Pengelompokan
Hadits Berdasarkan Kuantitas dan Kualitas
Oleh: Fitri Yafrianti[1]
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta
dan
Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”
[Ungkapan]
- Pengelompokan Hadits berdasarkan Kuantitas (jumlah Perawi)
Dari segi jumlah atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi
sumber berita, maka hadits dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu:
1. Hadits Mutawatir[2]
Kata
“Mutawatir” menurut bahasa adalah “mutatabi” yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan
menurut istilah, Hadits Mutawatir adalah:
“Hadits yang diriwayatkan
oleh sejumlah rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka bersepakat untuk
berdusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad sampai akhirnya, dan tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatannya.”[3]
Ibn al-Shalah mendefinisikan hadits mutawatir, sebagai
berikut:
“Sesungguhnya Mutawatir itu
adalah ungkapan tentang kabar yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh orang yang
menghasilkan ilmu dengan kebenarannya secara pasti. Dan persyaratan ini harus
terdapat secara berkelanjutan pada setiap tingkatan perawi dari awal sampai
akhir.[4]
Imam Nawawi mengemukakan defenisi hadits
mutawatir adalah:
“Mutawatir adalah hadits
yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang menghasilkan ilmu dengan kebenaran
mereka secara pasti dari orang yang sama keadaannya dengan mereka mulai dari
awal (sanad) nya sampai ke akhirnya.[5]
Dengan demikian,
suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
- Hadits yang diberitakan oleh para perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan atau daya tangkap panca indera yang yakin. Artinya, bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang sejenisnya. Atau dengan bahasa lain, bahwa berita itu harus langsung didengar atau peristiwa itu langsung dilihat oleh para perawi hadits.
- Bilangan perawi mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta, antara lain:
1.
Abu
Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal ini diqiyaskan dengan jumlah
saksi yang diperlukan dalam suatu perkara.
2.
Golongan
Syafi’iyyah menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah
nabi yang mendapat gelar “Ulul Azmi”.
3.
Sebagian
ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan
ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang mukmin yang tahan uji, yang
dapat mengalahkan orang-orang kafir yang berjumlah 200 orang.
Artinya:
“Hai Nabi, Kabarkanlah
semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu,
niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari
pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.(Q.S. Al-Anfal:65)
4. Ulama yang lain menetapkan jumlah
tersebut sekurang-kurangnya 40 orang.Hal tersebut diqiyaskan pada
firman Allah:
Artinya:
“Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi
pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.
(Q.S. Al-Anfal:65)
- Seimbang jumlah para perawi sejak dalam thabaqat (tingkatan) pertama sampai thabaqat terakhir dari sanad hadits tersebut. Artinya, jika pada thabaqat pertama, jumlah perawinya adalah 4 orang, maka jumlah tersebut tidak boleh berkurang sampai thabaqat akhir pada sanadnya.[6]
Hadits Mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti itu
tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibn Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits
mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan
Ibn As-Shalah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya
hanya sedikit. Contoh hadits yang disepakati oleh ulama hadits sebagai hadits
mutawatir adalah:
“Siapa saja yang
mendustakan atas diriku secara sengaja, maka hendaklah mempersiapkan tempatnya
di neraka”.
Adapun silsilah
atau urutan perawi hadits di atas adalah sebagai berikut:
1.
Thabaqat Pertama
(Sahabat): Ali bin Rabi’ah, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abdullah bin
Zubair;
2.
Thabaqat Kedua (Tabi’in):
Said bin Ubaid, Abdul Aziz, Abu Shalih, Amit bin Abdullah bin Zubair;
3.
Thabaqat Ketiga (Tabi’
Tabi’in): Abdullah bin Nashir, Isma’il, Abu Husain, Abdul Haris dan Jami’ bin
Saddam;
4.
Dan seterusnya.[7]
Macam- macam
Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir terbagi kepada dua, yaitu: Mutawatir
Lafzhi dan Mutawatir Ma’nawi.[8]
1.) Mutawatir
Lafzhi, adalah:
Yaitu, hadits yang
mutawatir lafazh dan maknanya.
Atau
Yaitu, hadits yang
mutawatir riwayatnya pada satu lafaz.
‘Ajjaj al-Khathib memilih definisi berikut:
“Hadits yang diriwayatkan
dengan lafaznya oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi yang lain yang tidak
disangsikan bahwa mereka akan bersepakat untuk berbuat dusta, dari awal sampai
ke akhir sanadnya.[9]
Contoh hadits mutawatir lafzhi adalah:
“Barang siapa yang berbuat
dusta terhadapku dengan sengaja, maka berarti ia menyediakan tempatnya di neraka.
(hadits ini diriwayatkan oleh lebih 70 orang Sahabat).
2.) Mutawatir
ma’nawi
Yang dimaksud dengan hadits mutawatir ma’nawi adalah:
"Hadits yang mutawatir
maknanya saja, tidak pada lafaznya”..
Atau
“Yaitu bahwa meriwayatkan sejumlah
perawi, yang mustahil mereka bersepakat untuk melakukan dusta, akan beberapa
peristiwa yang berbeda namun hakikat permasalahannya adalah sama, maka jadilah
permasalahan itu mutawatir”.
Contoh hadits mutawatir
ma’nawi adalah:
Hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Telah diriwayatkan
lebih dari seratus hadits mengenai mengangkat tangan ketika berdoa, namun
dengan lafaz yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Masing-masing lafaz tidak sampai ke derajat
mutawatir, tetapi makna dari keseluruhan
lafaz-lafaz tersebut mengacu kepada satu makna, sehingga secara ma’nawi hadits tersebut
adalah mutawatir.[10]
2. Hadits Ahad[11]
Menurut
bahasa, hadits ahad berarti hadits satu-satu. Menurut Istilah ahli hadits (Muhaddisun), hadits ahad didefenisikan
sebagai berikut:
“Suatu hadits (khabar) yang
jumlahnya pemberitanya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir, baik
pemberitanya itu satu orang, dua orang, tiga orang atau empat orang bahkan lima
orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa
hadits tersebut termasuk ke dalam hadits mutawatir”.
Ada juga yang mendefinisikannya sebagai berikut:
“Suatu Hadits yang
tidak terkumpul padanya syarat-syarat hadits Mutawatir.”
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa Hadits Ahad
terbagi kepada tiga, yaitu:
a.
Hadits
Masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh 3 orang atau lebih pada setiap
tingkatannya dan belum mencapai derajat mutawatir.
b.
Hadits
Aziz adalah hadits yang diriwayatkan oleh 2 orang atau lebih pada setiap
tingkatannya dan belum mencapai derajat mutawatir.
c.
Hadits
Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh 1 atau lebih pada setiap
tingkatannya dan belum mencapai derajat mutawatir.
Mengenai kedudukan hadits ahad, para ulama sepakat bahwa
hadits ahad belum tentu shahih karena hanya memfaedahkan Zhanny .
Sehingga umat Islam masih perlu untuk melakukan pengkajian dan penelitian untuk
mengetahui maqbul (diterima) atau mardud (ditolaknya) hadits tersebut
sebagai hujjah dengan cara mengetahui
kualitas perawinya.[12]
- Pengelompokan Hadits Berdasarkan Kualitas (Keadaan Rawi)
Dari segi keaadaan rawi atau kualitas kepribadiannya,
hadits dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
- Hadits Shahih
Hadits Shahih menurut bahasa berarti hadits yang bersih dari
cacat, hadits yang benar berasal dari Rasululah Saw. Batasan hadits shahih yang
diberikan oleh ulama, antara lain:
“Hadits shahih adalah
hadits yang susunan lafaznya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat
alquran ,hadits mutawatir, atau ijma’,serta para perawinya adil dan dhabid.”
- Hadits hasan[13]
Menurut Imam Turmuzi hadits hasan adalah:
Artinya:
“Yang kami sebut hadits hasan dalam kitab
kami adalah hadits yang sanadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan
melalui sanad yang di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan
haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang
sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan.”[14]
“Hadits hasan adalah hadits
yang sanadnya baik, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang
didalammya tidak terdapat rawi yang tertuduh dusta namun kurang dhabith,matan
haditsnya tidak janggal.”
Dari defenisi
diatas, hadits hasan pada hakikatnya memenuhi syarat hadits shahih, namun
syarat ke dhabitan perawinya yang tidak terpenuhi.
- hadits dha’if[15]
“Hadits dha’if adalah hadits
yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih dan tidak juga menghimpun
sifat-sifat hadits hasan.”
Dengan menggunakan berbagai macam ilmu hadits itu, maka
timbullah berbagai macam nama hadits, yang disepakati oleh para ulama, yang sekaligus dapat menunjukkan
jenis, sifat, bentuk, dan kualtas dari suatu hadits. Yang paling penting untuk
diketahui adalah pembagian hadits itu atas dasar kualitasnya yaitu:
a.
Maqbul
(dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits shahih dan hadits hasan.
b.
Mardud
(tidak dapat diterima sebagai pedoman) yang mencakup hadits dha’if/ lemah dan
hadits maudhu’/ palsu.
Usaha seleksi itu diarahkan kepada tiga unsur hadits,
yaitu:
a.
Matan
(materi hadits)
b.
Sanad
(persambungan antara pembawa dan penerima hadits)
c.
Rawi
(orang-orang yang membawakan hadits).[16]
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad
Syaifudin, Pengantar Studi Hadits,
Pekanbaru:BKS PTAIS RIAU Press, 2007.
Muhamad
Ahmad-M. Mudzakir, Ulumul Hadits,
Bandung: Pustaka Setia, 2000.
Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2008.
[1] Penulis adalah Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Agama Islam, sekarang sedang menyelesaikan Program S1
di UIN SUSKA Riau.
[2] Mutawatir secara kebahasaan
adalah isim fa’il dari kata al-tawatur, yang berarti al-tatabu, yaitu berturut-turut. Nawir
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widiya, 2008), hal. 200.
[3] Muhammad Syaifudin, Pengantar
Studi Hadits, (Pekanbaru: BKS PTAIS RIAU Press, 2007), hal. 39.
[4] Nawir Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta: Mutiara Sumber
Widiya, 2008), hal. 200-201.
[5] Lihat, Nawir Yuslem, (Jakarta: Mutiara
Sumber Wiiya, 2008), hal. 202.
[6] Muhammad Syaifudin, Pengantar
Studi Hadits, (Pekanbaru: BKS PTAIS RIAU Press, 2007), hal. 41.
[7] Dari contoh di atas, semakin
jelaslah bahwa jumlah perawi pada setiap thabaqatnya
tidak boleh kurang dari jumlah minimal yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
jika jumlah perawi pada sebuah hadits tidak memenuhi syarat-syarat di atas,
maka statusnya menjadi hadits ahad. Mengenai kedudukan hadits mutawatir, para
ulama hadits sepakat bahwa hadits mutawatir sudah pasti shahih karena
memfaedahkan sesuatu yang Qath’i.
sehingga umat Islam tidak perlu ragu lagi untuk mengamalkannya. Muhammad
Syaifudin, Pengantar Studi Hadits,
(Pekanbaru: BKS PTAIS RIAU Press, 2007), hal. 41.
[8] Nawir Yuslem, (Jakarta : Mutiara Sumber Wiiya, 2008), hal. 204.
[9] Nawir Yuslem, (Jakarta: Mutiara Sumber Wiiya, 2008), hal. 205.
[10] Contoh lain adalah hadits tentang mengusap sepatu(al-mash ‘ala al-khuffain), yang
diriwayatkan secara bervariasi lafaznya oleh sekitar 70 orang. Lihat: Nawir
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2008), hal. 206.
[11] Kata Ahad berarti “satu”.
Khabar al-wahid adalah kabar yang
diriwayatkan oleh satu orang. Nawir
Yuslem, Ulumul Hadits, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 2008), hal. 206.
[12] Muhammad Syaifudin, Pengantar
Study Hadits, (Pekanbaru: BKS PT AIS RIAU Prees,2007 ), Hal.43-44.
[13] Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Muhamad Ahmad-M.
Mudzakir, Ulumul Hadits,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 78.
[14] Muhamad Ahmad-M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 78.
[15] Hadits Da’if menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para
ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits
itu berasal dari Rasulullah SAW. Muhamad
Ahmad-M. Mudzakir, Ulumul Hadits,
(Bandung: Pustaka Setia, 2000), hal. 79.
[16] Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi
syarat-syarat:
a.)
‘Adil,
yaitu orang Islam yang baliqh dan jujur, tidak pernah berdusta dan tidak pernah
membiasakan
b.)
memperbuat
dosa. b.) Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang
dapat dipertanggung jawabkan. Muhammad Syaifudin, Pengantar Studi Hadits, (Pekanbaru:BKS PTAIS RIAU Press, 2007),
hal. 47.
0 komentar:
Posting Komentar