BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam proses pembelajaran kita perlu
memperhatikan semua aspek yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam proses
belajar mengajar, sehingga dalam melakukan pembelajaran didalam kelas strategi
guru dalam mengajar sangat perlu diperhatikan. Pada pembelajaran konvensional,
guru menjadi pusat pembelajaran, berperan mentransfer dan meneruskan (transmit)
informasi sehingga siswa tidak perlu mengkonstruksi ide-idenya. Tingkat
partisipasi siswa sangat terbatas karena arus interaksi didominasi oleh guru.
Bentuk penugasan dalam pembelajaran ini bersifat individual. Sebagai
konsekuensinya, evaluasi yang diterapkan di kelaspun juga individual.
Dalam hal ini, guru perlu menyusun dan
melaksanakan kegiatan belajar mengajar dimana siswa dapat aktif
membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pandangan
kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada
lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Keberhasilan
dalam proses pembelajaran dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang berkaitan dengan diri siswa, diantaranya
adalah kemampuan, minat, motivasi, keaktifan belajar dan lain-lain. Sedangkan
faktor eksternal adalah faktor dari luar diri siswa,
diantaranya adalah model pembelajaran.
Model
pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar.
Kemampuan menangkap pelajaran oleh siswa dapat dipengaruhi dari pemilihan model
pembelajaran yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan akan
tercapai. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dijadikan
alternatif bagi guru untuk menjadikan kegiatan pembelajaran di kelas
berlangsung efektif dan optimal. Salah satunya yaitu dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif mengutamakan
kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan
pembelajaran kooperatif dapat mengubah peran guru, dari yang berpusat pada
gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Model pembelajaran
kooperatif dapat digunakan untuk mengajarkan materi yang kompleks, dan yang
lebih penting lagi, dapat membantu guru untuk mencapai tujuan pembelajaran yang
berdimensi sosial dan hubungan antar manusia.
Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat
atau kelebihan yang sangat besar dalam memberikan kesempatan kepada siswa untuk
lebih mengembangkan kemampuannya. Hal ini dikarenakan dalam kegiatan
pembelajaran kooperatif, siswa dituntut untuk aktif dalam belajar melalui
kegiatan kerjasama dalam kelompok. Begitu juga dalam pembelajaran Pendidikan
Agama Islam perlu adanya strategi pembelajaran menggunakan kooperatif learning,
agar pembelajaran Pendidikan Agama Islam lebih berkembang dan tidak
membosankan.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian
dari pembelajaran kooperatif.
2. Apa saja
unsur-unsur dan karakteristik pembelajaran kooperatif.
3. Apa saja
tipe-tipe dari pembelajaran kooperatif.
4. Apa kelebihan
dan kekurangan pembelajaran dalam pembelajaran PAI
1.3 Tujuan
Tujuan makalah ini untuk memenuhi tugas mata
kuliah Metode Pendidikan Agama Islam pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri
Sultan Syarif Kasim konsentrasi
Pendidikan Agama Islam tahun Pelajaran 2013/2014.
BAB II
COOPERATIVE LEARNING
1. Pengertian Cooperative
Learning
Dalam proses belajar mengajar dewasa ini dikenal
istilah Cooperative Learning atau pembelajaran
gotong royong. Cooperative Learning yang dalam pengertian ini disebut
dengan CL terdiri dari dua kata yaitu Cooperative
dan Learning. Cooperative berarti “acting together with a
common purpose”.[1]Basyiruddin
Usman mendefinisikan cooperative sebagai belajar
kelompok atau bekerjasama.[2] Menurut Burton yang
dikutip oleh Nasution, kooperatif atau kerjasama ialah cara individu mengadakan
relasi dan bekerjasama dengan individu lain untuk mencapai tujuan bersama.[3]
Sedangkan Learning
adalah “the process through which experience causes
permanent change in knowledge and behavior” yakni proses
melalui pengalaman yang menyebabkan perubahan permanen dalam pengetahuan dan perilaku.[4]
Senada dengan hal itu Arthur T. Jersild, yang
dikutip Syaiful Sagala, mendefinisikan bahwa Learning adalah “modification
of behavior through experience and training” yakni pembentukan perilaku melalui pengalaman dan
latihan.[5] Dia menambahkan
bahwa learning sebagai kegiatan memperoleh pengetahuan, perilaku dan
ketrampilan dengan cara mengolah bahan ajar.[6]
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa CL adalah usaha mengubah perilaku untuk mendapatkan pengetahuan
dan ketrampilan secara gotong royong atau kerjasama.
David dan Roger
Johnson mendefinisikan “a teaching strategy in which small teams, each with
students of different levels of ability, use a variety of learning activities
to improve their understanding of a subject.[7](Strategi
pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok kecil dimana setiap siswa memiliki
tingkat kemampuan berbeda, dengan menggunakan berbagai macam aktifitas belajar
untuk meningkatkan pemahaman terhadap materi). Asep Gojwan mendefinisikan Cooperative
Learning sebagai suatu model pembelajaran yang menekankan aktivitas
kolaboratif siswa dalam belajar yang berbentuk kelompok kecil untuk mencapai
tujuan yang sama dengan menggunakan berbagai macam aktifitas belajar guna
meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran dan memecahkan
masalah secara kolektif.[8]
Setiap anggota
kelompok bukan hanya belajar materi apa yang diajarkan tetapi juga membantu
anggota yang lain untuk belajar. Model pembelajaran ini menganut prinsip saling
ketergantungan positif (Positive Interdependence),
tanggungjawab perseorangan (Individual
Accountability), tatap muka (Face to face Interaction), ketrampilan
sosial (Social Skill) dan proses kelompok (Group Processing).[9]
Inti dari CL ini
adalah konsep synergy, yakni energi atau tenaga yang terhimpun melalui kerjasama
sebagai salah satu fenomena kehidupan masyarakat.[10]
Penerapannya beranjak dari konsep Dewey yang dikutip oleh Yurnetti bahwa
“classroom should mirror the large society and be a laboratory for real life learning.”[11]
Terjemahan bebasnya bahwa kelas seharusnya
mencerminkan keadaan masyarakat luas dan menjadi laboratorium untuk belajar
kehidupan nyata. Jadi CL dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama/gotong
royong dalam pembelajaran yang menekankan terbentuknya hubungan antara siswa
yang satu dengan yang lainnya, terbentuknya sikap dan perilaku yang demokratis
serta tumbuhnya produktivitas kegiatan belajar siswa.
B. IMPLEMENTASI MODEL COOPERATIVE LEARNING DALAM
PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1. Penerapan model Cooperative Learning dalam Pembelaj aran PAI
Dari unsur-unsur dan
tujuan CL sebagaimana dijelaskan dalam sub
bab di atas, maka dapat diketahui bahwa CL menjelma dalam beberapa metode belajar, akan tetapi penulis hanya akan membahas sebagian
saja, antara lain:
a.
Metode belajar kelompok (learning
together)
b.
Metode diskusi kelompok (group
discussion)
c.
Metode tutor sebaya (peer
teaching)
d.
Metode Jigsaw
Metode-metode tersebut layak untuk diterapkan dalam
berbagai macam pembelajaran, termasuk PAI.
Karena harus disadari bahwa manusia
dapat menikmati kesejahteraan bukan seluruhnya diperoleh dari hasil usaha sendiri, sebagian besar diperoleh dari
“jasa” orang lain.[12] Dalam belajarpun siswa akan memperoleh hasil yang
seperti itu. Siswa yang berkekurangan
dalam membaca ayat-ayat Al Qur’an akanmemperoleh dari temannya yang
mempunyai kelebihan dalam hal itu, dan sebaliknya.
Adapun langkah-langkah dalam menerapkan metode-metode CL di
kelas secara umum dapat dilihat pada tabel dibawah ini:[13]
Fase
|
Tingkah Laku Guru
|
|
Fase 1
|
Menyampaikan tujuan dan
memotivasi siswa untuk
belajar agama. (Provide
objectives and motivate
student) |
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran
yang ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi siswa belajar PAI
|
Fase 2
|
Menyajikan informasi (Present Information)
|
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau
lewat bahan bacaan
|
Fase 3
|
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok
belajar sesuai dengan
segmentasi materi agama
(Organize students in
learning teams) |
Guru menjelaskan
kepada siswa bagaimana
caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien
|
Fase 4
|
Membimbing kelompok
bekerja dan belajar (Assist
team work and study) |
Guru membimbing kelompok-kelompok
belajar pada saat siswa belajar dalam kelompoknya
|
Fase 5
|
Evaluasi (testing)
|
Guru mengevaluasi
hasil belajar
tentang materi yang telah
dipelajari atau masingmasing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
|
Fase 6
|
Memberikan
penghargaan (recognize
achievement )
|
Guru mencari
cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun hasil belajar individu dan kelompok
|
Fase-fase
tersebut memberikan gambaran penerapan CL secara umum dimana jika dikelompokkan
ada tiga tahapan, yakni persiapan (merumuskan tujuan dan cara kerja kelompok, membuat
daftar kelompok, membuat Rencana Pembelajaran
dan lain-lain), pelaksanaan (meliputi kegiatan-kegiatan inti CL), dan
penyelesaian (evaluasi, baik itu evaluasi proses kelompok maupun pencapaian pemahaman siswa).
Untuk mengetahui secara detail tentang
pengertian dan langkah penerapan dari metode
yang telah tersebut diatas, maka penulis akanuraikan sebagai berikut:
a. Metode belajar kelompok
Menurut
Winarno Surakhmad, istilah belajar kelompok atau kerja kelompok
merangkum pengertian dimana anak didik dalam satu kelompok dipandang sebagai satu kesatuan tersendiri untuk mencapai satu tujuan pelajaran tertentu dengan gotong
royong.[14]
Bimo Walgito mendefinisikannya sebagai suatu
alat untuk mengembangkan sikap sosial anak
selain untuk mencapai tujuan pendidikan
dan pengajaran.[15]
Dari beberapa definisi
diatas dapat disimpulkan bahwa belajar kelompok adalah suatu penyajian
pelajaran dengan cara siswa dikelompokkan
dalam kelompok-kelompok kecil dibawah bimbingan guru untuk mencapai
tujuan pendidikan dengan bergotong royong atau bekerjasama diantara siswa. Dari kesimpulan tersebut dapat diketahui bahwa
belajar kelompok bertujuan
untuk membiasakan siswa mengembangkan sikap
sosial dengan bergotong royong serta berfikir kreatif.
Belajar
kelompok dapat diterapkan, misal ketika siswa mempelajari
aspek Fiqh atau tugas resume materi Tarikh. Langkahlangkahnya adalah:
1) Persiapan
·
Merumuskan topik dan bahan
ajar
·
Merumuskan tujuan
pembelajaran
·
Merumuskan langkah kerja
kelompok
2) Pelaksanaan
·
Berdasarkan tujuan dan
bahan yang disiapkan sebelumnya, guru menjelaskan pokok-pokok bahan pengajaran
secara umum sampai disertai kesempatan tanya
jawab dan mencatat bahan tersebut.
·
Dari bahan yang telah dijelaskan tersebut,
diangkat beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan problematis
yang bisa ditulis guru dalam worksheet PAI
·
Bentuk kelompok siswa sesuai dengan jumlah
masalah yang ditentukan pada langkah kedua. Beri siswa kesempatan untuk menentukan ketua, penulis dan juru bicara secara
demokratis
·
Siswa melakukan kerja
kelompok sesuai dengan masalahnya dan guru harus
selalu memantau proses kelompok yang terjadi
·
Laporan setiap kelompok dan
tanya jawab antar kelompok dan antar siswa
3) Penyelesaian
·
Setelah selesai laporan kelompok,
setiap kelompok memperbaiki dan menyempurnakan hasil kerjanya berdasarkan saran dan tanggapan dari kelompok lain, sekaligus
mencatat hasil kelompoknya maupun
hasil kelompok lain
·
Guru menarik kesimpulan
dari hasil-hasil kerja kelompok sekaligus merangkum jawaban masalah yang telah
dibahas oleh semua kelompok.[16]
b. Metode diskusi (group
discussion)
Diskusi kelompok/groupdiscussion
adalah salah satu metode CL yang tertua dan paling sering digunakan.[17] Didefinisikan
sebagai sebuah cara yang dilakukan dalam
mempelajari bahan atau menyampaikan materi dengan
jalan mendiskusikannya dengan tujuan dapat menimbulkan
pengertian dan perubahan tingkah laku pada siswa.[18]
Sedangkan Ahmad
Sabri mengatakan bahwa diskusi adalah suatu kegiatan
kelompok untuk memecahkan suatu
masalah dengan maksud untuk mendapatkan pengertian bersama yang lebih
jelas dan lebih teliti tentang sesuatu, atau untuk merampungkan keputusan bersama.[19] Dalam
diskusi, tiap siswa diharapkan memberikan sumbangan
sehingga seluruh kelompok kembali dengan pemahaman yang sama dalam suatu
keputusan atau kesimpulan.
Maka dapat
disimpulkan bahwa metode diskusi adalah sebuah cara
yang dilakukan dalam mempelajari bahan ajar atau materi dengan jalan kerjasama atau musyawarah.
Senada dengan
belajar kelompok, metode diskusi dapat diterapkan
dalam materi aspek Fiqh, Aqidah, Akhlaq, maupun Tarikh.Beberapa hal yang harus
diperhatikan dalam metode diskusi kelompok adalah:
1) Persiapan perencanaan
diskusi
·
Tujuan diskusi harus jelas
·
Peserta diskusi harus
memenuhi persyaratan tertentu, dan jumlahnya
disesuaikan dengan sifat diskusi itu sendiri
·
Penentuan
dan perumusan masalah yang akan didiskusikan harus
jelas
·
Waktu
dan tempat diskusi harus jelas
2) Pelaksanaan diskusi
·
Membuat struktur kelompok
·
Membagi tugas dalam diskusi
·
Merangsang seluruh peserta
untuk berpartisipasi
·
Mencatat
ide-ide atau saran penting
·
Menghargai setiap pendapat
yang diajukan peserta
·
Menciptakan situasi yang
menyenangkan
3) Tindak lanjut diskusi
·
Membuat kesimpulan/laporan
diskusi
·
Membacakan kembali hasilnya
untuk diadakan koreksi seperlunya
·
Membuat penilaian terhadap
pelaksanaan diskusi tersebut untuk dijadikan bahan
pertimbangan dan perbaikan pada diskusi yang akan datang.[20]
c. Metode tutor sebaya
Anita Lie
mendefinisikan tutor sebaya sebagai peer teaching yakni,
pengajaran yang dilakukan oleh rekan sebayanya.[21] Menurutnya
hal ini lebih efektif daripada pengajaran oleh guru
karena latar belakang pengetahuan dan pengalaman atau
yang dikenal dengan istilah skemata dalam bidang
pendidikan, skemata mereka satu sama lain lebih mirip dibandingkan dengan
skemata yang dimiliki oleh guru.
Peer teaching
menggunakan siswa sebagai guru. Dasar pemikiran tentang tutor sebaya adalah
siswa yang pandai dapat memberikan bantuan kepada
siswa yang kurang pandai. [22]
Metode ini dapat
diterapkan dalam materi Al qur’an dan Hadist dengan mengajarkan
sesama siswa baca tulis Al qur’an maupun ketika siswa mempelajari ibadah praktek, misal tata cara wudlu dan sholat. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1) Persiapan
·
Merumuskan topik dan tujuan
·
Membagi kelas dalam kelompok-kelompok dimana
setiap kelompoknya ada satu siswa yang
berfungsi sebagai tutor.
2) Pelaksanaan
· Guru memberikan penjelasan umum tentang topik yang akan dibahas
· Siswa belajar dari rekannya dalam kelompok dan jika mempunyai kesulitan dapat bertanya pada guru.
· Guru selalu memantau proses tutor sebaya dalam kelompok siswa
3) Penyelesaian
·
Evaluasi bisa dilakukan
oleh tutor maupun guru, jika dilakukan oleh
tutor maka guru harus memberikan standar nilai yang jelas.[23]
d. Metode Jigsaw
Metode
ini dikembangkan oleh Elliot Aranson, kemudian diadaptasi oleh Slavin.[24] Teknik
ini serupa dengan pertukaran antar kelompok, bedanya
setiap siswa mengajarkan sesuatu.Ini merupakan alternatif
menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan.Tiap siswa mempelajari setiap bagian yang bila digabungkan akanmembentuk pengetahuan yang padu.[25]
Metode ini dapat digunakan ketika
guru menyampaikan materi Tarikh atau sejarah,
Akhlaq, Aqidah, Fiqh, maupun Alqur’an Hadist dimana materi-materi tersebut bisa
disegmentasikan untuk dipelajari masing-masing siswa yang nantinya akan dibahas
dalam kelompok. Langkah-langkah
pelaksanaannya sebagai berikut:
1) Persiapan
·
Guru memilih materi yang
bisa dipecah atau disegmentasikan dalam beberapa bagian.
· Menjelaskan sistem belajar yang akan dipakai
· Membentuk home teams sebagai kelompok asal
· Membentuk expert teamsyang terdiri dari anggota-anggota kelompok
yang mempelajari segmen yang sama dalam home teams masing-masing.
2) Pelaksanaan
· Setelah siswa terbagi dalam beberapa kelompok, tiap segmen materi diberikan pada siswa dalam home teams.
·
Guru menginstruksikan siswa untuk mempelajari
“bagian”nya secara mendalam dengan expert
teams, yakni siswa yang mempelajari segmen yang sama.
·
Guru selalu memantau proses
belajar siswa dalam tiap kelompok ahli sebagai bahan
evaluasi bagi proses kelompok dalam kelas maupun untuk mengetahui sejauh mana
keaktifan siswa.
·
Setelah proses belajar
dalam expert teams usai, masing-masing siswa
kembali ke kelompoknya masing-masing untuk mengajarkan apa yang
telah didapat dari hasil belajar bersama anggota
expert teams. Di
dalam home teams siswa saling belajar dari rekannya mengenai segmen materi yang berbedabeda.
·
Guru berfungsi sebagai fasilitator
yang selalu mengawasi dan mengarahkan
transisi kelompok agar suasana kelas tetap terkendali
3) Penyelesaian
·
Guru memberikan evaluasi terhadap proses kelompok dan juga pemahaman mereka terhadap materi.[26]
Langkah-langkah
penerapan metode-metode dalam model CL tersebut harusnya menjadi pedoman
bagi guru untuk menerapkan model Cooperative
Learning dengan tetap
memperhatikan situasi dan kondisi siswa
maupun lingkungan yang mendukung diterapkannya model tersebut.
2. Plus minus
model Cooperative Learning dalam Pembelajaran PAI
Dalam proses pembelajaran, keputusan untuk menerapkan sebuah model
mengajar tentu tidak lepas dari pertimbangan tentang kelebihan maupun
kekurangan dari model tersebut. Begitu pula penerapan model CL dalam
pembelajaran haruslah mempertimbangkan dua hal tersebut guna tercapainya tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan. Model ini mempunyai beberapa kelebihan dalam mengembangkan potensi
siswa dalam kelompok, yakni:
1.
Terjadi hubungan saling menguntungkan di antara
anggota kelompok yang akhirnya melahirkan
motivasi yang tinggi untuk menemukan konsepsi yang benar.
2.
Mengembangkan
semangat kerja kelompok dan semangat kebersamaan di antara anggota.
3.
Menumbuhkan komunikasi
yang efektif.
4.
Meredam persaingan yang
tidak sehat dan pengucilan individu.
5.
Meningkatkan kemampuan
berbahasa lisan (oral language development).
6.
Mengembangkan potensi siswa
secara efektif, sehingga peran guru tidak lagi terlalu
dominan.
7. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa yang
pada akhirnya meningkatkan aktifitas dan
hasil belajar.[27]
Sisi negatif yang mungkin muncul dalam CL antara lain: [28]
1. Siswa yang lebih pintar, bila belum mengerti tujuan yang sesungguhnya dari proses ini, akan merasa sangat dirugikan karena harus bersusah-susah membantu temannya.
2.
Siswa ini juga akan merasa
keberatan karena nilai yang ia peroleh ditentukan
oleh prestasi atau pencapaian kelompoknya
3. Bila kerja
sama tidak dapat dijalankan dengan baik, maka yang akan bekerja hanyalah beberapa murid
yang pintar dan aktif saja.
Sisi negatif ini bisa
dieliminir jika guru benar-benar menerapkan pro
sedur pelaksanaan CL dan selalu memberikan pengarahan yang jelas kepada
siswa.
Metode-metode CL dalam proses belajar mengajar
seperti belajar bersama (learning
together) atau belajar kelompok, diskusi kelompok (group discussion), tutor
sebaya (peer teaching) dan jigsaw perlu diperhatikan sebab hal
ini penting untuk menjalin hubungan antara siswa yang satu dengan lainnya, juga hubungan guru dengan siswa. Dalam pembelajaran PAI diharapkan dapat menerapkan CL
yang akanmendukung terciptanya
komunikasi antara siswa dengan siswa maupun siswa dengan guru secara baik, efektif dan efisien di dalam kelas maupun
di luar kelas.
Pola pembelajaran PAI
yang dilakukan harus memperhatikan berbagai komponen pembelajaran sehingga
hasil pembelajaran PAI benarbenar mencapai
taraf maksimal. Dengan adanya keterpaduan antara komponen pembelajaran PAI
dan unsur-unsur CL yang menjelma dalam beberapa
metode sebagaimana tersebut sebelumnya maka pembelajaran PAI akan sangat efektif untuk meningkatkan prestasi
siswa sekaligus menciptakan interaksi
yang saling asah, asih dan asuh (saling mencerdaskan) sehingga tercipta
pula sebuah masyarakat belajar (learning community).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pembelajaran kooperatif
merupakan salah satu pembelajaran efektif dengan cara membentuk kelompok-kelompok kecil untuk
saling bekerja sama, berinteraksi, dan bertukar pikiran dalam proses belajar. Dalam pembelajaran
kooperatif, belajar dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam
kelompok belum menguasai bahan pelajaran.
2. Unsur-unsur pembelajaran
kooperatif yaitu saling
ketergantungan positif, interaksi tatap muka, tanggung jawab perseorangan, komunikasi antar anggota kelompok, evaluasi proses kelompok. Karakteristik
pembelajaran kooperatif yaitu siswa harus memiliki tujuan yang sama, rasa saling
menolong, saling bertukar pikiran, saling menghargai, saling membagi tugas, dan
dapat dipertanggungjawabkan secara kolompok.
3. Tipe-tipe
pembelajaran kooperatif yaitu tipe STAD (Student Team Achievement Division)
yang dikembangkan oleh Slavin tahun 1978, tipe Jigsaw yang dikembangkan oleh Elliot Arronson dan temannya tahun 1978, tipe GI (Group
Investigation) oleh Sholomo Sharan
dan temannya tahun 1984, tipe TSP (Think Pair Share),
tipe NHT (Numbered Heads Together),
tipe Two Stay Two Stray (TS-TS) yang dikembangkan oleh Spencer
Kagan, tipe CIRC (Cooperative Integrated
Reading and Composition) yang dikembangkan
oleh Slavin, Stevans, Madden, dan Farnish, tipe Make A Match (Membuat Pasangan) dikembangkan oleh Lorna Curran tahun 1994.
4. Keunggulan model
pembelajaran kooperatif yaitu: siswa tidak ber- gantung kepada guru, mampu
mengekplorasikan ide dan gagasannya, saling menerima perbedaan, saling bertukar
pendapat, meningkatkan semangat belajar, siswa menjadi aktif. Kelemahan model
pembela- jaran kooperatif yaitu: dibutuhkan tenaga yang lebih dari guru untuk
mengatur siswadan menyiapkan materi, dapat terjadi perdebatan kecil, siswa
lebih cenderung bergurau dengan temannya, membutuhkan fasili- tas yang memadai,
terjadi perluasan masalah sehingga waktu terbuang sia-sia, terkadang diskusi
didominasi seseorang saja sehingga siswa lain menjadi pasif.
DAFTAR PUSTAKA
Sally Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York:
Oxford University
Press,2000), hlm. 276.
M. Basyiruddin Usman, Metode Pembelajaran Agama Islam, (Jakarta:
Ciputat Press, 2002).
S. Nasution, Didaktik Azas Mengajar, (Bandung: Bumi Aksara,
2000).
Anita E. Woofolk, Educational
Psychology, (USA: Allyn & Bacon,1996).
Syaiful
Sagala, Konsep dan Makna Pembelajaran, (Bandung: Alfabeta, 2003).
Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif
padaMata Pelajaran PAI”, http://pps.upi.edu/org/
David dan Roger T. Johnson, “Learning Together”, dalam Shlomo, Sharan (ed.),
Handbook of Cooperative Learning Methods, (Connecticut London:
Praeger,1999)
Yurnetti, “Pembelajaran Kooperatif Sebagai Model Alternatif”, Jurnal
Himpunan Fisika Indonesia, Volume B5, Agustus 2002.
Isfandi Mukhtar, “Metodologi Pengajaran Agama” dalam Chabib Thoha dan
Abdul
Mu’thi.,(eds.), PBM PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar
Mengajar di Sekolah, (Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998).
Adi W. Gunawan, Genius Learning
Strategy, (Jakarta: Gramedia, 2003)
[1] Sally
Wehmeier, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (New York: Oxford University Press,2000), hlm. 276.
[7] David and Roger Johnson,
Cooperative Learning http//:www.clrcc.com/pages/cl.html,
[Online] 2 Juni 2014
[8] Asep Gojwan, “Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif
padaMata Pelajaran PAI”,
http://pps.upi.edu/org/
[9] David
dan Roger T. Johnson, “Learning Together”, dalam Shlomo, Sharan (ed.),
Handbook of Cooperative Learning Methods, (Connecticut London:
Praeger,1999), hlm. 58.
[11] Yurnetti,
“Pembelajaran Kooperatif Sebagai Model Alternatif”, Jurnal Himpunan Fisika
Indonesia, Volume B5, Agustus 2002, hlm. 1
Mu’thi.,(eds.), PBM
PAI di Sekolah, Eksistensi dan Proses Belajar Mengajar di Sekolah,
(Yogyakarta: Fakultas
Tarbiyah IAIN Walisongo bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1998), hlm.148
[18] Arief
Armei, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), hlm. 145
[19] Ahmad
Sabri, Strategi Belajar Mengajar dan Micro Teaching, (Jakarta: Quantum Teaching,
2005), hlm. 57
[26] John
Holt, “Jigsaw: Tips On Implementation”, http://www.jigsaw.org/tips.htm.,On line 2 Juli 2014
0 komentar:
Posting Komentar