وذمة
يعرفهااللبيلب
Bersahabat satu hari, sudah menjadi nasab yang dekat serta tanggungan yang
(hal itu) dikenal oleh orang yang berfikir.
5.Ar-Razi
berkata :
“Tingkat
kejelekan itu ada tiga : kejelekan dalam akal, kejelekan dalam agama dan
kejelekan dalam tradisi. Maka perkataan “Sesungguhnya mengambil maskawin
yang yelah diberikan itu adalah suatu perbuatan yang keji’’ itu, berisyarat
kepada kejelekan dalam akal. Sedang perkataan “maqtan/dosa’’ itu
menunjukkan kejelekan dalam agama, dan perkataan “dan jalan yang jelek’’
itu menunjukkan kejelekan dalam tradisi. Kalau ketiga tingkatan kejelekan ini
sudah berkumpul menjadi satu, maka menunjukkan kejelekan yang luar biasa”..
F. Kandungan Hukum
1.
Banyaknya
maskawin yang diwajibkan oleh syari’at Islam.
Maskawin,
dalam pandangan syari’at Islam, ialah suatu pemberian (hibah), yang tidak ada
ketentuan banyaknya. Sebab manusia itu berbeda-beda tingkatan kekayaan dan
kemiskinannya, dan bertingkat tentang keluasan dan kesempitannya. Oleh karena
itu syari’at Islam tidak memberikan batas. Masing-masing orang berhak memberi
maskawin menurut kemampuannya dan sesuai kebutuhannya. Para ahli fiqh pun telah
sepakat tidak ada batasnya dalam hal maskawin ini, karena tegas-tegas Allah
berfirman: ’’… padahal kamu telah memberikan kepada seseorang dari antara
mereka itu harta yang banyak, maka janganlah kamu ambil barang sedikit pun dari
padanya.
Al-Qurthubi
berkata: Ayat ini menunjukkan dibolehkannya berlebihan dalam pemberian
maskawin, karena Allah tidak akan memberikan tamsil melainkan dengan sesuatu
yang mubah. Lalu ia bawakan kissah ‘Umar, yang diantaranya ‘Umar mengatakan:
“Perempuan itu yang benar, sedang ‘Umar yang salah.”
Sementara
satu golongan berpendapat: Tidak boleh berlebih-lebihan dalam memberi maskawin.
Karena gambaran “qinthar” (harta yang banyak) dalam ayat ini semata-mata lilmubalaghah.
Seolah-olah Allah mengatakan: Padahal kamu telah memberikannya dengan jumlah
besar yang tidak dilakukan oleh siapa pun. Ungkapannya seperti ini, sama dengan
hadist Nabi saw:
من
بنى مسجدالله ولوكمفحص قطاة بنى الله له بيثا فى الجنة
“Barangsiapa
mendirikan masjid karena Allah, sekalipun hanya sebesar sangkar burung, maka
Allah akan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga”.
Selanjutnya al-Qurthubi
berkata: Para ahli fiqh sendiri sudah
sepakat, tidak ada batas maksimal tentang maskawin ini.
Adapun
tentang batas minimalnya, mereka masih berbeda pendapat:
a.
Ada
yang berpendapat, sedikitnya seperempat dinar. Yang berpendapat demikian,
ialah: Madzhab Malik.
b.
Ada
juga yang berpendapat, sedikitnya 1 dinar, yaitu pendapat abu Hanifah.
c.
Bahkan
ada pula yang berpendapat, tidak terbatas. Adapun yang kiranya ada harganya,
boleh dipakai untuk maskawin. Yang berpendapat demikian itu ialah: Madzhab
Syafi’I dan Ahmad.
Al-Hafizh (Ibnu Hajar)
berkata: tidak ada satupun hadist yang menjelaskan tentang batas minimal
maskawin ini. Al-Qurthubi berkata: dasar yang dipakai oleh Imam Syafi’I tentang
bolehnya memberi maskawin sedikit dan banyak[8]
itu, ialah firman Allah “biamwalikum” (dengan harta-hartamu). Dan inilah yang
betul. Diperkuat pula dengan hadist Rasulullah saw.:
لو
ان رجلا اعطى ملء يد يه طعاماكانث به حلالا
“Kalau sekiranya seseorang memberi (maskawin) dengan
makanan sepenuh dua genggam tangan, niscaya perempuan itu halal baginya.”(HR.
Daraquthni dalam sunannya).”
Adapun alasan Malikiyah dan Hanafiyah: bahwa sesuatu
yang tidak berharga tidak layak dipakai buat maskawin. Oleh karena itu maskawin
itu harus sejumlah harta tertentu. Kemudian oleh karena pencuri dipotong
tangannya karena sedikitnya mencuri 1 dinar (menurut pendapat Abu Hanifah) dan
¼ dinar (menurut pendapat Malik), maka jumlah itulah yang dijadikan ukuran
maskawin, dengan jalan qiyas.
Sedangkan Abu Hanifah sendiri beralasan dengan hadist
yang diriwayatkan Jabir:
“Sesungguhnya
Rasulullah saw. Bersabda:Tidak (sah)maskawin yang kurang dari 10 dirham.” (HR.Daraquthni)
Menurut (ash-Shabuni), bahwa pendapat Syafi’iyah dan
Hanabilah itulah yang lebih kuat. Sebab Nabi saw. Sendiri pernah mengawinkan
seorang sahabatnya dengan maskawin hafalan Al-Qur’an, dimana ia bersabda:
“Kukawinkan engkau dengan dia dengan apa-apa yang ada
padamu dari (hafalan) Al-Qur’an.”
Ia pun pernah bersabda kepada seorang sahabatnya:
“Carilah (maskawin perkawinan itu), walaupun cincin
dari besi.”(HR. Bukhari dan Muslim).”
Sa’id bin Musayyab penghulu para tabi’in juga pernah
mengawinkan anak puterinya dengan maskawin dua dirham, dan tidak ada seorang pun
yang menentangnya. Dasar pokok memberikan batas ukuran harus dengan jalan
syara’. Sedangkan dalam hal ini tidak ada satu pun hadist shahih yang patut
dijadikan hujjah tentang batas minimal maskawin. Begitu sebagai yang dikatakan
oleh al-Hafiz Ibnu Hajar. Wallahua’lam.
2.
Perjanjian yang keras
Dhahhak dan Qatadah berkata: yang dimaksud perjanjian
yang keras itu ialah: perjanjian untuk menggauli istri dengan baik, sebagai
tersebut dalam firman Allah: “Maka tahanlah ia dengan cara yang baik, atau
lepaslah dengan cara yang baik pula.” (QS. Al- Baqarah 229).
Mujahid dan ‘Ikrimah berkata: yang dimaksud perjanjian
yang keras itu ialah: Aqad nikah itu sendiri. Ini, berdasarkan sabda Nabi saw.:
اتقواالله فى النساء,فانكم اخذ تموهن بامانةالله
واستحللتم فرو جهن بكلمةالله.
“Takut
kamu kepada Allah tentang wanita, karena kamu telah ambil mereka itu dengan
amanat Allah, dan kamu menjadi halal mencampuri mereka dengan kalimat Allah.”
3.
Perempuan yang haram dikawini
Wanita-waanita
yang haram dinikahi ada dua macam,
yaitu: wanita haram dinikahi untuk selamanya (tahrim muabad), maupun
sementara (tahrim muwaqot).[9]
a.
Wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (Tahrim
muabad)
Perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk
selamanya itu ada tiga macam:
Ø
Haram karena nasab
Ø
Haram karena sesusuan
Ø
Haram karena semenda
a.
Yang haram karena nasab
Menurut isyarat ayat diatas, perempuan yang haram
dikawini karena nasab itu ada 7 golongan, yaitu: ibu, anak, saudara, bibi dari
bapak, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara
perempuan. Semua ini haram dikawini untuk selama-lamanya.
Termasuk ibu ialah nenek terus keatas, termasuk anak
ialah cucu sampai kebawah, termasuk saudara ialah sekandung, sebapak, dan
seibu. Termasuk bibi ialah sampai keatas baik dari ayah ataupun dari pihak ibu.
b.
Yang haram karena susuan
Yang haram karena susuan inipun ada tujuh orang,
seperti yang berlaku pada haram karena nasab. Ini didasarkan atas sabda
Rasulullah saw. Sebagai berikut:
يحرم من الرضاعة مايحرم من النسب.
“Haram karena susuan, ialah
apa-apa (perempuan) yang haram karena nasab.” (HR. Muslim)
Sedang dalam ayat diatas menyebutkan: Ibu dan Saudara.
Ibu adalah pokok, sedangkan saudara adalah cabang. Dari situ cobalah perhatikan
yang menyangkut semua pokok dan yang menyangkut semua cabang. Lalu hadist Nabi
saw. Diatas menjelaskannya dengan nash yang jelas dan tegas.
Dalam hadist yang shahih, tentang anak perempuannya
Hamzah, oleh Rasulullah saw. Dikatakan:
انها ابنة اخى من الرضاعة.
“Bahwa dia adalah anak perempuannya saudaraku sesusu.”
c.
Yang haram karena semenda (perkawinan)
Yang haram karena semenda ini oleh ayat diatas
disebutkan ada empat, yaitu:
a.
Istrinya bapak, sebagaimana firman Allah: “dan
janganlah kamu mengawini perempuan yang pernah dikawini oleh bapak-bapakmu.”
b.
Istri anak (menantu), sebagaimana difirmankan Allah:
“dan istri-istrinya anak-anakmu yang berasal dari sulbimu.”
c.
Ibunya istri (mertua), sebagaimana difirmankan Allah:
“dan ibu-ibunya istrimu.”
d.
Anak perempuannya istri, apabila ibunya (istri) itu
telah dicampuri, sebagaimana firman Allah: “dan anak-anak perempuannya istrimu
yang berada dipangkuanmu yang sudah kamu campuri mereka itu. Tetapi jika belum
kamu campuri mereka itu, maka tidak ada dosa atas kamu.”
Yang pokok dalam masalah ini ialah: bahwa ibunya istri
itu menjadi haram semata-mata karena sudah ada aqad nikah dengan anaknya.
Tetapi sebaliknya, si anak baru menjadi haram karena ibunya sudah dicampuri,
yaitu sebagaimana dikatakan oleh ayat diatas:”… yang kamu telah campuri mereka
itu”.
Dari sini para ‘ulama
beristimbat, sehingga membuat suatu kaidah pokok:
العقد على البنات يحرم الامهات و
الدخول بالامهات يحرم البنات.
“Aqad atas anak perempuan menyebabkan haramnya ibu.
Sedangkan bercampurnya dengan ibu menyebabkan haramnya anak.”[10]
b.
yang haram dikawini untuk sementara waktu (Tahrim
Muwaqot)
Ayat Al-Quran diatas member isyarat akan adanya
perempuan-perempuan yang haram dikawini untuk sementara waktu. Mereka itu ada
dua macam:
1.
Memadu antara dua saudara,[11]
yaitu sebagaimana difirmankan Allah: “dan (haram atas kamu) memadu antara
dua saudara dengan bibinya, baik dari bapak ataupun dari ibu,”[12]
Rasulullah saw bersabda:
عن ابى
هريرة ان النبي ص.م نهى ان يجمع بين المراة و عمتها وبين المراة وخالتها.
“Dari Abu Hurairah:
sesungguhnya Nabi saw. Melarang memadu seorang perempuan dengan bibinya dari
bapak dan antara perempuan dengan bibinya dari ibu.”
Adapun hikmahnya, sebagaimana diriwayatkan Ibnu
‘Abbas:
نهى رسولل الله ص.م ان يتزوج الرجل المر اة على العمة او
على الخا لة وقال: انكم اذ فعلتم ذلك قطعتم ارحامكم.
”Rasulullah saw. Melarang seorang laki-laki kawin dengan seorang
perempuan bersama bibi dari bapak, atau bersama bibi dari ibu. Dan ia pun
bersabda: sesungguhnya kamu jika mengerjakan yang demikian itu, maka berarti
kamu memutus kekeluargaanmu.
2.
Kawin dengan istri orang lain atau perempuan yang
masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i) sebagai melindungi hak suami.
Sebagaimana firman Allah:
والمحصنات من النساء
“Dan (haram atas kamu mengawini) perempuan-perempuan yang
bersuami.”
Perempuan yang masih dalam ‘iddah (dalam talak raja’i)
hukumnya sama dengan perempuan yang masih bersuami, sebagaimana terdahulu dalam
surat al-Baqarah, yaitu: “Dan jangan kamu berazam untuk aqad nikah, hingga
ketentuan (iddah) itu telah sampai pada waktunya”. Disana telah kami terangkan
juga segi hikmahnya.
4.
Apakah bercampur dengan ibunya istri (mertua)
menyebabkan haramnya perkawinan?
Para ‘ulama berbeda pendapat tentang masalah seorang
laki-laki yang berzina dengan ibunya istri atau anaknya (anak tiri), apakah ini
bisa menyebabkan haramnya perkawinan atau tidak?
Abu Hanifah dan dua orang rekannya berpendapat:
menyebabkan haramnya perkawinan. Ini adalah dua pendapat Tsauri, Auza’i, dan
Qatadah.
Dan
Syafi’i berpendapat: Tidak menyebabkan haramnya perkawinan. Sebab perbuatan
haram itu tidak dapat megharamkan yang halal. Ini, juga pendapat Laits, Zuhri,
dan Madzhab Malik dalam Muwath-tha’.
Adapun sebab terjadinya perbedaan pendapat itu, karena
perbedaan dalam mengartikan kata “nikah”, apakah dengan arti: setubuh ataukah
sekedar aqad? Orang yang mengartikanya “setubuh”, maka semata-mata setubuh
menyebabkan haramnya perkawinan, sekalipun karena berzina. Dan siapa yang
mengartikan “aqad”, maka perzinaan itu tidak menyebabkan haramnya perkawinan.
Hanafiah
lebih condong kepada arti setubuh. Mereka mengatakan: Hakekat nikah itu ialah
setubuh. Sedangkan nikah dalam arti aqad, adalah majaz. Dan membawa
kepada arti hakekat lebih baik, sehingga ada dalil yang mengalihkan kepada arti
majaz. Dan kalau diartikan setubuh, maka tidak dibedakan antara setubuh yang
halal dan setubuh yang haram.
Sedangkan Syafi’iyah lebih condong kepada arti aqad,
seraya berkata: Diantara yang menunjukkan kepada arti aqad itu, ialah dilihat
dari segi analisa, bahwa Allah menjadikan haramnya perkawinan karena semenda
itu, adalah demi penghormatan kepada ibu, sebagaimana halnya haramnya
perkawinan karena nasab, adalah jugademi penghormatan kepada nasab ini. Oleh karena
itu, bagaimana mungkin zina itu dapat dijadikan sebagai penghalang perkawinan,
padahal dia adalah perbuatan yang jijik dan dosa.
Imam Syafi’I sendiri berkata dalam al-Umm: “Jika
seorang laki-laki berzina dengan isteri ayahnya (ibu tiri), atau dengan ibu
isterinya (mertua), maka dia durhaka kepada Allah, tetapi isterinya sendiri itu
tidak menjadi haram atasnya, juga atas ayah dan anaknya. Sebab Allah
mengharamkan (sesuatu) dengan menghormat yang halal itu adalah untuk
meninggikan halalnya itu serta menambah ni’matyaapa yang dibolehkannya, di
samping untuk menetapkan hokum haram yang belum terjadi sebelumnya. Dan dengan
itu Allah mewajibkan beberapa kewajiban.
Sedang haram tidak sama dengan halal.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Bandung: PT.
Alma’arif
Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Quran Jilid IV, Jakarta:
Gema Insani, 2001
Mu’ammal Hamidy dan Imran A-Manan, Terjemah Tafsir Al-Ahkam
Ash-Shabuni, Surabaya: Bina Ilmu, 1982
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir Jilid 1,1999.
Dr. H. Abdul Rahman Ghazaly, M.A., Fikih
Munakahat, Jakarta: Kencana Prenada Media Group
* Penulis Adalah
mahasiswa jurusan PAI (konsentrasi fikih) semester III, UIN SUSKA Riau.
Sekarang sedang menyelesaikan program S1.
[1] Tuhan tidak
menginginkan menjadikan manusia itu
seperti mahluk lainya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan
antara jantan dan betinanya secara anarki, dan tidak ada satu aturan. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung:
PT. Alma’arif) hal. 6.
[2] Mahram, yakni wanita
yang haram di nikahi itu sudah terkenal pada semua umat, baik yang masih
konservatif maupun yang sudah maju.
Sebab-sebab keharamannya itu banyak, demikian pula kelas-kelas mahram menurut bermacam-macam umat. Daerahnya luas di
kalangan bangsa yang masih terbelakang
dan menyempit di kalangan bangsa-bangsa
yang telah maju. Wanita-wanita yang haram dinikahi menurut Islam adalah golongan wanita yang dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 19-24. Sebagiannya diharamkan untuk selamanya (mahram muabad) dan
sebagiannya diharamkan untuk dinikahi untuk sementara waktu (Mahram Muaqad).
Islam mengabaikan semua jenis ikatan lain yang sudah popular di kalangan
masyarakat lain, seperti ikatan yang mengacu pada perbedaan ras, warna kulit,
dan kebangsaan dan ikatan-ikatan yang mengacu pada perbedaan kelas dan status
sosialnya walaupun sama-sama satu suku satu Negara. Sayyid Quthb, Tafsir
Fi-Zhilalil Quran Jilid IV, (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 168.
[3] Misalnya dianggapnya mereka itu sebagai
barang yang diwarisi, pindah dari satu tangan ke tangan lain. Diantaranya
mereka berhak mewarisi istri keluarganya yang meninggal dunia, tak ubahnya
mewarisi harta.Mu’ammal Hamidy dan Imran
A-Manan, Terjemah Tafsir Al-Ahkam Ash-Shabuni, (Surabaya: Bina Ilmu,
1982) hal. 383.
[4]Mu’ammal Hamidy dan
Imran A-Manan, Terjemah Tafsir
Al-Ahkam Ash-Shabuni, hal. 383.
[5] Mu’ammal Hamidy dan
Imran A-Manan, Terjemah Tafsir
Al-Ahkam Ash-Shabuni,Hal. 383-384.
[6] Ibnu Juraij berkata bahwa Ikrimah berkata
(660), “Ayat itu diturunkan berkaitan dengan Kabisyah binti Ma’an bin Ashim bin
Aus. Ia ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Abu Qais bin Aslat. Ternyata
anak Qais mencintai Kabisyah. Kemudian Kabisyah datang kepadaRasulullah saw,.
Seraya berkata, ‘Ya Rasulullah, sayabukan harta pusaka suamiku dan saya pun
bukan peninggalan yang dapat dikawini.’ Makaturunlah ayat di atas.” As-Sadi
meriwayatkan dari Abu Malik, “Pada zaman jahiliyah, apabila seorang istri
ditinggal mati oleh suaminya maka ia ditemui oleh wali mantan suaminya yang
kemudian dia diperlakukan sebagai pakaian. Jika mantan suaminya punya anak
kecil atau saudara, maka si wanita dikurung hingga si anak menjadi pemuda, atau
si istri meninggal, maka si anak mewarisi hartanya. Jika si istri dibebaskan,
maka dia dapat pulang kepada keluarganya dan tidak diperlakukan sebagai
pakaian, maka selamatlah dia. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala menurunkan ayat,
‘Tidak halal bagimu menjadikan wanita sebagai harta pusaka…” Mu’ammal Hamidy
dan Imran A-Manan, Terjemah Tafsir
Al-Ahkam Ash-Shabuni, hal. 673.
[7] Ibnu Abbas berkata,
“Hendaklah kamu menyayanginya lalu kamu
beroleh anak darinya dan keberadaan anak itu mengandung kebaikan yang banyak.” Muhammad
Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, hal. 675.
[8] Sa’id bin Musayyib pernah mengawinkan anak puterinya dengan Abdullah bin
Wada’ah, dengan maskawin dua dirham. Syafi’i juga berkata: Apa saja yang ada
harganya atau bisa dijadikan upah buat buruh, boleh dijadikan maskawin. Yang
demikian itu juga menjadi pendapat kebanyakan ahli ilmu dan ahli hadist.
Semuanya membolehkan maskawin sedikit ataupun banyak. Mu’ammal Hamidy
dan Imran A-Manan, Terjemah Tafsir
Al-Ahkam Ash-Shabuni,Hal. 387.
[9] Yang termasuk di
dalam tahrim muabad, yaitu terlarang karena keturunan nasab ,
karena menikahi seorang wanita (musaharah) dan karena sesusuan. Dr. H. Abdul
Rahman Ghazaly, M.A., Fikih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group) hal. 44.
[10] Peringatan: Anaknya istri (anak tiri) yang ibunya
sudah dicampuri itu haram dikawini oleh ayah tirinya, baik si anak tersebut di
bawah pemeliharaan ayah ataupun todak.
Adapun qayid (batasan) dalam firman-Nya: “yang berada di pangkuanmu,
itu, bukan syarat atau batasan. Tetapi hanya menerangkan masalah yang sudah
menjadi kebiasaan (ghalib). Sebab biasanya, si anak itu hidup bersama ibunya,
sedangkan sekarang ini si ibu telah dikuasai oleh seorang suami (ayah tiri),
yang otomatis si anak pun menjadi tanggungannya. Pendirian semacam ini sudah menjadi konsensus di
kalangan ahli fiqh. Mu’ammal
Hamidy dan Imran A-Manan, Terjemah
Tafsir Al-Ahkam Ash-Shabuni,Hal. 391
[11] Ibnu Mardawih meriwayatkan dari ad-Dailami, dia bertanya,
“Wahai Rasulullah, saya punya dua istri bersaudara.” Maka beliau bersabda,
“ceraikanlah salah seorang yang kamu kehendaki!”. Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 1, ha. 684.
[12] Apabila
mengawini mereka berganti-ganti, seperti seorang laki-laki mengawini seorang
wanita, kemudian wanita tersebut meninggal atau dicerai, maka laki-laki itu
tidak haram mengawini adik atau kakak perempuan dari wanita yang telah
meninggal dunia tersebut. Tujuan
diharamkan pernikahan ini adalah untuk menjaga agar jangan sampai memutuskan
tali kekeluargaan diantara anggota-anggota keluarga. Sebab memadu mereka itu
akan dapat melahirkan perasaan saling membenci dan menimbulkan kedengkian. Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: PT. Alma’arif) hal.
[13] Barangkali pendapat
Syafi’I itulah yang paling kuat, karena kekuatan dalilnya, di antaranya
sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas tentang seorang
laki-laki yang berzina dengan mertuanya setelah isterinya sendiri itu
dicampuri, maka katanya: “Dua haram ( yaitu: haramnya zina itu sendiri dan
haramnya menodai mertua) telah diterjang, sedang isterinya sendiri tetap tidak
haram atasnya.” Bahkan diriwayatkan, ia berkata: “sesuatu yang haram itu tidak
dapat mengharamkan yang halal. Mu’ammal Hamidy dan Imran A-Manan, Terjemah Tafsir Al-Ahkam
Ash-Shabuni,Hal. 394.
0 komentar:
Posting Komentar