COOPERATIVE LEARNING

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam proses pembelajaran kita perlu memperhatikan semua aspek yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam proses belajar mengajar, sehingga dalam melakukan pembelajaran didalam kelas strategi guru dalam mengajar sangat perlu diperhatikan. Pada pembelajaran konvensional, guru menjadi pusat pembelajaran, berperan mentransfer dan meneruskan (transmit) informasi sehingga siswa tidak perlu mengkonstruksi ide-idenya. Tingkat partisipasi siswa sangat terbatas karena arus interaksi didominasi oleh guru. Bentuk penugasan dalam pembelajaran ini bersifat individual. Sebagai konsekuensinya, evaluasi yang diterapkan di kelaspun juga individual.
Dalam hal ini, guru perlu menyusun dan melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana siswa dapat aktif membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Keberhasilan dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan diri siswa, diantaranya adalah kemampuan, minat, motivasi, keaktifan belajar dan lain-lain. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor dari luar diri siswa, diantaranya adalah model pembelajaran.
Model pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar. Kemampuan menangkap pelajaran oleh siswa dapat dipengaruhi dari pemilihan model pembelajaran yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan akan tercapai. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif bagi guru untuk menjadikan kegiatan pembelajaran di kelas berlangsung efektif dan optimal. Salah satunya yaitu dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif dapat mengubah peran guru, dari yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Model pembelajaran kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang kompleks, dan yang lebih penting lagi, dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang berdimensi sosial dan hubungan antar manusia.
Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat atau kelebihan yang sangat besar dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih mengembangkan kemampuannya. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan pembelajaran kooperatif, siswa dituntut untuk aktif dalam belajar melalui kegiatan kerjasama dalam kelompok. Begitu juga dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam perlu adanya strategi pembelajaran menggunakan kooperatif learning, agar pembelajaran Pendidikan Agama Islam lebih berkembang dan tidak membosankan.

B.     Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian dari pembelajaran kooperatif.
2. Apa saja unsur-unsur dan karakteristik pembelajaran kooperatif.
3. Apa saja tipe-tipe dari pembelajaran kooperatif.
4. Apa kelebihan dan kekurangan pembelajaran dalam pembelajaran PAI

1.3     Tujuan

Tujuan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode Pendidikan Agama Islam  pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Sultan Syarif  Kasim konsentrasi Pendidikan Agama Islam tahun Pelajaran 2013/2014.


BAB II
COOPERATIVE LEARNING

1.  Pengertian Cooperative Learning
Dalam proses belajar mengajar dewasa ini dikenal istilah Cooperative Learning atau pembelajaran gotong royong. Cooperative Learning yang dalam pengertian ini disebut dengan CL terdiri dari dua kata yaitu Cooperative dan Learning. Cooperative berarti “acting together with a common purpose”.[1]Basyiruddin Usman mendefinisikan cooperative sebagai belajar kelompok atau bekerjasama.[2] Menurut Burton yang dikutip oleh Nasution, kooperatif atau kerjasama ialah cara individu mengadakan relasi dan bekerjasama dengan individu lain untuk mencapai tujuan bersama.[3]
Sedangkan Learning adalah “the process through which experience causes permanent change in knowledge and behavior” yakni proses melalui pengalaman yang menyebabkan perubahan permanen dalam pengetahuan dan perilaku.[4] Senada dengan hal itu Arthur T. Jersild, yang dikutip Syaiful Sagala, mendefinisikan bahwa Learning adalah “modification of behavior through experience and training” yakni pembentukan perilaku melalui pengalaman dan latihan.[5] Dia menambahkan bahwa learning sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan, perilaku dan ketrampilan dengan cara mengolah bahan ajar.[6] Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa CL adalah usaha mengubah perilaku untuk mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan secara gotong royong atau kerjasama.
David dan Roger Johnson mendefinisikan “a teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of a subject.[7](Strategi pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dimana setiap siswa memiliki tingkat kemampuan berbeda, dengan menggunakan berbagai macam aktifitas belajar untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi). Asep Gojwan mendefinisikan Cooperative Learning sebagai suatu model pembelajaran yang menekankan aktivitas kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama dengan menggunakan berbagai macam aktifitas belajar guna meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran dan memecahkan masalah secara kolektif.[8]
Setiap anggota kelompok bukan hanya belajar materi apa yang diajarkan tetapi juga membantu anggota yang lain untuk belajar. Model pembelajaran ini menganut prinsip saling ketergantungan positif (Positive Interdependence), tanggungjawab perseorangan (Individual Accountability), tatap muka (Face to face Interaction), ketrampilan sosial (Social Skill) dan proses kelompok (Group Processing).[9]
Inti dari CL ini adalah konsep synergy, yakni energi atau tenaga yang terhimpun melalui kerjasama sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat.[10] Penerapannya beranjak dari konsep Dewey yang dikutip oleh Yurnetti bahwa “classroom should mirror the large society and be a laboratory for real life learning.”[11] Terjemahan bebasnya bahwa kelas seharusnya mencerminkan keadaan masyarakat luas dan menjadi laboratorium untuk belajar kehidupan nyata. Jadi CL dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama/gotong royong dalam pembelajaran yang menekankan terbentuknya hubungan antara siswa yang satu dengan yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.


B. IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1. Penerapan model Cooperative Learning dalam Pembelaj aran PAI
Dari unsur-unsur dan tujuan CL sebagaimana dijelaskan dalam sub bab di atas, maka dapat diketahui bahwa CL menjelma dalam beberapa metode belajar, akan tetapi penulis hanya akan membahas sebagian saja, antara lain:
a.      Metode belajar kelompok (learning together)
b.      Metode diskusi kelompok (group discussion)
c.       Metode tutor sebaya (peer teaching)
d.      Metode Jigsaw
Metode-metode tersebut layak untuk diterapkan dalam berbagai macam pembelajaran, termasuk PAI. Karena harus disadari bahwa manusia dapat menikmati kesejahteraan bukan seluruhnya diperoleh dari hasil usaha sendiri, sebagian besar diperoleh dari “jasa” orang lain.[12] Dalam belajarpun siswa akan memperoleh hasil yang seperti itu. Siswa yang berkekurangan dalam membaca ayat-ayat Al Qur’an akanmemperoleh dari temannya yang mempunyai kelebihan dalam hal itu, dan sebaliknya.
Adapun langkah-langkah dalam menerapkan metode-metode CL di kelas secara umum dapat dilihat pada tabel dibawah ini:[13]
Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1
Menyampaikan   tujuan   dan
memotivasi      siswa     untuk
belajar      agama.     (Provide
objectives       and      motivate
student)
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar PAI
Fase 2
Menyajikan informasi (Present Information)
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan

Fase 3
Mengorganisasikan siswa ke dalam      kelompok-kelompok
belajar        sesuai       dengan
segmentasi     materi    agama
(Organize        students       in
learning teams)
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
Fase 4
Membimbing          kelompok
bekerja    dan belajar    (Assist
team work and study)
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat siswa belajar dalam kelompoknya
Fase 5
Evaluasi (testing)
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing­masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya
Fase 6
Memberikan penghargaan (recognize achievement )
Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok

Fase-fase tersebut memberikan gambaran penerapan CL secara umum dimana jika dikelompokkan ada tiga tahapan, yakni persiapan (merumuskan tujuan dan cara kerja kelompok, membuat daftar kelompok, membuat Rencana Pembelajaran dan lain-lain), pelaksanaan (meliputi kegiatan-kegiatan inti CL), dan penyelesaian (evaluasi, baik itu evaluasi proses kelompok maupun pencapaian pemahaman siswa).
Untuk mengetahui secara detail tentang pengertian dan langkah penerapan dari metode yang telah tersebut diatas, maka penulis akanuraikan sebagai berikut:

a. Metode belajar kelompok
Menurut Winarno Surakhmad, istilah belajar kelompok atau kerja kelompok merangkum pengertian dimana anak didik dalam satu kelompok dipandang sebagai satu kesatuan tersendiri untuk mencapai satu tujuan pelajaran tertentu dengan gotong royong.[14]
Bimo Walgito mendefinisikannya sebagai suatu alat untuk mengembangkan sikap sosial anak selain untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran.[15]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa belajar kelompok adalah suatu penyajian pelajaran dengan cara siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil dibawah bimbingan guru untuk mencapai tujuan pendidikan dengan bergotong royong atau bekerjasama diantara siswa. Dari kesimpulan tersebut dapat diketahui bahwa belajar kelompok bertujuan untuk membiasakan siswa mengembangkan sikap sosial dengan bergotong royong serta berfikir kreatif.
Belajar kelompok dapat diterapkan, misal ketika siswa mempelajari aspek Fiqh atau tugas resume materi Tarikh. Langkah­langkahnya adalah:
1) Persiapan
·         Merumuskan topik dan bahan ajar
·         Merumuskan tujuan pembelajaran
·         Merumuskan langkah kerja kelompok
2) Pelaksanaan
·    Berdasarkan tujuan dan bahan yang disiapkan sebelumnya, guru menjelaskan pokok-pokok bahan pengajaran secara umum sampai disertai kesempatan tanya jawab dan mencatat bahan tersebut.
·    Dari bahan yang telah dijelaskan tersebut, diangkat beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan problematis yang bisa ditulis guru dalam worksheet PAI
·    Bentuk kelompok siswa sesuai dengan jumlah masalah yang ditentukan pada langkah kedua. Beri siswa kesempatan untuk menentukan ketua, penulis dan juru bicara secara demokratis
·    Siswa melakukan kerja kelompok sesuai dengan masalahnya dan guru harus selalu memantau proses kelompok yang terjadi
·    Laporan setiap kelompok dan tanya jawab antar kelompok dan antar siswa
3) Penyelesaian
·      Setelah selesai laporan kelompok, setiap kelompok memperbaiki dan menyempurnakan hasil kerjanya berdasarkan saran dan tanggapan dari kelompok lain, sekaligus mencatat hasil kelompoknya maupun hasil kelompok lain
·      Guru menarik kesimpulan dari hasil-hasil kerja kelompok sekaligus merangkum jawaban masalah yang telah dibahas oleh semua kelompok.[16]


b. Metode diskusi (group discussion)
Diskusi kelompok/groupdiscussion adalah salah satu metode CL yang tertua dan paling sering digunakan.[17] Didefinisikan sebagai sebuah cara yang dilakukan dalam mempelajari bahan atau menyampaikan materi dengan jalan mendiskusikannya dengan tujuan dapat menimbulkan pengertian dan perubahan tingkah laku pada siswa.[18]
Sedangkan Ahmad Sabri mengatakan bahwa diskusi adalah suatu kegiatan kelompok untuk memecahkan suatu masalah dengan maksud untuk mendapatkan pengertian bersama yang lebih jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk merampungkan keputusan bersama.[19] Dalam diskusi, tiap siswa diharapkan memberikan sumbangan sehingga seluruh kelompok kembali dengan pemahaman yang sama dalam suatu keputusan atau kesimpulan.
Maka dapat disimpulkan bahwa metode diskusi adalah sebuah cara yang dilakukan dalam mempelajari bahan ajar atau materi dengan jalan kerjasama atau musyawarah.
Senada dengan belajar kelompok, metode diskusi dapat diterapkan dalam materi aspek Fiqh, Aqidah, Akhlaq, maupun Tarikh.Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam metode diskusi kelompok adalah:
1) Persiapan perencanaan diskusi
·           Tujuan diskusi harus jelas
·           Peserta diskusi harus memenuhi persyaratan tertentu, dan jumlahnya disesuaikan dengan sifat diskusi itu sendiri
·           Penentuan dan perumusan masalah yang akan didiskusikan harus jelas
·           Waktu dan tempat diskusi harus jelas
2) Pelaksanaan diskusi
·           Membuat struktur kelompok
·           Membagi tugas dalam diskusi
·           Merangsang seluruh peserta untuk berpartisipasi
·           Mencatat ide-ide atau saran penting
·           Menghargai setiap pendapat yang diajukan peserta
·           Menciptakan situasi yang menyenangkan

3) Tindak lanjut diskusi
·           Membuat kesimpulan/laporan diskusi
·       Membacakan kembali hasilnya untuk diadakan koreksi seperlunya
·       Membuat penilaian terhadap pelaksanaan diskusi tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan dan perbaikan pada diskusi yang akan datang.[20]
c. Metode tutor sebaya
Anita Lie mendefinisikan tutor sebaya sebagai peer teaching yakni, pengajaran yang dilakukan oleh rekan sebayanya.[21] Menurutnya hal ini lebih efektif daripada pengajaran oleh guru karena latar belakang pengetahuan dan pengalaman atau yang dikenal dengan istilah skemata dalam bidang pendidikan, skemata mereka satu sama lain lebih mirip dibandingkan dengan skemata yang dimiliki oleh guru.
Peer teaching menggunakan siswa sebagai guru. Dasar pemikiran tentang tutor sebaya adalah siswa yang pandai dapat memberikan bantuan kepada siswa yang kurang pandai. [22]
Metode ini dapat diterapkan dalam materi Al qur’an dan Hadist dengan mengajarkan sesama siswa baca tulis Al qur’an maupun ketika siswa mempelajari ibadah praktek, misal tata cara wudlu dan sholat. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1) Persiapan
·       Merumuskan topik dan tujuan
·       Membagi kelas dalam kelompok-kelompok dimana setiap kelompoknya ada satu siswa yang berfungsi sebagai tutor.
2) Pelaksanaan
·       Guru memberikan penjelasan umum tentang topik yang akan dibahas
·       Siswa belajar dari rekannya dalam kelompok dan jika mempunyai kesulitan dapat bertanya pada guru.
·       Guru selalu memantau proses tutor sebaya dalam kelompok siswa
3) Penyelesaian
·       Evaluasi bisa dilakukan oleh tutor maupun guru, jika dilakukan oleh tutor maka guru harus memberikan standar nilai yang jelas.[23]
d. Metode Jigsaw
Metode ini dikembangkan oleh Elliot Aranson, kemudian diadaptasi oleh Slavin.[24] Teknik ini serupa dengan pertukaran antar kelompok, bedanya setiap siswa mengajarkan sesuatu.Ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan.Tiap siswa mempelajari setiap bagian yang bila digabungkan akanmembentuk pengetahuan yang padu.[25]
Metode ini dapat digunakan ketika guru menyampaikan materi Tarikh atau sejarah, Akhlaq, Aqidah, Fiqh, maupun Alqur’an Hadist dimana materi-materi tersebut bisa disegmentasikan untuk dipelajari masing-masing siswa yang nantinya akan dibahas dalam kelompok. Langkah-langkah pelaksanaannya sebagai berikut:
1) Persiapan
·    Guru memilih materi yang bisa dipecah atau disegmentasikan dalam beberapa bagian.
·    Menjelaskan sistem belajar yang akan dipakai
·    Membentuk home teams sebagai kelompok asal
·    Membentuk expert teamsyang terdiri dari anggota-anggota kelompok yang mempelajari segmen yang sama dalam home teams masing-masing.
2) Pelaksanaan
·      Setelah siswa terbagi dalam beberapa kelompok, tiap segmen materi diberikan pada siswa dalam home teams.
·      Guru menginstruksikan siswa untuk mempelajari “bagian”nya secara mendalam dengan expert teams, yakni siswa yang mempelajari segmen yang sama.
·      Guru selalu memantau proses belajar siswa dalam tiap kelompok ahli sebagai bahan evaluasi bagi proses kelompok dalam kelas maupun untuk mengetahui sejauh mana keaktifan siswa.
·      Setelah proses belajar dalam expert teams usai, masing-masing siswa kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan apa yang telah didapat dari hasil belajar bersama anggota expert teams. Di dalam home teams siswa saling belajar dari rekannya mengenai segmen materi yang berbeda­beda.
·      Guru berfungsi sebagai fasilitator yang selalu mengawasi dan mengarahkan transisi kelompok agar suasana kelas tetap terkendali
3) Penyelesaian
·      Guru memberikan evaluasi terhadap proses kelompok dan juga pemahaman mereka terhadap materi.[26]
Langkah-langkah penerapan metode-metode dalam model CL tersebut harusnya menjadi pedoman bagi guru untuk menerapkan model Cooperative Learning dengan tetap memperhatikan situasi dan kondisi siswa maupun lingkungan yang mendukung diterapkannya model tersebut.

2. Plus minus model Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI
Dalam proses pembelajaran, keputusan untuk menerapkan sebuah model mengajar tentu tidak lepas dari pertimbangan tentang kelebihan maupun kekurangan dari model tersebut. Begitu pula penerapan model CL dalam pembelajaran haruslah mempertimbangkan dua hal tersebut guna tercapainya tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Model ini mempunyai beberapa kelebihan dalam mengembangkan potensi siswa dalam kelompok, yakni:
1.         Terjadi hubungan saling menguntungkan di antara anggota kelompok yang akhirnya melahirkan motivasi yang tinggi untuk menemukan konsepsi yang benar.
2.         Mengembangkan semangat kerja kelompok dan semangat kebersamaan di antara anggota.
3.         Menumbuhkan komunikasi yang efektif.
4.         Meredam persaingan yang tidak sehat dan pengucilan individu.
5.         Meningkatkan kemampuan berbahasa lisan (oral language development).
6.         Mengembangkan potensi siswa secara efektif, sehingga peran guru tidak lagi terlalu dominan.
7. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang pada akhirnya meningkatkan aktifitas dan hasil belajar.[27]
Sisi negatif yang mungkin muncul dalam CL antara lain: [28]
1.     Siswa yang lebih pintar, bila belum mengerti tujuan yang sesungguhnya dari proses ini, akan merasa sangat dirugikan karena harus bersusah-susah membantu temannya.
2.     Siswa ini juga akan merasa keberatan karena nilai yang ia peroleh ditentukan oleh prestasi atau pencapaian kelompoknya
3.    Bila kerja sama tidak dapat dijalankan dengan baik, maka yang akan bekerja   hanyalah beberapa murid yang pintar dan aktif saja.
Sisi negatif ini bisa dieliminir jika guru benar-benar menerapkan pro sedur pelaksanaan CL dan selalu memberikan pengarahan yang jelas kepada siswa.
Metode-metode CL dalam proses belajar mengajar seperti belajar bersama (learning together) atau belajar kelompok, diskusi kelompok (group discussion), tutor sebaya (peer teaching) dan jigsaw perlu diperhatikan sebab hal ini penting untuk menjalin hubungan antara siswa yang satu dengan lainnya, juga hubungan guru dengan siswa. Dalam pembelajaran PAI diharapkan dapat menerapkan CL yang akanmendukung terciptanya komunikasi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru secara baik, efektif dan efisien di dalam kelas maupun di luar kelas.
Pola pembelajaran PAI yang dilakukan harus memperhatikan berbagai komponen pembelajaran sehingga hasil pembelajaran PAI benar­benar mencapai taraf maksimal. Dengan adanya keterpaduan antara komponen pembelajaran PAI dan unsur-unsur CL yang menjelma dalam beberapa metode sebagaimana tersebut sebelumnya maka pembelajaran PAI akan sangat efektif untuk meningkatkan prestasi siswa sekaligus menciptakan interaksi yang saling asah, asih dan asuh (saling mencerdaskan) sehingga tercipta pula sebuah masyarakat belajar (learning community).






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
1. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran efektif dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil untuk saling bekerja sama, berinteraksi, dan bertukar pikiran dalam proses belajar. Dalam pembelajaran kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
2. Unsur-unsur pembelajaran kooperatif yaitu saling ketergantungan positif, interaksi tatap muka, tanggung jawab perseorangan, komunikasi antar anggota kelompok, evaluasi proses kelompok. Karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu siswa harus memiliki tujuan yang sama, rasa saling menolong, saling bertukar pikiran, saling menghargai, saling membagi tugas, dan dapat dipertanggungjawabkan secara kolompok.
3.     Tipe-tipe pembelajaran kooperatif yaitu tipe STAD (Student Team Achievement Division) yang dikembangkan oleh Slavin tahun 1978, tipe Jigsaw yang dikembangkan oleh Elliot Arronson dan temannya tahun 1978, tipe GI (Group Investigation) oleh Sholomo Sharan dan temannya tahun 1984, tipe TSP (Think Pair Share), tipe NHT (Numbered Heads Together), tipe Two Stay Two Stray  (TS-TS) yang dikembangkan oleh Spencer Kagan, tipe CIRC (Cooperative Integrated Reading and Composition) yang dikembangkan oleh Slavin, Stevans, Madden, dan Farnish, tipe Make A Match (Membuat Pasangan) dikembangkan oleh Lorna Curran tahun 1994. 
4.  Keunggulan model pembelajaran kooperatif yaitu: siswa tidak ber- gantung kepada guru, mampu mengekplorasikan ide dan gagasannya, saling menerima perbedaan, saling bertukar pendapat, meningkatkan semangat belajar, siswa menjadi aktif. Kelemahan model pembela- jaran kooperatif yaitu: dibutuhkan tenaga yang lebih dari guru untuk mengatur siswadan menyiapkan materi, dapat terjadi perdebatan kecil, siswa lebih cenderung bergurau dengan temannya, membutuhkan fasili- tas yang memadai, terjadi perluasan masalah sehingga waktu terbuang sia-sia, terkadang diskusi didominasi seseorang saja sehingga siswa lain menjadi pasif.













































DAFTAR PUSTAKA

Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press,2000), hlm. 276.
M. Basyiruddin Usman, Metode Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002).
S. Nasution, Didaktik Azas Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2000).
Anita E. Woofolk, Educational Psychology, (USA: Allyn & Bacon,1996).
Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003).
Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif padaMata Pelajaran PAI”, http://pps.upi.edu/org/
David dan Roger T. Johnson, “Learning Together”, dalam Shlomo, Sharan (ed.), Handbook of Cooperative Learning Methods, (Connecticut London: Praeger,1999)
Yurnetti, “Pembelajaran Kooperatif Sebagai Model Alternatif”, Jurnal Himpunan Fisika Indonesia, Volume B5, Agustus 2002.
Isfandi Mukhtar, “Metodologi Pengajaran Agama” dalam Chabib Thoha dan Abdul
Mu’thi.,(eds.), PBM PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar di Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998).
Yusuf, ”Pembelajaran Kooperatif”, http://www.damandiri.or.id/,2Juni 2014
Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: Gramedia, 2003)



[1] Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press,2000), hlm. 276.
[2] M. Basyiruddin Usman, Metode Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 14.
[3] S. Nasution, Didaktik Azas Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara, 2000), hlm. 148.
[4] Anita E. Woofolk, Educational Psychology, (USA: Allyn & Bacon,1996), cet. VI, hlm.196
[5] Syaiful Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003), hlm. 12.
[6] Ibid.
[7] David  and Roger Johnson, Cooperative Learning http//:www.clrcc.com/pages/cl.html, [Online] 2 Juni 2014

[8] Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif padaMata Pelajaran PAI”, http://pps.upi.edu/org/
[9] David dan Roger T. Johnson, “Learning Together”, dalam Shlomo, Sharan (ed.), Handbook of Cooperative Learning Methods, (Connecticut London: Praeger,1999), hlm. 58.
[10] Syaiful Sagala, op.cit.,hlm. 177.
[11] Yurnetti, “Pembelajaran Kooperatif Sebagai Model Alternatif”, Jurnal Himpunan Fisika Indonesia, Volume B5, Agustus 2002, hlm. 1

[12] Isfandi Mukhtar, “Metodologi Pengajaran Agama” dalam Chabib Thoha dan Abdul
Mu’thi.,(eds.), PBM PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar di Sekolah,
(Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm.148
[13] Yusuf, ”Pembelajaran Kooperatif”, http://www.damandiri.or.id/,2Juni 2014

[14] Winarno Surakhmad, Pengantar Interaksi Belajar Mengajar (Bandung: Tarsito, 2003), hlm. 116
[15] Bimo Walgito, op. cit., hlm. 103

[16] Nana Sudjana, CBSA dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru, 1989),  hlm 87-89
[17] Robert E. Slavin, op.cit.,hlm. 130
[18] Arief Armei, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hlm. 145
[19] Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Jakarta: Quantum Teaching, 2005), hlm. 57

[20] Ibid, hlm. 58-59
[21] Anita Lie, op.cit.,hlm. 31
[22] Conny Semiawan, Pendekatan Ketrampilan Proses, (Jakarta: Gramedia, 1990), cet. VI

[23]  Ibid.
[24] Nurhadi, op.cit.,hlm. 117, bisa juga dilihat dalam Slavin, op.cit.,hlm. 122
[25] Nurhadi, op.cit.,hlm. 117, bisa juga dilihat dalam Slavin, op.cit.,hlm. 122

[26] John Holt, “Jigsaw: Tips On Implementation”, http://www.jigsaw.org/tips.htm.,On line 2 Juli 2014

[27] Yurnetti, op.cit., hlm. 2
[28] Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: Gramedia, 2003), hlm. 203

0 komentar:

Posting Komentar