FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam selalu kita curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak  Dosen Prof. Dr. Amril Mansur, MA. yang telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul “ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN PRAGMATISME DALAM FILSAFAT”.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan, baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga  bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.





                                                                        Pekanbaru,   Februari 2014
                                                                        Penulis


                                                                                    Fitri Yafrianti




DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I  :PENDAHULUAN....................................................................
BAB II :PEMBAHASAN.......................................................................
A.    Pengertian Pragmatisme.............................................................
B.     Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme..............................................
C.     Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan.........................................
D.    Implementasi Pragmatisme dalam Pendidikan...............................
E.     Pandangan Filsafat Pendidikan Terhadap Pragmatisme..................
F.      Kritik-kritik terhadap Pragmatisme.............................................
BAB III : PENUTUP.............................................................................
KESIMPULAN.....................................................................................












BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latarbelakang Masalah
Pragmatisme biasa juga disebut dengan filsafat praktis atau filsafat aplikasi praktis. Asal mula penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914 M). Penamaan ini diambil dari kata bahasa Yunani pragma yang berarti pekerjaan atau perbuatan.
Pragmatisme adalah filsafat asli Amerika. Ketika anda mendengar kata Pragmatisme, maka akan terlintas dalam benak anda pemikiran tentang Amerika, karena keduanya mempunyai keterikatan antara sifat dan obyek yang di sifati. Filsafat ini menggambarkan masyarakat Amerika, dimana kedudukan individu bersatu bukan atas dasar asal-usulnya, tapi atas dasar kerja dan produksi yang dilakukannya. Oleh karena itu, konsep ini dikalangan bangsa Amerika menjadi terkait dengan kerja. Muncullah banyak filsuf dari berbagai bidang kerja. Jika salah seorang diantara mereka berbicara, maka ia berbicara tentang pengalaman pribadi, bukan mengutip dari buku-buku yang dibacanya, atau referensi-referensi yang menjadi alat bantunya. Dengan gambaran seperti ini, jadilah filsafat pragmatisme bersifat demokratis dikalangan manusia, bersatu dan berbaur dengan segala problematikanya.
Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu, realitas hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan yang absolut (permanen).[1]
Secara sederhana, pemikiran filsafat pragmatisme dapat dikatakan sebagai memalingkan pandangan jauh-jauh dari sesuatu/ hal-hal yang bersifat awal, prinsip-prinsip, undang-undang, dan keharusan-keharusan yang diterima, dan mengarahkan pandangan kearah sesuatu/hal-hal yang akhir yakni buah, hasil, dan pengaruh dari sesuatu itu. Aliran ini memandang nilai suatu prinsip atau keyakinan filsafat, didasarkan atas pengaruh nyatanya. Atas dasar ini kaum pragmatis menjadikan kegiatan praktis pada tingkatan pertama dan kegiatan pikir pada tingkatan kedua. 
Ilmuan paling mashur dari filsafat ini adalah William James,[2] yang menyebutkan hal itu dalam salah satu bukunya bahwa filsafat pragmatisme adalah nama baru untuk cara berfikir (episteme) lama. Dengan ini, ia memaknai filsafat pragmatisme kembali pada asalnya, yakni filsafat empirisisme Inggris. Aliran-aliran pemikiran di Amerika sangat erat hubungannya dengan filsafat Inggris, sehingga bisa dikatakan bahwa pada awalnya filsafat Pragmatisme merupakan pengembangan dari filsafat Inggris sebelum karakter pemikiran Amerika yang tipikal menjadi jelas. Meskipun filsafat khas Amerika (Pragmatisme) terpengaruh oleh filsafat Inggris dalam berbagai orientasinya terhadap realitas dan dalam keteguhannya berpegang pada pengalaman inderawi (persepsi), namun perbedaan antara keduanya juga sangat besar. Perhatian filsafat Inggis dicurahkan pada karakter pengetahuan serta menguraikan hubungan antara berbagai hal yang bersifat eksternal dan pengaruh-pengaruh yang diciptakannya atas indra kita, sedangkan perhatian filsafat Pragmatisme dicurahkan pada produk-produk yang lahir pengetahuan itu. Seorang filsuf Pragmatisme Amerika bertanya, “Apa produk-produk yang tercipta dari konsep ini dalam realitas?” filsafat Pragmatisme lebih memperluas cakupannya pada wilayah aplikasi praktis. Ia tidak hanya terbatas pada bidang ilmu dan etika saja, namun juga mencakup lapangan pemikiran seluruhnya.
Yang berjasa dalam meletakkan dasar filsafat Pragmatisme adalah Peirce. Adapun William James dan John Dewey mengikuti metode Pierce dengan sedikit modifikasinya masing-masing. Pierce menginginkan metode Pragmatisme berjalan atas dasar yang berlaku pada laboratorium-laboratorium ilmu-ilmu alam, karena produk berbagai eksperimen dalam laboratorium-laboratorium ini bersifat umum dan disepakati oleh semua orang. Oleh karena itu, Pierce menginginkan agar produk-produk pemikiran manusia juga bersifat umum dan dapat disepakati oleh setiap orang, agar layak disebut dengan pengetahuan. Akan tetapi, James dan Dewey memasukkan produk-produk subyektif. Untuk itu, bisa saja misalnya dikatakan bahwa suatu keyakinan bersifat benar karena dari situ tercipta produk-produk praktis bagi pribadi yang menganutnya, termasuk sensasi pribadi berupa kepuasan dan kebahagiaan.









BAB II
PEMBAHASAN


A.  Pengertian Pragmatisme

Sebelum menjabarkan pengertian pragmatisme ada baiknya penulis sedikit memberikan penjelasan tentang ontologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu Onto yang artinya ada dan Logos yang artinya ilmu. Jadi ontologi menurut bahasa adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan ontologi menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani ataupun konkrit maupun rohani ataupun abstrak.[3]
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang lainnya yang merujuk pada cara berfikir atau suatu aliran berfikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.[4]
Sedangkan William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.[5]
Sementara Home menambahkan bahwa pragmatisme merupakan suatu aliran yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antrhoposentris (berpusat kepada manusia), kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah hal-hal yang bersifat praktis,  kemampuan kecerdasan dan individualitas serta perbuatan dalam masyarakat.[6]
B.  Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
1.      Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun, 2004:96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan persoalan yang dihadapi manusia.
2.      William James (1842-1910 M)
William James lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya, keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi. Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya. Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious Experience (1902) danPragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Nilai pengalaman dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
3.      John Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk memenuhi kebutuhan manusiawi. Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.[7] Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma dan nilai-nilai.
Instrumentalisme ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata “temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik dengan tenaga kita.
C.  Metafisika Pragmatisme
Filsafat pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut. pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama, prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis.
Oleh karena itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang begitu fundamental dan begitu menentukan.[8]
Para pragmatis selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu mengetahui hal itu.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang pernah mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu dikabarkan pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak. Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena itu, para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab konsep kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan. 
D.  Filsafat Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu sendiri.
Seiring dengan perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.[9]
Model pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok. Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok. Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
1.      Tujuan Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan pribadi.
2.      Kedudukan Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan kompleks untuk tumbuh.
3.      Kurikulum,  kurikulum pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak tersebut.
4.      Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
5.      Peran Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu masyarakat juga diberi  kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
E.   Implementasi Pragmatisme dalam pendidikan.[10]
1.    Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
a.       Kesehatan yang baik
b.      Keterampilan-keterampilan dan kejujuran dalam bekerja
c.       Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
d.      Persiapan untuk menjadi orang tua
e.       Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial
Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.
2.  Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah.
3.  Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.
4.  Peranan Guru dan Siswa
Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
b.  Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan suatu masalah.
d.  Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
e.  Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”.
Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
F.   Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pragmatisme  
1.      Pragmatisme terpusat pada masa kekinian. Meskipun demikian, aliran ini tidak berarti mengabaikan masa datang, bahkan tidak memberi arti penting bagi masa datang tersebut. Sementara filsafat pendidikan Islam terpusat pada manusia dalam keberadaannya dan dalam semua masanya (masa lalu, sekarang dan masa depan). Hal ini disebabkan karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kekal dan dinamis yang dapat diterapkan secara efektif sesuai dengan fitrah yang dimiliki manusia.
2.      Filsafat pragmatisme memprogandakan demokrasi dan menanamkannya melalui pengajaran dan pengalaman. Namun demikian, pendekatan ini tidak cukup untuk membentuk dan menumbuhkan manusia yang baik dalam kehidupan. Hal tersebut disebabkan, karena dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, tatkala manusia menginginkan jalan keluar dari kesulitan hidup di dunia sekarang ini, sudah pasti harus dengan dasar akhlak yang kokoh. Dasar-dasar akhlak tidak akan kokoh apabila tidak disirami dengan air iman kepada Allah, iman yang wajib memberi makan semua maujud. Bahaya pragmatisme, ialah bahwa ia tidak percaya kepada Allah, kecuali bila ia bermanfaat.
3.      Filsafat pragmatisme menganggap baik dan benar terhadap semua jalan (cara) yang mengantarkan pada kebermanfaatan.[11] Pendekatan yang demikian ini merupakan suatu pendekatan yang berbahaya dan bisa menyalahi nilai-nilai Ilahiah. Akibatnya, manusia akan banyak mengorbankan keimanan yang ada padanya demi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Sementara menurut Islam, tidak semua yang bermanfaat tersebut baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan yang tertinggi dari kehidupan materi (lahiriah) maupun immateri (bathiniah).
4.      Proses pendidikan  dalam pragmatisme bertujuan memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar dan berbuat (learning by doing). Proses demikian berlangsung sepanjang hayat. Hanya saja, nilai-nilai tersebut tidak menjadi ukuran absolut, sebagaimana kemutlakan nilai kewahyuan melainkan nilai relatif, yaitu nilai baik dan buruk, benar dan salah, bermanfaat atau tidak bermanfaat menurut pertimbangan kultural masyarakat. Nilai tersebut tentu saja berubah sesuai dengan tempat, waktu dan persepsi masyarakat serta pengaru kemajuan IPTEK.[12]

G.  Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
1.    Kritik dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar (Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama, ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang dari kehidupan.
2. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiyah adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi. Memang, metode ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak. Metode Akliyah ini sesungguhnya merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata lain Metode Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini, sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada dua point:
 Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka, Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
 Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa, logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode Ilmiyah.
Atas dasar dua argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama, Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka, kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua, pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu. Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran sesuai dengan perubahan subjek penilai ide (baik individu, kelompok, dan masyarakat) dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan (menurut Pragmatisme itu sendiri) setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.


BAB III
PENUTUP


KESIMPULAN

Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat pragmatisme adalah William James dan John Dewey.Seperti dengan aliran-aliran filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekuatan dan kelemahan sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini.
1.    Kekuatan
  kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi.
  Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yag liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada
  Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”.
2.    Kelemahan
  Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute(kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabilaa terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa duna ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental(bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta).
  Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
  Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya.
Pragmatisme memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa.
















DAFTAR PUSTAKA
Amril M, Etika dan Pendidikan, Yogyakarta: LSFK2P, 2005
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosda Karya, 2010
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2011
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2009
Fu’ad Farid Isma’il & Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, Yokyakarta: IRCiSoD, 2003
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan,Yokyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011
Mashyuri, Filsafat , Sejarah dan Perkembangannya, Pekanbaru: Perpustaka Nasional, 2011
David Trueblood & disusun kembali oleh Rasjidi, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Filsafat Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh Wangsa Gandhi HW




[1] Realitas atau kenyataan hanyalah apa yang dapat diamati dan dirasakan. Pengetahuan bersifat sementara dan demikian juga dengan nilai-nilai. Bagi prakmatisme semua yang mengalami  perubahan tidak ada yang kekal (tetap). Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Lihat, Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 33.
[2] William james (1842-1910 M) Ia adalah seorang filsuf Amerika yang dilahirkan di New York dari kalangan keluarga terhormat, baik secara keilmuan maupun kebudayaan. Kehidupan akademisnya dimulai dengan belajar ilmu kedokteran di Universitas Harvard. Kemudian, ia beralih mempelajari sejarah dan ilmu alam. Setelah itu, ia belajar ilmu jiwa. Dialah yang berjasa mendirikan laboratorium pisikologi pertama di Amerika. Dia juga mengarang buku pisikologi yang sangat terkenal The Principles of Psychology dalam dua jilid yang dipublikasikan pada tahun 1890 M. Dari ilmu jiwa, ia beralih ke filsafat dan sangat menyukai aliran Pragmatisme. Disini ia banyak mengarang buku, diantaranya adalah Pragmatism yang dipublikasikan pada tahun 1907 M. William James adalah model bagi para filsuf Amerika. Kemashurannya disebabkan banyaknya pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Disamping itu, buku-bukunya telah banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia. Buku-buku tersebut juga sangat dikenal dimasyarakat, karena kemudahan dan kesederhanaan bahasanya, juga karena orang-orang mulai menaruh perhatian terhadap filsafat pragmatisme yang menjadi ulasan-ulasan buku-bukunya itu. Lihat, Fu’ad Farid Isma’il & Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yokyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 109-110.
[3] http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme
[4] Lihat, Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan, (Yokyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), h. 145-146. Sedangkan menurut pendapat yang lain, pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik, asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Lihat, Mashyuri, Filsafat , Sejarah dan Perkembangannya, (Pekanbaru: Perpustaka Nasional, 2011), h. 74.
[5] Lihat, Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosda Karya, 2010), h. 190.
[6] Op. Cit, h. 33.
[7] Dewey meyakini pengetahuan sebagai pengalaman, dan pengalaman yang sebenarnya adalah bersifat menimbulkan daya guna (fungsional).  Ditegaskan lebih lanjut, bahwa seperti halnya kaum sofis pada masa  Yunani Kuno, Dewey menolak ungkapan realitas  atau kebenaran absolut. Ia menegaskan bahwa semua kebenaran adalah relatif, bergantung pada ruang dan waktu. Apa yang tampaknya benar sekarang, belum tentu benar esoknya. Kebenaran bagi Dewey berupa sesuatu yang berguna yang terbentuk dari peristiwa-peristiwa alami yang terjadi. Maka, pengetahuan itu selalu sebagai instrumen atau alat untuk mengadakan perubahan dari kondisi realitas yang tidak memuaskan kepada kondisi realitas yang lebih memuaskan. Lihat, Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 200.
[8] Filsafat Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh Wangsa Gandhi HW. Hal. 147-148
[9] Filsafat Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh Wangsa Gandhi HW. hal. 150.
[10] Pendidikan adalah jalan pokok menuju kemajuan sosial dan central perbaikan. Karena itu, pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha yang terus menerus dengan tujuan meluaskan dan mendalamkan jangkauan/liputan sosialnya, berbarengan dengan usaha menyiapkan anak didik untuk tanggap dan berperan dalam kegiatan alamiah. Aliran ini tidak memisahkan antara materi pengajaran dengan metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan  keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran guru. Aliran ini menuntut agar peserta didik diikutsertakan  secara demokrasi dan dinamis, baik dalam berfikir dan membahas. Dengan demikian, peserta didik akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan sendirinya. Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan individual (differensiasi individual). 
Untuk itu, pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja di bidang pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik terhadap anak didik dengan alasan bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung jawab mesti tumbuh dari murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama murid, tanpa menyerahkannya ke bahagian administrasi. Kurikulum pengajaran merupakan kesatuan-kesatuan dinamika yang mempunyai tujuan. Aliran ini menolak pembagian yang dogmatis terhadap kurikulum atas ilmu-ilmu dan materi-materi yang berbeda-beda. Bahkan aliran ini tidak melihat adanya perbedaan besar antara satu materi dengan materi lain. Hal ini disebabkan, karena semua materi merupakan unsur kegiatan kemanusiaan. Untuk itu, seorang pendidik hendaknya menjadikan pengetahuan sebagai satu kesatuan kegiatan hidup, sebagaimana halnya dalam alam. http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme
[11] Pengikut mazhab pragmatisme mendapat pengaruh besar waktu mereka menyerang ahli agama dengan mengatakan bahwa sesungguhnya  kita tidak bisa dapat membuktikan kebenaran keterangan-keterangan ahli agama. Mereka berkataselanjutnya bahwa oleh karena kita tak dapat mengukur kebenaran agama itu dengan kenyataan, maka kita harus merobah arti kebenaran dalam soal-soal keagamaan, jadi bagi mereka kebenaran bukan apa yang cocok dengan kenyataan akan tetapi adalah apa yang dapat terlaksana dan apa yang dapat berlaku. Lihat, David Trueblood & disusun kembali oleh Rasjidi, Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18-19.
[12] Pragmatisme  berpendirian bahwa sesuatu keterangan itu benar, kalau keterangan itu sesuai dengan realitas yang diterangkannya. Jadi apa yang dinamakan anggapan atau keterangan baru diakui benar bila cocok dengan kenyataan. Lihat, Ibid

0 komentar:

Posting Komentar