ASKETISISME ( ZUHUD ) DALAM ISLAM

ASKETISISME ( ZUHUD ) DALAM ISLAM

Oleh: Fitri Yafrianti*

“Jika kalian melihat seseorang yang diberi kezuhudan didunia dan diberi akal, maka dekatilah ia karena ia akan mengajarkan hikmah.”
( HR. Ibnu Majah )


Pendahuluan
Dalam sejarah Islam, sebelum timbul Aliran Tasawuf, terlebih dahulu muncul Aliran Zuhud. Aliran zuhud atau Aksetisisme timbul pada akhir Abad I dan permulaan Abad II Hijriyah. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap hidup mewah dari Khalifah dan keluarga serta pembesar-pembesar Negara sebagai akibat dari kekayaan yang diperoleh setelah Islam meluas ke Syria, Mesir, Mesopotania dan Persia.[1] Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran Tasawuf bermula dari gerakan hidup Zuhud. Dengan istilah lain bahwa cikal bakal Aliran Tasawuf adalah gerakan hidup Zuhud. Jadi sebelum orang Sufi lahir telah ada orang Zahid yang secara tekun mengamalkan Ajaran-ajaran Islam, yang kemudian dikenal dengan Ajaran Tasawuf.[2]
Kehidupan kerohanian Tasawuf itu belumlah terpisah dari kehidupan sehari-hari, sahabat-sahabat Nabi yang utama, mencontoh kehidupan Nabi Muhammad telah dapat menggabungkan kehidupan lahir (duniawi) dengan hidup kerohanian didalam kehidupan sehari-hari. namun segala warna kehidupan itu telah mereka pandangi dari segi hidup kerohanian.   

Orang Sufi menganggap kehidupan Wara’ sebagai permulaan dalam mencapai kehidupan Zuhud Imam Al-Qusyairi menukil perkataan Sulaiman Darani yang mengatakan “Wara’ permulaan kehidupan Zuhud sebagaimana Qanaah (merasa cukup) adalah jalan menuju kehidupan Redho”.[3]
Rabi’atul Adawiyah, adalah seorang Zahid perempuan yang sangat besar.. Tingkat kehidupan Zuhud yang tadinya direncanakan oleh Hasan Basri, yaitu takut dan pengharapan, telah dinaikkan oleh Rabi’ah kepada Zuhud karena cinta. Jika kita berbicara masalah Asketisisme (Zuhud), banyak sekali para Ulama yang berpendapat tentang Zuhud. Bermacam-macam pendapat yang mereka kemukakan ada yang mengatakan bahwa Zuhud itu pada hakikatnya adalah membelakangkan semua mata benda dunia, tetapi bukan berarti tidak mau memiliki apa-apa, dalam arti kata tidak berlebih-lebihan. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Zuhud adalah ketidak inginan terhadap sesuatu yang bersifat sementara atau sesuatu yang bisa menyesatkan tetapi tujuan hidup yang sebenarnya adalah semata-mata mengharapkan keredhoan Allah SWT yakni kehidupan yang kekal abadi (akhirat).[4]

  1. Pengertian dan Karakteristik Asketisisme (Zuhud)
Menurut Al-Ghazali, hati manusia itu adalah seperti sebuah bejana yang penuh dengan air, untuk mengisinya dengan cuka, air yang ada didalamnya harus dikeluarkan sebesar cuka yang akan dimasukkan itu. Kalau seluruh bejana itu akan diisi oleh cuka, seluruh air yang ada didalamnya dikeluarkan lebih dulu. Demikianlah halnya cinta kepada Tuhan tidak mungkin memasuki hati yang masih penuh dengan cinta kepada yang lain. Untuk mencintai Allah dengan sepenuh hati, cinta kepada yang lain harus dikeluarkan seluruhnya dari dalam hati.[5] Al-Palimbani menguraikan tentang taubat, cinta harta, cinta kebesaran atau kemegahan dan cinta dunia, semuanya dipandang sebagai dosa besar yang harus dijauhi oleh setiap yang telah menginjakkan kakinya dijalan Tasawuf. Sikap menolak sesuatu yang bersifat keduniaan itu, dalam istilah Tasawuf disebut Zuhud.[6]
Sebelum kita membahas jauh tentang Zuhud ada baiknya kita mengetahui apa pengertian Zuhud itu sendiri, baik dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Pada zaman dahulu Zuhud dikenal dengan nama Nussaak, kata jamak dari Nasik artinya orang-orang telah menyediakan dirinya untuk mengerjakan ibadah kepada Allah SWT. Dari sudut bahasa Zuhhad atau zahid, zahid diambil dari kata zuhud. Yang artinya tidak ingin kepada dunia, kemegahan, harta benda dan pangkat.[7]
Kehidupan zuhud kalau dilihat dari makanannya hanya sekedar menahan lapar dan menambah kekuatan tubuhnya untuk dapat melaksanakan ibadah kepada Allah. Makanan mereka sekedar perlu tidak sampai berlebih-lebihan, kendatipun mereka masih menyimpan makanan untuk waktu lain, tidaklah mereka keluar dari kehidupan zuhud.[8]
Ditinjau dari segi istilah pengertian Zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan berharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau yang dikenal dengan kebahagiaan akhirat.[9] Sikap Zuhud dalam kalangan Sufi sangat diutamakan dan benar-benar ditampakkan dalam sikap dan tingkah laku para Sufi dalam kehidupan sehari-hari. Zuhud ini pada hakikatnya membelakangkan harta benda, dengan kata lain tidak Zuhud tidak terlalu menghiraukan dunia.[10]karena dunia ini adalah permainan dan diakhiratlah hidup sebenarnya. Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 64

$tBur ÍnÉ»yd äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ×qôgs9 Ò=Ïès9ur 4 žcÎ)ur u#¤$!$# notÅzFy$# }Îgs9 ãb#uquptø:$# 4 öqs9 (#qçR$Ÿ2 šcqßJn=ôètƒ ÇÏÍÈ  
Artinya: Dan Tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.”. (QS. Al-Ankabut: 64)

Adapun yang dimaksud dengan Zuhud menurut Ibnu Qudamah Al-Muqaddisi ialah, “merupakan pengalihan keinginan dari sesuatu kepada sesuatu yang lebih baik.”[11] Sedangkan menurut Imam Al-Gazali, “Zuhud ialah mengurangi keinginan kepada dunia, dan menjauh dari padanya dengan penuh kesadaran dan dalam hal yang mungkin dilakukan.”[12]

 Imam Alqusyairi menukil pendapat kaum Sufi yang mengatakan Zuhud ialah tidak merasa berbangga terhadap kemewahan dunia yang telah ada ditangannya, dan tidak merasa bersedih dengan hilangnya kemewahan tadi dari tangannya. Dan akhirnya sofyan sauri berkata, Zuhud terhadap dunia ialah merasakan bahwa ajalnya telah dekat tidak memakan yang enak-enak dan tidak pula memakai pakaian yang mewah.[13]
Ibnu Qudamah Al-Muqaddisi mengatakan bahwa harta kekayaan bagi orang zuhud adalah sekedar perlu, hal ini untuk memelihara kehormatan dirinya juga untuk memperkembang agama dan membantu masyarakat.[14]
Defenisi-defenisi diatas tadi semuanya bersumber dari ayat-ayat dan hadist-hadist yang diantaranya firman Allah SWT yang berbunyi:

3 ö@è% ßì»tFtB $u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur ׎öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$# Ÿwur tbqßJn=ôàè? ¸xÏGsù ÇÐÐÈ  
Artinya: Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.” (QS. Anisa: 77)


Dalam hadits juga diterangkan tentang keutamaan zuhud terhadap keduniaan juga untuk meningkatkan kecintaan kepada Allah dan kepada sesama makhluk-Nya. Rasulullah SAW. Bersabda:




Artinya: “Zuhudlah kamu kepada dunia niscaya engkau dicintai Allah, dan zuhudlah terhadap apa yang ada pada manusia, maka engkau dicintai manusia”[15]

Khalifah Ali Bin Abi Thalib mengatakan Zuhud yaitu: tidak terpengaruh dari iri hati terhadap orang-orang yang serakah terhadap keduniaan baik dari orang mukmin maupun dari orang-orang kafir.[16] Dalam ajaran Tasawuf bahwa Allah telah merendahkan kedudukan dunia dan menamakannya dengan berbagai nama dan belum pernah dinamakan oleh orang lain
Dalam suatu Riwayat diceritakan bahwa Nabi Isa pernah berkata: aku ingatkan kamu sekalian dengan ikhlas, bahwasanya cinta kepada dunia itu puncak segala dosa. Dalam harta itu terdapat berbagai penyakit.
Setinggi-tinggi orang Zuhud didunia ialah mereka yang menepati petunjuk Allah SWT dalam mencintainya, mereka merupakan hamba-hamba Allah yang bepandangan jauh, pintar dan pencinta-pencinta sejati, mereka telah menjunjung Firman-firman Allah SWT yang mencela dunia serta merendahkan kedudukannya, lantaran mereka merasa malu terhadap Allah.[17] Kiranya dia mendapati diri mereka berminat dan berpaut kepada sesuatu yang dicela dan tiada diredhoi oleh Allah. Maka merekapun menjadikan perkara membelakangi dunia itu sebagai suatu perkara yang pasti mereka tinggalkan dan mereka tiada pula mengharapkan sesuatu balasan dari Allah SWT terhadap mereka tinggalkan dunia itu, mereka lakukan yang demikian itu karena menurut petunjuk tuhan untuk memuliakannya. 

Imam Al-Gazali mengatakan Zuhud terbagi atas tiga tingkatan: Pertama, meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya. Kedua, meninggalkan keduniaan karena mengharapkan sesuatu yang bersifat keakhiratan. Ketiga, meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintainya.[18]

Menurut Al-Palimbani, dalam hal ini ia juga mengikuti Al-Ghazali, hakikat zuhud itu meninggalkan sesuatu yang dikasihi dan berpaling darinya kepada sesuatu yang lain, yang terlebih (baik) dari padanya, karena itu sikap seseorang yang meninggalkan kasih akan dunia, karena menginginkan sesuatu didalam akhirat, dikatakan zuhud yang tertinggi, menurut dia, ialah meninggalkan gemar dari tiap-tiap sesuatu yang lain dari Allah, hingga engkau tinggalkan gemar dari sesuatu yang didalam akhirat.[19]

B.     Latar Belakang Lahirnya Asketisisme Dalam Islam
Pendapat tentang factor yang menyebabkan munculnya gerakan hidup zuhud (asketisisme) dalam Islam pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah. RA. Nicholson, misalnya menganggap hidup zuhud dalam Islam berkembang secara Islami sekalipun agak terkena dampak Nasrani.[20]
RA. Nicholson mengatakan: sekalipun kami mengakui Agama Masehi mempunyai dampak terhadap pembentukan Tasawuf dari jenis pertamanya, namun kami berpendapat bahwa ucapan-ucapam para Sufi yang asketis, seperti Ibrahim bin Adam (w. 161 H), Daud Al-Ta’i (w. 165 H), Al-Fudail bin ‘Iyad (w. 187 H) dan Syaqiq Al-Balkhi (w. 194 H) tidak menunjukkan bahwa mereka terkena dampak Agama Masehi, kecuali sedikit sekali. Dalam arti lain, tampaklah arti Tasawuf jenis ini (maksud gerakan zuhud yang dipandang sebagai pengantar kemunculan Tasawuf) adalah tidak bisa tidak hasil gerakan Islam itu sendiri, bahkan hasil nyata dari ide Islam tentang Allah.[21]
Dengan demikian, menurut Nicholson, lahirnya gerakan hidup Zuhud dalam Islam disebabkan oleh dua factor, yaitu dampak ajaran Islam sendiri dan ajaran Nasrani, namun ia lebih cenderung berpendapat bahwa Ajaran Islamlah yang paling dominan memberikan dampak terhadap lahirnya gerakan hidup Zuhud itu.[22]
 Abu Al-‘Ala Afifi berpendapat, ada empat factor yang menyebabkan kelahiran hidup zuhud dalam Islam, yaitu: Pertama, Ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Kitab Suci Al-Qur’an telah mendorong manusia agar hidup Shaleh dan Taqwa kepada Allah. Kedua, revolusi Ruhaniah kaum Muslimin terhadap sistem sosio-politik yang berlaku. Ketiga, dampak asketisisme Masehi. Dizaman pra-Islam bangsa Arab terkena dampak para pendeta Masehi. Setelah lahirnya Islam pun dampaknya tetap berlangsung. Namun dampak asketisisme Masehi itu lebih banyak terhadap aspek organisasionalnya ketimbang terhadap aspek prinsip-prinsip umumnya, sehingga asketisisme dalam Islam tetap bercorak Islami. Keempat, penentangan terhadap Fiqih dan Kalam. Factor ini muncul karena tuntunan murni Islam, sama halnya dengan factor-faktor yang pertama dan kedua. Sebagai kaum Muslimin yang shaleh pada masa itu merasa bahwa pemahaman para Fuqaha’ dan ahli Kalam tentang Islam tidak dapat sepenuhnya memuaskan perasaan keagamaan mereka, sehingga memasuki hidup Zuhud untuk memenuhi kehausan perasaan keagamaan.[23] 
Selepas Abad kedua, [24] masuk kedalam abad ketiga, barulah dia menjadi Ilmu tersusun. Setelah itu berkembanglah kemajuan, peradaban dan kebudaan Islam, mulailah kaum Muslimin bergaul dengan segala macam bangsa dan peradabannya, atau Agama Islam itu sendiri dimasuki oleh segala bangsa, yang bukan Arab, sebab Islam bukan semata-mata untuk Bangsa Arab. Lantaran pergaulan yang cukup luas itu, dengan sendirinya terjadilah ambil-mengambil pikiran, tinjau meninjau dan bahkan menyalin Filsafat lain bangsa. Lantaran itu bertambah dan berkembang baik Tasawuf  Islami, begitu juga dengan Ilmu-ilmu Islam yang lainnya. Karena satu macam kebudayaan tidaklah akan berkembang, kalau sekiranya tidak ada hubungan dengan yang lainnya.
Dari Basrah dan Kufah, gerakan Zuhud ini menyebar keseluruh penjuru dunia Islam, terutama Khurasan yang selama separuh kedua Abad ke-2 Hijriyah/ ke-8 Masehi menjadi pusat penting politik dan keagamaan. Di Khurasanlah kelompok penumbang Dinasti Umayyah dan pendiri Kekhalifahan Bani Abasiyyah itu tumbuh. Hidup Ibrahim bin Adam, pangeran Balkhan (w. 160 H/ 777 M), tokoh yang kisah peralihannya kepada kezuhudan menjadi tema favorit para Sufi kemudian, dan sering kali dibandingkan dengan kisah Bhuda Gautama. Gerakan hidup zuhud di Khurasan ini kemudian dilanjutkan oleh murid Ibrahim bin Adam,[25] Syaqiq Al-Balkhi (w. 194 H/ 810 M). tokoh lain dari gerakan hidup Zuhud di Persia adalah Abduallah bin Al-Mubarak (w. 181 H/ 797 M), yang menulis tentang Kitab kezuhudan  (kitab al-zuhud). Kitab ini berisi tentang Zuhud, dan merupakan kitab yang amat penting karena memaparkan upaya sang Zahid dalam merakit Riwayat hidup Nabi SAW.[26]
    Al-Taftazani dalam mengomentari pendapat ‘Afifi diatas mengatakan: kamipun sependapat dengan Abu Al-‘Ala ‘Afifi mengenai kedua factor, yang pertama dan yang kedua, yaitu Ajaran-ajaran Islam serta revolusi kaum Muslimin terhadap sistem sosio-politik yang berlangsung (dimasa dinasti umayyah dan abbasiyah) sebagai factor-faktor yang menumbuhkan gerakan Zuhud dalam Islam. Akan tetapi tentang pendapatnya yang ketiga, yaitu Asketisisme Masehi bukanlah salah satu factor yang melahirkan hidup Zuhud dalam Islam. Begitu juga yang keempat, yaitu penentengan terhadap Fiqih dan Kalam, tidaklah berkaitan dengan kelahiran hidup Zuhud itu; sekalipun factor ini begitu erat dengan perkembangan Tasawuf sejak Abad ke-3 Hijriyah dan seterusnya.[27]   

Dengan mengikuti pendapat Al-Taftazani diatas, kita akan menjelaskan sekedarnya kedua factor yang mendorong lahirnya gerakan hidup Zuhud dalam Islam, yaitu:
1.      Al-Qur’an dan Sunnah [28]
Zuhud erat kaitannya dengan sikap seseorang terhadap dunia. Bagaimana seseorang menghadapi dunia ini, diterangkan dalam Al-Qur’an antara lain, sebagai beriku:

(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZƒÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ֍èO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3tƒ $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓƒÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# žwÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ  
Artinya: “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”  (QS. Al-Hadid: 20).[29]

¨bÎ) šúïÏ%©!$# Ÿw šcqã_ötƒ $tRuä!$s)Ï9 (#qàÊuur Ío4quysø9$$Î/ $u÷R9$# (#qœRr'yJôÛ$#ur $pkÍ5 šúïÏ%©!$#ur öNèd ô`tã $uZÏF»tƒ#uä tbqè=Ïÿ»xî ÇÐÈ   šÍ´¯»s9'ré& ÞOßg1urù'tB â$¨Y9$# $yJÎ/ (#qçR$Ÿ2 šcqç7Å¡õ3tƒ ÇÑÈ  


Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) Pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,
 Mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 7-8).

$¨Br'sù `tB 4ÓxösÛ ÇÌÐÈ   trO#uäur no4quŠptø:$# $u÷R9$# ÇÌÑÈ   ¨bÎ*sù tLìÅspgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÌÒÈ   $¨Br&ur ô`tB t$%s{ tP$s)tB ¾ÏmÎn/u ygtRur }§øÿ¨Z9$# Ç`tã 3uqolù;$# ÇÍÉÈ   ¨bÎ*sù sp¨Ypgø:$# }Ïd 3urù'yJø9$# ÇÍÊÈ  
Artinya: “Adapun orang yang melampaui batas, Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,  Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya), Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tingga (nya).” (QS. An-Nazi’at: 37-41).[30]

Dan sabda beliau kepada sahabatnya: “aku khawatir kalian mendapat keleluasaan dalam hal duniawi, seperti kaum-kaum sebelum kalian, sehingga kalian saling berebutan seperti kaum-kaum sebelum kalian, yang akhirnya pun kalian hancur seperti kaum-kaum sebelum kalian.”[31]
2.      Kondisi Sosio-Politik.
Konflik –konflik politik yang terjadi, terutama sejak masa Khalifah Ustman bin Affan r.a. mempunyai dampak terhadap kehidupan keagamaan, sosial dan politik kaum Muslimin. Konflik-konflik politik itu terus berlansung sampai masa Khlifah Ali bin Abi Thalib. Setelah itu kaum Muslimin terpecah belah menjadi berbagai kelompok.[32]  
Kemudian, kehadiran Ali bin Abi Thalib yang berusaha keras mengembalikan wibawa kekhalifahan tidak banyak membawa hasil. Bahkan diangkat Ali menjadi Khalifah keempat menjadikan suasana semakin panas. Khalifah terakhir dari Al-Khulafah Al-Rasyidin ini mendapat tantangan keras dari orang-orang yang berambisi ingin menjadi Khalifah, terutama Thalhah dan Zubair. Demikian juga Aisyah, tidak mau membai’at Ali sebagai Khalifah.
Pada awalnya konflik-konflik diatas hanya merupakan persoalan politik tetapi kemudian berkembang menjadi persoalan Agama. Masing-masing yang saling betentangan berusaha mempergunakan nas-nas agama untuk membenarkannya, menguatkan atau mengokohkan sikap dan pendapatnya. Karena itulah masing-masing kelompok memiliki paham keagamaa, kadang-kadang ada kelompok yang tak segan-segan membuat hadist palsu untuk membenarkan  pendirian dan pendapatnya. Hal ini tentu lebih memperburuk, tidak hanya suasana politik tetapi lebih dari itu.
Dari keterangan singkat diatas, tampak jelas betapa kericuhan politik ketika itu mendorong kaum Muslimin, sejak waktu yang dini, lebih memilih kehidupan untuk beribadah serta menjauhi keterlibatan konflik-konflik politik.

C.    Aliran-aliran Asketisisme Dalam Islam
1.      Aliran Madinah.[33]
Sejak masa yang dini di Madinah telah muncul para Zahid. Mereka kuat berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah, dan mereka menetapkan Rasuluallah sebagai panutan kezuhudan. Diantara mereka dari kalangan sahabat adaah abu Ubaidah Al-Jarrah, Abu Zard Al-Ghifari, Salman Al-Farisi, Abduallah Ibn Mas’ud, Hufaizah Ibnu Yaman. Sementara itu dari kalangan Tabi’in diantaranya adalah Sa’id Ibnu Al-Masayyad dan Salim Ibnu Abduallah. Aliran Madinah ini lebih cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum Muslimin (salaf), dan berpegang teguh pada Zuhud serta kerendahan hati Nabi. Aliran ini tetap bercorak murni Islam dan konsisten pada Ajarn-ajaran Islam.
Selanjutnya, di Madinah muncul beberapa orang Zahid ternama, antara lain, seperti Sa’id bin Musayyab (w. 91 H). menurut Ibn Khalikan, dia adlah tokoh Tabi’in kelas pertama. Salim bin Abduallah bin Umar bin Al-Khattab pun tekenal sebagai salah seorang Tabi’in Madinah yang cenderung pada kehidupan Zuhud. Kemudian, gerakan Zuhud juga muncul di Mesir. Diantara tokoh-tokohnya pada Abad yang pertama Hijriyah adalah Salim bin Atar Al-Tajibi.[34] Tokoh lainya adalah Abdurrahman bin Hujairah, yang menjabat sebagai hakim agung Mesir tahun 69 Hijriyah, dan meninggal tahun 83 Hijriyah. Dia terkenal sebagai seorang Zahid yang tekun beribadah. Sedangkan Zahid yang menonjol pada abad yang kedua Hijriyah adalah Al-Lais bin Sa’ad. Sikap Zuhud dan kehidupannya yan sederhana begitu terkenal. Dia lahir di Qalqasyandah, Mesir, salah satu kampung dipesisir laut merah, dan meninggal tahun 175 Hijriyah di Mesir. Menurut Ibn Khalikan, dia seorang Zahid yang kaya juga dermawan. Selain itu, dia pun seorang ahli hukum yang terkenal. 

   
2.      Aliran Bashrah
Louis Massignon mengemukakan dalam artikelnya, bahwa pada Abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua Aliran Zuhud yang menonjol. Salah satunya di Bashrah dan yang Lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang-orang tinggal di Bashrah berasal dari Bani Tami, mereka terkenal dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal-hal yang riil. Mereka adalah penganut Aliran Ahlussunnah tapi cenderung pada Alira-aliran Mu’tazilah[35] dan Qadariah. Tokoh mereka dalam zuhud adalah Hasan Al-Basri,[36] Malik Ibnu Dinar, padahal Al-Raqqasyi, Rabbah Ibnu ‘Amru Al-Qissyi, Saleh Al-Murni atau Abdul Zahid Ibnu Zaid. Corak yang menonjol dari dari para Zahid Bashrah ialah Zuhud dan rasa takut yang berlebih-lebihan. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berkata: para Sufi muncul yang  pertama dari Bashrah.
3.      Aliran Kufah
Aliran kufah menurut Louis Massignon, berasal dari Yaman. Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal-hal aneh dalam Nahwu, hal-hal imeg dalam puisi dan harfiah dalam hal Hadist. Dalam Aqidah mereka cenderung pada Aliran Si’ah dan Raja Iyyah dan ini tidak aneh, sebab Aliran Si’ah pertama kali muncul di kufah.
4.      Aliran Mesir
Pada Abad-abad pertama dan kedua Hijriyah terdapat Aliran Zuhud yang lain, yang dilupakan para orientalis dan Aliran ini tampaknya bercorak Salafi, seperti halnya Aliran Madinah. Aliran tersebut adalah Aliran Mesir, sebagaimana diketahui, sejak penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan itu, misalnya Amru Ibn Al-Ash, Abduallah Ibn Amru Ibn Al-Ash yang terkenal kezuhudannya, Zubair bin Awwam dan Miqdad Ibnal-Aswad.

D.    Karekteristik Asketisisme Dalam Islam
Dari uraian tentang Zuhud dengan berbagai Alirannya, baik dari Aliran Madinah, Bashrah, Kufah, ataupun Mesir, baik pada abad I dan II Hijriyah dapat disimpulkan bahwa Zuhud pada masa itu mempunyai Karekteristik[37] sebagai berkut:
Pertama, Zuhud berdasarkan ide menjauhi hal-hal duniawi demi meraih pahala akhirat dan memelihara diri dari azab neraka. Ide ini berakar dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Assunnah yang terkenal dampak berbagai kondisi sosial politik yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
Kedua, bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian untuk menyusun prinsip-prinsip teoritis Zuhud. Zuhud ini mengarah pada tujuan moral.
Ketiga, motivasi zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari landasan amal keagamaan secara sungguh-sungguh. Sementara pada akhir Abad kedua Hijriyah, ditangan Rabi’ah Al-Adawiyah, muncul motivasi cinta kepada Allah yang bebas dari rasa takut kepada azab-Nya.
Keempat, menjelang akhir Abad II Hijriyah, sebagaimana Zahid khususnya dikhurasan dan pada Rabi’ah Al-Adawiyah ditandai kedalaman membuat analisa yang bisa dipandang sebagai fase pendahuluan Tasawuf atau sebagai cikal bakal para Sufi Abad ketiga dan keempat Hijriyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka dinamakan Zahid, Qari’ dan Nasik (bukan sufi).[38]



E.     Dari Asketisisme Menuju Tasawuf.
Benih-benih Tasawuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dari prilaku dan peristiwa dalam hidup, Ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi Rasul, berhari-hari ia berkhalwat di Gua Hira’ terutama pada bulan Ramadhan. Disana Nabi banyak berzikir, bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Pengasingan diri Nabi ke Gua Hira’ ini merupakan acuan utama para Sufi dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para Sufi adalah kehidupan para sahabat Nabi yang berdekatan dengan keteduhan Iman, ketaqwaan, kezuhudan dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan keruhanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan keruhanian para sahabat yang menumbuhkan kehidupan Sufi di Abad-abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul pula periode Tabi’in (sekitar abad ke I dan II H). Pada masa itu kondisi sosial politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya. Konflik-konflik sosial politik dari masa Utsman bin Affan berkepanjangan sampai pada masa-masa sesudahnya. konflik politik tersebut ternyata mempunyai dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok-kelompok Bani Umayyah, Syi’ah, Khawarij[39] dan Murji’ah.[40]
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, kehidupan politik berubah total. Khalifah-khalifah Bani Umayyah secara bebas berbuat kezaliman-kezaliman, terutama kepada kelompok Syi’ah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar menentangnya. Puncak kekejaman mereka terlihat pada peristiwa terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani Umayyah yang tak henti-hentinya membuat sekelompok penduduk Kufah merasa menyesal karena mereka telah mengkhianati Husain dan memberikan dukungan kepada pihak yang melawan Husain. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan tawwabun (kaum yang bertobat)). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabi ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid As-Saqafi yang terbunuh dikufah pada tahun 68 H.
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan, perubahan kondisi sosial pun terjadi. Hal ini mempunyai pengaruh yang besar dalam pertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat, secara umum kaum Muslimin hidup dalam keadaan sederhana. Ketika Bani Umayyah memegang tampuk kekuasaan hidup mewah mulai meracuni masyarakat, terutama terjadi dikalangan istana. Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai Khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi Muhammad SAW serta sahabat dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja-raja Romawi. kemudian anaknya Yazid (memerintah 61 H/ 680 M-64 H/ 683 M), dikenal sebagai seorang pemabuk. Dalam situasi demikian kaum Muslimin yang shaleh merasa berkewajiban menyerukan kepada masyarakat untuk hidup Zuhud , sederhana, shaleh dan tidak tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam Islam.[41]
Suatu kenyataan sejarah bahwa kelahiran Tasawwuf  bermula dari gerakan Zuhud dalam Islam. Istilah Tasawuf baru muncul pada pertengahan Abad ketiga Hijriyah oleh Abu Hasyim Al-khufi (w. 250 H). Dengan meletakkan Al-Sufhi dibelakang namanya. Pada masa ini para Sufi telah ramai membicarakan konsep Tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal. Jika pada akhir Abad II ajaran Sufi berupa kezuhudan, maka pada Abad ketiga ini orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub), bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan menjadi satu dengan Tuhan ( ‘Ain Al-Jama’). Sejak itulah muncul karya-karya tentang Tasawuf  oleh para Sufi pada masa itu seperti Al-Muhasibi (w.243 H), Al-Hakim At-Tirmidzi (w.285 H), dan Al-Junaidi (w.297 H). Oleh karena itu Abad dua Hijriyah dapat dikatakan sebagai Abad mula tersusunnya Ilmu Tasawuf.[42]

Penutup

Zuhud menurut al-palimbani bukan tidak memiliki sesuatu, tetapi tidak menginginkan sesuatu selain Allah. Ciri seorang zahid, menurut dia, ada tiga perkara: pertama, ia tidak gembira dengan adanya sesuatu dan tidak sedih dengan hilangnya sesuatu. Kedua, orang yang memujinya dan orang yang mencelanya dianggap sama saja. Ketiga, ia merasa dekat dengan Allah dan merasa senang dalam mentaatinya.
Wahb bin Ward berkata, “Zuhud terhadap keduniaan adalah engkau tidak berputus asa terhadap apa yang luput darimu dan tiadak bergembira kepada apa yang datang kepadamu.”[43]           










Daftar Pustaka


Prof. Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,  Jakarta: Penerbit dan Penyebar Buku-buku, 1973.

Dr. Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, Penerbit Buku Islam Rahmatan.

H.M. Asywadi syukur, LC, Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Dr.M. Chatib Quzwain, mengenal Allah, (Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syaikh ‘Abdus-Samad Al-Palimbani Ulama Palembang Abad ke-18 Masehi), Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985.

M. Fadloli. H. Chusaini, Pendidikan Budi Luhur Menurut Al-Qur’an, Surabaya: Al-Ikhlas.

http//www.yahoo.com.

Thowil Akhyar, Studi Pintas Mengenai Rahasia Kehidupan Sufi, Semarang: CV.  Asy Syifa’



                                                                                                                       ,



*Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, (UIN SUSKA). Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam (kosentrasi fiqih) Semester III, sekarang sedang menyelesaikan Program SI.
[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 64.
[2] Asmaran AS, Pengantar Studi Tasawuf, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada), hal. 233.
[3] Kalau Wara’ adalah merupakan suatu sikap hidup dalam memilih yang halal semata, maka zuhud ialah suatu sikap hidup dalam mempergunakan yang halal yang sudah dimilikinya. M. Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu ), hal. 62.
[4] Rabi’ah berkata, “pangkal kezuhudan adalah menghimpunkan segala sesuatu dengan haknya dan menempatkannya sesuai haknya. Sofyan Ats-Tsauri berkata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah membatasi angan-angan untuk makan daging, gemuk atau mengenakan tutup kepala.” Ia pun berkata, “diantara do’a mereka, “Ya Allah, Zuhudkanlah kami terhadap keduniaan dan luaskanlah kepada kami dari keduniaan. Janganlah engkau timpakan keduniaan pada kami sehingga kami menyukainya.” Oleh karena itu, Imam Ahmad berkata, “Zuhud terhadap keduniaan adalah pendeknya angan-angan.” Murrah berkata, “pendeknya angan-angan dan cuek terhadap apa yang dimiliki orang lain.” Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, (Buku Islam Rahmatan), hal. 79. 
[5] Lihat, ihya’, jilid IV, HAL. 307
[6] Lihat, ibid, hal. 212.
[7] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1952), hal. 68. yang terpenting bagi seorang Sufi ialah Al-Zuhud yaitu keadan meninggalkan dunia. Sebelum menjadi Sufi, seorang calon harus terlebih dahulu menjadi Zahid, yang dalam istilah inggris disebut Ascetic. Sesudah menjadi Zahid barulah ia bisa meningkat menjadi Sufi. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 64.
[8] Thowil Akhyar, Studi Pintas Mengenai Rahasia Kehidupan Sufi, (Semarang: CV.  Asy Syifa’), hal. 146.
[9] W.w.w google. Yahoo. Com
[10] M. Syaifuallah Al-Alil, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), hal. 128.
[11] M. Syaifuallah Al-Alil, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, hal, 129
[12] Didalam “Syarah Arba’in” diterangkan, Zuhud ialah meninggalkan kehidupan duniawi yang tidak diperlukan sekalipun halal, dan terbatas hanya untuk memenuhi kepentingan yang primer saja. M. Asywadi Syukur, Ilmu Tasawuf, hal. 62.
[13] Didalam kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah, ada seorang bertanya kepada Zunnun Al-Misri: kapan seorang itu dikatakan zuhud? Ia menjawab bila dirinya zuhud terhadap jiwanya. Dikatakan: yang dikatakan zuhud adalah orang yang zuhud jiwanya, karena ia meninggalkan kenikmatan yang fana untuk mendapatkan kenikmatan yang baqa. Underhil berkata: hampir dikatakan mustahil setiap orang sufi lari dari pada memerangi zuhud. Seorang sufi yang benar didalam tariqatnya, perilakunya dan didalam tasawufnya, ia adalah orang yang pertama kali sebagai orang yang zuhud dalam jiwanya dan didalam kehidupan dunianya. Orang yang zuhud dapat membersihkan jiwanya dan keduniaannya, karena keduanya menurut pandangan sufi merupakan sumber dari penyakit dan keletihan jiwa sehingga dengan keduanya jiwa manusia menderita. Seorang sufi sebelum menjadi seorang berjiwa luhur, ia lebih dahulu diawali dengan taubat, dan wara’ sehingga dengannya ia dapat memperoleh ketenangan, redho yang benar dirasakan olehnya. Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “sesungguhnya dunia ini bukan tempat kalian. Allah telah menetapkan kefanaan terhadapnya dan Allah telah menetapkan kesirnaan bagi para penghuninya. Berapa banyak kemegahan yang sebentar kemudian binasa, dan berapa banyak yang tinggal lalu iri terhadap yang sedikit tapi kemudian pergi.” Lihat, jami’ Al-‘Ulum, hal. 332.
 [14] Sesungguhnya At-Tustari melihat Zuhud sebagai sesuatu yang sangat penting didalam dunia Tasawuf, sebagai media untuk mempersiapkan jiwa dalam rangka memasuki kehidupan keruhanian, sebagai akhlak seorang Sufi tidak lebih dan tidak kurang, sehingga kehidupan keruhanian itu bagi seorang Sufi merupakan mata rantai yang tidak terdapat didalamnya gerak jiwa dan syahwat. Untuk mencapai yang demikian itu sangat diperlukan jihad manusia dalam memerangi keinginan-keinginan hawa nafsu demi untuk memantapkan “kekuasaan ruh-nya”, sehingga dengan ini seorang dapat merasakan kenikmatan Zuhud .

[15] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam kitap sunannya, Az-Zuhud (1, h 4154, 2/207). Dihasankan oleh an-nawawi (Riyadush-shalihin, hal. 187).
 [16] M. Syaifuallah Al-Alil, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, hal. 128.
 [17] Ada tiga tingkatan Zuhud menurut Abu Nas As Sarraj At-Tusi: pertama, tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya. Kedua, tingkat Mutahaqqin yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena dia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya. Ketiga, tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. W.w.w google. Yahoo. Com.
[18] Dalam keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa harta benda adalah sesuatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniaw, tetapi sebenarnya kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta da kesenangan duniawi dan mengabadikan diri kepada Allah.
[19] Lihat Sair, Jilid IV, hal. 88
[20] Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 233.
[21] Lihat RA. Nicholson, Fi Al-Tasawwuf Al-Islami wa Tarikbibi, diarabkan oleh Abu Al-Ala ‘Afifi, Lajnah Al-Ta’lif wa Al-Tarjamah wa Al-Nasyr, Cairo, 1969, hal. 3
[22] Sebagaimana telah diuraikan diatas, dengan atau tanpa pengaruh dari luar, gerakan hidup zuhud itu dapat lahir dari dalam Islam sendiri, yaitu sebagai pengamalan  Firman Allah, kehidupan dan sabda Rasulullah, Sahabat dan Tabi’in. Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 234
[23] Lihat, Al-Taftazani, op.cit., hal. 61-62.
[24] Menurut prof. Dr. Hamka: Bahwa Tasawuf  atau Zahid tumbuh dengan sendirinya dari pengaruh membaca dan melagukan Al-Qur’an dengan suara merdu, tafakkur dan membaca beberapa hadist, mencontoh perbuatan sahabat-sahabat utama dan pengaruh dari keadaan bekeliling. Waktu permulaan tumbuhnya, Tasawuf belum menjadi satu (ilmu yang teratur atau filsafat sistematik). Demikianlah pertumbuhannya sampai kepada penghujung dari abad kedua dari islam. 
[25] Ibrahim ibn Adam, pada asalnya adalah seorang anak raja dari Persia tetapi kemudian meninggalkan kerajaan, karena sewaktu berburu ia mendengar suara mengatakan: “Kamu diadakan bukan untuk hidup senang.” Ia pergi mengembara. Salah satu kata-katanya: “Tinggalkan dunia ini. Cinta pada dunia membuat orang tuli serta buta dan menjadi budak.”
[26] Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 244-245.
[27] Lihat, Ibid, hal 62-63.
[28] Diatas kita telah menerangkan bahwa Ajaran Tasawuf itu sebenarnya bersumber dari dalam Islam itu sendiri, dengan mengemukakan beberapa Ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah, termasuk didalamnya Ajaran Zuhud. Untuk memperoleh Ajaran tersebut, berikut akan dicantumkan beberapa Ayat Al-Qur’an dan Al-Sunnah lagi yang menerangkan bahwa gerakan hidup Zuhud itu memang benar-benar bersumber dari Ajaran Islam itu sendiri. Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 235.
[29] Fadloli. H. Chusaini, Pendidikan Budi Luhur Menurut Al-Qur’an, (Surabaya: Al-Ikhlas), hal. 44.
[30] Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 236. Kemudian tidak sedikit pula Hadist yang menerangkan keutamaan hidup Zuhud. Diantara Hadist-hadist itu ialah sabda Rasuluallah SAW sebagai berikut: “seorang hamba berkata: hartaku! Sesungguhnya hartanya terdapat dalam tiga hal, apa yang dimakannya sampai hancur, apa yang dipakainya sampai usang dan apa yang diberikannya kepada orang lain sampai menjadi simpananya diakhirat nanti, sedangkan yang lain akan hilang dan hanya tertinggal bagi orang lain.”
[31] Sudah dapat dipastikan bahwa Ayat-ayat dan Hadist-hadist seperti ini yang semakna untuk mendorong lahirnya para Zahid pada abad-abad pertama dan kedua Hijriyah  mereka menahan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi serta beramal demi akhirat. Bahkan mendorong mereka untuk tidak memperdulikan makanan, pakaian, harta dan takut pesona dunia serta berusaha bersungguh-sungguh meraih kebahagiaan akhirat. Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 237.
[32] Kelompok Umayyah, Syi’ah, Khawarij dan Murji’ah. Bahkan konflik antara kelompok umayyah dengan lawan-lawannya berlangsung dalam masa yang cukup lama. Kaena itu benarlah pendapat Nicholson yang memandang kasus pembunuhan Ustman bin Affan sebagai permulaan kericuhan-kericuhan politik yang menggoyahkan islam. Nicholson mengatakan: “perang-perang saudara yang terjadi setelah kasus  ini (maksudnya: kasus terbunuhnya ustman bin affan) bebar-benar telah mencabik Islam. Dengan kata lain, terbunuhnya Ustman bin Affan oleh orang yang tidak bertanggung jawab menjadikan suasana Negara semakin terancam dan kacau. Lihat, Nicholson, Riterary History of the Arabs, Cambridge University Perss, Cambridge, 1930, hal. 190.
[33] w.w.w. google. Yahoo. com.
[34] Al-Kindi dalam karyanya Al-Wulab wa Al-Qudah meriwayatkan, Salim bin Atar Al-Tajibi adalah orang yang terkenal tekun beribadah. Dan membaca Al-Qur’an serta shalat malam.  Asmaran As.,  Pengantar Studi Tasawuf, hal. 246
[35] Mu’tazilah, menurut Aliran ini orang Mukmin yang melakukan dosa besar sudah tidak Mukmin lagi tetapi juga belum menjadi Kafir. Ia berada pada posisi antara Mukmin dan Kafir, posisi ini dikenal dengan “Almanzilatul baina Almanzilataini”. Ia tidak dapat lagi disebut mukmin karena melakukan dosa besar atau karena perbuatanya tidak lagi sesuai dengan apa yang diyakininya tetapi belum dapat disebut kafir karena dihatinya dia masih mengakui Allah sebagai Tuhan-Nya. Nasi orang ini diakhirat menurut mu’tazilah masuk neraka dan kekeal didalamnya. Karana diakhirat hanya ada dua tempat surga dan neraka. Disebut telah hilang imannyapelaku dosa besar tidak berhak masuk surga tetapi dineraka dia mendapatkan azab yang lebih ringan dari pada yang diberikan kafir asli.
[36] Hasan al-basri mengatakan: “jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya membunuh.” Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, hal. 67.
[37] http//www.yahoo.com
[38]Nichilson memandang bahwa Zuhud ini adalah Tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson memberikan atribut pada para Zahid ini dengan gelar Para sufi angkatan pertama.” http//www.yahoo.com
[39] Khawarij adalah Aliran Akidah yang pertama dalam Islam, yang berarti, orang-orang yang keluar dari barisan Ali dan balik menyerang Ali sekaligus menyerang Muawwiyah. Dan ditangan khawarij inilah konsep kafir meluas.
[40] Sedangkan Murji’ah, Aliran baru yang tidak mau terlibat dalam urusan kafir mengkafir. Murji’ah, yang berarti memberi harapan atau yang menunda, disebut demikian karena menurut aliran ini orang Islam yang melakukan dosa besar masih tetap Mukmin dan ada harapan untuk bisa masuk surga. Sedangkan dosa besarnya terserah kepada Allah.kalau Allah mengampuninya terbebaslah ia dari hukuman dan jika Allah tidak mengampuninya maka dia akan dihukum sesuai kadar dosa dan kesalahannya tapi akhirnya tetap bisa masuk surga.
[41] Dari perubahan-perubahan kondisi sosial tersebut, sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan kehidupan Nabi SAW dan para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari kehidupan mewah. Sejak saat itu kehidupa zuhud menyebar luas dimasyarakat. Para pelaku zuhud itu disebut zahid. http//www.google.yahoo.com.
[42] http//www.yahoo.com
[43] Ahmad Mu’adz Haqqi, Syarah 40 Hadist Tentang Akhlak, , hal. 78.

1 komentar:

  1. Apa benar asketisisme adalah zuhud dalam konsep Islam? Asketisisme secara literal bagaimana maknanya?
    Mampir ya ke http://cafeilmubrilly.blogspot.com

    BalasHapus