WACANA KEILMUAN:
TIGA ALIRAN PEMBAHARUAN BARAT, ISLAM DAN NASIONALIS
Oleh: FITRI YAFRIANTI
“ Ilmu tanpa agama
adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah lumpuh”
[ Hadis Nabi ]
Pendahuluan
Dalam
sejarah kerajaan Usmani merupakan kerajaan yang cukup luas dan besar, meliputi
sebagian Eropa, Timur Tengah dan sebagian Afrika, namun para penguasa tidak
memperhatikan dan memperdulikan masa depan rakyatnya yang statis dan
tradisional, akhirnya lama kelamaan kerajaan yang besar ini mengalami
kemunduran khususnya dalam bidang pengetahuan dan teknologi dan lebih terasa
lagi setelah menderita kekalahan dalam peperangan di abad ketujuh belas.
Keadaan yang demikian membuat rakyat dan para penguasa serta pemimpin lainnya
sadar untuk mengejar ketinggalan-ketinggalan dengan orang Barat dan untuk
itulah diadakan pembaharuan. islam Ada tiga aliran
pembaharuan yang terdapat di Kerajaan Usmani. Kata yang lebih dikenal untuk
pembaharuan adalah modernisasi.[1] Tiga
aliran/golongan pembaharuan yang terdapat di Kerajaan Usmani yaitu: Pertama,
golongan Barat yang ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan.
Pemimpin yang terkemuka dalam golongan westernisasi adalah: Sultan Ahmad III
(1703), Ibrahim Mutafarrika, Mustafa Rasyid Pasya,[2]
Sultan Mahmud II,[3] Mehmed
Sadik Rif’at,[4] Sultan
Abdul Madjid, Ali Pasya dan Fuad Pasya.[5]
Kedua, golongan Islam. Pemimpin terkemuka golongan Islamisasi antara lain
seperti: Ziya Pasya,[6] Namik Kemal Pasya,[7]
Midat Pasya,[8] Ahmad
Riza,[9]
Mehmed Murad dan Sahabuddin.[10]
Ketiga, golongan Nasionalis, melihat bahwa bukan peradaban Barat dan bukan
Islam yang harus dijadikan dasar, tetapi Nasionalis.[11]
Pemimpin dari golongan Nasionalisme antara lain: Yusuf Akcura, Zia Gokalp, dan
Mustafa Kamal.[12] Antara
ketiga aliran pembaharuan tersebut terdapat perbedaan faham dan polemik[13]
mengenai pembaharuan yang harus dibawa kedalam tubuh Kerajaan Usmani. Diantara
yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut
kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan- kebiasaan yang dipengaruhi oleh
tarekat- tarekat, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa
kepada kekufuran. Kedua, sifat jumud membuat umat islam berhenti berfikir dan
berusaha, umat islam maju dizaman klasik karena mereka mementingkan ilmu
pengetahuan, oleh kerena itu selama umat masih bersifat jumud dan tidak mau
berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu
adanya p[14]embaharuaan
yang berusaha memberantas kejumudan. Ketiga, umat islam selalu berpecah belah,
maka umat islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat islam maju karena adanya
persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaraan yang diikat oleh tali ajaran
islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan
pembaharuan. Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara dunia islam dengan
barat. Dengan adanya kontak ini umat islam sadar bahwa mereka mengalami
kemunduran dibandingkan dengan barat, terutama sekali ketika terjadinya
pererangan antara kerajaan Usmani dengan negara- negara Eropa, yang biasanya
tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya
mengalami kekalahan- kekalahan ditanggan Barat, hal ini membuat pembesar-
pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang baru muncul.
Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer moderen yang dimiliki
Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan didalam lapangan militer, namun
pembaharuan dibidang lain disertakan pula.
Tetapi sebelum masuk kedalam
masalah ini, ada baiknya diberikan terlebih dahulu sedikit gambaran tentang
aliran pembaharuan Barat, Islam dan Nasionalis. Untuk dapat memahami
pembaharuan yang dianjurkan oleh ketiga aliran tersebut perlu diketahui
terlebih dahulu Identitas masing-masing. Betulkah aliran/golongan Barat
mengigini westernisasi[15]
dalam arti meniru segala apa yang ada di Barat? Dan golongan Islam, siapakah
mereka? Apakah mereka golongan yang disebut Tradisionalis,[16]
yang ingin mempertahankan tradisi yang semenjak lama telah ada pada Ummat
Islam?Ataukah mereka termasuk golongan yang disebut modernis,[17]
yang ingin kembali kepada ajaran-ajaran dasar dalam Islam, sebagaimana yang
terdapat dalam Al Qur-an dan Hadis. Dan mengadakan Interpretasi baru terhadap
ajaran-ajaran dasar itu, Interpretasi yang sesuai dengan zaman modern? Dan
golongan Nasionalis apa pendirian mereka terhadap agama? Betulkah mereka
mempunyai faham sekularisme?[18] Identitas masing-masing akan dapat diketahui
dari diagnose mereka mengenai kelemahan yang dialami Kerajaan Usmani dan obat
yang mereka anjurkan untuk mengatasi kelemahan itu.
A. Aliran
Pembaharuan Barat
Aliran pembaharuan Barat, Adapun
gerakan pembaharuan yang mulai membuka diri terhadap pengaruh budaya Barat
adalah mereka yang di golongkan pada kaum modernis. Tokoh-tokohnya yang terkemuka
adalah Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al-Afghani,[19]
Muhammad Abduh,[20] dan
Muhammad Rasyid Ridha. Dari tokoh-tokoh tersebut, Sayyid Ahmad Khan tampak
lebih menekankan pada pemikiran yang rasional dan liberal. Seperti
pendahulunya, mereka juga menyerukan kepada umat Islam untuk kembali pada
kemurnian dan keaslian Islam, melakukan Ijtihad, menjauhi taklid dan fatalisme.[21]
Namun mereka menganjurkan Umat Islam untuk
membuka diri terhadap kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi yang datang dari
dunia Barat, demi kemajuan umat Islam sendiri. Tetapi mereka mengigatkan umat
Islam agar tidak hanyut dalam budaya Asing. Di antara usaha-usahanya ialah
mendirikan sekolah-sekolah Islam modern, dan mengambil langkah-langkah untuk
pembaharuan dalam bidang sosial dan politik.[22]
Menurut
pendapat golongan Barat, Sebab kelemahan terletak pada orang Turki sendiri.
Mereka buta, jahil dan dalam keadaan mundur, hal ini dikemukakan oleh Tewfik
Fikret dan Dr. Abdullah Jewdat. Tewfik Fikret (1867-1951) adalah salah satu
pemimpin terkemuka dari golongan Barat. Dia adalah seorang sastrawan dalam
tulisannya banyak menyerang tradisi lama, termasuk dalamnya faham-faham
keagamaan tradisional. Ummat di masa itu banyak dipengaruhi oleh faham
fatalisme Allah, dalam faham fatalisme, tergambar sebagai Tuhan yang bersifat tidak adil, dan
dapat diserupakan dengan raja yang zalim.
Sedangkan
Dr. Abdullah Jewdat adalah seorang pendiri dari Perkumpulan Persatuan dan
Kemajuan. Bersama dengan pemimpin-pemimpin Turki Muda lainya ia lari ke Eropa
dan menetap di Geneva.
Di kota
ini ia menerbitkan majallah Ijtihad, yang kemudian menjadi organ utama dari
golongan barat. Sebagai Pangeran Sahabuddin, ia juga berpendapat bahwa yang
perlu di robah di Kerajaan Usmani
bukanlah Sultan, tetapi sistem sosialnya. Kelemahan Kerajaan Usmani, dan
juga Ummat Islam seluruhnya, terletak pada kejahilan, kemalasan, kepercayaan
terhadap superstisi, dan kepatuhan pada “Ulama Bodoh” yang semuanya dianggap
adalah ajaran Islam. [23]
Dalam Majjallah Ijtihad telah disebutkan tradisi dan institusi-institusi yang
telah ketinggalan zaman, mata yang tidak mau melihat dan akal yang tidak mau
berfikir, itulah yang membuat Orang Turki mundur. Di depan mata mereka terdapat
selubung yang membuat mereka tak dapat melihat dan berfikir lagi. Dan selubung
itu adalah syari’at yang menguasai segala segi kehidupan Bangsa Turki.
Orang
Turki telah melakukan kecerobohan dalam mengutip ilmu-ilmu Eropa yang berguna,
teknik dan taktik peperangan serta organisasi pemerintahanya secara menyolok,
sedang para ulama dan pemuka-pemuka agama, tidak berdaya dalam membimbing
negeri dan umat dalam bidang ilmu dan
berfikir, begitupun dalam mengawasi haluan yang dituntut oleh ruang dan waktu
serta perobahan suasana di dunia, dalam mengambil yang baik dan membuang yang buruk;
mereka hanya terpaku di tempat perhentian ilmu dan jalan pikiran di abad ke-
XVIII.
Disamping
itu sultan-sultan kecuali mana-mana yang dihindarkan oleh Allah telah menyalah
gunakan nama agama dan Khalifah, demi menjaga kepentingan serta mencapai keinginan
mereka pribadi. Merekalah sebenarnya yang menjadi sebab kemunduran negeri,
sebab kekalahan dan penderitaan yang menimpa umat.[24]
Kebencian orang-orang muslim kepada proses pemikiran rasionalisme.[25]
Perbenturan antara rasionalisme dan kehidupan intuitif untuk menguasai alam
pikiran umat Muslim, untuk pertama kalinya, terjadi ketika menghadapi berbagai
postulat dari filsafat spekulatif Yunani pada masa-masa pertama sejarah Islam.[26]
Berbagai
konsekuensi intelektual dari konflik tersebut sangat menentukan. Ia tidak hanya
berpengaruh terhadap formulasi Teologi Islam (Ilmu Kalam) tradisional tetapi
juga memberi warna tetap kepada kebudayaan muslim; dan hal itu masih terlihat
dalam berbagai konflik yang timbul pada tahun-tahun belakangan ketika terjadi
kontak langsung dengan pemikiran Barat modern. Penolakan terhadap cara-cara
berfikir kelompok rasionalis dan Etika Utilitarian[27]
yang tidak dapat dipisahkan dari mereka, dengan demikian, tidak timbul dari apa
yang disebut obscurantism (kebodohan) para ahli Ilmu Kalam di kalangan
umat Musim, melainkan dari atomisme[28]
dan kemandegan daya imajinasi bangsa Arab.
Obat
yang manjur untuk penyakit itu ialah
obat yang telah pernah dipakai dunia Barat dalam mengatasi penyakit-penyakit
mereka. Barat adalah guru. Sebagai murid yang baik lagi tahu berterima kasih,
Orang Turki harus mencintai guru, dan mencintai guru berarti mencintai ilmu
pengetahuan dan kemajuan. Pikiran yang dimajukan Majjallah ijtihad ini
memberikan gambaran bahwa golongan Barat ingin menjadi modern sebagai Barat
dengan tidak mengindahkan agama lagi. Tetapi halnya bukan demikian. Mereka
tidak berpegang pada Islam, yang mereka anggap adalah agama yang rasional.[29] Tetapi mereka membuat perbedaan antara Islam
yang asli dan Islam yang sudah dirusak oleh zaman. Yang mereka tentang ialah
Islam yang sudah dirusak. Akan tetapi golongan Barat bukanlah anti Islam.
Menurut seorang
pemuka mereka, Kilczade Hakki, yang mereka tentang bukanlah agama Islam,
tetapi kefanatikan kaum ulama Turki. Musuh Islam berada bukanlah di Eropa,
tetapi di Madrasah-madrasah dan biro Syaikh Al-Islam. Agama, disamping
mengandung ajaran moral yang luhur, amat effektif untuk mengontrol keinginan
manusia berbuat tidak baik.[30]
Oleh sebab itu yang mereka tentang adalah
faham keagamaan kaum ulama dan pembaharuan yang mereka ingini ialah pembaharuan
di madrasah, di kalangan kaum ulama dan
di tarekat-tarekat. Kedalam tubuh madrasah harus dimasukkan Ilmu pengetahuan
modern, dan ulama yang berpandangan luas dan modern harus diwujudkan.[31]
Perhatian harus lebih banyak ditujukan kepada ajaran agama tentang hidup
duniawi dan bukan kepada hidup di akhirat. Al Qur-an harus diterjemahkan
kedalam bahasa Turki agar dapat dipahami oleh rakyat Turki.
Mengenai Institusi keluarga,
Pembaharuan yang ingin diadakan golongan Barat
didalamnya berkisar sekitar kedudukan kaum wanita. Menurut mereka
rendahnya status wanita dalam masyarakat Turki merupakan salah satu sebab
kelemahan kerajaan Usmani. Kudung[32]
dianggap sebagai simbol kerendahan status wanita, maka Jewdat dalam tulisan
pembaharuannya memakai motto: “Buka Al Qur-an dan buka kudung wanita,”[33]
poligami juga dianggap merendahkan kedudukan wanita, dan oleh karena itu mereka
menuntut penghapusannya. Golongan Barat
mengigini supaya kepada kaum wanita diberi status yang sama dengan status kaum
pria.
Dalam bidang pendidikan golongan Barat ingin
membawa kebebasan mimbar, kebebasan berdiskusi, olah raga, pekerjaan tangan dan
sebagainya. Guru harus mengetahui Ilmu
Jiwa dan Ilmu Sosial. Tujuan pendidikan ialah membina pemuda yang dapat berdiri
sendiri, cerdas, jujur dan patriotis.[34]
Pendidikan agama harus dibersihkan dari supertisi dan kedalam kurikulumnya
dimasukkan logika dan Ilmu-Pengetahuan Modern. Orientasi ke akhiratan dan
kurang mementingkan soal keduniaan yang telah disinggung diatas harus dirobah.
Dalam bidang Ekonomi, kemunduran
menurut golongan Barat disebabkan oleh keengganan Orang Turki untuk menerima peradaban Barat
dan tetapnya mereka berpegang pada tradisi dan institusi yang telah usang.
Keadaan Ekonomi dapat diperbaiki hanya dengan menerima sistem Ekonomi Barat
dengan corak kapitalisme, liberalisme, dan individualisme. Bila suatu bangsa
ingin berhasil secara efektif melakukan modernisasi negaranya, maka bangsa
tersebut harus bersedia menempuh jalan sekularisasi dengan jalan meletakkan
agama pada “tempat yang seharusnya”, yaitu pada tempat-tempat ibadah saja agar
fungsi agama sebagai pemecah masalah-masalah kerohanian manusia tidak meluas ke
berbagai dimensi non-rohaniah manusia modern.[35]
Oleh sebab itu Negara harus bersifat sekuler,
dalam arti harus dipisahkan dari agama, tetapi sekularisasi diadakan bukan
terhadap Negara, tetapi terhadap masyarakat.[36]Konsep
sekularisasi didasarkan pada asumsi umum bahwa dengan mekarnya modernisasi dan
perkembangan politik, agama kehilangan daya tarik dan kehilangan pengaruhnya
atas manusia modern.
Modernisasi itu sendiri sulit untuk
didefenisikan, akan tetapi pada dasarnya suatu masyarakat yang melakukan
modernisasi akan mengalami diferensiasi dalam struktur politik dan pemerintahan,
mengalami perubahan nilai-nilai kearah ekualitas diantara para warga masyarakat
dalam hal partisipasi politik dan kesempatan ekonomi serta mengalami
peningkatan kapasitas untuk menggerakan perubahan sosial dan ekonomi.
Sekularisasi moderat melihat agama sebagai urusan pribadi yang berkaitan dengan
masalah-masalah rohani manusia dank arena itu tidak boleh mencampuri urusan
publik yang bersifat politik dan menyangkut dunia materil, sedangkan
sekularisme radikal memusuhi agama yang dianggap sebagai perintang kemajuan.[37] Sikap mental ketimuran yang dipengaruhi oleh
faham fatalisme[38] dan
rasa benci pada perobahan harus dihilangkan.[39]
B.
Aliran Pembaharuan Islam
Golongan Islam, terdiri atas beberapa kelompok
dan yang terkuat adalah kelompok Sirat-I Mustakim.[40]
Pembaharuan yang dianjurkan dalam Islam bukanlah westernisasi[41]
dalam arti pembaratan dalam cara pikir, bertingkah laku dan sebagainya yang
bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi pemikiran terhadap agama yang
harus diperbaharui dan direformir, pemikiran modern yang menimbulkan reformir
dalam agama,[42] dan hal
ini tidaklah mungkin timbul dari pola berfikir yang sempit. Penambahan ilmu
pengetahuan, memperluas pandangan terhadap keseluruhan soal kehidupan dapat
melapangkan pikiran dan memelihara keortodoksian agama.[43]
Juru bicara modernisme Islam
senantiasa meyakini keabsahan agama mereka, tetapi mereka menyadari kebutuhan
memperbarui agama mereka agar serasi dengan perubahan kondisi. Pada satu sisi,
mereka menentang kalangan tradisionalis yang tidak memahami pentingnya kemajuan
militer, ekonomi dan teknologi Barat. Sedang pada sisi lainnya, mereka melawan
kalangan sekularis yang sama sekali tidak menaruh perhatian terhadap
nilai-nilai agama islam. Kalangan modernis Islam mendesak kubu Tradisionalis
agar mengakui bahwasanya modernisasi tidaklah bertentangan dengan Islam, dan
mendesak kubu modernis agar menerima Islam sebagai sebuah kekuatan moral.[44]
Pembaharuan dalam Islam berbeda
dengan renaisans[45]
Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan
menyingkirkan agama, maka pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu
untuk memperkuat prinsip dan ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya.
Memperbaharui dan menghidupkan kembali prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan
ummatnya. Modernisme sendiri merupakan akibat dari perubahan-perubahan tertentu
dalam ciri khas pemikiran keagamaan; dan banyak di antara alasan-alasan yang
mendukung maupun menentangnya terkait, secara sadar atau tidak, dengan
prinsip-prinsip pertama yang melandasi struktur keimanan dan peribadatan umat
muslim.[46]
Oleh karena itu pembaharuan dalam Islam bukan
hanya mengajak maju ke depan untuk melawan segala kebodohan dan kemelaratan
tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu sendiri.[47]Turki
terbagi kepada dua kelompok: Pertama, Kelompok Tua, mereka terdiri dari ulama
orthodoks yang sayang sekali tidak mengenal secukupnya tuntutan-tuntutan baru
dan perkembangan modern, tidak pula menyadari kritisnya suasana dan bahaya
besar yang di hadapi oleh Turki disebabkan tenaga yang bangkit dari Eropa.
Kelompok ini menolak reorganisasi
ketentaraan dan perbaikan-perbaikan baru yang dilakukan oleh Sultan Salim III.
(1789-1807) serta penggantinya Sultan Mahmud (1800-1839) untuk menyiapkan Turki
agar dapat mengimbangi orang-orang Eropa baik dalam kemiliteran maupun dalam
ilmu pengetahuan, begitupun untuk menjawab tantangan zaman baru. Kedua,
Kelompok Muda, yang telah menerima pendidikan di ibu kota Eropa/pada akademi-akademi modern di
Turki, mereka telah terdidik dalam memandang enteng terhadap agama, tiada
menaruh harapan terhadap masa depannya, dan membenci orang-orangnya dan
menghinakan mereka, sebaliknya memuji-muji peradaban Barat.
Pada angkatan ini tidaklah ditemukan
otak yang cerdas, pikiran yang matang, yang sanggup membawa filsafat kehidupan
Barat ke batu ujian dan mengenal segi-segi kelemahan dan kecerdasannya,
memisahkan mana-mana yang baik untuk ditiru dan di teladani Turki sebagai
pemimpin dunia Islam, dan mana yang tidak cocok dengan tabi’at, sejarah serta
kedudukannya di dunia sebagai pusat timur Islam.[48]
Ajaran ortodoks[49]
dalam Islam pada umumnya menentang penerjemahan Al-Qur’an, bahkan kedalam
bahasa-bahasa yang dituturkan oleh umat Muslim sendiri, meskipun teks
(Al-Qur’an dalam bahasa) Arab itu kadang-kadang disisipi terjemahan-terjemahannya
dalam bahasa-bahasa Turki, Persia,Urdu, dan sebagainya. Sikap ini didukung
alasan keagamaan yang sangat kuat meskipun, sampai batas-batas tertentu, ia
merasionalisasikan beberapa keberatan yang didasarkan atas
pertimbangan-pertimbangan yang sedikit berbeda; sebab Al-Qur’an pada dasarnya
tidak dapat diterjemahkan, sama seperti karya besar dalam sastra yang juga
tidak dapat diterjemahkan.[50]
Golongan Islam menentang faham yang
dikemukakan oleh golongan barat, yang memberikan kebebasan kepada kaum wanita
bukan meningkatkan status mereka, malahan sebaliknya menjatuhkan martabat kaum
wanita. Pembukaan kudung dan pergaulan wanita dengan pria akan membawa kepada
dekadensi[51] moral.
Ketinggian martabat wanita dapat diperoleh hanya dengan menjalankan Syari’at.[52]
Kepada wanita tidak dapat diberi status dan hak yang sama, karena wanita
bersifat emosional. Kalau wanita diberi hak pergi ke mahkamah untuk soal
perceraian, dalam hal demikian tidak ada lagi rahasia kekeluargaan yang akan
tersimpan. Pemberian kebebasan kepada kaum wanita juga ditentang, karena
menurut Said Halim, seorang pemuka lain dari golongan Islam, sejarah telah
berkali-kali menunjukkan bahwa peradaban jatuh di sebabkan oleh kebebasan dan
kekuasaan yang diberikan kepada kaum wania.
Golongan Islam tidak menentang
pemasukan ilmu pengetahuan Barat kedalam madrasah. Yang mereka tentang ialah
pembinaan nilai-nilai sekuler melalui pendidikan. Dalam pendapat mereka
madrasah tradisional mesti di pertahankan wujudnya, karena hilangnya madrasah
akan membawa kepada dekadensi moral. Hanya agamalah yang dapat menyelamatkan
masyarakat dari keruntuhan, oleh karena itu mereka ingin membuat pendidikan
lebih kuat dan banyak sifat ke Islamannya.
C.
Aliran Pembaharuan Nasionalis
Golongan Nasionalis, Nasionalisme
adalah gagasan politik dan sosial yang terutama bertujuan menyatukan setiap
kelompok/suku bangsa Arab dan menjadikan mereka patuh kepada satu order politik
(political order), Nasionalisme modern terbentuk atas (kesamaan) bahasa, sejarah,
kesastraan, adat istiadat dan kualitas-kualitas tertentu. Secara garis besar,
ikatan-ikatan yang mempersatukan individu-individu menjadi suatu bangsa adalah
ikatan-ikatan intelektual dan material.[53]
Kesadaran Nasionalisme Turki di
kerajaan Usmani mulai timbul baru di pertengahan kedua dari abad kesembilan
belas. Kerajaan Usmani, yang daerah kekuasaannya mencakup daerah-daerah Arab di
sebelah timur dan daerah-daerah Eropa timur di sebelah barat, mempunyai rakyat
yang terdiri atas berbagai bangsa yang menganut berbagai agama. Pada mulanya
kriteria agamalah yang dipakai untuk memperbedakan antara rakyat yang beraneka
ragam kebangsaannya itu. Rakyat dikelompokkkan menurut agamanya masing-masing
dan istilah yang dipakai untuk pengelompokkan itu ialah millet.[54]
Rakyat dibagi kedalam millet Islam, millet Kristen, millet yahudi, dan
sebagainya. Rakyat Turki dan rakyat Arab belum begitu sadar akan adanya
perbedaan bangsa antara mereka, karena mereka memeluk agama yang sama, dan oleh
karena itu termasuk dalam millet yang sama.
Usmani muda mencoba mempertahankan
keutuhan kerajaan Usmani dengan menimbulkan ide Usmanisme. Orang barat di Eropa
timur dan orang Turki berbeda dalam agama dan bangsa, tetapi keduanya adalah
rakyat dari satu Negara. Di dalam parlement yang mereka rencanakan semua bangsa
yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Usmani akan mempunyai wakil
masing-masing. Semua rakyat mempunyai kedudukan yang sama. Ide Usmanisme tidak
popular di Eropa timur dan sementara itu beberapa bangsa di sana dapat memerdekakan diri dari kekuasaan
kerajaan Usmani. Ide Usmanisme akhirnya hancur.
Semua rakyat yang beragama Islam,
Turki, dan lain-lain yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Usmani merupakan
satu Nasionalitas. Tetapi, ide ini juga tidak dapat diwujudkan karena dunia
Arab pun menentang kekuasaan Kerajaan Usmani dan di permulaan abad kedua puluh
sebahagian dapat memperoleh kemerdekaan dan sebahagian jatuh ke bawah kekuasaan
Inggris, Perancis dan Italia. Sebagai reaksi terhadap perkembangan ini timbul
ide Pan-Turkisme. Semua orang Turki, baik yang ada di Kerajaan Usmani, maupun
yang berada di bawah kekuasaan Rusia di Kazan, Krimea dan Azarbaijan merupakan
satu bangsa. Ide ini dikeluarkan buat pertama kali oleh orang-orang Turki yang
berasal dsari daerah Rusia, terutama Yusuf Akcura (1876-1933). [55]
Aspirasi Nasional rakyat Islam bukan
Turki dan rakyat bukan Turki serta bukan Islam tak dapat dibendung lagi. Orang
Turki sendiri, dengan demikian, harus memikirkan kepentingan mereka sendiri.
Ide ini memang tidak praktis maka timbullah ide Nasionalisme Turki. Dhiya Cuk
Elp, pecinta kemerdekaan dan kebebasan. Maka bersemilah dalam dirinya pikiran
kesatuan dan susunan organisasi berdasarkan Nasionalisme Turki, dimana Islam
tidak jadi factor penting. Dan ia mengharap Nasionalis Turki dapat menjadi
basis Negara Sekuler yang menurut pandangannya akan dapat menggantikan khalifah
islamiyah.[56]
Sekarang bukan lagi Pan-Turkisme, tetapi Turkisme yang lebih kecil ruang
lingkupnya. Orang-orang Turki yang berada di Kerajaan Usmani merupakan satu
Nasionalitas. Ide ini sudah mulai terdapat dalam pemikiran Zia Gokalp
(1875-1924).[57]
Menurut
pendapat Zia Gokalp, Nasionalisme di dasarkan bukan atas bangsa (race), sebagai
yang diyakini oleh penganut faham Pan-Turkisme, tetapi atas kebudayaan. Golongan
Nasionalis Turki Zia Gokalp menerangkan bahwa
kelemahan di sebabkan oleh keengganan
umat Islam mengakui adanya perobahan dalam kondisi kehidupan mereka, dan
di samping itu tidak mau melihat
perlunya diadakan interpretasi baru yang sesuai dengan kondisi zaman,
terhadap ajaran-ajaran dasar Islam. Sebab lain lagi ialah hilangnya kebudayaan
nasional Turki, karena dikalahkan oleh peradaban Islam.
Obatnya ialah menghilangkan
institusi-institusi tradisional usang dan tidak berfaedah lagi, karena peradaban
Islam, yang menimbulkan institusi-institusi itu, telah pula mengalami
kemunduran. Tetapi sungguhpun demikian, kebudayaan Nasional yang akan
dihidupkan kembali itu harus di jiwai oleh Islam.[58]Pemikiran
Usmani Muda menegaskan bahwasanya Islam, jika dipahami secara benar, serasi
dengan organisasi masyarakat modern dan sejalan dengan bentuk pemerintahan
konstitusional, mereka menekankan aspek-aspek warisan Islam yang mendorong
pembelajaran ilmu pengetahuan dan pengajaran teknik, nilai-nilai rasional dari pada
keimanan secara buta dan pentingnya perjuangan aktif demi perbaikan individu
dan sosial.[59]
Ziya Gokalp (1875-1924) tampil sebagai juru
bicara Nasionalisme Turki. Tanpa menyesali kemunduran imperium Usmani , ia
meresmikan kultur rakyat Turki, dan menyerukan reformasi Islam untuk menjadikan
Islam sebagai ekspresi dari etos Turki. Abdullah Jewdet (1869-1932)
menyampaikan landasan Nasionalisme Turki.
Gagasan kebangsaan Turki tersebut
memperkuat kecenderungan terhadap sekularisme dan modernitas, demi kepentingan
Negara, dan demi integrasi sejumlah warga agama dan etnisnya, penguasa usmani
mengabaikan struktur masyarakat muslim dan menggantikan sistem pendidikan,
hukum dan keagamaan tradisional dengan organisasi-organisasi sekuler.[60]
sebab gagasan tersebut membuka kesempatan bagi bangsa Turki melepaskan diri
dari Islam[61] tanpa
sikap kompromis terhadap identitas non Barat mereka. Konsep “Turkish” memberi
peluang gagasan tersebut menetapkan sebuah kewargaan yang baru yang menumbuhkan
identitas kesejarahan masyarakat Turki dan bukan identitas kesejarahan
masyarakat muslim dan dengan demikian ia merupakan identitas modern dan bukan
identitas Barat.[62]
Golongan Nasionalis Turki juga mengingini
pembaharuan dalam status kaum wanita. Wanita menurut Zia Gokalp diikut sertakan
dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi.
Juga mereka harus diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian
dan warisan. Poligami juga harus di hapuskan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa
ibadah dan muamalah telah menjadi satu dalam buku fiqih. Keduanya seharusnya
dipisahkan, sehingga hukum ibadah menjadi urusan kaum ulama dan hukum muamalat
menjadi urusan Negara. Sebagaimana telah dilihat, sultan mempunyai kekuasaan
spiritual dan kekuasaan duniawi dan yang membantu sultan dalam pelaksanaan
kekuasaan spiritual adalah Syaikh Al-Islam.
Dengan adanya konstitusi 1876
kekuasaan Syaikh Al-Islam bertambah kuat dan daerah lingkungan kekuasaan itupun
bertambah luas. Ia memiliki bukan hanya kekuasaan Eksekutif, tetapi juga
kekuasaan mengontrol badan Yudikatif dan badan Legislatif.[63] Zia Gokalp dan golongan nasionalis Turki
mengingini penghapusan kekuasaan Legislatif yang dimiliki Syaikh Al-Islam itu
dan mengembalikannya kepada parlement, dan pemindahan mahkamah syariat dari
Yurisdiksi Syaikh Al- Islam ke Yuridiksi kementrian kehakiman. Selanjutnya juga
pemindahan madrasah dari kekuasaan Syaikh Al-Islam kepada kekuasaan kementrian
pendidikan.
Penghapusan
itu, menurut Mansurizade Said, seorang pemuka lain dari golongan Nasionalis
Turki, di bolehkan syari’at. Argumen
yang dimajukannya ialah sebagai berikut: tidak seorangpun dari Imam yang empat
pernah mengatakan bahwa kalau diadakan larangan terhadap apa yang dibolehkan,
larangan itu akan bertentangan dengan syari’at. Dari kenyataan ini dapat
diambil kesimpulan berikut: kalau Negara mengadakan larangan terhadap apa yang
dibolehkan, larangan itu bersifat mengikat. Ibahah (keadaan dibolehkan)
bukanlah urusan syari’at, karena ibahah tidak mengandung arti hukum, tetapi
kebebasan berbuat. Ibahah tidak termasuk
dalam hukum yang diturunkan Tuhan dan pula tidak dalam hukum yang dihasilkan
ijtihad ulama. Oleh karena itu soal ibahah dalam poligami, kawin, cerai dan
sebagainya tidak termasuk dalam bidang syari’at. [64]
Zia Gokalp melihat adanya krisis
moral dalam masyarakat Turki dan sebabnya ialah lemahnya pengaruh agama dalam
kehidupan orang Turki. Sungguhpun begitu obatnya tidak terletak dalam
pendidikan Agama, karena Agama tidak lagi merupakan sumber nilai-nilai. Oleh
karena itu pembaharuan dalam bidang pendidikan haruslah didasarkan atas
nilai-nilai sekuler[65]
baru yang bersumber pada kebudayaan Nasional. Zia Gokalp menggadakan pemisahan
antara diyanet, yang tercakup di dalamnya ittikat (keyakinan) serta ibadah dan
muamalat (hubungan social manusia). Hukum yang terdapat dalam muamalat berasal
dari adat yang kemudian diperkuat oleh wahyu dalam Al-Quran. Tetapi adat
berobah menurut zaman dan pada akhirnya lenyap. Dengan lenyapnya adat, wahyu
yang bersangkutan tidak berlaku lagi. Syari’at harus berobah menurut perobahan
yang dialami adat. Adat bersifat dinamis, dan dengan demikian syari’at juga
harus bersifat dinamis.[66]
Penutup
Dari uraian yang telah dijelaskan di
atas, dapat disimpulkan bahwa: ada tiga aliran/golongan pembaharuan yang
terdapat di kerajaan Usmani. Pertama, golongan Barat yang ingin mengambil
peradaban barat sebagai dasar pembaharuan. Pemimpin yang terkemuka dalam
golongan westernisasi adalah: Sultan Ahmad III (1703), Ibrahim Mutafarrika,
Mustafa Rasyid Pasya, Sultan Mahmud II, Mehmed Sadik Rif’at, Sultan Abdul
Madjid, Ali Pasya, dan Fuad Pasya.[67]
Sedangkan
tokoh-tokohnya yang terkemuka adalah Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh,[68] dan
Muhammad Rasyid Ridha. Menuru golongan Barat, sebab kelemahan terletak pada
orang Turki sendiri. Mereka buta, jahil dan dalam keadaan mundur, hal ini
dikemukakan oleh Tewfik Fikret dan Dr. Abdullah Jewdat.[69]Akan
tetapi golongan Barat bukanlah anti islam, karena yang mereka tentang adalah
paham keagamaan kaum ulama dan pembaharun yang mereka ingini ialah pembaharuan
di madrasah, dikalangan kaum ulama dan di tarekat-tarekat. Kedalam tubuh
madrasah harus dimasukkan ilmu pengetahuan modern, dan ulama yang berpandangan
luas dan modern harus diwujudkan.
Kedua,
golongan Islam. Pemimpin terkemuka golongan Islamisasi antara lain seperti:
Ziya Pasya, Namik Kemal Pasya, Midat Pasya, Ahmad Riza, Mehmed Murad dan Sahabuddin.[70]
Golongan Islam tidak menentang pemasukan ilmu pengetahuan barat ke dalam
madrasah, yang mereka tentang ialah pembinaan nilai-nilai sekuler melalui
pendidikan. dalam pendapat mereka madrasah tradisional mesti dipertahankan
wujudnya, karena hilangnya madrasah akan membawa kepada dekadensi moral. Hanya
agamalah yang dapat menyelamatkan masyarakat dari keruntuhan, oleh karena itu
mereka ingin membuat pendidikan lebih kuat dan banyak sifat ke-islamanya.[71]
sKetiga,
golongan Nasionalis. Kesadaran nasionalisme Turki di kerajaan Usmani mulai
timbul baru di pertengahan kedua dari abad kesembilan belas. Semua rakyat yang
beragama Islam, Turki, Arab dan lain-lain yang berada dibawah kekuasaan
kerajaan usmani merupakan satu nasionalitas.[72]Pemimpin
dari golongan nasionalisme antara lain: Yusuf Akcura, Zia Gokalp, dan Mustafa
Kamal. Golongan Nasionalisme Turki Zia
Gokalp menerangkan bahwa kelemahan di sebabkan oleh keengganan umat islam
mengakui adanya perobahan dalam kondisi kehidupan mereka, dan disamping itu
tidak mau melihat perlunya diadakan interpretasi baru yang sesuai dengan
kondisi zaman, terhadap ajaran-ajaran dasar Islam. Sebab lain lagi ialah hilangnya
kebudayaan nasional Turki, karena dikalahkan oleh peradaban Islam. Obatnya
ialah menghilangkan institusi-institusi tradisional usang dan tidak berfaedah
lagi, karena peradaban Islam, yang menimbulkan institusi-institusi itu, telah
pula mengalami kemunduran. Tetapi sungguhpun demikian, kebudayaan nasional yang
akan dihidupkan kembali itu harus di jiwai oleh Islam.[73]
Dari
Uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa baik golongan barat maupun
golongan nasionalis Turki tidaklah mengabaikan Islam dan pemikiran pembaharuan
mereka. Keduanya mengingini pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam.
Dalam hal ini mereka sepaham dengan golongan Islam. Perbedaan mereka dengan
golongan yang tersebut akhir ini ialah bahwa golongan Islam dalam pembaharuan
bersifat tradisional, sedang kedua golongan lainnya bersifat modernis. Yang
tersebut pertama ingin mempertahankan tradisi dalam Islam, sedang golongan
barat dan nasionalis Turki ingin mengadakan Interpretasi baru terhadap
ajaran-ajaran dasar Islam, sehingga dengan demikian timbullah
institusi-institusi baru sebagai ganti dari institusi-institusi tradisional
lagi usang. Sementara itu perbedaan dasar antara golongan barat dan golongan
nasionalis Turki terletak pada keadaan yang tersebut pertama ingin mempertahankan
keutuhan kerajaan Usmani, sedang golongan nasionalis Turki tidak mementingkan
hal itu lagi. Mereka telah berfikir ke arah Negara nasional Turki.[74]
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975
Gibb, H. A. R, Aliran-aliran Modern dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996
J. Donohue, John, Islam dan Pembaharuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1995
Al husni an nadwi, Abu Hasan, Pertarungan anatara alam pikiran Islam
dengan Alam Pikiran Barat, Bandung:
Al ma’arif, 1983
Amin Ahmad, Islam dari Masa ke Masa, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1952
Margaret Marcus, Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, Surabaya: Usaha Nasional,
1965
Http: // Republika. Co. id
Mufrodi, Ali, Islam Di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos, 1997
M. Lapidus, Ira, Sejarah Sosial Umat Islam Bagian Ketiga, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999
*
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Darun Nahdhah Thawalib Bangkinang.
Mahasiswi IAIN SUSQA Pekanbaru; kini sedang studi pada Program S1 IAIN SUSQA
Pekanbaru, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Jurusan Pendidikan Agama Islam.
[1] Kata
modernisasi lahir dari Dunia Barat, adanya sejak renaisans terkait dengan
masalah agama. Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung pengertian
pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat,
institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan
pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Modernisasi atau pembaharuan bisa pula
disebut dengan “reformasi”, yaitu membentuk kembali, atau mengadakan perubahan
kepada yang lebih baik, dapat pula diartikan dengan perbaikan. Dalam Bahasa
Arab sering diartikan dengan Tajdid yaitu memperbaharui, sedang pelakunya
disebut Mujaddid yaitu orang yang melakukan pembaharuan. Lihat, H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995),
hal. 1-2
[2]
Mustafa Rasyid Pasya lahir di Istambul di tahun 1800 dan pada mulanya mempunyai
didikan Madrasah. Kemudian ia menjadi Pegawai Pemerintah, meningkat-ningkat
dalam kehidupan dan ditahun 1834 dikirim sebagai Duta besar ke Paris. Di kota ini ia dapat
menguasai bahasa Prancis dan berkenalan dengan ide-ide baru yang dilahirkan
Revolusi Prancis. Selain di Prancis ia juga menjadi Duta besar Kerajaan Usmani
di beberapa negara lain. Kemudian ia
diangkat menjadi Menteri Luar Negeri di tahun 1839 dan selanjutnya Perdana
Menteri. Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1996),hal. 97.
[3]
Sultan Mahmud II lahir pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain pengetahuan
agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia.
Ia diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meninggal di tahun 1839. Perubahan Penting yang dilakukan oleh Sultan
Mahmud II di kerajaan usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. dimasa
pemerintahannya, ia mengadakan perubahan dalam kurikulum madrasah dengan
menambahkan pengetahuan-pengetahuan umum kedalamnya, madrasah tradisional tetap
berjalan tetapi disampingnya sultan mendirikan dua sekolah pengetahuan umum,
Mekteb-I Ma’arif (sekolah pengetahuan umum) dan Mekteb-I Ulum-U Edebiye
(sekolah sastra). Dikedua sekolah itu diajarkan bahasa perancis, ilmu bumi,
ilmu ukur, sejarah dan ilmu politik disamping bahasa Arab. Sekolah pengetahuan
umum mendidik siswa untuk menjadi pegawai-pegawai administrasi, sedang sekolah
yang kedua menyediakan penterjemah-penterjemah untuk keperluan pemerintah.
Harun Nasution, pembaharuan dalam islam, (Jakarta: Bulan bintang, 1996),hal. 90-94.
[4]
Mehmed Sadik Rif’at ( 1807-1856). Setelah selesai dari pendidikan Madrasah ia
melanjutkan pelajaran di Sekolah Sastra, yang kursus diadakan untuk calon-calon
Pegawai Istana. Ia cepat meningkat dalam jabatan-jabatan yang dipegangnya. Di
tahun 1834 ia diangkat menjadi Pembantu Menteri Luar Negeri. Tiga tahun
kemudian ia dikirim sebagai Duta besar ke Wina. Kemudian ia menjadi Menteri
Luar Negeri, dan selanjutnya Menteri Keuangan. Untuk pelaksanaan Pembaharuan
diadakan Dewan Tanzimat, dan ia pernah menjadi ketua dari Dewan itu.
Pokok-pokok pemikiran yang dimajukan Sadik Rifat adalah yang berikut. Peradaban
dan kemajuan modern Barat dapat diwujudkan karena adanya suasana damai dan
hubungan baik antara Negara-negara Eropa. Kemakmuran sesuatu Negara bergantung
pada kemakmuran rakyat. Dan kemakmuran rakyat dapat diperoleh dengan
menghilangkan pemerintahan absolut. Dalam pemerintahan sewenang-wenang rakyat
merasa tidak aman dan tentram. Hal ini akan membuat mereka kurang giat berusaha
dan bekerja. Kejujuran dalam pekerjaan hilang, korupsi banyak dijalankan dan
orang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dari pada kepentingan umum.
Produktivitas menurun dan ini akhirnya akan membawa kepada kejatuhan Negara.
Hal inilah , tidak adanya rasa ketentraman baik dikalangan rakyat maupun
dikalangan pegawai, yang menjadi sebab utama bagi kemunduran dan kelemahan
kerjaraan Usmani. Obatntya ialah pengadaan Undang-undang dan peraturan. Sultan
dan Pembesar-pembesar Negara harus tunduk pada Undang-undang dan peratuaran.
Negara haruslah merpakan Negara Hukum. Disamping itu perlu pula dipikirkan
kesejahtraan rakyat. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,hal. 98.
[5]
H.M. Yusran Asmuni, op. cit, hal. 29.
[6]
Ziya Pasya ( 1825-1880) anak seorang pegawai Kantor Cukai di Istambul. Setelah
menyelesaikan pelajaran pada Sekolah Suleymaniye yang didirikan Sultan Mahmud
II ia diangkat menjadi pegawai pemerintan selagi masih berusia muda. Harun
Nasution, Pemsbaharuan Dalam Islam,hal. 105.
[7]
Namik Kemal Pasya ( 1840-1888). Ia berasal dari keluarga golongan atas dan oleh
karena itu orang tuanya sanggup menyediakan pendidikan khusus baginya di rumah.
Disamping pelajaran bahasa Arab dan Persia, kepadanya diberikan pula
pelajaran bahasa Prancis. Dalam umur belasan tahun ia diangkat menjadi pegawai
di Kantor Penerjemahan dan kemudian dipindahkan menjadi pegawai di Istana
Sultan. Dalam pembaharuan itu ia melihat bahwa ajaran-ajran Islam sudah kurang
diindahkan; dan selanjutnya sebagai model pembaharuan terlalu banyak dipakai
institusi-institusi sosial Barat yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat Timur. Sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran Kerjaraan Usmani,
menurut pendapatnya, terletak pada keadaan ekonomi dan politik yang tidak
beres. Jalan pertama yang harus ditempuh untuk mengatasi persoalan-persoalan
ekonomi dan politik itu ialah perubahan system pemerintahan absolut menjadi
pemerintahan konstitusional. Betul telah
ada Piagam Gulhane dan Piagam Humayun, tetapi keduanya belum merupakan
konstitusi yang di dalamnya terdapat pemisahan antara kekuasaan eksekutif,
legislative dan judikatif. Berbicara tentang politik, Namik Kemal berpendapat
bahwa rakyat, sebagai warga Negara, mempunya hak-hak politik yang harus
dihormati dan dilindungi Negara. Kedaulatan terletak ditangan rakyat
seluruhnya, dan tidak ditangan orang lain. Diatas kedaulatan rakyat, tidak ada
kedaulatan manusiawi yang lebih tinggi Negara yang baik adalah Negara yang
memakai kedaulatan rakyat sebagai pondasi dan disamping itu juga menjamin tidak
dilanggarnya hak-hak rakyat. Pelaksanaan kadaulatan tidak mungkin dijalankan
oleh rakyat seluruhnya dan oleh karena itu pelulah adanya sistem perwakilan.
Wakil-wakil yang dipilih itulah yang akan memegang kedaulatan rakyat. Pemilihan
dapat dilakukan melalui berbagai jalan. Harun Nasution, Pembaharuan Dalam
Islam,hal. 106-108.
[8]
Midat Pasya (1822- 1883), anak seorang Hakim Agama. Dalam usia belasan tahun ia
menjadi pegawai di Biro Perdana Menteri. Di tahun 1858 ia diberi cuti untuk
berkunjung selama enam bulan ke Eropa. Kemudian ia diangkat beberapa kali
sebagai Gubernur di berbagai Daerah. Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 110.
[9]
Ahmed Riza adalah anak seorang bekas anggota Parlemen Pertama bernama Injiliz
Ali. Di masa mudanya Ahmad Riza pernah berkunjung ke desa-desa di Turki dan
kemelaratan yang diderita kaum petani menusuk hatinya. Ia pun bertekad akan
melanjutkan studi di Sekolah Pertanian untuk kelak dapat bekerja dan berusaha
merobah nasib kaum petani yang malang
itu. Studi mengenai pertanian dilanjutkan di Paris. Sekembalinya dari Perancis
ia bekerja di Kementerian Pertanian, tetapi ternyata baginya bahwa hubungan
Kementerian ini dengan hidup dan kemelaratan kaum petani sedikit sekali.
Kementerian itu lebih banyak disibukkan dengan hal-hal yang bersangkutan dengan
birokrasi. Ia pindah ke Kementerian Pendidikan, karena dengan pendidikanlah,
begitu pendapatnya, mata rakyat dapat dibuka dan dengan demikian perobahan
nasib mereka dapat diwujudkan. Juga pengalamannya di Kementerian ini sama.
Orang sibuk dengan soal-soal birokrasi dan bukan dengan sal-soal pendidikan.
Karena sensor ketat, ia tidak dapat mengeluarkan pendapat dan fikirannya dalam surat kabar atau buku, maka ia lihat lebih baik pergi ke Paris kembali. Di sana ia berjumpa dan bekerjasama
dengan pemimpin-pemimpin yang telah terlebih dahulu menjauhkan diri dari
pemerintahan absolut Sultan Abdul Hamid. Di Paris ia mengeluarkan surat kabar Mesveret yang diselundupkan ke Istambul
untuk dapat dibaca oleh orang-orang Turki di tanah air. Selama di Perancis
Ahmed Riza banyak membaca buku-buku pemikiran-pemikiran Perancis, dan ia amat
tertarik pada falsafat positivisme Auguste Comte (1798-1857). Oleh karena itu
ia berpendapat jalan yang harus ditempuh untuk menyelamatkan Kerajaan Usmani dari
keruntuhan ialah pendidikan dan ilmu-pengetahuan positif dan bukan teologi atau
metafisika. Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, hal. 119-120.
[10]
H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), Ibid
[11] Lihat,
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 126.
[12]
H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam
Dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 29 .
[13]
Polemik artinya Perbantahan dengan tulisan di surat kabar dan sebagainya. Nur Kholif Hazin,
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, ( Surabaya:
Terbit Terang, 2004 ), hal. 430
[14] H.M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi
Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 6-7.
[15]
Westernisasi artinya Pemujaan terhadap Barat yang berlebihan. Nur Kholif Hazin,
op. cit, hal. 597
[16]
Tradisionalis artinya sikap dan cara berfikir serta bertindak yang selalu
berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun.
Nur Kholif Hazin, op. cit, hal. 567-568
[17]
Modernisme artinya gerakan yang bertujuan menafsirkan kembali doktrin
tradisional, menyesuaikan dengan aliran-aliran modern di filsafat, sejarah dan
ilmu pengetahuan. Nur Kholif Hazin, op. cit, hal. 368
[18]
Sekularisme artinya Penganut aliran filsafat yang menghendaki agar
kesusilaan/budi pekerti tidak didasarkan pada ajaran agama. Nur Kholif Hazin, op.
cit, hal. 500
[19]
Jamaluddin Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam disebabkan antara
lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran islam yang sebenarnya. Ajaran
qada’ dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang menyebabkan umat
menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi ialah perpecahan dikalangan umat Islam sendiri,
lemahnya persaudaraan antara umat islam, untuk mengatasi itu semua antara lain
menurut pendapatnya ialah bahwa umat islam harus kembali kepada ajaran islam
yang benar, mensucikan hati, memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan
umat, pemerintah otokratis harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat
harus di wujudkan sehingga umat akan menjadi sesuai dengan tuntutan zaman. Ia
juga menganjurkan umat islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum. Ali
Mufrodi, Islam dikawasan kebudayaan Arab,(Jakarta: Logos, 1997), hal.
157
[20]
Muhammad Abduh lahir di suatu desa di Mesir Hilir. Di desa mana tidak dapat
diketahui dengan pasti, karena ibu bapaknya adalah orang desa biasa yang tidak
mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Tahun 1849 adalah tahun
yang umum dipakai sebagai tanggal lahirnya.
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, hal. 58.
[21]
Fatalis artinya orang yang percaya atau menyerah saja kepada nasib. Nur Kholif
Hazin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Terbit Terang, 2004), op cit, hal. 187.
[22]
Http:// republika. Co. id
[23]
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 130.
[24]
Abu Hasan Ali Al-Husni An Nadwi, Pertarungan Antara Alam Fikiran Islam
dengan Alam Fikiran Barat, (Bandung: Alma’arif, 1983), hal. 39
[25]
Rasionalisme (rationalism; Yunani, ratio= akal, nalar) adalah metode atau dalam
arti luas, teori filsafat yang menyatakan bahwa tolak ukur kebenaran bukanlah
penginderaan tetapi intelek dan deduksi. Di antara tokoh-tokohnya adalah
Descartes, Leibniz dan Spinoza. Lihat, H. A. R. Gibb, Aliran-aliran modern
dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 10
[26]
Masuknya pengaruh filsafat Yunani ke dalam pemikiran Islam terjadi pada masa
Abu Huzail al-’Allaf (meninggal tahun 841) dan An-Nazam, dari kelompok Mu’tazilah,
antara lain melalui terjemahan-terjemahan buku-buku Yunani ke dalam bahasa
Arab. Lihat, H. A. R. Gibb, Ibid
[27]
Etika Utilitarian (Utilitarian Ethics) adalah etika yang menyatakan bahwa
perbuatan yang baik adalah yang paling banyak mendatangkan kebahagiaan atau kesenangan di dunia ini. Lihat, H. A. R.
Gibb, Ibid
[28]
Atomisme adalah pemikiran yang melihat fakta-fakta secara konkret dan
terpisah-pisah tanpa mengaitkannya dengan fakta-fakta lain atau tanpa membuat
sintesa. H. A. R. Gibb, Ibid
[29]
Rasional artinya menurut pikiran dan timbangan yang logis menurut pikiran yang
sehat, cocok dengan akal. Nur Kholif Hazin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,
(Surabaya:
Terbit Terang, 2004), hal.451
[30]
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 134-135.
[31]
Profesor Ernest Renan, mengatakan: Saya
khawatir kalau hanya agama Islam saja yang secara umum akan tetap toleran dalam menghadapi berbagai
kepercayaan lainnya. Akan tetapi saya khawatir kalau unsur-unsur yang baik itu
dimatikan oleh kefanatikan sementara ahli fiqih. Bila unsur-unsur itu telah
mati maka kefanatikan itu akan menghancurkan agama Islam. Yang pasti ialah
bahwa dewasa ini ada dua hal: Pertama, peradaban modern sama sekali tidak ingin
mematikan agama, karena agama dipandang sebagai sarana yang baik, Kedua,
peradaban modern tidak ingin agama merintangi jalannya. Karena itu agama harus
bersikap damai dan luwes. Lihat, Ahmad Amin, Islam dari Masa ke masa,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 1952), hal. 283
[32]
Kudung artinya kain selubung (penutup) kepala. Nur Kholif Hazin, Kamus
Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Terbit Terang, 2004), op cit hal. 311
[33]
Lihat, Harun Nasution. op. cit, hal. 137
[34]
Patriotis artinya Pembela Tanah Air. Nur Kholif Hazin, op. cit, hal. 411
[35]
John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. xviii
[36]
Harun Nasution, op. cit, hal. 134
[37]
Lihat, John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995), op cit hal. xvi-xvii
[38]
Fatalis artinya Orang yang percaya/menyerah saja kepada nasib. Nur Kholif
Hazin, op cit, hal. 311
[39]
Lihat, John J. Donohue, John L. Esposito, Islam danPembaharuan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), op
cit hal. Xvi-xvii
[40]
Sirat-I Mustakim adalah nama Majjallah mereka yang kemudian diganti menjadi
Sebel-ur Resad. Salah satu pemukanya bernama Mehmed Akif (1870-1936). Lihat,
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996),
op cit hal. 130
[41]
Westernisasi artinya pemujaan terhadap Barat yang berlebihan. Nur Kholif Hazin,
op. cit. hal. 597.
[42]
Konsep pembaharuan itu sendiri telah ada dalam Al-Qur’an seperti dalam surat adh-Dhuha ayat 4: “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagi kamu dari yang dahulu”. Kemudian lebih tegas Hadis Nabi Muhammad SAW,
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Hakim, dari Abu Hurairah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Bijaksana akan membangkitkan
mujaddid-mujaddid bagi ummat (Islam) pada setiap seratus tahun yang akan
memperbaharui (jiwa dan semangat) agama mereka.” H.M. Yusran Asmuni. Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Isam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 3.
[43]
Ortodoks artinya berpegang teguh pada peraturan dan ajaran resmi. Nur Kholif
Hazin, op. cit. hal. 398.
[44]
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), hal. 89.
[45]
Renaisans artinya masa peralihan dari abad pertengahan ke abad modern. Nur
Kholif Hazin, op. cit. hal.458.
[46]
H. A. Gibb, Aliran-aliran modern dalam Islam, hal. 3 .
[47]
H.M. Yusran Asmuni, op. cit. hal. 7-8.
[48]
Abu Hasan Ali Al Husni An Nadwi, Pertarungan antara alam fikiran Islam
dengan alam fikiran Barat, ( Bandung: Alma’arif, 1983), hal. 42
[49]
Kata ortodoks yang digunakan oleh Gibb dalam buku Aliran-aliran modern dalam Islam,
mempunyai pengertian kolot, tradisional atau konservatif. Op.cit, hal. 4
[50]
H. A. R. Gibb, Aliran-aliran modern dalam Islam, hal. 4-5.
[51]
Dekadensi artinya kemunduran, kemerosotan kebudayaan. Nur Kholif Hazin, op.cit.
hal 164.
[52]
Dalam hubungan ini, Musa Kazim, salah seorang pemuka golongan Islam mengatakan
bahwa Syari’at wajib dilaksanakan dan pemerintah berkewajiban menjalankan
sanksi terhadap pelanggarannya. Salah satu ketentuan Syari’at ialah bahwa
wanita wajib berkudung dan menutup rambutnya dengan selendang tanpa hiasan yang akan merangsang orang lain.
Lihat, Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 137.
[53]
John J. Donohue, John L. Esposito, Islam dan Pembaharuan, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1995), hal. 144-145.
[54]
Millet barasal dari kata Arab Millah yang mengandung arti keyakinan dan
agama, Harun Nasution, op cit. hal 126.
[55]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 127.
[56]
Dhiya Cuk Elp dilahirkan di Diarbekir, op.cit, hal. 44-48.
[57]
Zia Gokalp lahir dengan nama Mehmed Zia di Diyarbakr. Ia masuk salah satu
sekolah tinggi modern yang ada pada waktu itu di Diyarbakr untuk memperoleh
ilmu pengetahuan modern dan untuk belajar bahasa perancis. Dari pamanya ia belajar bahasa Arab serta Persia
dan pengetahuan tentang agama Islam, termasuk di dalamnya Teologi, falsafat dan
tasawwuf. Selanjutnya, ia meneruskan
studi di sekolah dokter hewan di Istambul. Disana ia menjadi anggota dari perkumpulan persatuan
dan kemajuan. Harun Nasution, op. cit. hal. 129
[58]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hal. 132.
[59]
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial umat Islam, hal. 78.
[60]
Ira. M. Lapidus, Ibid hal. 76.
[61]
Nabi Muhammad SAW, meramalkan bahwa sebelum hari kiamat, umat Islam akan meniru
orang-orang Yahudi dan Kristen dalam banyak aspek kehidupannya. Ramalan itu
telah terbukti, contoh yang nyata ialah orang-orang Islam meniru orang-orang
kafir yang bersedia menggantikan konsep ukhuwwah Islamiyah yang universal
menembus batas-batas geografi, warna kulit, dan bahasa dengan konsep
nasionalisme. Perkembangan nasionalisme sempit amat merusak solidaritas
masyarakat Islam sedunia, dan akhir-akhir ini terdapat kecendrungan Islam
sebagai satu bentuk nasionalisme lain. Bentuk baru nasionalisme Islam berdiri
di atas penjajahan asing, dan tidak memperhatikan jeritan minoritas Islam
menentang kezaliman orang kafir. Lebih dari itu, mereka membangun ekonomi dan
sosial dengan corak Barat. Mendengarkan ucapan-ucapan nasionalis muslim,
seseorang akan mengira bahwa Islam hanyalah system politik, sosial dan ekonomi
yang semata-mata berfikir tentang kesejahteraan material. Tidak pernah keluar
dari mulut mereka kata-kata taqwa kepada Tuhan, pertanggungjawaban dosa-dosa
sebelum kiamat dan kehidupan akhirat. Lihat, Maryam Jameelah Margaret Marcus, Islam
dan moderenisme, (Surabaya: Usaha Nasional, 1965), hal. 232-233.
[62]
Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999), op.cit, hal. 83.
[63]
Harun Nasution, op. cit, hal. 136.
[64] Harun Nasution, ibid, hal. 138.
[65]
Sekuler artinya hal-hal yang mengenai duniawi, bersifat duniawi atau kebendaan
(bukan bersifat keagamaan atau kerohanian). Nur Kholif Hazin, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia, (Surabaya:
Terbit Terang, 2004), op.ci,t hal.
500.
[66]
Harun Nasution, op. cit, hal. 135.
[67]
H. M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi pemikiran dan gerakan pembaharuan dalam
dunia Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 29.
[68] Muhammad Abduh dalam bukunya al-islam wan
nasraniah (edisi ke-3, 1341 H), hal. 59-64. kalimat-kalimat berikut dikutip
dibagian buku tersebut: saya katakan bahwa islam tidak memberikan otoritas
sekecil apapun kepada khalifah, qadi, mufti ataupun syaikhul islam dalam urusan
akidah dan penyusunan-penyusunan aturan-aturan hukum. Otoritas apapun yang
dimiliki oleh salah seorang diatara mereka ini adalah otoritas sipil yang telah
dirumuskan oleh hukum islam, dan mereka tidak dapt menuntut hak untuk menguasai
keyakinan atau pribadatan seseorang atau menuntutnya agar mempertahankan
pendapatnya. H. A.R. Gibb, op cit,
hal. 23-24.
[69]
Harun Nasution, op. cit, hal. 130.
[70]
H. M. Yusron Asmuni, op. cit, hal 29.
[71]
Harun Nasution, op.cit, hal. 130.
[72]
Harun Nasution,, ibid, hal. 127.
[73]
Harun Nasution, ibid, hal. 132.
[74]
Harun Nasution, op. cit, hal. 133.
0 komentar:
Posting Komentar