KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan Taufik dan hidayah-Nya
kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat dan salam selalu kita
curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw beserta keluarga, sahabat dan
pengikut beliau hingga akhir zaman.
Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak Dosen Prof. Dr. Amril Mansur, MA. yang
telah memberikan pengetahuan, arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik dan tepat pada waktunya dengan judul
“ONTOLOGI ILMU PENGETAHUAN PRAGMATISME DALAM FILSAFAT”.
Penulis menyadari bahwa dalam tulisan ini masih terdapat banyak kekurangan,
baik dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif dan membangun
demi kesempurnaan makalah ini. Sehingga
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Pekanbaru, Februari 2014
Penulis
Fitri
Yafrianti
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................
BAB I :PENDAHULUAN....................................................................
BAB II :PEMBAHASAN.......................................................................
A. Pengertian Pragmatisme.............................................................
B. Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme..............................................
C.
Filsafat
Pragmatisme dalam Pendidikan.........................................
D. Implementasi Pragmatisme dalam Pendidikan...............................
E. Pandangan Filsafat Pendidikan Terhadap Pragmatisme..................
F. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme.............................................
BAB III : PENUTUP.............................................................................
KESIMPULAN.....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latarbelakang Masalah
Pragmatisme biasa juga disebut dengan filsafat praktis atau filsafat
aplikasi praktis. Asal mula penamaan filsafat ini adalah oleh filsuf
Amerika Charles Sanders Peirce (1839-1914 M). Penamaan ini diambil dari kata
bahasa Yunani pragma yang berarti pekerjaan atau perbuatan.
Pragmatisme adalah filsafat asli Amerika. Ketika anda mendengar
kata Pragmatisme, maka akan terlintas dalam benak anda pemikiran tentang
Amerika, karena keduanya mempunyai keterikatan antara sifat dan obyek yang di
sifati. Filsafat ini menggambarkan masyarakat Amerika, dimana kedudukan
individu bersatu bukan atas dasar asal-usulnya, tapi atas dasar kerja dan
produksi yang dilakukannya. Oleh karena itu, konsep ini dikalangan bangsa
Amerika menjadi terkait dengan kerja. Muncullah banyak filsuf dari berbagai
bidang kerja. Jika salah seorang diantara mereka berbicara, maka ia berbicara
tentang pengalaman pribadi, bukan mengutip dari buku-buku yang dibacanya, atau
referensi-referensi yang menjadi alat bantunya. Dengan gambaran seperti ini,
jadilah filsafat pragmatisme bersifat demokratis dikalangan manusia, bersatu
dan berbaur dengan segala problematikanya.
Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah
Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel.
Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu
yang secara tetap mengalami perubahan (terus menerus berubah). Untuk itu,
realitas hanya dapat dikenal melalui pengalaman. Tidak ada pengetahuan yang
absolut (permanen).[1]
Secara sederhana, pemikiran filsafat pragmatisme dapat dikatakan
sebagai memalingkan pandangan jauh-jauh dari sesuatu/ hal-hal yang bersifat
awal, prinsip-prinsip, undang-undang, dan keharusan-keharusan yang diterima,
dan mengarahkan pandangan kearah sesuatu/hal-hal yang akhir yakni buah, hasil,
dan pengaruh dari sesuatu itu. Aliran ini memandang nilai suatu prinsip atau
keyakinan filsafat, didasarkan atas pengaruh nyatanya. Atas dasar ini kaum
pragmatis menjadikan kegiatan praktis pada tingkatan pertama dan kegiatan pikir
pada tingkatan kedua.
Ilmuan paling mashur dari filsafat ini adalah William James,[2]
yang menyebutkan hal itu dalam salah satu bukunya bahwa filsafat pragmatisme
adalah nama baru untuk cara berfikir (episteme) lama. Dengan ini, ia memaknai
filsafat pragmatisme kembali pada asalnya, yakni filsafat empirisisme Inggris.
Aliran-aliran pemikiran di Amerika sangat erat hubungannya dengan filsafat
Inggris, sehingga bisa dikatakan bahwa pada awalnya filsafat Pragmatisme
merupakan pengembangan dari filsafat Inggris sebelum karakter pemikiran Amerika
yang tipikal menjadi jelas. Meskipun filsafat khas Amerika (Pragmatisme)
terpengaruh oleh filsafat Inggris dalam berbagai orientasinya terhadap realitas
dan dalam keteguhannya berpegang pada pengalaman inderawi (persepsi), namun
perbedaan antara keduanya juga sangat besar. Perhatian filsafat Inggis
dicurahkan pada karakter pengetahuan serta menguraikan hubungan antara berbagai
hal yang bersifat eksternal dan pengaruh-pengaruh yang diciptakannya atas indra
kita, sedangkan perhatian filsafat Pragmatisme dicurahkan pada produk-produk
yang lahir pengetahuan itu. Seorang filsuf Pragmatisme Amerika bertanya, “Apa
produk-produk yang tercipta dari konsep ini dalam realitas?” filsafat
Pragmatisme lebih memperluas cakupannya pada wilayah aplikasi praktis. Ia tidak
hanya terbatas pada bidang ilmu dan etika saja, namun juga mencakup lapangan
pemikiran seluruhnya.
Yang berjasa dalam meletakkan dasar filsafat Pragmatisme adalah
Peirce. Adapun William James dan John Dewey mengikuti metode Pierce dengan
sedikit modifikasinya masing-masing. Pierce menginginkan metode Pragmatisme
berjalan atas dasar yang berlaku pada laboratorium-laboratorium ilmu-ilmu alam,
karena produk berbagai eksperimen dalam laboratorium-laboratorium ini bersifat
umum dan disepakati oleh semua orang. Oleh karena itu, Pierce menginginkan agar
produk-produk pemikiran manusia juga bersifat umum dan dapat disepakati oleh
setiap orang, agar layak disebut dengan pengetahuan. Akan tetapi, James dan
Dewey memasukkan produk-produk subyektif. Untuk itu, bisa saja misalnya
dikatakan bahwa suatu keyakinan bersifat benar karena dari situ tercipta
produk-produk praktis bagi pribadi yang menganutnya, termasuk sensasi pribadi
berupa kepuasan dan kebahagiaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pragmatisme
Sebelum menjabarkan pengertian pragmatisme ada baiknya penulis
sedikit memberikan penjelasan tentang ontologi. Ontologi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu Onto yang artinya ada dan Logos yang artinya ilmu.
Jadi ontologi menurut bahasa adalah ilmu tentang yang ada. Sedangkan ontologi
menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada yang
merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani ataupun konkrit maupun
rohani ataupun abstrak.[3]
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme.
Pragma berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action.
Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme-isme yang
lainnya yang merujuk pada cara berfikir atau suatu aliran berfikir. Dengan
demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.[4]
Sedangkan William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme
adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce lah yang
membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “tentukan apa akibatnya, apakah dapat
dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek
itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek
tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita
harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.
Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi,
pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang
dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai
pengertian apa-apa bagi kita.[5]
Sementara Home menambahkan bahwa pragmatisme merupakan suatu aliran
yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antrhoposentris
(berpusat kepada manusia), kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke
arah hal-hal yang bersifat praktis,
kemampuan kecerdasan dan individualitas serta perbuatan dalam
masyarakat.[6]
B.
Tokoh-tokoh Filsafat Pragmatisme
1.
Charles Sandre Peirce ( 1839
M )
Dalam konsepnya
ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila memang memuat hasil
yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori kebenaran,
melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah (Ismaun,
2004:96). Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa,
pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya
untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena
tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme
lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi manusia.
2.
William
James (1842-1910 M)
William James
lahir di New York pada tahun 1842 M, anak Henry James, Sr. ayahnya adalah orang
yang terkenal, berkebudayaan tinggi, pemikir yang kreatif. Selain kaya,
keluarganya memang dibekali dengan kemampuan intelektual yang tinggi.
Keluarganya juga menerapkan humanisme dalam kehidupan serta mengembangkannya.
Ayah James rajin mempelajari manusia dan agama. Pokoknya, kehidupan James penuh
dengan masa belajar yang dibarengi dengan usaha kreatif untuk menjawab berbagai
masalah yang berkenaan dengan kehidupan.
Karya-karyanya
antara lain, The Principles of
Psychology (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Religious
Experience (1902) danPragmatism (1907). Di dalam bukunya The Meaning
of Truth, Arti Kebenaran, James mengemukakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak,
yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari
segala akal yang mengenal. Sebab pengalaman kita berjalan terus dan segala yang
kita anggap benar dalam pengembangan itu senantiasa berubah, karena di dalam
prakteknya apa yang kita anggap benar dapat dikoreksi oleh pengalaman
berikutnya. Oleh karena itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah
kebenaran-kebenaran (artinya, dalam bentuk jamak) yaitu apa yang benar dalam
pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman
berikutnya.
Nilai pengalaman
dalam pragmatisme tergantung pada akibatnya, kepada kerjanya artinya tergantung
keberhasilan dari perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan itu. Pertimbangan
itu benar jikalau bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta
kemungkinan-kemungkinan hidup.
Di dalam
bukunya, The Varietes of Religious Experience atau keanekaragaman pengalaman
keagamaan, James mengemukakan bahwa gejala keagamaan itu berasal dari
kebutuhan-kebutuhan perorangan yang tidak disadari, yang mengungkapkan diri di
dalam kesadaran dengan cara yang berlainan. Barangkali di dalam bawah sadar
kita, kita menjumpai suatu relitas cosmis yang lebih tinggi tetapi hanya sebuah
kemungkinan saja. Sebab tiada sesuatu yang dapat meneguhkan hal itu secara
mutlak. Bagi orang perorangan, kepercayaan terhadap suatu realitas cosmis yang
lebih tinggi merupakan nilai subjektif yang relatif, sepanjang kepercayaan itu
memberikan kepercayaan penghiburan rohani, penguatan keberanian hidup, perasaan
damain keamanan dan kasih kepada sesama dan lain-lain.
James
membawakan pragmatisme. Isme ini diturunkan kepada Dewey yang mempraktekkannya
dalam pendidikan. Pendidikan menghasilkan orang Amerika sekarang. Dengan kata
lain, orang yang paling bertanggung jawab terhadap generasi Amerika sekarang
adalah William James dan John Dewey. Apa yang paling merusak dari filsafat
mereka itu? Satu saja yang kita sebut: Pandangan bahwa tidak ada hukum moral
umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat
subyektivisme, individualisme, dan dua ini saja sudah cukup untuk
mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.
3.
John
Dewey (1859-1952 M)
Sekalipun Dewey
bekerja terlepas dari William James, namun menghasilkan pemikiran yang
menampakkan persamaan dengan gagasan James. Dewey adalah seorang yang
pragmatis. Menurutnya, filsafat bertujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia
serta lingkungannya atau mengatur kehidupan manusia serta aktifitasnnya untuk
memenuhi kebutuhan manusiawi. Sebagai pengikut pragmatisme, John Dewey
menyatakan bahwa tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi perbuatan
nyata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang
kurang praktis, tidak ada faedahnya.
Dewey lebih
suka menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme. Pengalaman adalah
salah satu kunci dalam filsafat instrumentalisme.[7]
Oleh karena itu filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya secara
aktif-kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun sistem norma-norma
dan nilai-nilai.
Instrumentalisme
ialah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam
bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana
pikiran-pikiran itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran itu
berfungsi dalam penemuan-penemuan yang berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, kita ini hidup dalam dunia yang belum selesai
penciptaannya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti
tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme. Pertama, kata
“temporalisme” yang berarti bahwa ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
Kedua, kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada
hari kemarin. Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat diubah lebih baik
dengan tenaga kita.
C. Metafisika Pragmatisme
Filsafat
pragmatisme secara umum dipandang berupaya menengahi pertikaian idealisme dan empirisme serta berupaya melakukan sintesis
antara keduanya. Pragmatisme mendasarkan dirinya pada metode filsafat yang
memakai sebab-sebab praktis dari pikiran serta kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai dan kebenaran. Di sini pandangan William James tentang
pragmatism agaknya mewakili pertanyaan kita tentang pragmatism tersebut.
pragmatisme adalah sikap memandang jauh terhadap benda-benda pertama,
prinsip-prinsip, serta kategori-kategori yang dianggap sangat penting untuk
melihat ke depan pada benda-benda terakhir berdasarkan akibat dan fakta-fakta.
Dalam
penjabaran William di atas, kita bisa mengetahui betapa filsafat pragmatisme
selalu menjadi pemikiran filsafat yang didasarkan pada metode dan pendirian
ketimbang pada doktrin filsafat yang bersifat sistematis.
Oleh karena
itu, pragmatisme kerap pula disadari sebagai upaya-upaya penyelidikan
eksperimental berdasarkan metode sains modern. Pengalaman menjadi sesuatu yang
begitu fundamental dan begitu menentukan.[8]
Para pragmatis
selalu menolak jika filsafat mereka dikatakan berlandaskan suatu pemikiran
metafisik sebagaimana metafisika tradisional yang selalu memandang bahwa dalam
hidup ini terdapat sesuatu yang bersifat absolute dan berada di luar jangkauan
pengalaman-pengalaman empiris. Dari itu, bagi mereka seandainya pun realitas
adikodrati memang ada, mereka berasumsi bahwa manusia tidak akan mampu
mengetahui hal itu.
Pemikiran ini
menunjukkan bahwa epistemology pragmatisme sepenuhnya berbasis pendekatan
empiris : apa yang bisa dirasakan itulah yang benar. Artinya, akal, jiwa, dan
materi adalah sesuatu hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebab hanya dengan
mengalamilah pengetahuan itu dapat diserap. Pengalaman menjadi parameter ketika
sesuatu dapat diterima kebenarannya. Oleh karena itu, para pragmatis tidak
nyaris pernah mendasarkan satu hal kebenaran. Menurut mereka, pengalaman yang
pernah mereka alami akan berubah jika realitas yang mereka alami pun berubah.
Corak paling
kuat dari pragmatisme adalah kuatnya pemikiran tentang konsep kegunaan. Makna
kegunaan dalam pragmatisme lebih ditetapkan pada kebenaran sains, bukan pada
hal-hal bersifat metafisik. Maka, dalam pragmatisme pengetahuan tidak selalu
mesti diidentikkan dengan kepercayaan, tetapi kerap menjadi dua hal yang sama
sekali terpisah. Kebenaran yang mungkin dianggap perlu dipercayai (to believe) bagi para pragmatis selalu menjadi
sesuatu hal bersifat professional atau pribadi dan itu tidak perlu dikabarkan
pada public. Sedangkan, hal-hal yang diangap perlu diketahui haruslah selalu
dikabarkan atau didemonstrasikan pada pengamat yang qualified dan tak berpihak.
Kepercayaan memang ada dalam pengetahuan meski banyak pula kepercayaan tidak
akan ditemukan siapapun di banyak pengetahuan.
Pandangan-pandangan
itu semuanya terangkai oleh konsep kegunaan dan fungsi pragmatis. Oleh karena
itu, para pragmatis kerap mengungkapkan betapa apa yang kita mesti ketahui
keraplah bukan sesuatu yang mesti kita percayai. Dalam sisi yang lain, sebab
konsep kegunaan, apa yang ita percayai tidak selalu menjadi sesuatu hal yang
pragmatisme selalu hadir menjadi relative dan kasuistik. Sebuah kebenaran yang
dipandang benar-benar valid dan berguna, di waktu yang lain bisa menjadi
sesuatu hal yang sama sekali mesti dilupakan.
D.
Filsafat
Pragmatisme dalam Pendidikan
Sejak dahulu
hingga dewasa ini, dunia pendidikan selalu membuka diri terhadap kemungkinan
diterapkannya suatu format pendidikan yang ideal untuk menjawab permasalahan
global. Banyak teori telah diadopsi untuk mencapai tujuan tersebut. Termasuk
teori pragmatis dari aliran Filsafat pragmatisme mencoba mengisi ruang dan
waktu untuk turut mencari solusi terbaik terhadap model pendidikan yang
dianggap selangkah ketinggalan dengan perkembangan pola pikir manusia itu
sendiri.
Seiring dengan
perkembangan, dunia pendidikan berupaya menyelaraskan antara eksplorasi pikiran
manusia dengan solusi tindakan bersama perangkatnya untuk mencapai puncak
temuan. Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa
subjek didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap
subjek didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka
berkembang, serta memiliki insiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang
mereka miliki.
Dalam
pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik saat
belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di luar sekolah. Oleh
karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari sebagai bagian dari pengalaman
hidup, bukan bagian dari persiapan untuk menjalani hidup. Di sini pengalaman
belajar di sekolah tidak berbeda dengan pengalaman saat ia belajar di luar
sekolah. Pelajar menghadapi problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh
dari pemikiran yang relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan
pertumbuhan dan pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia
yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasilan.[9]
Model
pembelajaran pragmatisme adalah anak belajar di dalam kelas dengan cara berkelompok.
Dengan berkelompok anak akan merasa bersama-sama terlibat dalam masalah dan
pemecahanya. Anak akan terlatih bertanggung jawab terhadap beban dan kewajiban
masing-masing. Sementara, guru hanya bertindak sebagai fasilitator dan
motivator. Model pembelajaran ini berupaya membangkitkan hasrat anak untuk
terus belajar, serta anak dilatih berpikir secara logis. Sebagaimana yang
diungkap oleh Power (Sadulloh, 2003:133) bahwa, implikasi dari filsafat
pendidikan pragmatisme terhadap pelaksanaan pendidikan mencakup tiga hal pokok.
Ketiga hal pokok tersebut, yaitu:
1.
Tujuan
Pendidikan, tujuan pendidikan pragmatisme
adalah memberikan pengalaman untuk penemuan hal-hal baru dalam hidup sosial dan
pribadi.
2.
Kedudukan
Siswa, kedudukan siswa dalam pendidikan
pragmatisme merupakan suatu organisasi yang memiliki kemampuan yang luar biasa
dan kompleks untuk tumbuh.
3.
Kurikulum, kurikulum
pendidikan pragmatis berisi pengalaman yang teruji yang dapat diubah. Demikian
pula minat dan kebutuhan siswa yang dibawa ke sekolah dapat menentukan
kurikulum. Guru menyesuaikan bahan ajar sesuai dengan minat dan kebutuhan anak
tersebut.
4.
Metode, metode yang digunakan dalam pendidikan pragmatisme adalah metode
aktif, yaitu learning by doing (belajar sambil bekerja), serta metode
pemecahan masalah (problem solving method), serta metode penyelidikan
dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya
(mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan,
bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar
bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar
berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang
dicita-citakan dapat tercapai.
5.
Peran
Guru. Peran guru dalam pendidikan pragmatisme adalah mengawasi dan
membimbing pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhannya.
Selain hal di
atas, pendidikan pragmatisme kerap dianggap sebagai pendidikan yang
mencanangkan nilai-nilai demokrasi dalam ruang pembelajaran sekolah. Karena
pendidikan bukan ruang yang terpisah dari sosial, setiap orang dalam suatu
masyarakat juga diberi kesempatan untuk terlibat dalam setiap pengambilan
keputusan pendidikan yang ada. Keputusan-keputusan tersebut kemudian mengalami
evaluasi berdasarkan situasi-situasi sosial yang ada.
E.
Implementasi
Pragmatisme dalam pendidikan.[10]
1.
Tujuan
Pendidikan
Filsuf paragmatisme
berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana
berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman
yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik.
Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi:
a.
Kesehatan
yang baik
b.
Keterampilan-keterampilan
dan kejujuran dalam bekerja
c.
Minat
dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
d.
Persiapan
untuk menjadi orang tua
e.
Kemampuan
untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial
Tambahan tujuan
khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi.
Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk
menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan
sosial.
2. Kurikulum
Menurut para
filsuf paragmatisme, tradisi demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri
(a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada
masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme
“berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah.
3. Metode
Pendidikan
Ajaran
pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem
solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri
and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini
membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang
pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap
siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan
pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat
tercapai.
4. Peranan Guru
dan Siswa
Dalam
pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa.
Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat
dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi
suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan
kebutuhan yang dirasakannya. Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a.
Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Film-film,
catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang
untuk memunculkan minat siswa.
b. Membimbing
siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik.
Membimbing
merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna memecahkan
suatu masalah.
d. Membantu
para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
e. Bersama-sama
kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya,
dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.
Edward J. Power
(1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme
rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan
untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh
atas minat dan kebutuhan siswa”.
Callahan dan
Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme.
Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang
berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti
terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.
F.
Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pragmatisme
1.
Pragmatisme
terpusat pada masa kekinian. Meskipun demikian, aliran ini tidak berarti
mengabaikan masa datang, bahkan tidak memberi arti penting bagi masa datang
tersebut. Sementara filsafat pendidikan Islam terpusat pada manusia dalam
keberadaannya dan dalam semua masanya (masa lalu, sekarang dan masa depan). Hal
ini disebabkan karena di dalamnya terdapat unsur-unsur kekal dan dinamis yang
dapat diterapkan secara efektif sesuai dengan fitrah yang dimiliki manusia.
2.
Filsafat
pragmatisme memprogandakan demokrasi dan menanamkannya melalui pengajaran dan
pengalaman. Namun demikian, pendekatan ini tidak cukup untuk membentuk dan
menumbuhkan manusia yang baik dalam kehidupan. Hal tersebut disebabkan, karena
dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, tatkala manusia menginginkan jalan
keluar dari kesulitan hidup di dunia sekarang ini, sudah pasti harus dengan
dasar akhlak yang kokoh. Dasar-dasar akhlak tidak akan kokoh apabila tidak
disirami dengan air iman kepada Allah, iman yang wajib memberi makan semua
maujud. Bahaya pragmatisme, ialah bahwa ia tidak percaya kepada Allah, kecuali
bila ia bermanfaat.
3.
Filsafat
pragmatisme menganggap baik dan benar terhadap semua jalan (cara) yang
mengantarkan pada kebermanfaatan.[11]
Pendekatan yang demikian ini merupakan suatu pendekatan yang berbahaya dan bisa
menyalahi nilai-nilai Ilahiah. Akibatnya, manusia akan banyak mengorbankan
keimanan yang ada padanya demi sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya.
Sementara menurut Islam, tidak semua yang bermanfaat tersebut baik dan sesuai
dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan
yang tertinggi dari kehidupan materi (lahiriah) maupun immateri (bathiniah).
4.
Proses
pendidikan dalam pragmatisme bertujuan
memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk suatu
pribadi yang belajar dan berbuat (learning by doing). Proses demikian
berlangsung sepanjang hayat. Hanya saja, nilai-nilai tersebut tidak menjadi
ukuran absolut, sebagaimana kemutlakan nilai kewahyuan melainkan nilai relatif,
yaitu nilai baik dan buruk, benar dan salah, bermanfaat atau tidak bermanfaat
menurut pertimbangan kultural masyarakat. Nilai tersebut tentu saja berubah
sesuai dengan tempat, waktu dan persepsi masyarakat serta pengaru kemajuan
IPTEK.[12]
G. Kritik-kritik terhadap Pragmatisme
1.
Kritik
dari segi landasan ideologi Pragmatisme
Pragmatisme dilandaskan pada pemikiran dasar
(Aqidah) pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Hal ini nampak dari
perkembangan historis kemunculan pragmatisme, yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari empirisme. Dengan demikian, dalam konteks ideologis, Pragmatisme
berarti menolak agama sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, pemikiran
pemisahan agama dari kehidupan merupakan jalan tengah di antara dua sisi
pemikiran tadi. Penyelesaian jalan tengah, sebenarnya mungkin saja terwujud di
antara dua pemikiran yang berbeda (tapi masih mempunyai asas yang sama). Namun
penyelesaian seperti itu tak mungkin terwujud di antara dua pemikiran yang
kontradiktif. Sebab dalam hal ini hanya ada dua kemungkinan. Yang pertama,
ialah mengakui keberadaan Al Khaliq yang menciptakan manusia, alam semesta, dan
kehidupan. Dan dari sinilah dibahas, apakah Al Khaliq telah menentukan suatu
peraturan tertentu lalu manusia diwajibkan untuk melaksanakannya dalam
kehidupan, dan apakah Al Khaliq akan menghisab manusia setelah mati mengenai
keterikatannya terhadap peraturan Al Khaliq ini. Sedang yang kedua, ialah mengingkari
keberadaan Al Khaliq. Dan dari sinilah dapat dicapai suatu kesimpulan, bahwa
agama tidak perlu lagi dipisahkan dari kehidupan, tapi bahkan harus dibuang
dari kehidupan.
2. Kritik dari segi metode pemikiran
Pragmatisme
yang tercabang dari Empirisme nampak jelas menggunakan Metode Ilmiyah (Ath
Thariq Al Ilmiyah), yang dijadikan sebagai asas berpikir untuk segala bidang
pemikiran, baik yang berkenaan dengan sains dan teknologi maupun ilmu-ilmu
sosial kemasyarakatan. Ini adalah suatu kekeliruan.
Metode Ilmiyah
adalah suatu metode tertentu untuk melakukan pembahasan/pengkajian untuk
mencapai kesimpulan pengertian mengenai hakekat materi yang dikaji, melalui
serangkaian percobaan/eksperimen yang dilakukan terhadap materi. Memang, metode
ini merupakan metode yang benar untuk objek-objek yang bersifat materi/fisik
seperti halnya dalam sains dan teknologi. Tetapi menjadikan Metode Ilmiyah
sebagai landasan berpikir untuk segala sesuatu pemikiran adalah suatu
kekeliruan, sebab yang seharusnya menjadi landasan pemikiran adalah Metode
Akliyah (Ath Thariq Al Aqliyah), bukan Metode Ilmiyah. Sebab, Metode Ilmiyah
itu sesungguhnya hanyalah cabang dari Metode Akliyah.
Metode Akliyah
adalah sebuah metode berpikir yang terjadi dalam proses pemahaman sesuatu
sebagaimana definisi akal itu sendiri, yaitu proses transfer realitas melalui
indera ke dalam otak, yang kemudian akan diinterpretasikan dengan sejumlah
informasi sebelumnya yang bermukim dalam otak. Metode Akliyah ini sesungguhnya
merupakan asas bagi kelahiran Metode Ilmiyah, atau dengan kata lain Metode
Ilmiyah sesungguhnya tercabang dari Metode Akliyah. Argumen untuk ini,
sebagaimana disebutkan Taqiyuddin An Nabhani dalam At Tafkir halaman 32-33, ada
dua point:
Bahwa untuk melaksanakan eksperimen dalam Metode Ilmiyah, tak
dapat tidak pasti dibutuhkan informasi-informasi sebelumnya. Dan informasi
sebelumnya ini, diperoleh melalui Metode Akliyah, bukan Metode Ilmiyah. Maka,
Metode Akliyah berarti menjadi dasar bagi adanya Metode Ilmiyah.
Bahwa Metode Ilmiyah hanya dapat mengkaji objek-objek yang
bersifat fisik/material yang dapat diindera. Dia tak dapat digunakan untuk
mengkaji objek-objek pemikiran yang tak terindera seperti sejarah, bahasa,
logika, dan hal-hal yang ghaib. Sedang Metode Akliyah, dapat mengkaji baik
objek material maupun objek pemikiran. Maka dari itu, Metode Akliyah lebih
tepat dijadikan asas berpikir, sebab jangkauannya lebih luas daripada Metode
Ilmiyah.
Atas dasar dua
argumen ini, maka Metode Ilmiyah adalah cabang dari Metode Akliyah. Jadi yang menjadi
landasan bagi seluruh proses berpikir adalah Metode Akliyah, bukan Metode
Ilmiyah, sebagaimana yang terdapat dalam Pragmatisme.
3. Kritik terhadap Pragmatisme itu sendiri
Pragmatisme
adalah aliran yang mengukur kebenaran suatu ide dengan kegunaan praktis yang
dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Ide ini keliru dari tiga sisi.
Pertama,
Pragmatisme mencampur adukkan kriteria kebenaran ide dengan kegunaan
praktisnya. Kebenaran suatu ide adalah satu hal, sedang kegunaan praktis ide
itu adalah hal lain. Kebenaran sebuah ide diukur dengan kesesuaian ide itu
dengan realitas, atau dengan standar-standar yang dibangun di atas ide dasar
yang sudah diketahui kesesuaiannya dengan realitas. Sedang kegunaan praktis
suatu ide untuk memenuhi hajat manusia, tidak diukur dari keberhasilan
penerapan ide itu sendiri, tetapi dari kebenaran ide yang diterapkan. Maka,
kegunaan praktis ide tidak mengandung implikasi kebenaran ide, tetapi hanya
menunjukkan fakta terpuaskannya kebutuhan manusia .
Kedua,
pragmatisme menafikan peran akal manusia. Menetapkan kebenaran sebuah ide
adalah aktivitas intelektual dengan menggunakan standar-standar tertentu.
Sedang penetapan kepuasan manusia dalam pemenuhan kebutuhannya adalah sebuah
identifikasi instinktif. Memang identifikasi instinktif dapat menjadi ukuran
kepuasan manusia dalam pemuasan hajatnya, tapi tak dapat menjadi ukuran
kebenaran sebuah ide. Maka, pragmatisme berarti telah menafikan aktivitas
intelektual dan menggantinya dengan identifikasi instinktif. Atau dengan kata
lain, pragmatisme telah menundukkan keputusan akal kepada kesimpulan yang
dihasilkan dari identifikasi instinktif .
Ketiga, pragmatisme menimbulkan relativitas dan kenisbian kebenaran
sesuai dengan perubahan subjek penilai ide (baik individu, kelompok, dan
masyarakat) dan perubahan konteks waktu dan tempat. Dengan kata lain, kebenaran
hakiki Pragmatisme baru dapat dibuktikan (menurut Pragmatisme itu sendiri)
setelah melalui pengujian kepada seluruh manusia dalam seluruh waktu dan
tempat. Dan ini mustahil dan tak akan pernah terjadi.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan,
perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis.Filosuf yang terkenal sebagai tokoh filsafat
pragmatisme adalah William James dan John Dewey.Seperti dengan aliran-aliran
filsafat pada umumnya, pragmatisme juga memiliki kekuatan dan kelemahan
sehingga menimbulkan kritik-kritik terhadap aliran filsafat ini.
1. Kekuatan
kemunculan pragmatis sebagai aliran filsafat dalam kehidupan
kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemnjuan yang
pesat bagi ilmu pengetahuan maupun teknologi.
Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yag liberal,
bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada
Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah
percaya pada “kepercayaan yang mapan”.
2. Kelemahan
Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat
metafisika dan kebenaran absolute(kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran
apabilaa terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa duna ini mampu diciptakan
oleh manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari
sesuatu yang transendental(bahwa Tuhan jauh di luar alam semesta).
Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme
adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh
manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan
berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari
masyarakat sosialnya.
Pragmatisme
memandang bahwa siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar
biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing
pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan
siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Amril M, Etika dan Pendidikan, Yogyakarta: LSFK2P, 2005
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandung: Rosda Karya, 2010
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Rajawali Pers, 2011
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia,
2009
Fu’ad Farid Isma’il & Abdul Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai
Ilmu Filsafat, Yokyakarta: IRCiSoD, 2003
Teguh Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan,Yokyakarta: AR-RUZZ
MEDIA, 2011
Mashyuri, Filsafat , Sejarah dan Perkembangannya, Pekanbaru:
Perpustaka Nasional, 2011
David Trueblood & disusun kembali oleh Rasjidi, Filsafat
Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1994
Filsafat Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh
Wangsa Gandhi HW
[1] Realitas atau
kenyataan hanyalah apa yang dapat diamati dan dirasakan. Pengetahuan bersifat
sementara dan demikian juga dengan nilai-nilai. Bagi prakmatisme semua yang
mengalami perubahan tidak ada yang kekal
(tetap). Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri. Lihat, Ramayulis,
Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h. 33.
[2] William james (1842-1910 M) Ia adalah seorang filsuf Amerika yang
dilahirkan di New York dari kalangan keluarga terhormat, baik secara keilmuan
maupun kebudayaan. Kehidupan akademisnya dimulai dengan belajar ilmu kedokteran
di Universitas Harvard. Kemudian, ia beralih mempelajari sejarah dan ilmu alam.
Setelah itu, ia belajar ilmu jiwa. Dialah yang berjasa mendirikan laboratorium
pisikologi pertama di Amerika. Dia juga mengarang buku pisikologi yang sangat
terkenal The Principles of Psychology dalam dua jilid yang
dipublikasikan pada tahun 1890 M. Dari ilmu jiwa, ia beralih ke filsafat dan
sangat menyukai aliran Pragmatisme. Disini ia banyak mengarang buku, diantaranya
adalah Pragmatism yang dipublikasikan pada tahun 1907 M. William James
adalah model bagi para filsuf Amerika. Kemashurannya disebabkan banyaknya
pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya. Disamping itu, buku-bukunya telah
banyak diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dunia. Buku-buku tersebut juga
sangat dikenal dimasyarakat, karena kemudahan dan kesederhanaan bahasanya, juga
karena orang-orang mulai menaruh perhatian terhadap filsafat pragmatisme yang
menjadi ulasan-ulasan buku-bukunya itu. Lihat, Fu’ad Farid Isma’il & Abdul
Hamid Mutawalli, Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, (Yokyakarta: IRCiSoD, 2003), h. 109-110.
[3] http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme
[4] Lihat, Teguh
Wangsa Gandhi HW, Filsafat Pendidikan, (Yokyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2011), h.
145-146. Sedangkan menurut pendapat yang lain, pragmatisme berasal dari kata
pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka Pragmatisme
adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat
secara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik,
asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat
diterima asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Lihat, Mashyuri, Filsafat , Sejarah
dan Perkembangannya, (Pekanbaru: Perpustaka Nasional, 2011), h. 74.
[5] Lihat, Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Rosda Karya, 2010), h. 190.
[6] Op. Cit, h.
33.
[7] Dewey meyakini
pengetahuan sebagai pengalaman, dan pengalaman yang sebenarnya adalah bersifat
menimbulkan daya guna (fungsional).
Ditegaskan lebih lanjut, bahwa seperti halnya kaum sofis pada masa Yunani Kuno, Dewey menolak ungkapan
realitas atau kebenaran absolut. Ia
menegaskan bahwa semua kebenaran adalah relatif, bergantung pada ruang dan
waktu. Apa yang tampaknya benar sekarang, belum tentu benar esoknya. Kebenaran
bagi Dewey berupa sesuatu yang berguna yang terbentuk dari peristiwa-peristiwa
alami yang terjadi. Maka, pengetahuan itu selalu sebagai instrumen atau alat
untuk mengadakan perubahan dari kondisi realitas yang tidak memuaskan kepada
kondisi realitas yang lebih memuaskan. Lihat, Abd. Rachman Assegaf, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 200.
[8] Filsafat
Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh Wangsa Gandhi HW. Hal.
147-148
[9] Filsafat
Pendidikan (Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan) Teguh Wangsa Gandhi HW. hal.
150.
[10] Pendidikan adalah jalan pokok menuju kemajuan sosial dan central
perbaikan. Karena itu, pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha yang terus
menerus dengan tujuan meluaskan dan mendalamkan jangkauan/liputan sosialnya,
berbarengan dengan usaha menyiapkan anak didik untuk tanggap dan berperan dalam
kegiatan alamiah. Aliran ini tidak memisahkan antara materi pengajaran dengan
metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas
konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak
boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran guru. Aliran ini
menuntut agar peserta didik diikutsertakan
secara demokrasi dan dinamis, baik dalam berfikir dan membahas. Dengan
demikian, peserta didik akan mampu menemukan hakikat kebenaran dengan
sendirinya. Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan
individual (differensiasi individual).
Untuk itu,
pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya menanamkan
rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja di bidang
pendidikan. Aliran ini tidak melihat perlunya menggunakan hukuman fisik
terhadap anak didik dengan alasan bahwa ketertiban dan kesadaran bertanggung
jawab mesti tumbuh dari murid sendiri dan murid haruslah dilibatkan dalam semua
kegiatan. Bila timbul kesulitan, guru harus berusaha memecahkannya bersama
murid, tanpa menyerahkannya ke bahagian administrasi. Kurikulum pengajaran
merupakan kesatuan-kesatuan dinamika yang mempunyai tujuan. Aliran ini menolak
pembagian yang dogmatis terhadap kurikulum atas ilmu-ilmu dan materi-materi
yang berbeda-beda. Bahkan aliran ini tidak melihat adanya perbedaan besar
antara satu materi dengan materi lain. Hal ini disebabkan, karena semua materi
merupakan unsur kegiatan kemanusiaan. Untuk itu, seorang pendidik hendaknya menjadikan
pengetahuan sebagai satu kesatuan kegiatan hidup, sebagaimana halnya dalam
alam. http://kukuhsilautama.wordpress.com/2011/03/31/filsafat-pendidikan-pragmatisme
[11] Pengikut
mazhab pragmatisme mendapat pengaruh besar waktu mereka menyerang ahli agama
dengan mengatakan bahwa sesungguhnya
kita tidak bisa dapat membuktikan kebenaran keterangan-keterangan ahli
agama. Mereka berkataselanjutnya bahwa oleh karena kita tak dapat mengukur
kebenaran agama itu dengan kenyataan, maka kita harus merobah arti kebenaran
dalam soal-soal keagamaan, jadi bagi mereka kebenaran bukan apa yang cocok
dengan kenyataan akan tetapi adalah apa yang dapat terlaksana dan apa yang
dapat berlaku. Lihat, David Trueblood & disusun kembali oleh Rasjidi, Filsafat
Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 18-19.
[12]
Pragmatisme berpendirian bahwa sesuatu
keterangan itu benar, kalau keterangan itu sesuai dengan realitas yang
diterangkannya. Jadi apa yang dinamakan anggapan atau keterangan baru diakui
benar bila cocok dengan kenyataan. Lihat, Ibid
0 komentar:
Posting Komentar