Istihsan Berdasarkan Perspektif
Mazhab Abu Hanifah[1]
Oleh:
Fitri Yafrianti
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”
A.
Pendahuluan
Imam Abuhanifah beserta ulama-ulama
pengikutnya terkenal banyak memakai Istihsan. Fuqaha Hanafi baru memakai
Istihsan, apabila penerapan hukum yang dihasilkan oleh Qiyas akan mengakibatkan
kejanggalan dan ketidak adilan.
Istihsan ialah mengecualikan (memindahkan)
hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan
memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi
pengecualian tersebut.[2] Dengan demikian maka istihsan adalah
kebalikan Qiyas, karena Qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu peristiwa
dengan hukum peristiwa lain yang sejenisnya. Berdasarkan macamnya alasan untuk
mengecualikan tersebut, maka istihsan dibagi menjadi istihsan-qiyas dan
istihsan-darurat.
Istihsan Qiyas.
Istihsan
Qiyas ialah mengecualikan hukum sesuatu persoalan dari hukum yang ditetapkan
oleh Qiyas yang lahir dan mudah diterima fikiran untuk menuju kepada hukum lain
berdasarkan (ditetapkan oleh) Qiyas lain yang lebih halus dan rumit daripada
Qiyas yang pertama, akan tetapi Qiyas terakhir ini lebih kuat dasarnya dan
lebih tepat. Oleh karena tersebar luasnya istihsan tersebut di kalangan
ulama-ulama Mazhab Hanafi, maka istihsan tersebut kadang-kadang disebut dengan
nama “qiyas yang samar” (al-qiyasul khafiyy).
Memang pada hakekatnya istihsan tersebut
adalah hasil usaha mencari segi-segi kekuatan salah satu Qiyas dari beberapa
Qiyas yang saling berlawanan mengenai satu persoalan. Jadi istihsan tersebut
termasuk dalam persoalan Qiyas. Sebagai contoh Istihsan-Qiyas ialah persoalan
titipan dan hutang dalam gambaran sebagai berikut: Menurut aturan pokok yang
telah disepakati ialah bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas
pengakuannya dalam hubungannya dengan hak dirinya sendiri, tetapi bukan dalam
hubungannya dengan hak orang lain. Jadi kalau ia memberikan pengakuan bahwa dia
bersama saudaranya mempunyai hutang sejumlah tertentu, maka ia harus
melunasinya sebesar yang diakuinya dari jumlah tersebut, sedang saudaranya
tidak bisa dipaksa memenuhi selisih hutang tersebut apabila ia mengingkarinya.[3]
Bagaimana
halnya kalau peristiwa yang sama terjadi pada barang seperti perusahaan penitipan
barang di sekitar stasiun atau pelabuhan misalnya, (perusahaan veem). Jadi ada
orang ketiga yang mengaku bahwa ia diberi kuasa (menjadi wakil) untuk menerima
barang-barang orang yang menitipkan, kemudian orang yang menerima titipan barang
tersebut mengakui akan kewakilan orang ketiga tersebut. Seharusnya, dengan
mendasarkan kepada kesamaan yang jelas antara peristiwa titipan tersebut dengan
peristiwa pelunasan hutang, maka penerima simpanan harus menyerahkan
barang-barang yang dititipkan kepadanya itu. Hal ini adalah menurut logikanya
Qiyas.
Akan
tetapi berdasarkan Istihsan, penerima titipan tersebut tidak diwajibkan
menyerahkan barang-barang yang dititipkan kepadanya dalam gambaran peristiwa
tersebut di atas, meskipun ia mengakui kewakilan orang ketiga tersebut, sebab
boleh jadi pemilik barang tidak mengakui kewakilan orang ketiga tersebut , dan
dengan demikian maka barang-barang titipan telah pergi, bahkan boleh jadi tidak
akan kembali.
Perbedaan
yang sebenarnya antara barang titipan dengan hutang ialah bahwa pada barang
titipan hak milik bertalian dengan macamnya barang itu sendiri. Lain halnya
dengan piutang, di mana hak kreditur bertalian dengan tanggungan debitur, bukan
bertalian dengan macamnya barang (uang) yang diberikan oleh debitur kepada
orang ketiga. Jadi apabila kreditur kemudian datang dan mengingkari kewakilan
orang ketiga,maka berarti pembayaran yang dilakukan oleh debitur bukan
pelunasan yang sebenarnya terhadap hutang karena kewakilan yang menjadi dasar
pelunasan tersebut sebenarnya tidak ada. Dengan demikian maka hak kreditur
tetap seperti semula, yaitu menjadi tanggungan debitur. Debitur ini diwajibkan
melunasi lagi hutangnya kepada kreditur, dan ia (debitur) bisa meminta kembali
uangnya kepada orang ketiga tersebut.[4]
Istihsan Darurat.
Istihsan
Darurat ialah penetapan sesuatu hukum yang menyimpang dari hukum yang
ditetapkan oleh Qiyas, karena mengingat kepada suatu keadaan darurat (terpaksa)
atau suatu kepentingan tertentu yang mengharuskan adanya penyimpangan tersebut,
dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindarkan
kesulitan.
Jadi
istihsan darurat baru terwujud, manakala penerapan hukum yang didasarkan atas
Qiyas atas sesuatu persoalan akan menimbulkan kepincangan dan kejanggalan, atau
ketidak adilan. Untuk menghindari hal-hal ini, maka dengan mendasarkan kepada
istihsan, hukum yang ditetapkan oleh Qiyas ditinggalkan dan memakai hukum yang
lain, sebab meskipun persoalan-persoalan yang diqiaskan (di analogkan) satu
sama lain masih termasuk dalam satu jenis dan mempunyai dasar-dasar yang sama,
namun kadang-kadang bisa menimbulkan hal-hal yang tidak sama, dari segi
menyulitkan atau tidak, menurut perbedaan peristiwa (obyek hukum) dan
keadaan-keadaan lain yang menyertainya.
Jadi
istihsan dalam keadaan semacam ini merupakan suatu cara (jalan) bagi para
fuqaha untuk menetapkan hukum-hukum yang didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan
yang sesuai dengan logika hukum Islam (fiqih) dan maksud-maksud Syari’at,
ketika penerapan Qiyas akan menimbulkan hasil yang salah.
Sebagai
contoh istihsan darurat ialah masalah melakukan pembayaran untuk orang lain
dari uang sendiri. Dalam salah satu aturan pokok hokum islam ialah bahwa kalau
melakukan pembayaran untuk kepentingan “B” dari uang sendiri, tanpa diperintahkan
sebelumnya, seperti untuk memberikan belanja orang-orang yang menjadi
tanggungan “B” tersebut, atau untuk melunasi hutangnya dan sebagainya, maka “A”
dianggap sebagai pemberi sedekah (mutabarri), baik diniatkan member sedekah
atau tidak, dan baginya tidak boleh menuntut uang pengganti dari “B” kecuali
kalau “A” melakukan pembayaran tersebut karena terpaksa. Seperti kalau misalnya
“A” harus menebus barang yang digadaikan oleh “B” untuk jaminan hutangnya (“B”)
atas persetujuan “A”, yaitu pemilik barang sendiri, di mana “B” sendiri tidak
mampu untuk menebusnya. Jadi di sini terdapat barang yang dipinjamkan untuk
digadaikan, dan pembayaran oleh “A” di sini bukan sebagai pemberian sedekah.[5]
Pembagian Istihsan Tradisionil.
Kebanyakan
fuqaha dalam mazhab Hanafi membagi Istihsan kepada empat bagian, yaitu: Istihsan
Qiyas, Istihsan Darurat, Istihsan Sunnah,dan Istihsan Ijma’. Yang dimaksud
dengan istihsan sunnah ialah penyimpangan dari hukum qiyas untuk menuju hukum
lain yang berbeda yang ditetapkan dalam sunnah. Istihsan ijma’ ialah
penyimpangan dari hukum Qiyas untuk menuju kepada hukum lain yang ditetapkan
oleh ijma’.
Sebenarnya
Istihsan Sunnah dan Istihsan Ijma’ tidak perlu digolongkan kepada istihsan
lagi, sebab dalam keadaan demikian yang menjadi pegangan ialah Sunnah dan
Ijma’nya itu sendiri atau dengan perkataan lain ialah Nas dan Syara’ dan sumber
lain yang dipersamakan dengannya (Ijma’). Sedang yang dimaksud dengan Istihsan
ialah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang faqih dari hukum Qiyas, dan
Qiyas ini sendiri baru terdapat apabila sudah tidak ada Nas (ketentuan) dari
Syara’, seperti yang telah diterangkan dalam pengurutan sumber-sumber hokum
Islam. Jadi baik Qiyas maupun istihsan baru dapat ditetapkan pada peristiwa
hukum yang tidak ada ketentuan hukumnya pada Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Kalau
tidak terjadi penyimpangan yang diadakan oleh Syara’ sendiri dari ketentuan
hukum Qiyas, karena adanya suatu kepentingan hukum yang hendak dipelihara oleh
Syara’, maka penyimpangan ini disebut Istihsan
dari Syara’, dan ini berbeda dengan Istihsan
dari fuqaha (Istihsan Qiyas dan Istihsan Darurat).[6]
Daftar
Pustaka
Departemen
Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di
Dunia Islam, Jakarta: Depag, 1986
Ali
Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta:
Mitra Pustaka, 2003
Ahmad
Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984
* Penulis adalah Mahasiswa UIN SUSKA RIAU Pekanbaru; kini sedang studi Program SI, Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Isam.
[1] Abu Hanifah An-Nu’man Ibn
Tsabit, lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat tahun 150 H/676 M. Departemen
Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di
Dunia Islam, (Jakarta: Depag, 1986), hal. 15. Beliau lahir dan dibesarkan
di Arab, sedangkan nenek moyang beliau berasal dari Faris. Hal itu tidak
masalah bagi Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membeda-bedakan antara imam Faris
dan Arab. Karena takwa adalah paling tingginya nasab dan kuatnya hitungan.
Sikap tersebut didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya paling mulia kamu di sisi Tuhan adalah orang yang paling
takwa kepadaNya.” Dan Nabi pernah bersabda di saat haji wada’: “Wahai manusia,
Tuhanmu satu. Tidak ada prioritas bagi Arab atas luar Arab(ajami), atau luar
Arab atas Arab. Tidak ada prioritas bagi hitam atas merah, atau merah atas
hitam, kecuali takwa.” Ali Fikri, Kisah-Kisah
Para Imam Madzhab, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 4.
[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), hal. 66.
[3] Berdasarkan aturan tersebut, maka apabila
orang ketiga mengaku menjadi wakil dari pihak kreditur (yang menghutangkan)
untuk menerima pihutang dari pihak debitur (yang berhutang), kemudian debitur
mengakui kewakilan orang ketiga tersebut, maka ia (debitur) harus melunasi
hutangnya berdasarkan pengakuannya terhadap kedudukan orang ketiga itu. Ahmad
Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal.
67.
[4] Jelasnya ialah, bahwa dalam pelunasan hutang, menurut kenyataan, dan
tinjauan hokum, debitur memberikan jumlah yang sebanding dengan hutangnya dan
diambilkan dari hartanya sendiri. Jadi pengakuannya tehadap kewakilan orang
ketiga untuk menerima pelunasan hutang sebenarnya berarti suatu pengakuan
daripadanya untuk menyerahkan uangnya sendiri kepada orang ketiga, sebagai
pelunasan hutang terhadap kreditur. Jadi pengakuan di sini adalah pengakuan
atas dirinya (atas nama dirinya), dan kalau ternyata kemudian bahwa kewakilan
tersebut tidak ada, maka ia sendiri yang menyia-nyiakan hartanya. Lain halnya dengan
titipan, karena hak pemiliknya bertalian dengan macamnya barang titipan itu
sendiri, bukan bertalian dengan tanggungan. Jadi kalau berupa motor maka hak
pemilik bertalian dengan bendanya motor itu sendiri. Jadi kalau penerima
titipan mengakui kewakilan orang ketiga untuk menerimanya, bearti ini adalah suatu
pengakuan daripadanya untuk menyerahkan barang yang lain kepada orang ketiga.
Ini adalah suatu pengakuan atas nama orang lain, bukan atas nama dirinya
sendiri. Jadi kalau penyerahan kepada orang ketiga tersebut dibenarkan, maka
hal ini berarti menyia-nyiakan harta orang lain hanya karena adanya pengakuan atas nama orang lain ini. Ahmad
Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal.
68-69.
[5] Seharusnya anggapan sebagai
sedekah juga berlaku pada peristiwa berikut, yaitu apabila seseorang
menyerahkan uang kepada orang lain untuk dibelikannya sesuatu, atau untuk
melunasi hutangnya atau untuk membiayai bangunan yang dipercayakan
pelaksanaannya kepadanya, kemudian orang lain tersebut membekukan uang tersebut
dan untuk keperluan orang yang memerintahkan tersebut dikeluarkannya uang dari
milik orang lain tersebut misalnya karena kesulitan-kesulitan tehnis, seperti
kalau negri-negri orang tersebut dan mata uangnya tidak sama atau harus melalui
aturan-aturan birokratis dan administrasi yang tidak mudah, dengan maksud agar
pada kemudian hari bisadilunaskan dari orang yang memerintahkan, maka menurut
ketentuan Qiyas lahir (yakni dipersamakan dengan peristiwa pembayaran di atas),
orang yang melakukan pembayaran tersebut dianggap sebagai orang yang memberikan
sedekah, dan harus mengembalikan apa yang telah diterimanya dari orang yang
memerintahkan. Akan tetapi para fuqaha mengatakan, bahwa dalam contoh peristiwa
tersebut, orang yang melakukan pembayaran tersebut tidak dianggap sebagai
pemberi sedekah, dengan didasarkan kepada istihsan, karena untuk memudahkan
pemberian bantuan (fasilitas) dan menjauhkan kepincangan-kepincangan dalam
hubungan kemasyarakatan, untuk kemudian diadakan kompensasi hutang antara
jumlah uang yang telah dibayarkan dengan jumlah uang yang diterima. Dari contoh-contoh istihsan tersebut kita
mengetahui bahwa apabila terjadi perlawanan antara Qiyas dengan istihsan, maka
istihsanlah yang harus didahulukan, sebab pada hakekatnya istihsan merupakan
suatu kebijaksanaan dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan atau
kepincangan-kepincangan hokum yang timbul sebagai akibat penerapan Qiyas secara
mutlak. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah
Hukum Islam, hal. 70-71.
[6]
Perbedaan antara kedua macam
Istihsan tersebut sama dengan perbedaan antara dua istilah dalam hukum positif, yaitu “qarain qanuniyyah” dengan
“qarain qadlaiyyah”, Qarain qanunniyyah ialah bukti-bukti (hal-hal) yang
ditentukan oleh Pembuat Undang-undang untuk menimbulkan hukum tertentu yang
dinyatakannya, di mana hakim tidak bisa memberikan pernilaiannya sendiri,
seperti tenggang waktu tertentu yang dipandang oleh Pembuat Undang-undang bisa
menunjukkan keragu-raguan tentang adanya hak yang sama (mengalami daluwarsa),
sehingga gugatan atas hak tersebut tidak dapat diterima. Qairan qadlaiyyah
adalah sejenis bukti-bukti dan alat-alat pembuktian, di mana hakim bisa menilai
kekuatan daya buktinya atas peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, agar ia dapat
menerapkan ketentuan-ketentuan yang sah atas peristiwa-peristiwa yang disertai
dengan bukti-bukti tersebut. Perbedaan antara kedua qarain tersebut ialah bahwa
qarain qanuniyyah adalah ketentuan dari pembuat undang-undang yang dituangkan
ke dalam undang-undang sendiri sedang qarain qadlaiyyah adalah dari hakim yang
melaksnakan penelitian peristiwa-peristiwa yang dihadapinya. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal.
71-72.
0 komentar:
Posting Komentar