SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM UTSMAN BIN AFFAN



BAB I
PENDAHULUAN

SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM UTSMAN BIN AFFAN
Oleh: Fitri Yafrianti
Bukanlah anak yatim itu yang telah meninggal orang tuanya,
Tapi sebenarnya yatim itu adalah Yatim ilmu dan yatim hati.
[Kitabu al-Adabi wa al-Mah fuzhoti]

A.      Pendahuluan
Pada masa jahiliyah, Utsman bin Affan termasuk salah seorang tokoh yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat.  Selain berkedudukan tinggi, dia juga sangat kaya raya, pemalu, dan ucapannya enak didengar. Sehingga, masyarakat sangat mencintainya. Utsman ibnu ‘Affan ibnu Abil Ash ibnu Umaiyah dilahirkan  di waktu Rasulullah berusia lima tahun dan masuk Islam atas seruan Abu Bakar Ash Shiddiq.[1] Beliau terhitung saudagar besar dan kaya, dan sangat pemurah menafkahkan kekayaannya untuk kepentingan agama Islam.
Utsman bin Affan lahir di Thalif pada tahun 576 M, yaitu tahun sesudah peristiwa Gajah (al-Fil). Ia naik menjabat pada usia70 tahun, yaitu di dalam usia yang sudah tua dan berkuasa dua belas tahun 23-35 H./ 644-656 M). Dan mangkat dalam usia 82 tahun. Pemilihan terhadap dirinya itu berlangsung pada penghujung bulan Zulhijjah tahun 23 H/ 644 dan diresmikan pada awal Muharram 24 H/644 M. Utsman bin Affan, seorang yang telah diberi kabar gembira serta jaminan  masuk surga, iapun termasuk orang yang memeluk Islam  pada priode awal (As-Shabiqunal Awwalun). Ia juga satu-satu orang yang diberikan karunia oleh Allah dengan menikahi dua orang putri rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Ruqayah dan Ummi Kultsum karena itu ia terkenal dengan Dzu Nur`ain ( yang memiliki dua cahaya). Dan sifatnya yang paling terkenal adalah ia seorang yang pemalu hal ini sesuai dengan sabda nabi yang mensifatinya dengan mengatakan ” Apakah aku tidak malu terhadap orang yang Malaikat saja malu kepadanya”.
Utsman bin Affan, salah satu shahabat Nabi Muhammad dan dikenal sebagai khalifah Rasulullah yang ketiga. Pada masa Rasulullah masih hidup, Utsman terpilih sebagai salah satu sekretaris Rasulullah sekaligus masuk dalam Tim penulis wahyu yang turun dan pada masa Kekhalifahannya Al Quran dibukukan secara tertib. Kekerabatan Utsman dengan Muhammad Rasulullah bertemu pada urutan silsilah ‘Abdu Manaf,  Rasulullah berasal dari Bani Hasyim sedangkan Utsman dari kalangan Bani Ummayah. Antara Bani Hasyim dan Bani Ummayah sejak jauh sebelum masa kenabian Muhammad, dikenal sebagai dua suku yang saling bermusuhan dan terlibat dalam persaingan sengit dalam setiap aspek kehidupan. Maka tidak heran jika proses masuk Islamnya Utsman bin Affan dianggap merupakan hal yang luar biasa, populis, dan sekaligus heroik.
Hal tersebut mengingat  kebanyakan kaum Bani Ummayah, pada masa masuk Islamnya Utsman, bersikap memusuhi Nabi dan agama Islam. Utsman Bin Affan terpilih menjadi khalifah ketiga berdasarkan suara mayoritas dalam musyawarah tim formatur yang anggotanya dipilih oleh Khalifah Umar Bin Khaththab menjelang wafatnya. Saat menduduki amanah sebagai khalifah beliau berusia sekitar 70 tahun, Pada masa pemerintahan beliau, bangsa Arab berada pada posisi permulaan zaman perubahan. Hal ini ditandai dengan perputaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi disebabkan aliran kekayaan negeri-negeri Islam ke tanah Arab seiring dengan semakin meluasnya wilayah yang tersentuh syiar agama. Faktor-faktor ekonomi semakin mudah didapatkan. Sedangkan masyarakat telah mengalami proses transformasi dari kehidupan bersahaja menuju pola hidup masyarakat perkotaan.
Dalam manajemen pemerintahannya Utsman menempatkan beberapa anggota keluarga dekatnya menduduki jabatan publik strategis. Hal ini memicu penilaian untuk menekankan telah terjadinya proses dan motif nepotisme dalam tindakan Utsman tersebut. Adapun daftar keluarga Utsman dalam pemerintahan yang dimaksud sebagai alasan motif nepotisme tersebut adalah Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdullah bin Amar, Walid bin Ukbah, Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah dan beberapa sahabat lainnya. Pada sisi lain Khalifah dituduh sebagai koruptor dan nepotis dalam kasus pemberian dana khumus (seperlima harta dari rampasan perang) kepada Abdullah Bin Sa’ad Bin Abu Sarah, kepada Mirwan bin Al Hakkam, dan kepada Al Harits Bin Al Hakam.
Dengan beberapa kebijakan itulah sehingga banyak kalangan yang menilai kepemimpinan khalifah berbau nepotisme yang kemudian berkembang melakukan langkah konspirasi untuk menjatuhkan khalifah Usman bin Affan, hingga akhirnya sampai pada tahap pembunuhan.







B.     Rumusan Masalah
Dalam uraian latar belakang masalah tersebut maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimana proses pengangkatan khalifah Usman bin Affan serta langkah-langkah keberhasilan yang dicapainya.
2.      Apa penyebab terjadinya pemberontakan pada masa Usman bin Affan?
3.      Bagaimana kebijakan politik khalifah Usman bin Affan terkait dengan dugaan Nepotisme
4.       Bagaimana kronologi terbunuhnya khalifah Usman bin Affan












BAB II
PEMBAHASAN

B.  Riwayat Hidup Utsman bin Affan[2]
Utsman bin Affan bin Abil ‘Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin ‘Adnan.
Abu Amr, Abu Abdullah al-Quraisy, al-Umawi Amirul mukminin Dzun Nurain yang telah berhijrah dua kali dan suami dari dua orang putri Rasulullah saw. Ibu beliau bernama Arwa binti Kuraiz bin Rabi’ah bin Hubaib bin Abdusy Syams dan neneknya bernama Ummu Hakim Bidha’ binti Abdul Muththalib paman Rasulullah saw.[3]
Beliau salah seorang dari sepuluh sahabat yang diberitakan masuk surga dan salah seorang anggota dari enam orang anggota Syura  serta salah seorang dari tiga orang kandidat khalifah dan akhirnya terpilih menjadi khalifah sesuai dengan kesepakatan kaum Muhajirin dan Anshar, juga merupakan khulafaur Rasyidin yang  ketiga, imam mahdiyin yang diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka.


C.      Proses Kekhalifahan Ustman Bin Affan
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak berhak dipilih.
Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.
Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai khalifah setelah Umar bin Khattab.[4]
D.  Kepemimpinan dan Tindakan Khalifah Utsman Bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.
Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan.
Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.
Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan. Jadi 6 tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus, serta Rhodes dan Trasoxania. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus dan lainnya bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.





E.   Konflik dan Kemelut Politik Islam Hingga Akhir Hayatnya
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya. Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat sederhana, berhati lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan beliau dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah.[5]
Dalam kenyataannya, menurut Mufradi, satu persatu kepemimpinan di daerah-daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga Khalifah Ustman. Adapun pejabat-pejabat yang diangkat Ustman antara lain:
1.      Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru bin Ash.
2.      Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-Asyari.
3.      Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
4.      Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.
Pengangkatan pejabat dikalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan nepotisme.[6]
Menurut Ali, protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Ustman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, kalau beliau hanya menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan.
Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah diangkatnya Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang menjalankan semua roda pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah.
Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu dan bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut diangkatnya Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir.
Tuntutan dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa wakil-wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis surat tersebut menurut mereka adalah Marwan ibn Hakam.
Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak oleh Khalifah. Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak berhasil mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua itu ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya pintu bagi perang saudara).[7]
Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah.
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy.
F.   Dugaan Nepotisme Usman bin Affan
Mengetengahkan kembali kronologi seputar pemerintahan Utsman Bin Affan, bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terutama apabila dikaitkan dengan ketersediaan data dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Upaya memojokkan pemerintahan Utsman sebagai rezim nepotis sendiri hanya berangkat dari satu sudut pandang dengan argumentasi mengungkap motif social-politik belaka. Lebih dari itu lebih banyak berkutat dalam dugaan dan produk kreatif imajinatif. Sumber data yang tersedia kebanyakan didominasi oleh naskah yang ditulis pada masa dinasti Abbasiyah, yang secara politis telah menjadi rival bagi Muawiyah, keluarga, dan sukunya, tidak terkecuali khalifah Utsman Bin Affan. Oleh karena itu kesulitan pertama yang harus dihadapi adalah menyaring data-data valid diantara rasionalisasi kebencian dan permusuhan yang menyelusup di antara input data yang tersedia.
Dakwah Islam pada masa awal kekhilafahan Utsman Bin Affan menunjukkan kemajuan dan perkembangan signifikan melanjutkan estafet dakwah pada masa khalifah sebelumnya. Wilayah dakwah Islam menjangkau perbatasan Aljazair (Barqah dan Tripoli sampai Tunisia), di sebelah utara meliputi Allepo dan sebagian Asia Kecil. Di timur laut sampai Transoxiana dan seluruh Persia serta Balucistan (Pakistan sekarang), serta Kabul dan Ghazni. Utsman juga berhasil membentuk armada dan angkatan laut yang kuat sehingga berhasil menghalau serangan tentara Byzantium di Laut Tengah. Peristiwa ini merupakan kemenangan pertama tentara Islam dalam pertempuran dilautan.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di atas, Utsman mengangkat anggota keluarganya sebagi pejabat public. Di antaranya adalah Muawiyah Bin Abu Sufyan. Sosok Muawiyah dikenal sebagai politisi piawai dan tokoh berpengaruh bagi bangsa Arab.[8] Yang telah diangkat sebagai kepala daerah (Gubernur) Syam sejak masa khalifah Umar Bin Khaththab. Muawiyyah tercatat menunjukkan prestasi dan keberhasilan dalam berbagi pertempuran menghadapi tentara Byzantium di front utara. Muawiyah adalah sosok negarawan ulung sekaligus pahlawan Islam pilih tanding pada masa khalifah Umar maupun Utsman. Dengan demikian tuduhan nepotisme Utsman jelas tidak bisa masuk melalui celah Muawiyah tersebut. Sebab beliau telah diangkat sebagai gubernur sejak masa Umar. Belum lagi prestasinya bukannya mudah dianggap ringan.
Oleh karenanya tuduhan nepotisme[9] terhadap kepemimpinan Usman bin Affan hanyalah entrik politik oleh para pesaingnya yang juga memiliki kepentingan kekuasaan, hal tersebut telihat dari adanya reaksi-reaksi mereka yang sengaja mengeruhkan suasana agar pemerintahan dalam keadaan goyang, sembari mencari titik kelemahan yang dimiliki oleh khalifah Usman bin Affan.
Pada masa pemerintahan khulafaur Rasyidun, setiap daerah menikmati otonomi penuh, kecuali dalam permasalah keuangan tetap terkait dan berada dibawah koordinasi Bendahara pemerintah Pusat. ‘Amil (pengepul zakat, semacam bendahara) Kuffah saat itu, Abdullah Bin Mas’ud, dipanggil sebagai saksi dalam pengadilan atas peristiwa tersebut. Abdullah Bin Mas’ud sendiri akhirnya juga dipecat akibat peristiwa tersebut. Perlu diketahui, Abdullah Bin mas’ud termasuk keluarga dekat dan sesuku dengan Khalifah Utsman. Pengganti Sa’ad Bin Abu Waqqash adalah Walid Bin Uqbah, saudara sepersusuan atau dalam sumber lain saudara tiri khalifah Utsman. Namun karena Walid memiliki tabiat buruk (suka minum khamr dan berkelakuan kasar), maka khalifah Utsman memecatnya dan menyerahkan pemilihan pimpinan baru kepada kehendak rakyat Kuffah. Sebagaimana kasus di Basyrah, gubernur pilihan rakyat Kuffah tersebut terbukti kurang cakap menjalankan pemerintahan dan hanya bertahan selama beberapa bulan. Atas permintaan rakyat, pemilihan gubernur kembali diserahkan kepada khalifah. Ustman Bin Affan kemudian mengangkat Sa’id Bin ‘Ash, kemenakan Khalid Bin Walid dan saudara sepupu Utsman, sebagai gubernur Kuffah, karena dianggap cakap dan berprestasi dalam penaklukan front utara, Azarbaijan.[10] Namun terjadi konflik antara Sa’id dengan masyarakat setempat sehingga khalifah Utsman berfikir ulang terhadap penempatan sepupunya tersebut. Maka kemudian Sa’ad digantikan kedudukannya oleh Abu Musa Al Asy’ari, mantan gubernur Basyrah. Namun stabilitas Kuffah sukar dikembalikan seperti semula sampai peristiwa tewasnya sang khalifah. Meskipun demikian nepotisme dalam frame makna negative kembali sukar dibuktikan.
Sedangkan di Mesir, Ustman meminta laporan keuangan daerah kepada Amr Bin Ash selaku gubernur dan Abdullah Bin Sa’ah Bin Abu Sarah selaku ‘Amil. Laporan Amil dinilai timpang sedangkan Amr dianggap telah gagal melakukan pemungutan Pajak. Padahal negara sedang membutuhkan pendanaan bagi pembangunan armada laut guna menghadapi serangan Byzantium. Khalifah Utsman tetap menghendaki Amr Bin Ash menjadi gubernur Mesir sekaligus diberi jabatan baru sebagai panglima perang. Namun Amr menolak perintah khalifah tersebut dengan kata-kata yang kurang berkenan di hati sang khalifah (perkataan kasar).
Maka kemudian Amr Bin Ash dipecat dari jabatannya. Sedangkan Abdullah Bin Sa’ah Bin abu sarah diangkat menggantikannya sebagai gubernur. Namun kebijakan gubernur baru tersebut dalam bidang agraria kurang disukai rakyat sehingga menuai protes terhadap khalifah Utsman. Dari peristiwa inilah akhirnya muncul isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman. Isu yang beredar dari Mesir ini pada akhirnya menyebabkan khalifah terbunuh.[11]
Salah satu bukti penguat isu nepotisme yang digulirkan adalah diangkatnya Marwan Bin Hakam, sepupu sekaligus ipar Utsman, sebagai sekretaris Negara. Namun tuduhan ini pada dasarnya hanya sekedar luapan gejolak emosional dan alasan yang dicari-cari. Marwan Bin Hakam sendiri adalah tokoh yang memiliki integritas sebagai pejabat Negara disamping dia sendiri adalah ahli tata negara yang cukup disegani, bijaksana, ahli bacaan Al Quran, periwayat hadits, dan diakui kepiawaiannya dalam banyak hal serta berjasa menetapkan alat takaran.[12]
Dengan demikian terbukti bahwa Khalifah Utsman Bin Affan tidak melalukan nepotisme dan praktek korupsi selama masa kepemimpinannya. Hal ini sesuai dengan pengakuan khalifah Utsman sendiri dalam salah satu khotbahnya yang menyatakan, “ Mereka menuduhku terlalu mencintai keluargaku. Tetapi kecintaanku tidak membuatku berbuat sewenang-wenang. Bahkan aku mengambil tindakan-tindakan (kepada keluargaku) jikalau perlu. Aku tidak mengambil sedikit pun dari harta yang merupakan hak kaum muslimin. Bahkan pada masa Nabi Muhammad pun aku memberikan sumbangan-sumbangan yang besar, begitu pula pada masa khalifah Abu Bakar dan pada masa khalifah Umar9

Dalam khotbahnya tersebut khalifah Utsman juga menyatakan sebuah bukti kuat tentang kekayaan yang masih dimilikinya guna membantah isu korupsi sebagai berikut, “ Sewaktu aku diangkat menjabat khilafah, aku terpandang seorang yang paling kaya di Arabia, memiliki ribuan domba dan ribuan onta. Dan sekarang ini (setelah 12 tahun menjabat khilafah), manakah kekayaanku itu ? Hanya tinggal ratusan domba dan dua ekor unta yang aku pergunakan untuk kendaraan pada setiap musim haji”.
G.  Sebab-sebab Pemberontakan
Sebab-sebab terjadinya pemberontakan yang berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Usman dapat diteliti dari beberapa segi. Pertama, bahwa di tengah-tengah masyarakat terdapat sejumlah kelompok yang memeluk Islam tidak dengan sepenuh kesadaran tetapi melainkan untuk kepentingan tertentu seperti Abudullah ibn Saba’, orang Yaman yang semula pemeluk agama Yahudi. Mereka ini menyebarkan hasutan terhadap Usman. Keberhasilan propaganda jahat Abdullah ibn Saba’ membuat jumlah kekuatan pemberontak bertambah banyak.  
Kedua, persaingan dan permusuhan antara keluarga Hasyim dan keluarga Umayyah turut memperlemah kekuatan Usman. Sebelum Nabi Muhammad lahir telah berlangsung persaingan kedua keturunan yang masih bersaudari ini. Pada masa pemerintahan Usman benih kebencian ini tumbuh kembali.
Ketiga, lemahnya karakter kepemimpinan Usman turut pula menyokongnya, khususnya dalam menghadapi gejolak pemberontakan. Bahwa Usman adalah pribadi yang yang sederhana dan sikap lemah lembut sangat tidak sesuai dalam urusan politik dan pemerinthan, lebih-lebih lagi dalam kondisi yang kritis. Pada kondisi yang demikian dibutuhkan sikap yang tegas untuk menegakkan stabilitas pemerintahan. Sikap seperti ini tidak dimiliki oleh Usman. Pada beberapa kasus ia terlalu mudah untuk memaafkan orang lain sekalipun musuhnya sendiri yang membahayakan.
 Sikap lemah-lembut ini mendorong pihak-pihak yang bermaksud jahat melancarkan maksudnya. Dengan sikapnya karakter Usman yang seperti itulah akhirnya pada tanggal 17 Juni 656 M Usman dibunuh dengan cara ditikam oleh gerombolan pemberontak yang tiba-tiba datang mengepung rumah khalifah Usman pada saat ketiak beliau sedang membaca Alquran. Pembunuhan yang bermotif politik atas diri Khalifah Usman membawa dampak yang panjang terhadapsejarahIslamsesudahnya.












BAB  III
PENUTUP

Berdasarkan kajian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ;
·      Isu nepotisme dalam pemerintahan Utsman terbukti tidak benar. Sebab secara kuantitas jumlah pejabat negara keluarga Utsman dibandingkan dengan yang bukan familinya jelas bukan mayoritas. Tuduhan nepotisme tersebut setidaknya hanya di dasarkan kepada 6 perkara di atas. Sementara jumlah pejabat publik diluar anggota keluarga tersebut adalah mayoritas masing-masing tindakan Utsman telah memiliki rasionalisasi berdasarkan kebutuhan zaman yang terjadi  serta mewakili kebijakan yang seharusnya diambil. Sementara itu kegagalan pemerintahan Utsman lebih banyak disebabkan factor stamina dan kondisi kesehatan beliau. Pada saat diangkat Utsman telah berusia 70 tahun sehingga kurang leluasa memerintah mengingat kondisi tubuhnya tersebut sehingga pada masa akhir pemerintahannya beberapa hal kurang dapat diatasi secara memuaskan.
·      Usman bin Affan dituduh nepotisme oleh karena telah memberI keistimewaan-keistimewaan kepada keluarganya yang menurut sahabat yang lain telah melanggar aturan pemerintahan, oleh karena banyak sahabat yang lebih pantas dari pada yang diangkat oleh khalifah. Khalifah telah menyalahi bait bahwa dia akan mengikuti sunnah Rasul, Abu Bakar maupun Umar bin Khattab karena telah melencengdariduakhalifahsebelumnya.
·      Pemberontakan terhadap Usman terjadi oleh banyak faktor yang melatarbelakanginya, namun puncak dari pemberontakan itu terjadi ketika ada surat yang di duga ditulis oleh Usman untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar, yang ternyata yang menjadi pelaku adalah Marwan, namun kekecewaan itu bertambah lagi ketika para sahabat meminta kepada khalifah untuk menyerahkan Marwantapitidakdipenuhiolehkhalifah. Indikator yang kuat tentang pembunuhan Usman adalah karena ada rekayasa terhadap diri beliau untuk menjatuhkan kekhalifahannya, dan itu menjadi sangat jelas ketika dilihat setelah wafatnya beliau di mana Muawiyah menjadikan itu sebagai alasan untuk menuntut darah pembunuh khalifah, namun setelah dia jadi khalifah persoalan siapa pembunuhnya itu tidak dipermasalahkan.
·      Dalam sisi lain Utsman bin Affan adalah sosok pemimpin yang luar biasa terkait dengan jasanya terhadap Islam. Semasa Rasulullah masih menunggui umat, beliau adalah salah satu donator tetap bagi dakwah. Dan pada masa setelahnya beliau tetaplah seorang pejuang muslim yang teguh kepada pendirian dan keislamannya, sehingga dalam kepemimpinannya sebagai khalifah banyak membuahkan kemajuan-kemajuan yang signifikan.
·      Pembunuhan Usman bin Affan adalah bentuk ketidak puasan pihak-pihak yang secara prinsip merugikan kepentingan kelompok, bukan suatu pertimbangan kemaslahatan umat islam.          






DAFTAR PUSTAKA


Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur  Rasyidin, Jakarta: Darul Haq: 2002
Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2001
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Abu A’la Al Maududi.Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. Bandung: Mizan,  1984
A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. PT.      Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1997
Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. PLP2M, Yogyakarta, 1984
Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. Insan Amanah, Surabaya, 2004
Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. Sinar Baru, Bandung, 1990
Ath Thahthawi, 150 qishsah min hayat Abi Bakar As Shiddiq wa Umar bin al Khatthab wa Utsman bin Affan wa Ali bin Abi Thalib r.a, Jakarta: Gema Insani, 2009.
Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 1997


[1] Utsman bin Affan masuk Islam melalui dakwah Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau  adalah orang pertama yang hijrah ke negeri Ethiopia bersama istrinya Ruqayah binti Rasulullah saw, kemudian kembali ke Makkah dan hijrah ke Madinah, beliau tidak dapat ikut serta pada perang Badar karena sibuk mengurusi putri Rasulullah  saw (istri beliau) yang sedang sakit. Jadi beliau hanya tinggal di Madinah. Rasulullah saw memberikan bagian dari harta rampasan dan pahala perang tersebut kepada beliau dan beliau dianggap ikutr serta dalam peperangan. Ketika istri beliau meninggal, Rasulullah saw menikahkannya  dengan adik istrinya yang bernama Ummu Kaltsum yang pada akhirnya juga meninggal ketika masih menjadi istri beliau. Lihat, , Ibnu Katsir, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur  Rasyidin, (Jakarta: Darul Haq: 2002), h. 6.
[2]Utsman bin Affan bin Abu al ‘Ash bin Umayah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay al  Amawi al Qurasyi lahir pada tahun kelima dari kelahiran Rasulullah saw. Dikatakan, bahwa ia dilahirkan enam tahun sesudah tahun gajah. Ibunya bernama Arwa binti Kuraiz  bin Rabi’ah bin Habib bin Abdu Syams. Sedangkan nenek dari ibunya bernama al-Baidha’ binti Abdul Muththalib, bibi Rasulullah saw, yakni saudari kembaran  Abdullah, ayah Rasulullah saw. Lihat, Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 480.
[3] Silsilah keluarga Utsman berjumpa dengan silsilah keluarga Nabi Muhammad pada moyang terdekat, yaitu Abdul Manaf putra Qusshai. Dari putra-putra Abdul Manaf lahir keluarga Naufal dan keluarga Abdu Syam dan keluarga Hasyimi. Dan dari putra Abdu Syam itulah lahir keluarga Umayah. Lihat, Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 323.
[4] Diantara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Sedangkan Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan suara mayoritas. Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayah, pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Ustman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.  Lihat, A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). h. 243.

[5]Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan nepotisme, dengan mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan jabatan tinggi dan kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta baitul maal. Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya. Lihat, Op.Cit, h. 245.

[6] Abu A’la Al Maududi.Khilafah dan Kerajaan. Terj. Al Baqir. (Bandung: Mizan,  1984), h.120.
[7] Sebenarnya  kronologi pembunuhan Ustman yang bermotif politik itu lebih berpengaruh terhadap lembaran sejarah Islam dibandingkan dengan sejarah-sejarah Islam yang lainnya. Kesatuan umat Islam yang baru terbentuk oleh dua Khalifah pendahulunya mulai sirna dan keruwetan muncul di tengah-tengah umat Islam. Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu Umaiyah dan Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah Ustman sepanjang pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”. Lihat, Op.Cit, h. 246.
[8] Drs. H. A. Hafidz Dasuki, MA (Pimred).et.all. Ensiklopedi Islam. Jilid III. Cetakan IV. (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1997). h. 247.
[9] Selanjutnya penggantian Gubernur Basyrah Abu Musa al Asyari dengan Abdullah Bin Amir, sepupu Utsman juga sulit dibuktikan sebagi tindakan nepotisme. Proses pergantian pimpinan tersebut didasarkan atas aspirasi dan kehendak rakyat Basyrah yang menuntut Abu Musa al Asyari meletakkan jabatan. Oleh rakyat Basyrah, Abu Musa dianggap terlalu hemat dalam membelanjakan keuangan Negara bagi kepentingan rakyat dan bersikap mengutamakan orang Quraisy dibandingkan penduduk pribumi. Pasca menurunkan jabatan Abu Musa, khalifah Utsman menyerahkan sepenuhnya urusan pemilihan pimpinan baru kepada rakyat Basyrah. namun pilihan rakyat tersebut justru dianggap gagal menjalankan roda pemerintahan dan dinilai tidak cakap oleh rakyat Basyrah yang memilihnya sendiri. Maka kemudian secara aklamasi rakyat menyerahkan urusan pemerintahan kepada khalifah dan meminta beliau menunjuk pimpinan baru bagi wilayah Basyrah. Maka kemudian khalifah Utsman menunjuk Abdullah Bin Amir sebagai pimpinan Basyrah dan rakyat setempat menerima pimpinan dari khalifah tersebut. Abdullah Bin Amir sendiri telah menunjukkan reputasi cukup baik dalam penaklukan beberapa daerah Persia.Dengan demikian nepotisme kembali belum terbukti melalui  penunjukan Abdullah Bin Amir. Sementara itu di Kuffah, terjadi pemecatan atas Mughirah Bin Syu’bah karena beberapa kasus yang dilakukannya. Pemecatan ini sebenarnya atas perintah khalifah Umar Bin Khaththab namun baru terealisasi pada masa khalifah Utsman. Penggantinya, Sa’ad Bin Abu Waqqash, juga diberhentikan oleh khalifah Utsman akibat penyalah gunaan jabatan dan kurang transparansinya urusan keuangan daerah. Salah satu kasusnya, Sa’ad meminjam uang dari kas propinsi tanpa melaporkannya kepada pemerintah pusat. Lihat, Ibid,h. 248.

[10]Lihat Nourouzzaman Shiddiqi. Menguak Sejarah Muslim. (Yogyakarta: PLP2M,1984). h. 80                         
[11] Lihat, A. Hafidz Dasuki, MA. (Pimred) et all. Ensiklopedi Islam. Jilid V. Cetakan IV. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997). h. 143
[12] Lihat, Musthafa Dieb Al Bigha. Fiqih Islam. Terjemah : Ahmad Sunarto dari At Tadzhib Fil Adillati Matnil Ghayyah wa Taqrib. (Surabaya: Insan Amanah, 2004). h. 444-450. Juga H. Sulaiman Rasjid. Fiqih Islam. Cetakan XXIII. (Bandung: Sinar Baru,1990). h. 426-427

4 komentar: