USUL FQH: AL-HUKMU, HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM ‘ALAIH


AL-HUKMU, HAKIM, MAHKUM FIH, MAHKUM ‘ALAIH
Disusun Oleh: Fitri Yafrianti
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? Ç
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”
[QS. Al-Jumu’ah: 10]

A.    Pendahuluan
Usul Fiqh  adalah suatu ilmu yang mengungkap tentang berbagai metode yang dipergunakan oleh para mujtahid dalam menggali dan menapak suatu hukum syari’at dari sumbernya yang telah dinashkan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Atas dasar nash syar’i para ulama mujtahid mengambil ‘illat (ketetapan) yang menjadi dasar penetapan “Hukum” dalam mencapai kemaslahatan yang menjadi tujuan utama adanya syari’at ini. Ushul Fiqh sebagai suatu ilmu dapat dipandang terdiri atas sekumpulan metodologi atau kaidah yang menjelaskan bagaimana para ulama mujtahid mengambil hukum dari dalil-dalil yang tertulis dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.  
B.     Pengertian Hukum
Secara etimologi, hukm (              ) berarti man’u (                 ) yakni “mencegah”, seperti,                                                                                                          mengandung pengertian bahwa engkau mencegah melakukan sesuatu yang berlawanan dengan itu. Hukm juga berarti qadha’ (                       ) yang memiliki arti “putusan”, seperti,                               mengandung pengertian bahwa engkau telah memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka.[1]
Abd. Hamid Hakim dalam bukunya “Al-Bayan” menyatakan:

“Hukum menurut bahasa ialah: menetapkan sesuatu di atas sesuatu.”
Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah: tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. A. Hanafie, dalam bukunya Usul Fiqh, telah menjelaskan bahwa hukum menurut syara’, ialah firman Allah atau sabda Nabi yang berhubungan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf), firman mana mengandung tuntutan, membolehkan sesuatu atau menjadikan sesuatu sebagai tanda adanya yang lain.[2]Hukum menurut istilah ahli ushul adalah:                                                                                                             
                             
“Firman pembuat syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan (perintah dan larangan), pilihan, atau wadl’iy (menjadikan sesuatu sebagai sebab adanya yang lain, syarat, dan mani’ atau penghalang bagi sesuatu hukum)”.[3] 
Secara istilah Abd. Hamid Hakim dalam bukunya “Al-Bayan” menyatakan:


“Khitab Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang Mukallaf, baik mengandung tuntutan menyuruh/larangan atau membolehkan atau menentukan sesuatu menjadi sebab,atau syarat atau penghalang terhadap yang lain”.



Sedangkan ulama ushul fiqih mengatakan bahwa apabila disebut hukm, maka artinya adalah:
1.      Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya
2.      Khitab Allah
3.      Akibat dari khitab Allah
4.      Keputusan hakim di sidang pengadilan.[4]

C.  Pembagian Hukum
Mayoritas ulama ushul fiqih membagi hukm kepada dua bagian besar, yaitu hukm al-taklifi (                            ) dan hukm al-wadh’i (              ).            
a.      Hukum Taklifi[5] dan Macam-macamnya
Hukum Taklifi,[6] adalah tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan suatu perbuatan. Bentuk-bentuk   Hukum Taklifi menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh:
1.      Ijab (                )
Yaitu tuntutan secara pasti dari Syari’ untuk dilaksanakan dan tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang meninggalkannya dikenai hukuman. Misalnya, dalam surat al-Baqarah, 2: 110, Allah berfirman:
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qŸ2¨9$# 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yYÏã «!$# 3 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ׎ÅÁt/ ÇÊÊÉÈ  





Artinya:
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”[7]
2.      Nadb (                         )
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu tidak secara pasti. Seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya, karena orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub (                       ), sedangkan akibat dari tuntutan itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat al-Baqarah, 2: 283, Allah berfirman:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya:
“ Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
3.      Ibahah (                       )
Yaitu khitab Allah yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat. Akibat dari khitab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah   (                      ). Misalnya, firman Allah dalam surat al-jum’ah, 62: 10:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ  

3 komentar: