AQLAK TASAWUF: Sumber-sumber Pembentukan Etika: Ukuran Baik dan Buruk


Sumber-sumber Pembentukan Etika:
 Ukuran Baik dan Buruk

Oleh: Fitri Yafrianti*

Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
 Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”


A.    Pendahuluan
Setiap perilaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah dilakukan oleh manusia timbul dari kejiwaan. Walaupun pancaindera kesulitan melihat pada dasar kejiwaan namun dapat dilihat dari wujud kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan. Pada kondisi demikian kadang membuat perasaan seorang ahli penyelidik akhlak kurang puas. Karena sulitnya mencari kejujuran perilaku yang sebenarnya sesuai dengan kejiwaannya. Apabila ada perkataan “jangan dusta” engkau ulang terus, tetapi engkau lengahkan jiwanya sehingga timbul perbuatan dusta, tentu perkataanmu tidak membekas di hati.[1] Perbuatan baik adalah merupakan akhlak yang wajib kita kerjakan, sedangkan perbuatan buruk adalah wajib kita tinggalkan, dan ini berarti ada akhlak yang baik dan ada akhlak yang buruk.[2] Baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang.[3]
 Kemudian yang menjadi persoalan adalah apa saja yang menjadi dasar seseorang melakukan tindakan?[4] Apabila ditinjau dari segi akhlaknya kejiwaan maka perilaku dilakukan, atas dasar  pokok-pokok sebagai berikut:
A.    Insting (Naluri)
Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri (insting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli. Dalam bahasa Arab disebut Garizah atau Fitrah dan dalam bahsa Inggris disebut Instinct. Diantara sarjana ada yang memberikan ta’rif naluri itu sebagai berikut :
Naluri ialah sifat yang dapat menimbulkan pebuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan terpikir lebih dahulu kea rah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu.[5]

Definisi insting oleh ahli jiwa masih ada perselisihan pendapat. Namun perlu diungkapkan juga, bahwa menurut James, insting ialah suatu alat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berfikir lebih dahulu ke arah tujuan itu dan tiada dengan didahului latihan perbuatan itu.[6]
Untuk lebih mendekatkan pengertian insting maka ada beberapa sifatnya, antara lain:
Ø  Kekuatan insting ini berbeda menurut perbedaan orang dan bangsanya, ia kuat dan lemah menurut ketinggian akal bagi seseorang atau bangsa, dan mengingat keadaan yang meliputinya. Insting yang bermacam-macam ini ialah sebab timbulnya perselisihan di antara manusia.
Ø  Saat tampaknya insting yang bermacam-macam ini tidak terbatas dan tidak teratur dalam manusia, sebagaimana teraturnya pada  binatang.
Ø  Banyak terjadi pertentangan antara insting-insting, sehingga menimbulkan kegoncangan dan keragu-raguan dalam kelakuan manusia, seperti orang yang mempunyai insting suka memiliki serba kuat dan ia mempunyai juga insting yang kuat untuk menghasilkan kebaikan bagi pergaulan umum, maka engkau melihatnya agak goncang dan ragu-ragu karena akibat dua insting yang bertentangan itu.
Ø  Insting-insting itu kelihatan dalam bentuk pendorong untuk berbuat, insting marah  mendorong timbulnya kata yang tajam atau membalas dendam, dan insting suka mengetahui mendorong  untuk mengemukakan pertanyaan-pertanyaan membaca buku-buku dan menyelidiki hal-hal yang belum diketahui.
Ø  Insting itu adalah asas baki perbuatan manusia. Dia melakukan perbuatan yang bermacam-macam dalam sehari-harinya: ia bangun tidur, berpakaian, makan pagi dan lain-lain perbuatan yang beraneka warna. Perbuatan-perbuatan yang menggembirakan hatinya; ia ulangi tiap-tiap hari, walaupun banyak macam-macamnya perbuatan itu, bila diperinci dapat dikembalikan kepada beberapa insting yang menimbulkan perbuatan itu, dan dengan insting-insting itu dapat dijelaskan tiap-tiap kelakuan manusia.[7]
Pengertian insting lebih lanjut adalah sifat jiwa yang pertama yang membentuk akhlak, akan tetapi suatu sifat yang masih primitif, yang tidak dapat dilengahkan dan dibiarkan begitu saja, bahkan wajib dididik dan diasuh. Cara mendidik dan mengasuh insting kadang-kadang dengan ditolak dan kadang-kadang pula diterimanya.
Macam-macam insting:
a. Insting menjaga diri sendiri
b. Insting menjaga lawan jenis
c. Insting merasa takut
Ahli – ahli Psikologi menerangkan pelbagai naluri (Insting) yang ada pada manusia yang menjadi pendorong tingkah lakunya, diantaranya:
a.  Naluri makan (Nutritive Instinct) : bahwa begitu manusia lahir telah membawa    suatu hasrat makan tanpa didorong oleh orang lain. Buktinya begitu bayi lahir, begitu mencari tetek ibunya dan pada waktu itu juga dapat mengisap air susu tanpa diajari lagi.
b. Naluri berjodoh (seksual Instinct) : laki – laki menginginkan wanita dan wanita ingin berjodoh dengan laki-laki. Dalam Al-Qur’an diterangkan:
z`Îiƒã Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$|¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@øyø9$#ur ÏptB§q|¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4quysø9$# $u÷R9$# ( ª!$#ur ¼çnyYÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$# ÇÊÍÈ 
Artinya :
Manusia itu diberi hasrat atau keinginan, misalnya kepada wanita, anak-anak, dan kekayaan yang melimpah-limpah”. (QS. 3 Ali Imran : 14)
c. Naluri keibu bapakan (paternal instinct) : tabiat kecintaan orang tua kepada anaknya dan sebaliknya kecintaan anak kepada orangtuanya. Jika seorang ibu tahan menderita dalam mengasuh bayinya, kelakuannya itu didorong oleh naluri tersebut.  
d.       Naluri berjuang (combative instinct) : tabiat manusia yang cenderung mempertahankan diri dari gangguan dan tantangan. Jika seorang diserang oleh musuhnya, maka dia akan membela diri.
e.  Naluri berTuhan : tabiat manusia[8] mencari dan merindukan penciptanya yang mengatur dan memberikan rahmat kepadanya. Naluri ini disalurkan dalam hidup beragama.[9]
B.     Hati Nurani (Suara Batin)
Setiap manusia mempunyai pengalaman tentang hati nurani dan mungkin pengalaman itu merupakan perjumpaan paling jelas dengan moralitas sebagai kenyataan. Sulit untuk menunjukkan pengalaman lain yang dengan begitu terus terang menyingkapkan dimensi etis dalam hidup kita. Karena itu pengalaman tentang hati nurani itu merupakan jalan masuk yang tepat untuk suatu studi mengenai etika. Kita mulai dengan memandang contoh yang berbeda tentang pengalaman hati nurani yang dipilih dengan cara demikian, sehingga dapat dipakai dalam analisis selanjutnya.
*seorang hakim telah menjatuhkan vonis dalam suatu perkara pengadilan yang penting. Malam sebelumnya ia didatangi oleh wakil dari pihak terdakwa. Orang itu menawarkan sejumlah besar uang, bila si hakim bersedia memenangkan pihaknya. Hakim yakin bahwa terdakwa itu bersalah. Bahan bukti yang telah dikumpulkan dengan jelas menunjukkan hal itu. Tapi ia tergiur oleh uang yang begitu banyak, sehingga tidak bisa lain dari pada menerima penawaran itu. Ia telah memutusan terdakwa tidak bersalah dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum. Kejadian ini sangat menguntungkan untuk dia. Sekarang ia sanggup menyekolahkan anaknya ke luar negeri dan membeli rumah yang sudah lama diidam-idamkan oleh istrinya. Namun demikian, ia tidak bahagia. Dalam batinnya ia merasa gelisah. Ia seolah-olah malu terhadap dirinya sendiri. Bukan karena ia takut kejadian itu akan diketahui oleh atasannya. Selain anggota keluarga terdekat tidak ada yang tau. Prosedurnya begitu hati-hati dan teliti, sehingga kasus suap itu tidak akan pernah diketahui oleh orang lain. Namun kepastian ini tidak bisa menghilangkan kegelisahannya. Baru kali ini ia menyerah terhadap godaan semacam itu. Sampai sekarang ia selalu setia pada sumpahnya ketika dilantik dalam jabatan yang luhur ini. Mengapa kali ini ia sampai terjatuh? Ia merasa marah dan mual terhadap dirinya sendiri. [10]
Di dalam jiwa manusia dirasakan ada suatu kekuatan yang berfungsi untuk memperingatkan, mencegah dari perbuatan yang buruk. Atau sebaliknya kekuatan tersebut mendorong terhadap perbuatan yang baik. Ada perasaan tidak senang apabila sedang mengerjakan sesuatu karena tidak tunduk kepada kekuatan. Apabila telah menyelesaikan perbuatan jelek, mulailah kekuatan tersebut memarahinya dan merasa menyesal atas perbuata itu. Kondisi perasaan yang lain bahwa kekuatan tersebut memerintahkan agar melakukan kewajiban. Kemudian mendorong untuk melangsungkan perbuatannya. Dan setelah selesai, dia merasakan lapang dada dan gembira. Gambaran keadaan jiwa di atas, menunjukkan bahwa manusia di dalamnya ada  “HATI NURANI”.[11] Ia merupakan kekuatan yang mendahului, mengiringi dan menyusul pada perbuatan.[12]
Bukti-bukti adanya suara hati
Salah satu kenyataan ialah bahwa manusia memiliki kecenderungan suka bergaul dengan orang lain dan berusaha menyesuaikan diri kepada lingkungannya. Dan penyesuaian diri itu, ia berusaha menjauhi apa yang menyalahi adat dan memperbuat apa yang disukai adat. Hal ini kelihatan pada anak kecil yang menampakkan sifat malu dan kegelisahan jika melakukan kesalahan. Perasaan yang seperti itu menjadi watak manusia sekalipun orang itu tidak terpelajar, sewdangkan pendidikan itulah yang mengembangkannya. [13]
Latar belakang suara hati
Suara batin itu tidak selalu benar, tetapi terkadang salah dalam memberikan isyarat, maka lalu memerintahkan melakukan kesalahan. Oleh karena batin itu adalah perintah mengikuti apa yang diyakini oleh manusia, maka suara hati setiap manusia berbeda-beda menurut kepercayaan dan akidahnya. Dan jika akidahnya benar, maka suara batinnya akan terbentuk menurut keyakinan yang benar.[14]
Hati nurani yang kita rasakan timbul dari hati kita,  perintah kepada kita supaya melakukan kewajiban dan memperingatkan kita agar jangan sampai menyalahinya. Walaupun kita tidak mengharapkan balasan atau takut siksaan yang lahir. Hati nurani yang memerintahkan agar menetapi kewajiban, bukan karena balasan dan siksaan kecuali ganjaran dirinya dengan merasa gembira dan siksaan dirinya karena merasa tercela dan menyesal. Sebagian dari mereka berkata:
Di dalam batin manusia itu ada dua suara, suara was-was (Temptation) dan hati nurani. Masing-masing dari suara itu adalah kecendrungan yang tertekan, karena pada manusia itu ada keinginan baik dan keinginan buruk. Apabila keinginan buruk itu ditekan terdengar suara was-was dan bujukan yang mengajak kearah keburukan, dan bila keinginn baik ditekan terdengar hati nurani, menderita karena keburukan dan memanggil berbuat baik, maka was-was itu adalah suara keburukan yang menguasai  kebaikan, dan hati nurani itu adalah suara kebaikan yang menguasai keburukan. Hidup seseorang  dalam masyarakat menyadari akan adanya tanggung jawab maka ia akan suka bergaul, suka berbuat apa yang disukai  masyarakat, dan menjauhi dari apa yang menyalahinya. Benih  watak pada seseorang dapat dilihat ketika anak masih kecil. Maka perasaan orang akan gembira apabila menunaikan kewajiban dan merasa sedih atau menyesal. Karena tidak menurutnya apa yang diperintahkan oleh hati nurani.[15]
Menurut Prof. Dr. Ahmad Amin, bahwa hati nurani (suara hati) mempunyai tiga tingkatan:
a)      Perasaan melakukan kewajiban karena takut kepada manusia
b)      Perasaan mengharuskan mengikutinya apa yang harus diperintahkan
c)      Tidak sampai kepada tingkatan ini kecuali orang-orang besar dan para pemimpin ulung. Yaitu rasa seharusnya mengikuti apa yang dipandang benar oleh dirinya, berbeda dengan pendapatan orang atau mencocokinya, menyalahi undang-undang yang terkenal di antara manusia atau mencocokinya.
Dan sebenarnya manusia mau menunaikan kewajiban dan melakukan perbuatan, yang mendorong adalah hati nurani yang tertanam dalam watak dan jiwanya.   
Hati nurani sebagai norma moral yang subyektif
Dalam sejarah filsafat sering dipersoalkan apakah hati nurani termasuk perasaan, kehendak, atau rasio. Sekarang kita sudah menyadari bahwa persoalannya sebetulnya tidak boleh dirumuskan dengan cara begitu. Dalam filsafat dewasa ini sudah terbentuk keyakinan bahwa manusia tidak bisa dipisahkan ke dalam pelbagai fungsi atau daya.[16]
Pembinaan hati nurani
Tidak sedikit filsuf mencurigakan ajaran tradisional tentang hati nurani, justru karena hati nurani bersifat subyektif. Kecurigaan ini terutama ditemukan pada filsuf-filsuf dipengaruhi oleh cara berfikir ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mempunyai cita-cita obyektifitas sempurna, keadaan yang sedapat mungkin dilepaskan dari setiap unsure subyektif. Bagi mereka, subyektifitas sama artinya dengan kurang serius, tidak bisa diandalkan, sewenang-wenang. Pengalaman bahwa hati nurani sering tersesat, memperkuat lagi pendapat mereka. Karena sifat subyektif itu mereka tegaskan hati nurani juga mudah disalah gunakan. Hati nurani bisa menjadi kedok untuk melakukan rupa-rupa kejahatan. Secara prinsipil tidak mungkin untuk mengecek apakah klaim hati nurani sungguhan atau pura-pura saja, memang berasal dari hati sanubari yang murni atau hanya bermaksud mengelabui orang lain.[17]  
Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi manusia membutuhkan pendidikan. Tapi pendidikan akal budi jauh lebih gampang untuk dijalankan. Metode-metode yang seharusnya digunakan untuk mencapai hasil optimal, dalam mendidik akal budi jauh lebih jelas. Pendidikan di sekolah terutama bertujuan mengembangkan dan mendidik akal budi anak-anak.
C.  Akal (Fikiran Sehat)
Akal sebagai organ yang membedakan manusia dengan makhluk yang lain. Dengan akalnya, manusia yang lemah dapat menundukkan dan mengendalikan hewan yang buas dan kuat, dengan akalnya pula manusia dapat memecahkan dan mengatasi aneka problema hidupnyadi dunia ini, baik di darat, di laut ataupun di udara, mencari manfaat sebanyak mungkin. Dengan akal pula, manusia di jagad ini menimbulkan kesengsaraan, kerusakan, kebinasaan, dan kehancuran.
Semua daya upaya, ikhtiar dan usaha manusia, adalah hasil dari akalnya, maka semakin tinggi kecerdasan manusia, semakin banyak dan tinggi pula daya upaya, ikhtiar dan usaha yang dapat dicapai oleh akalnya. Sekaligus dengan akalnya manusia menganalisa, memikir dan menyimpulkan pendapatnya.[18]    
Ahli ilmu Jiwa menetapkan bahwa pikiran itu tentu mendahului perbuatan, maka perbuatan berkehendak itu dapat dilakukan setelah difikirkannya. Apabila kita melakukan kebiasaan atau menghindarinya, maka wajib melihat kepada dasarnya ialah, pikiran.[19]
D.  Lingkungan dan Adat Istiadat
Lingkungan ialah suatu yang melingkupi tubuh yang hidup. Lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara dan bangsa.[20]
Lingkungan ada dua macam yaitu:
1.      Lingkungan Alam
Ibnu Chaldun telah menulis dalam kitab pendahuluannya. Maka tubuh yang hidup tumbuhnya bahkan hidupnya tergantung pada keadaan lingkungan yang ia hidup didalamnya. Kalau lingkungan tidak cocok kepada tubuh, maka tubuh tersebut akan lemah dan mati.
2.      Lingkungan Pergaulan
Ligkungan pergaulan mengandung susunan pergaulan yang meliputi manusia, seperti rumah, sekolah, pekerjaan, pemerintah, syiar agama, ideal, keyakinan, pikiran-pikiran, adat istiadat, pendapat umum, bahasa, kesusastraan, kesenian, pengetahuan dan akhlak. Pendeknya segala apa yang diperbuahkan oleh kemajuan manusia. [21]
Suatu perbuatan bila diulang-ulang sehingga menjadi mudah dikerjakan disebut “Adat Kebiasaan”.[22] Kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar, dan lain sebagainya.
Orang berbuat baik atau buruk karena dua faktor dari kebiasaan yaitu:
a. kesukaan hati terhadap suatu pekerjaan
b. menerima kesukaan itu, yang akhirnya menampikkan perbuatan dan diulang terus menerus.[23]
Baik buruk menurut aliran adat istiadat (Sosialisme)
Menurut aliran ini baik atau buruk ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan ditentukan berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan orang yang menentang dan tidak mengikuti adat istiadat dipandang buruk, dan kalau perlu dihukum secara adat.[24]
Konsep kebiasaan dalam ilmu jiwa Manusia merasakan apa yang diperbuatnya. Hal ini berhubungan rapat dengan urat saraf., terutama pada otak. Dengan peran otak, maka dapat diketahui susunan dan bentuknya dari sifat-sifat manusia. Sehingga apabila hubungan perbuatan dengan urat saraf dapat diketahui, maka dapat dimengerti bagaimana bentuknya kebiasaan. Urat saraf mempunyai sifat-sifat menerima perubahan.
Fungsi kebiasaan:
a. Memudahkan perbuatan
b. Menghemat waktu dan perhatian
Kebiasaan yang membahayakan sulit untuk merubah atau menghindarinya. Untuk menghindarinya tersebut wajib kita lakukan sebalik apa yang menyebabkannya. Untuk dapat membentuk kebiasaan harus ada keinginan. Kepada sesuatu dan diterima dan diulang-ulang keinginan dan menerimanya. Dan untuk menghindarkan diri dari kebiasaan harus menolak keinginan untuk berbuat. Dan apabila keinginan muncul harus tidak diterima, dan mematikan kebiasaannya dengan mengabaikannya.[25]
Untuk merubah adat kebiasaan yang buruk harus memperhatikan peraturan yang tersebut di bawah ini:
1) Berniatlah yang sungguh dengan tiada diiringi keragu-raguan, letakkanlah dirimu di tempat yang cocok dengan kebiasaan lama yang hendak engkau hindarkannya, dan ikatlah dirimu dengan ikatan yang menjadi lawan adapt kebiasaan dan sekal-kali jangan berbuat yang sesuai dengannya. Apabila engkau mengetahui bahwa niatmu untuk meninggalkan yang lama itu tidak akan kembali lagi, maka kerjakanlah.
2)Janganlah mengizinkan bagi dirimu untuk menyalahi kebiasaan yang baru karena sesuatu apapun, kecuali kalau sudah kuat akar-akarnya pada diri dan penghidupanmu, karena tiap-tiap tindakan yang menyalahi kebiasaan yang baru ini akan menjauhkan dari hasil yang kita harapkan.[26]   
Membina kebiasaan yang baik
Pada waktu mula-mula pekerjaan yang baik itu dilakukan kadang-kadang terasa berat dan susah, misalnya bangun fajar untuk shalat subuh. Tetapi jika hal itu telah biasa maka syaraf itu sendiri yang akan membangunkan pada waktunya. Jika tahap itu dicapai, maka bangun fajar itu tidak sulit lagi, karena telah menjadi kebiasaan.[27]
Sebagai ketentuan dari kebiasaan adalah :
a.               mempermudah perbuatan manusia : segala pekerjaan berat bagi orang lain, menjadi enteng bagi seseorang karena sudah terbiasa. Pribahasa mengungkapkan :
Kalah kepintaran dari kebiasaan dan alah bisa karena biasa. Satu contoh, perbedaan kesanggupan tangan kiri dengan tangan kanan adalah karena perbedaan dalam kebiasaan.[28]
b.              Menghemat waktu : orang belum biasa mengerjakan sesuatu meskipun semangat dan tenaganya besar, masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan sesuatu pekerjaan. Misalnya membuat kursi, sekalipun sudah tau teorinya, namun masih memerlukan waktu yang lama kalau belum biasa mengerjakannya. Adapun bagi tukang yang sudah biasa, jauh lebih hemat dibandingkan dengan orang yang tidak biasa. Demikianlah dalam usaha menjadikan akhlak yang baik menjadi kebiasaan, hendaklah dibina melalui latihan yang didahului dengan kesadaran.
Ketentuan sifat bagi adat kebiasaan
Kalau kebiasaan telah terbentuk, ia mempunyai ketentuan sifat, diantaranya:
1.      Memudahkan perbuatan yang dibiasakan.[29]
2.      Menghemat waktu dan perhatian.[30]
Kekuatan kebiasaan
Kebanyakan orang mengibaratkan “ kekuatan kebiasaan” dengan perkataan “kebiasaan itu nature yang kedua”. Mereka bermaksud bahwa adat kebiasaan itu mempunyai kekuatan yang mendekati kepada “nature yang pertama”. Nature yang pertama adalah apa yang dibawa oleh manusia di waktu ia dilahirkan. Tiap-tiap manusia dikeluarkan dalam kewujudan ini dilengkapi dengan beberapa alat, mata yang dapat melihat, telingan yang mendengar, pencernaan yang menghancurkan makana, dan beberapa instinct.
Nature yang kedua inipun mempunyai kekuasaan yang besar karena jalan yang kita tempuh dalam penghidupan dan yang kita biasakan, mempunyai kekuasaan yang mendekati kekuasaan nature. Adat kebiasaan sebagai kata James ialah:
Yang memudahkan bagi buruh logam bekerja dalam tambang yang gelap, bagi penyelam dalam pekerjaan mereka di dalam lautan yang bergelombang besar, bagi pelaut dalam menghadapi angin taufan yang kencang, dan petani dalam sawah-sawahnya yang menderita panas terik dan dingin yang menyakiti.[31]
Kebiasaan ialah yang memberi bagi pekerja sifat dan jalan yang tertentu dalam pikiran, keyakinan, keinginan, dan percakapan. Kemudian jika ia telah tercetak dalam sifat ini, ia sangat suka kepada pekerjaannya kecuali dengan kesukaran.[32]
E.   Pendidikan[33]   
Dunia pendidikan, sangat besar sekali pengaruhnya terhadap perubahan perilaku, akhlak seseorang.Di kalangan pendidikan dijadikan pusat perubahan perilaku yang kurang baik untuk diarahkan menuju ke perilaku yang baik. Islam tidak menetapkan nilai-nilai akhlak hanya pada wacana dan teori saja. Di samping mengajarkan teori tentang akhlak, Islam juga menuntut umatnya untuk mempraktekan akhlak tersebut.[34]
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan(latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin, dan sebagainya.[35] Dalam bahasa Arab, para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan kata Tarbiyah  untuk arti pendidikan. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Ali Khalil Abu Al-‘Ainain, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi  dan Muhammad Munir Mursyi misalnya menggunakan kata Tarbiyah untuk arti pendidikan.[36]
   Kurshid Ahmad berpendapat bahwa dari segi etimologi education (pendidikan) berasal dari bahasa Latin to ex (out) yang berarti keluar, dan ducere duc yang berarti mengatur, memimpin, mengarahkan (to lead). Dengan demikian, secara harfiah pendidikan berarti mengumpulkan, menyampaikan informasi, dan menyalurkan bakat; dan pada dasarnya pengertian pendidikan ini terkait dengan konsep penyampaian informasi dan pengembangan bakat yang tersembunyi.
Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah kita dapat merujuk kepada berbagai sumber yang diberikan para ahli pendidikan. Dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th. 1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Selanjutnya, Bapak Pendidikan Nasional, KI Hajar Dewantara,  mengatakan  bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memejukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.
Adapun pendidikan Islam adalah upaya membimbing, mengarahkan, dan membina peserta didik yang dilakukan secara sadar dan terencana agar terbina suatu kepribadian yang utama sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. [37]
Penutup
Dari beberapa penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan baik dan buruk merupakan dua istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang. Adapun dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. [38]
Untuk mengetahui baik buruknya seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek:
a.    Insting (naluri)
Setiap kelakuan manusia lahir dari suatu kehendak yang digerakkan oleh naluri (insting). Naluri merupakan tabiat yang dibawa manusia sejak lahir, jadi merupakan suatu pembawaan asli.[39]
b.    Hati Nurani (suara batin)
Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan pribadi bersangkutan. Norma-norma dan cita-cita yang saya terima dalam hidup sehari-hari dan seolah-olah melekat pada pribadi saya, akan tampak juga dalam ucapan-ucapan hati nurani saya. Seperti kita katakan bahwa tidak ada dua manusia yang sama, begitu pula tidak ada dua hati nurani yang persis sama. Hati nurani diwarnai oleh kepribadian kita. [40]
c.    Akal (pikiran sehat)
Ghazali mengatakan bahwa: pebuatan dapat dinyatakan baik karena adanya pertimbangan akal yang mengambil keputusan-keputusan secara mendesak.
d.   Lingkungan dan adat istiadat
Lingkungan ialah suatu yang melingkupi tubuh yang hidup. Lingkungan manusia ialah apa yang melingkunginya dari negeri, lautan, sungai, udara, dan bangsa.
Kebiasaan ialah perbuatan yang diulang-ulang terus sehingga mudah dikerjakan bagi seseorang. Seperti kebiasaan berjalan, berpakaian, berbicara, berpidato, mengajar, dan lain sebagainya.
e.    Pendidikan
Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara, dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan(latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin, dan sebagainya.



















DAFTAR PUSTAKA


Imam Ghazali, Ajaran-ajaran Akhlak, Surabaya: Al-Ikhlas, 1981
A.  Mustofa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponegoro, 1988
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
Barmawie Umary, Materia Akhlak, Yokyakarta: Ramadhani, 1995
Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, Jakarta: Gema Insani, 2004
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Jakarta: Bulan Bintang,1975


* Penulis adalah Mahasiswi IAIN SUSQA Pekanbaru; kini sedang studi pada Program S1 IAIN SUSQA Pekanbaru, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.
[1] Sebenarnya masalah akhlak harus dibagi kepada akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, dan hal itu diketengahkan masalahnya oleh Ghazali kepada kaum muslimin. Akhlak dalam hal ini berarti kelakuan-kelakuan yang juga berarti ilmu kesopanan, ilmu kesusilaan, etika, budi pekerti atau moral. Dalam islam akhlak itu bentuknya ditujukan kepada Allah, kepada manusia dan makhluk-makhluk yang lain. Husein Bahreisj, Imam Ghazali Ajaran-ajaran Akhlak, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 30.
[2] Ghazali ternyata berbeda pendapat dengan orang-orang Mu’tazilah yang menyatakan bahwa: perbuatan dapat dinyatakan baik karena adanya pertimbangan akal yang mengambil keputusan-keputusan secara mendesak, seperti menyelamatkan orang-orang yang akan tenggelam atau orang-orang yang akan menderita kecelakaan. Juga kejelekan dapat ditetapkan dengan akal seperti menjadi fakir, mencela orang-orang yang baik dan berdusta. Ghazali dalam menghadapi masalah tersebut membela pandangan Ahlussunnah dengan mengemukakan bahwa tidak ada yang baik ataupun yang buruk kecuali setelah adanya dalil syari’at, begitu pula tidak ada ganjaran ataupun siksaan sebelum adanya keterangan dari syari’at. Hussein Bahreisj, Imam Ghazali Ajaran-ajaran Akhlak, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), hal. 30-31.  
[3] Dari segi bahasa baik adalah terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Louis Ma’luf dalam kitabnya Munjia, mengatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. Sementara itu dalam Webster’s New Twentieth Century Dictionary, dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan,, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya. Selanjutnya yang baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang memberikan kepuasan. Yang baik itu dapat juga berarti sesuatu yang sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia. Dan ada pula pendapat yang mengatakan bahwa   secara umum yang disebut baik atau kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Lihat : Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 104.
[4] Lihat, A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 82. 
[5] Hamzah Ya’qub, Etika islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 57-58.
[6] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 82.
[7] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 83.
[8] Naluri itu laksana pedang bermata dua, dapat merusak diri sendiri dan dapat juga mendatangkan manfaat yang sebesar-besarnya. Hal ini bergantung pada cara penyalurannya. Naluri dapat menjerumuskan seseorang kepada kehinaan karena kesalahan dalam menyalurkannya, tetapi juga dapat mengangkat pribadi ke tingkat kemuliaan jika disalurkan kepada jalan yang baik dengan tuntunan cahaya kebenaran. Dalam hubungan ini, Islam mengajarkan agar naluri tidak dirusak dengan menganiaya diri sendiri, melainkan perlu disalurkan secara wajar sesuai dengan tuntunan hidayah Ilahi. Merusak naluri dapat digambarkan laksana membendung air yang seharusnya mengalir, akan menimbulkan kerusakan. Biarkanlah dia mengalir tetapi harus melalui saluran yang baik dan wajar sehingga mendatangkan manfaat. Nutritive Instinct mialnya, jika diperturutkan begitu saja dengan makan apa saja tanpa batas sesuai dengan panggilan hawa nafsu, maka pastilah akan merusak diri sendiri. Islam mengajarkan agar naluri ini disalurkan dengan memakan dan meminum barang yang baik, halal dan suci serta tidak berlebih-lebihan. Allah berfirman dalam Al;Qur’an :
$ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Naluri berjodoh, jika diperturutkan begitu saja, dapat menyeret kepada kehinaan dan kerendahan, misalnya kebebasan sex, pelacuran, homosexual, lesbian, dan sebagainya. Tetapi juga agama tidak menghendaki agar nafsu sex itu dibinasakan menganiaya diri sendiri. Naluri berjodoh itu perlu disalurkan melalui jalan yang halal dan suci, yakni pernikahan sepanjang ajaran dan syariah Islam. Jika naluri tersebut disalurkan dengan baik, akan berwujudlah kemaslahatan diri pribadi, keluarga dan masyarakat. Perkawinan yang sah akan menjalin cinta dan kasih sayang yang indah dan mulia yang dapat mengantarkan derajat rumah tangga kepada tingkatan kemuliaan dan kesejahteraan. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 59-60.
[9] Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 58-59
[10]  Lihat: K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 49-50 
[11] Dapat dibedakan dua bentuk hati nurani : hati nurani retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif memberikan penilaian tentang perbuatan – perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau. Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan – perbuatan yang sudah lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik. Contoh pertama pada awal bab ini menyangkut hati nurani retrospektif. Hati nurani dalam arti retrospektif menuduh atau mencela, bila perbuatannya jelek; dan sebaliknya, memuji atau memberi rasa puas, bila perbuatannya dianggap baik. Jadi, hati nurani ini merupakan semacam instansi kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung. Bila hati nurani menghukum dan menuduh kita, kita merasa gelisah dalam batin atau seperti dikatakan dalam bahasa Inggris kita mempunyai a bad conscience. Sebaliknya, bila kita telah bertingkah laku dengan baik, kita mempunyai a good conscience atau a clear conscience. Misalnya bila saya tanpa pamrih telah menyelamatkan seorang anak yang terjerumus dalam sungai, bahkan dengan mengambil resiko untuk kehidupan saya sendiri, saya merasa puas. Bukan saja karena usaha yang penuh resiko itu berhasil, melainkan juga karena telah saya lakukan yang harus saya lakukan. Saya telah memenuhi kewajiban saya. Karena itu hati nurani saya dalam keadaan tenang dan puas. Saya mengalami suatu kedamaian batin. Beberapa filsuf berpendapat bahwa hati nurani dalam keadaan gelisah (a bad conscience) merupakan fenomena yang paling mendasar. Itulah menurut mereka hati nurani yang sebenarnya. Lihat : K. Bertens,  Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 54-55.
[12] Adapun fungsi kekuatan hati nurani adalah:
a) Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan memberi petunjuk dan menakuti dari kemaksiatan, b) Apabila kekuatan mengiringi suatu perbuatan, akan mendorongnya untuk menyempurnakan perbuatan yang baik dan menahan dari perbuatan yang buruk, c) Apabila kekuatan menyusul setelah perbuatan, akan merasa gembira dan senang apabila melakukan perbuatan yang ditaati namun akan merasa sakit dan pedih waktu melanggar, perbuatan jelek. A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 117-118.
[13] Dari sini segolongan ahli Etika mengambik kesimpulan bahwa benih suara batin itu  merupakan fitrah tetapi tumbuh dan dibesarkan oleh adat dan pendidikan. Dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk mengenai adanya suara batin (suara hati) itu, dengan kalimat-kalimat qalbu dan sebagainya dan suara hati sendiri akan dimintai pertanggung jawaban. Dalam surat Al-Isra’ ayat 36 Allah berfirman yang artinya: dan (perhatikanlah) jika dengan kesempurnaannya. Dan diberitahukan kepadanya jalan yang salah dan jalan yang benar. Dalam hati manusia ada bisikan-bisikan yang menggoda berbuat kejelekan dan ada pula panggilan-panggilan berbuat kebaikan. Penggoda itulah lazim disebut hawa nafsu. Oleh karena itu hendaknya manusia berhati-hati jangan sampai mengikuti suara batin yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Hamzah ya’qub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1988), hal. 79-80.
[14]Sebagaimana diketahui bahwa suara batin ada yang bernafaskan kebaikan sesuai dengan norma-norma agama dan ada pula yang jelek. Maka perlulah suara batin itu dididik. Dalam hubungan ini diterangkan dalam Al-Qur’an surat As-Syams ayat 9-10 yang artinya:sesungguhnya berbahagialah orang yang membersihkannya. Dan sesungguhnya rugi besar orang yang mengotorinya. Seperti sifat-sifat dan kekuatan manusia lainnya dtumbuh dengan pendidikan, dan lemah karena diabaikan, maka demikian pulalah halnya suara batin. Mendidik suara batin menaiki jenjang kemuliaan rohaniyah, adalah keharusan. Jika tidak demikian, sebaliknya suara batin itu akan menjadi lemah atau dinodai oleh was-was dan ditenggelamkan oleh adat-adat yang jelek. Mungkin banyak insan yang suara hatinya tenggelam oleh adat yang jelek dalam lingkungannya. Suara batin yang deimikian itu menjadi merana dan tidak lagi menyuarakan kebaikan dan kebajikan. Gelimang hawa nafsu dan kedurhakaan adalah penghalang yang selalu menutupi suara batin sehingga tidak dapat menerima pancaran cahaya kebenaran. Adapun suara batin yang terus dididik dan dituntun meninggalkan kabut kegelapan, dapat menaiki jenjang kemuliaan dan menjadi jernih, laksana beningnya air di telaga dapat menangkap cahaya rembulan di malam hari. Islam adalah agama yang penuh dengan pengajaran yang baik yang mendidik suara batin manusia agar dapat menjadi jernih dan mulia, yang menjadi landasan pola tingkah laku yang baik. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1988), hal. 80-81
[15] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997). Hal. 118-119.
[16] Kita harus bertolak dari kesatuan manusia, pelbagai fungsi dapat dibedakan tapi tidak boleh dipisahkan. Dalam hati nurani pula memainkan peranan baik perasaan maupun kehendak maupun juga rasio. Tapi terdapat dalam Filsafat untuk mengakui bahwa hati  nurani secara khusus harus dikaitkan dengan rasio. Kami juga berpendapat demikian. Alasannya karena hati nurani memberi suatu penilaian, artinya, suatu putusan. Ia menegaskan: ini baik dan harus dilakukan atau itu buruk dan tidak boleh dilakukan. Mengemukakan putusan jelas merupakan suatu fungsi dari rasio. K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 59-60.
[17] Kita tidak bisa melihat ke dalam hati nurani orang lain, kita hanya tau dengan pasti tentang hati nurani kita sendiri, yang sekali lagi belum tentu benar juga. Apalagi, mereka lanjutkan, problem-problem  moral pada umumnya begitu sulit dan kompleks, sehingga ucapan subyektif dari hati nurani tidak merupakan pemandu terpercaya yang dengan aman mengantar kita ke kebenaran etis. K. Bertens,Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 63-64.
[18] Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Yokyakarta: Ramadhani, 1995), hal. 21.
[19] Menurut perbuatan jiwa manusia bahwa pikiran itu bila dikemukakan pada otak dan diterimanya dalam waktu yang lama, tentu member bekas sedalam-dalamnya, kemudian berubah menjadi perbuatan. Dan pikiran itu pertama dikemukakan kepaa otak, sedikit membekasinya, dan tiap-tiap diulang tambah bear bekasnya dan lalu memperbuahkan perbuatan, kemudian menjadi adat kebiasaan dengan diulang-ulanginya. Ahmad Amin, Etika,(Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 30.
[20] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 91.
[21] Orang yang sudah menerima suatu pekerjaan menjadi kebiasaan atau adapt dalam dirinya, maka pekerjaan itu sulit ditinggalkan, karena berakar kuat dalam pribadinya. Jika pembawaan dari lahir dipandang sebagai nature (fitrah) yang pertama, maka ada yang memandang bahwa kebiasaan itu adalah nature yang kedua. Nature yang pertama misalnya benih kekuatan fisik dibawa sejak lahir mempunyai kekuatan yang besar bagi manusia, sedangkan kebiasaan yang dipandang sebagai nature yang keduanya mempunyai kekuatan yang besar. Sebagai bukti besarnya kekuatan kebiasaan itu ialah bahwa sembilan puluh persen dari perbuatan sehari-hari manusia, misalnya cara makan, cara berpakaian, cara berjalan terjadi dari kebiasaan. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 62.
[22] Adat kebiasaan menurut Physiologi adalah segala apa yang dirasakan oleh manusia dan apa yang diperbuatnya,  berhubungan rapat dengan urat saraf, terutama otak. Sifat urat saraf itu menerima perobahan. Sesuatu jisim disebut menerima perobahan, bila dapat dirobah menurut bentuk baru, dan bila berobah, ia tetap dalam perobahan itu. Tiap-tiap perbuatan dan fikiran memberi bekas kepadanya dan merobahnya dengan bentukan yang tertentu; sehingga bila dikehendaki, berfikir atau berbuat kedua kali, adalah lebih mudah, karena urat saraf telah terbentuk  menurut perbuatan itu. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal.21. 
[23] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 96.
[24] Adat istiadat selanjutnya disebut pula sebagai pendapat umum. Ahmad Amin mengatakan bahwa tiap – tiap bangsa mempunyai adat istiadat yang tertentu dan menganggap baik bila mengikutinya, mendidik anak-anaknya sesuai dengan adat istiadat itu, dan menanamkan perasaan kepada mereka, bahwa adat istiadat itu akan membawa kepada kesucian, sehingga apabila seseorang menyalahi adat istiadat itu sangat dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya. Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 87.
[25] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hal. 98.
[26] Ahli pengalaman telah sepakat bahwa sebaik-baik jalan untuk menghindari kebiasaan yang buruk, ialah meninggalkannya sekaligus, sehingga ia terasa sakit dan menderita kesusahan dalam waktu yang terbatas, kemudian hilanglah kesusahan itu dan ia merdeka dari perhambaan adapt kebiasaan itu. Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “Bahwasanya sabar itu ialah pada desakan yang pertama”. Ahmad Amin, (Jakarta: Etika  (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, 1975), hal. 28-29.
[27] Untuk membangun kebiasaan yang baik dalam pribadi kita, diperlukan latihan yang terus menerus. Pemain karate mampu memecahkan batu kali yang keras dengan tangannya yang lembut setelah melalui latihan yang tidak mengenal lelah. Setiap harinya dia berlatih dan terus mengulangi perbuatan itu. Rintangan biasanya ditemui pada latihan yang pertama, tetapi hal itu perlu diatasi dengan ketekunan dan kesabaran. Rasulullah bersabda : bahwasanya sabar itu ialah pada desakan (rintangan). (Muttafaq ‘alaih). Hamzah Ya’qub,Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 63-64.
[28] Hamzah Ya’qub,Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 64.
[29] Umpamanya berjalan dan berjalan itu adalah latihan yang berat. Untuk mempelajarinya menghajatkan waktu beberapa bulan lamanya. Semua kita belajar bagaimana kita berdiri, sedang berdirinya orang agak sukar karena bersandar kepada dasar yang tidak luas, dan karenanya berdirinya lebih sukar dari binatang yang berkaki empat. Setelah kita belajar berdiri, kita belajar bersandar kepada kaki satu, waktu kaki lainnya melangkahkan kemudian merubah sandaran dari kaki yang satu kepada yang lain di waktu melangkah. Beserta kesukaran ini kita menjumpai bahwa perbuatan itu dengan berulang-ulang dan dibiasakan menjadi sangat mudah. Cukup kita arahkan pikiran kita ke tempat yang kita kehendaki untuk bergerak kaki-kaki kita dan berjalan dengan tiada kesukaran tiada usah mempergunakan pikiran bagaimana kita harus berjalan. Ahmad Amin, Etika, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 23
[30] Tatkala diulang perbuatan dan menjadi kebiasaan, maka ia dapat melakukan dalam waktu yang lebih singkat dan tidak menghajatkan kepada perhatian yang banyak. Contohnya ialah menulis: waktu kita mempelajarinya semula menulis sebaris saja memakan waktu beberapa waktu, membutuhkan perhatian yang sempurna dan mempersiapkan segala pikiran yang ada, akan tetapi setelah menjadi kebiasaan dapatlah seseorang menulisbeberapa halaman dalam waktu yang sama ketika ia menulis satu baris, dan dapat pula sambil menulis, pikirannya melayang ke lain jurusan. Maka kehidupan kita bertambah-tambah ratusan kali karena adat kebiasaan. Ahmad Amin, Etika, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 24
[31] Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang,1975), hal. 26.
[32] Kekuatan kebiasaan ialah yang menjadikan orang-orang tua menolak pendapat-pendapat baru dan penemuan-penemuan baru, sedang kita melihat pada angkatan muda cepat sekali melakukannya. Yang demikian itu karena orang-orang tua itu telah biasa dalam pikiran yang tertentu dan biasa menjalankannya sehingga benci pada apa yang menyalahinya. Adapun angkatan muda dan anak-anak belum membiasakan macam yang tertentu dari pikiran, sehingga bersedia menerima apa yang terbukti akan kebenarannya. Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), (Jakarta: Bulan Bintang,1975), hal. 26.
[33]Yang dimaksud dengan pendidikan di sini ialah segala tuntunan dan pengajaran yang diterima seorang dalam membina kepribadian. Pendidikan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam akhlak, sehingga ahli-ahli Etika memandang bahwa pendidikan adalah factor yang turut menentukan dalam etika di samping factor-faktor lainnya sebagaimana telah diutarakan. Pendidikan turut mematangkan kepribadian manusia sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah diterimanya. Adapun pendidikan yang lazim diteima meliputi pendidikan formal di sekolah, pendidikan non formal di sekolah, dan pendidikan di rumah yang dilakukan oleh orang tua. Sementara itu, pergaulan dengan orang-orang baik dapat dimasukkan sebagai pendidikan tidak langsung, karena berpengaruh pula bagi kepribadian. Betapa pentingnya factor pendidikan ini, karena naluri yang terdapat pada seseorang dapat dibangun dengan baik dan terarah. Misalnya pada seorang anak, terdapat bakat seni bangunan (arsitek). Bakat ini akan berkembang dengan baik yang memungkinkan anak tersebut kelah dapat menjadi arsitek jika dibina melalui pendidikan. Jika tidak dibina, maka bakat itu akan terpendam dan tidak memberikan manfaat bagi lingkunannya. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung : Diponegoro, 1988), hal. 82 
[34]Islam tidak pernah mengajarkan kepada kita untuk sekadar memoelajari teori tanpa mengaplikasikannya dalam praktek. Hal ini dapat diketahui dengan mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran akhlak di dalamnya. Imam yang merupakan bagian terpenting dalam islam tidak akan ada, artinya jika berhenti pada tataran teori tanpa ada praktik; hanya terucap dalam lisan dan digerakan oleh kedua bibir atau berupa ajakan yang nyaring sekalipun. Imam akan mempunyai arti jika disertai dan diekspresikan dengan amal perbuatan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam banyak ayat yang memerintahkan seseorang harus menyertai iman dengan perbuatan baik. Allah SWT berfirman: “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang telah beriman,’Hendaklah mereka mendirikan shalat, menafkahkan sebahagian rezki yang Kami berikan kepada mereka secara sembunyi ataupunterang-terangan sebelum datang hari (Kiamat) yang pada hari itu tidak ada jual beli dan persahabatan.”  (Ibrahim: 31). Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhan-mu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. Dan berjihadlah kamu dijalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menmaai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam(Al-Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. “(Al-Hajj: 77-78).  Banyak sekali ayat Al-qur’an yang menyertakan amal perbuatan dengan keimanan. Hal ini menunjukan bahwa perbuatan saleh seseorang merupakan ekspresi dari keimanannya. Dalam kitab Al-Mu’jam Al-Kabiiri, Imam Ath-Tabrani dengan sanadnya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar r.a., bahwa rasulullah Saw bersabda, “Iman seseorang tidak diterima tanpa disertai amal perbuatan, begitu juga amal perbuatan tidak diterima tanpa adanya iman.” Ali Abdul Halim Mahmud, Akhlak Mulia, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hal. 59-60.        
[35] Lihat, Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 333. s
[36] Penggunaan kata Tarbiyah untuk arti pendidikan secara panjang lebar ditentang oleh Muhammad Al- Naquib Al – Attas dalam bukunya berjudul konsep pendidikan dalam islam. Dalam hubungan ini, ia mengatakan bahwa tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang, merupakan istilah yang relatif baru, yang bisa dikatakan telah dibuat oleh orang- orang yang mengaitkan dirinya dengan pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifatnya yang sebenarnya. Lebih lanjut ia mengatakan ada pun kata- kata latin educare dan education, yang dalam bahasa ingrisnya berarti educare dan education, secara konseptual dikaitkan dengan kata- kata latin educare atau dalam bahasa inggris educe yang berarti menghasilkan dan mengembangkan, mengacu kepada sesuatu yang bersifat fisik dan material. Yang dituju dalam konsepsi pendidikan yang diturunkan dalam konsep- konsep latin yang dikembangkan dari istilah- istilah tersebut diatas, menurut Naquib Al-Attas, meliputi sepesies hewan dan tidak terbatas pada hewan berakal. Pada bagian lain Al-Attas mengatakan bahwa mereka yang membuat istilah tarbiyah untuk maksud pendidikan pada hakekatnya mencerminkan konsep barat tentang pendidikan. Mengingat istilah tarbiyah, tidak sebagaimana merka nyatakan, adalah suatu terjemahan yang jelas dari istilah education  menurut artian barat karena makna- makna dasar yang dikandung olehnya mirip dengan yang bisa ditemui didalam tekanan batinnya. Meskipun para penganjur penggunaan istilah tarbiyah terus membela istilah itu yang mereka katakana dikembangkan dari al quran , pengembangannya didasarkan atas dugaan belaka. Hal ini mengungkapkan ketidak sadaraan mereka akan struktur semantic system konseptual al quran, mengingat secara semantik tarbiyah tidak tepat dan tidak memadai untuk membawakan konsep pendidikan dalam pengertian islam sebagaimana mestinya. Untuk menguatkan pendapatnya ia ajukan argumentasi sebagai berikut:
Pertama, istilah tarbiyah yang dipahami dalam pengertian pendidikan, sebagaimana dipergunakan masa kini, tidak bisa ditemukan dalam semua bahasa arab, yang beberapa diantaranya telah kami sebutkan pada awal pembahasa.Ibn Manzhur memang merekam bentuk tarbiyah bersama dengan beberapa bentuk lain dari akar rabba, sebagaimana diriwayatkan oleh Asma’i, yang mengatakan bahwa istilah-istilah tersebut membuat makna yang sama. Mengenai makna, al- jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lain yang disebutkan oleh al- asma’i berarti: memberi makan, memelihara, mengasuh, yakni dari akar kata ghaza. Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti anak- anak, tanaman sebagainya. Lebih lanjut Al- Attas mengatakan bahwa tarbiyah berarti mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memperoduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan. Kedua, bahwa makna istilah tabiyah tentunya berpuncak pada otoritas al quran, sendiri, tidak secara alami unsur- unsure esensi pengetahuan, inteligensi dan kebajikan lainnya,dan pada hakikatnya merupakan unsur- unsur pendidikan yang sebenarnya. Sebagai alternativf yang diajukan Al-Attas untuk istilah pendidikan Islam adalah harus dibangun dari berbagai istilah yang secara substansial mengacu kepada pemberian pengetahuan, pengalaman, kepribadian dan sebagainya. Maka pendidikan dapat diartikan pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan di dalam diri manusia, tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keperiadaan. Lihat, Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal 335-336. 
[37] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 338-340.
[38]  Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 104
[39] Naluri ialah sifat yang dapat menimbulkan perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan terpikir lebih dahulu ke arah tujuan itu tanpa didahului latihan perbuatan itu. Hamzah Ya’qub, Etika Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal. 57-58.
[40] K. Bertens, Etika, (Jakarta; Gramedia pustaka utama, 1993), hal. 56-57.

0 komentar:

Posting Komentar