EVALUASI PENDIDIKAN: Evaluasi Pengembangan Kurikulum


Evaluasi  Pengembangan Kurikulum

Oleh: Fitri Yafrianti*

Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
 Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”





A.    Pendahuluan
Evaluasi merupakan proses yang sangat penting dalam kegiatan pendidikan formal. Mengapa demikian? Bagi guru evaluasi dapat menentukan efektivitas kinerjanya selama ini; sedangkan bagi pengembang kurikulum evaluasi dapat memberikan informasi untuk perbaikan kurikulum yang sedang berjalan. Evaluasi sering dianggap sebagai salah satu hal yang menakutkan bagi siswa. Oleh karena itu, memang melalui kegiatan evaluasi dapat ditentukan nasib siswa dalam proses pembelajaran selanjutnya. Anggapan semacam ini memang harus diluruskan. Evaluasi mestinya dipandang sebagai sesuatu yang wajar yakni sebagai suatu bagian integral dari suatu proses kegiatan pembelajaran.
 Dengan demikian, mestinya evaluasi dijadikan kebutuhan oleh siswa, sebab dengan evaluasi siswa akan tahu tentang keberhasilan pembelajaran yang dilakukannya.[1]  Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahas evaluasi pengembangan kurikulum. Sebelum membahasnya, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan evaluasi pengembangan kurikulum?




B.     Pengertian evaluasi pengembangan kurikulum
Ada beberapa pengertian evaluasi. Secara harfiah kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation; dalam bahasa Arab: al-Taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti: penilaian. Adapun dari segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dan Gerald W. Brown (1977): Evaluation refer to the act or process to determining the value of something. Menurut definisi ini, maka istilah evaluasi itu menunjukan kepada atau mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari sesuatu.[2] Wand dan Brown (1957) mendefinisikan evaluasi sebagai “…refer to the act or process to determining the value of something” Evaluasi mengacu kepada suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu yang dievaluasi.
Sejalan dengan pendapat tersebut Guba dan Lincoln mendefinisikan evaluasi itu merupakan suatu proses memberikan pertimbangan mengenai nilai dan arti sesuatu yang dipertimbangkan (evaluand). Sesuatu yang dipertimbangkan itu bisa berupa orang, benda, kegiatan, keadaan atau sesuatu kesatuan tertentu (Hamid Hasan 1988).
Sedangkan kurikulum dapat dipandang sebagai “suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu”.[3] Jadi, pengembangan kurikulum pada hakikatnya adalah proses penyusunan rencana tentang isi dan bahan pelajaran yang harus dipelajari serta bagaimana cara mempelajarinya. Seller dan Miller (1985) mengemukakan bahwa proses pengembangan kurikulum adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus.[4]
Dari konsep evaluasi pengembangan kurikulum di atas, maka evaluasi kurikulum dimaksudkan sebagai suatu proses mempertimbangkan untuk memberi nilai dan arti terhadap suatu kurikulum tertentu.
 Hal yang dimaksud dengan kurikulum di sini adalah rencana yang mengatur tentang isi dan tujuan pendidikan serta cara yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Konsep nilai dan arti, dalam konteks penilaian terhadap suatu kurikulum memiliki makna yang berbeda. pertimbangan nilai adalah pertimbangan yang ada dalam kurikulum itu sendiri. Contohnya berdasarkan proses pertimbangan tertentu, evaluator memberikan nilai: apakah kurikulum yang dinilai itu dapat dimengerti oleh guru sebagai pelaksana kurikulum; apakah setiap komponen yang terdapat dalam kurikulum itu memiliki hubungan yang serasi; apakah kurikulum yang dinilai itu dianggap sederhana dan mudah dilaksanakan oleh guru; dan lain sebagainya.
Berbeda dengan nilai, arti berhubungan dengan kebermaknaan suatu kurikulum. Misalkan, apakah kurikulum yang dinilai memberikan arti untuk meningkatkan kemampuan berfikir siswa; apakah kurikulum itu dapat mengubah cara belajar siswa kepada yang lebih baik; apakah kurikulum itu dapat lebih meningkatkan pemahaman siswa terhadap lingkungan sekitar; dan lain sebagainya.   
Pengembangan kurikulum merupakan proses yang tidak pernah berakhir (Olivia, 1988). Proses tersebut meliputi orientasi, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Merujuk pada pendapat tersebut maka, dalam konteks pengembangan kurikulum, evaluasi merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari pengembangan kurikulum itu sendiri. Melalui evaluasi, dapat ditentukan nilai dan arti suatu kurikulum, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan apakah suatu kurikulum perlu dipertahankan atau tidak; bagian-bagian mana yang harus disempurnakan.
Sejalan dengan pendapat itu Cronbach memandang bahwa evaluasi kurikulum merupakan komponen dalam proses membuat keputusan… curriculum evaluation as component in the decision making process… Evaluation broadly as the collection and use information to make decisions about an educational program (Dalam Miller dan Seller 1985: 302). Bagi Cronbach, evaluasi kurikulum pada dasarnya adalah sebagai suatu proses mengumpulkan berbagai informasi dalam rangka membuat suatu keputusan tentang program pendidikan. Artinya, melalui evaluasi apakah suatu program pendidikan perlu ditambahkan, dikurangi atau mungkin diganti.

C.    Pentingnya Evaluasi Kurikulum
Evaluasi adalah langkah untuk menentukan keberhasilan suatu kurikulum. Sekaligus menemukan kelemahan yang ada pada proses tersebut untuk diperbaiki. Evaluasi kurikulum dilakukan pada semua komponen kurikulum, yaitu tujuan, materi, metode, dan evaluasi itu sendiri. Komponen-komponen ini mewarnai hasil evaluasi yang dilakukan, yaitu tentang validitas (kesahihan), reliabilitas (keterandalan), signifikansi (keterpercayaan), dan objektifitas. Oleh karena itu, evaluasi merupakan komponen yang sangat penting untuk menilai sejauh mana dan seberapa baik kurikulum dan proses pembelajaran berjalan secara optimal atau tidak. Dengan evaluasi, dapat diketahui apakah sasaran yang ingin dituju dapat tercapai atau tidak, sehingga akan diperoleh umpan balik tentang kurikulum atau pembelajaran. Berdasarkan umpan balik tersebut dilakukan perbaikan-perbaikan pada aspek-aspek yang kurang tepat dan pengembangan pada aspek-aspek yang sudah baik.[5]
Evaluasi terhadap tujuan berkaitan dengan sasaran maupun arah yang akan dituju dan dicapai. Tujuan bersumber dari harapan masyarakat bukan hanya sebuah rancangan kurikulum saja. Dalam evaluasi itu perlu dipertimbangkan adanya hambatan yang akan muncul dalam upaya mencapai tujuan tersebut.
Materi kurikulum perlu dievaluasi, yaitu berkaitan dengan relevansi materi pembelajaran dengan tujuan, sehingga dapat memberikan pengalaman belajar. Evaluasi juga dilakukan untuk mengetahui relevansi materi pembelajaran dengan perbedaan ataupun perkembangan individu secara psikologis, sehingga dapat terjadi perubahan perilaku yang optimal. Evaluasi dalam hal ini dilakukan dengan maksud mengetahui sampai sejauh mana proses dapat memberikan hasil berupa perubahan perilaku secara optimal. Evaluasi dilakukan pula terhadap metode dan strategi pembelajaran untuk mengetahui efektifitas penggunaan metoda dan strategi pembelajaran serta upaya perbaikan peningkatan pada kekurangan-kekurangan yang muncul.
Demikian pula terhadap komponen evaluasi yang dilakukan sudah tepat. Untuk melihat efektivitas kurikulum mencapai hasil yang optimal diperlukan evaluasi secara terus menerus yang meliputi proses hasil kurikulum. Tujuan evaluasi proses adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kurikulum sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sedangkan, evaluasi proses untuk mengetahui seberapa baik prose situ berjalan secara optimal sehingga dapat mencapai tujuan. Evaluasi kurikulum sebagai suatu proses, dilakukan baik terhadap unsur tertentu maupun keseluruhan perangkat kurikulum dan dilakukan pula baik terhadap unsur tertentu maupun keseluruhan pelaksanaan kurikulum.
Untuk melaksanakan evaluasi kurikulum, dapat digunakan pendekatan sebagaimana yang diungkapkan oleh Ralp. W. Tyler, yaitu meliputi :
1.      Menentukan tujuan evaluasi. Tujuan ini harus menyatakan dengan jelas materi yang akan dinilai dalam kurikulum.
2.      Memilih, mengubah, atau menyusun alat evaluasi dan menguji obyektivitas, reabilibitas, dan validitas alat tersebut.
3.      Menggunakan alat evaluasi untuk memperoleh data.
4.      Membandingkan data untuk menentukan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum dan jelaskan alasan dari kekuatan dan kelemahan tersebut.
5.      Menganalisis data untuk menentukan kekuatan dan kelemahan dari kurikulum dan jelaskan alasan dari kekuatan dan kelemahan tersebut.
6.      Menggunakan data untuk membuat perubahan yang dianggap perlu dalam kurikulum.

D.    Ruang Lingkup Evaluasi Kurikulum
Kurikulum dapat dipandang dari dua sisi. Sisi pertama kurikulum sebagai suatu program pendidikan atau kurikulum sebagai suatu dokumen; dan sisi kedua kurikulum sebagai suatu proses atau kegiatan.
a.      Evaluasi kurikulum sebagai suatu program atau dokumen
Suatu program atau dokumen, kurikulum memiliki beberapa komponen pokok, yaitu tujuan yang ingin dicapai, isi atau materi kurikulum itu sendiri, strategi pembelajaran yang direncanakan, serta rencana evaluasi keberhasilan.
1)      Evaluasi tujuan pendidikan
Rumusan tujuan merupakan salah satu komponen yang ada dalam dokumen kurikulum. Evaluasi kurikulum sebagai dokumen adalah evaluasi terhadap tujuan, setiap mata pelajaran terdapat sejumlah kriteria untuk menilai tujuan ini.
a)      Apakah tujuan setiap mata pelajaran itu berhubungan dan diarahkan untuk mencapai tujuan lembaga sekolah yang bersangkutan?
b)      Apakah tujuan itu mudah dipahami oleh setiap guru?
c)      Apakah tujuan yang dirumuskan dalam dokumen itu sesuai dengan tingkat perkembangan siswa?[6]    
2)      Evaluasi terhadap isi/materi kurikulum
Bahwa yang dimaksud dengan isi atau materi kurikulum adalah seluruh pokok bahasan yang diberikan dalam setiap mata pelajaran. Sejumlah pertanyaan yang dapat dijadikan kriteria untuk menguji isi atau materi kurikulum di antaranya:
a)       Apakah isi kurikulum sesuai atau dapat mendukung pencapaian tujuan seperti yang telah ditetapkan?
b)      Apakah isi atau materi kurikulum sesuai dengan pandangan-pandangan atau penemuan-penemuan yang mutakhir?[7]
c)      Apakah isi kurikulum sesuai dengan pengalaman dan karakteristik lingkungan  di mana anak tinggal?
d)     Apakah urutan isi kurikulum sesuai karakteristik isi atau materi kurikulum?
3)      Evaluasi terhadap strategi pembelajaran
Sebagai suatu pedoman bagi guru, kurikulum juga seharusnya memuat petunjuk-petunjuk bagaimana cara pelaksanaan pembelajaran atau cara mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Salah satu aspek yang berhubungan dengan implementasi kurikulum adalah aspek pedoman perumusan strategi pembelajaran. Sejumlah kriteria yang dapat diajukan untuk menilai pedoman strategi belajar mengajar di antaranya:
a)       Apakah strategi pembelajaran yang dirumuskan sesuai dan dapat mendukung untuk keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan?
b)      Apakah strategi pembelajaran yang diusulkan dapat mendorong aktivitas dan minat siswa untuk belajar?[8]
c)      Bagaimana keterbacaan guru terhadap pedoman pelaksanaan strategi pembelajaran yang direncanakan?
d)     Apakah strategi pembelajaran yang dirumuskan dapat mendorong kreativitas guru?
e)      Apakah strategi pembelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan siswa?[9]
f)       Apakah strategi pembelajaran yang dirumuskan sesuai dengan alokasi waktu yang tersedia?
4)      Evaluasi terhadap program penilaian
Beberapa kriteria yang dapat dijadikan acuan adalah:
a)                                          Apakah program evaluasi relevan dengan tujuan yang ingin dicapai?
b)      Apakah evaluasi diprogramkan untuk mencapai  fungsi evaluasi baik sebagai formatif maupun fungsi sumatif?
Evaluasi yang dirumuskan bukanlah evaluasi yang hanya sekadar untuk melihat keberhasilan siswa saja yang kemudian dinamakan evaluasi hasil belajar, akan tetapi juga perlu diuji evaluasi yang dapat menguji keberhasilan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran, kedua fungsi ini sangat penting. Evaluasi hasil belajar dapat mengukur sejauh mana siswa dapat mencapai target kurikulum yang kemudian memiliki arti untuk melihat kedudukan siswa dalam kelompoknya; sedangkan melalui evaluasi proses dapat dijadikan umpan balik bagi guru dalam menentukan keberhasilan kinerjanya sehingga guru dapat memperbaiki kelemahan dalam mengajar.
c)      Apakah program evaluasi yang direncanakan mudah dibaca dan dipahami oleh guru?
d)     Apakah program evaluasi mencakup semua aspek perubahan perilaku?  
b.      Evaluasi pembelajaran sebagai implementasi kurikulum
Beberapa kriteria yang dapat diajukan untuk menilai implementasi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Apakah implementasi kurikulum yang dilaksanakan oleh guru sesuai dengan program yang direncanakan?
2)      Sejauh mana siswa dapat berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai?
3)      Apakah secara keseluruhan implementasi kurikulum dianggap efektif dan efisien?[10]

E.     Evaluasi berbasis kelas
Perubahan kurikulum dari kurikulum yang berorientasi pada isi pelajaran (content based curriculum) menjadi kurikulum yang berorientasi pada kompetensi (competency based curriculum) memiliki konsekuensi terhadap berbagai aspek pembelajaran di sekolah. Konsekuensi tersebut bukan hanya pada implementasi atau proses pembelajaran, akan tetapi juga pada penetapan criteria keberhasilan. Pada tataran implementasi, misalnya perubahan terjadi pada proses pembelajaran; dari proses pembelajaran yang menekankan pada selesainya penyampaian pokok bahasan (isi pelajaran) pada satu catur wulan atau semester kepada penguasaan materi pelajaran oleh siswa. dengan demikian, dalam implementasi kurikulum guru dituntut untuk dapat menggunakan strategi dan metode pembelajaran yang bervariasi.



Dalam penetapan criteria keberhasilan, kalau kurikulum sebelumnya criteria ditetapkan oleh sejauh mana penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, sekarang dalam KBK keberhasilan ditentukan lebih dari itu, yaitu bagaimana materi pelajaran yang telah dikuasai itu berdampak pada perubahan perilaku atau performance siswa sehari-hari.  
Perubahan paradigma kurikulum tersebut, membawa implikasi terhadap paradigma evaluasi atau penilaian, dari penilaian dengan pendekatan normatif ke penilaian dengan menggunakan acuan standar. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk memiliki pemahaman dan kemampuan yang memadai baik secara konseptual maupun secara praktikal dalam bidang evaluasi pembelajaran untuk menentukan apakah penguasaan kompetensi sebagai tujuan pembelajaran telah berhasil dikuasai siswa atau belum.
Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan, ada dua hal penting yang harus dipahami tentang evaluasi.
 Pertama, evaluasi merupakan kegiatan integral dalam suatu proses pembelajaran. Artinya, kegiatan evaluasi ditempatkan sebagai kegiatan yang tidak terpisahkan dalam proses pembelajaran. Mengapa demikian? Sebab evaluasi bukan hanya berorientasi pada hasil (product oriented) akan tetapi juga pada proses pembelajaran (process oriented), sebagai upaya memantau perkembangan siswa baik perkembangan kemampuan maupun perkembangan mental dan kejiwaan.
Kedua, evaluasi bukan hanya tanggung jawab guru, akan tetapi juga menjadi tanggung jawab siswa. Artinya, dalam proses evaluasi siswa dilibatkan oleh guru, sehingga mereka memiliki kesadaran pentingnya evaluasi untuk memantau keberhasilannya sendiri dalam proses  pembelajaran (self evaluation). Dengan demikian, siswa tidak lagi menganggap bahwa evaluasi merupakan suatu beban yang kadang-kadang mengganggu sikap mentalnya. Melalui self evaluation  siswa akan menanggap bahwa evaluasi adalah sesuatu yang wajar yang harus dilaksanakan.


Penilaian  berbasis kelas merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran yang dilakukan sebagai proses pengumpulan dan pemanfaatan informasi yang menyeluruh tentang hasil belajar yang diperoleh siswa untuk menetapkan tingkat pencapaian dan penguasaan kompetensi seperti yang ditentukan dalam kurikulum dan sebagai umpan balik untuk perbaikan proses pembelajaran.
Dari pengertian di atas, penilaian berbasis kelas memiliki beberapa karakteristik penting.
Pertama,  Penilaian berbasis kelas merupakan bagian integral dalam proses pembelajaran, artinya bahwa penilaian ini dilakukan secara terus-menerus dalam setiap kegiatan pembelajaran yang dilakukan siswa baik di dalam maupun di luar kelas.
Kedua,  Penilaian berbasis kelas, merupakan proses pengumpulan informasi yang menyeluruh, artinya dalam penilaian berbasis kelas, guru dapat mengembangkan berbagai jenis evaluasi, baik evaluasi berkaitan dengan pengujian dan pengukuran tingkat kognitif siswa seperti menggunakan tes, maupun evaluasi terhadap perkembangan proses mental melalui penilaian tentang sikap, dan evaluasi terhadap produk atau karya siswa.
Ketiga,  hasil pengumpulan informasi dimanfaatkan untuk menetapkan tingkat penguasaan kompetensi baik standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indicator hasil belajar seperti yang terdapat dalam kurikulum.
Keempat, hasil pengumpulan informasi, digunakan untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui proses perbaikan kualitas pembelajaran. Artinya, melalui penilaian berbasis kelas, guru secara terus-menerus dapat meningkatkan kualitas pembelajaran agar lebih efektif dan efisien.
Prinsip-prinsip penilaian berbasis kelas: Motivasi, Validitas, Adil, Terbuka, Berkesinambungan, Bermakna, Menyeluruh dan Edukatif



Jenis-jenis evaluasi
1.      Tes
Tes adalah teknik penilaian yang biasa digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam pencapaian suatu kompetensi tertentu, melalui pengolahan secara kuantitatif yang hasilnya berbentuk angka. Berdasarkan angka itulah selanjutnya ditafsirkan tingkat penguasaan kompetensi siswa.
 Jenis-jenis tes:
a.       Tes berdasarkan jumlah peserta,
Berdasarkan jumlah peserta, tes hasil belajar dapat dibedakan menjadi tes kelompok dan tes individual.[11]
b.   Tes standar dan tes  buatan guru
Dilihat dari cara penyusunannya, tes juga dapat dibedakan menjadi tes buatan guru dan tes standar. Tes buatan guru disusun untuk  menghasilkan informasi yang dibutuhkan oleh guru yang bersangkutan. Sedangkan tes standar adalah tes yang digunakan untuk mengukur kemampuan siswa sehingga berdasarkan kemampuan tersebut tes standar dapat memprediksi keberhasilan belajar siswa pada masa yang akan datang.
Tes berdasarkan pelaksanaannya,
Dilihat dari cara pelaksanaannya, tes dapat dibedakan menjadi tes tulisan, tes lisan dan tes perbuatan. Tes tulisan atau yang sering disebut juga tes tertulis, adalah tes yang dilakukan dengan cara siswa menjawab sejumlah item soal dengan cara tertulis. Ada dua jenis tes yang termasuk kedalam  tes tulisan ini, yaitu tes esai dan tes objektif. Tes esai adalah bentuk tes dengan cara siswa diminta untuk menjawab pertanyaan secara terbuka yaitu menjelaskan atau menguraikan melalui kalimat yang disusunnya sendiri. Sedangkan tes objektif adalah bentuk tes yang mengharapkan siswa memilih jawaban yang sudah ditentukan. Tes lisan adalah bentuk tes yang menggunakan bahasa secara lisan. Tes perbuatan (performance)  adalah tes dalam bentuk peragaan.
2.      Non tes
Non tes adalah alat evaluasi yang biasanya digunakan untuk menilai aspek tingkah laku termasuk sikap, minat dan motivasi. Ada beberapa jenis non tes sebagai alat evaluasi, di antaranya wawancara, observasi[12], studi kasus, skala penilaian.

F. Model Evaluasi Kurikulum
  Terdapat beberapa model dalam melakukan evaluasi kurikulum, di antaranya:
1.                                 Evaluasi Kurikulum Model CIPP (Content, Input, Process, dan Product)
Menurut model ini, yang harus dievaluasi meliputi empat aspek, yaitu:
1.      Evaluasi terhadap konteks (Context), yaitu evaluasi terhadap keadaan yang melingkupi proses pembelajaran. Keadaan yang termasuk konteks adalah yang berasal dari lingkungan.
2.      Evaluasi terhadap masukan (Input), yaitu proses pengenalan terhadap keadaan peserta sebelum proses dilakukan. Tanpa mengukur hal ini, tidak akan diketahui keberhasilan suatu proses.
3.      Evaluasi terhadap proses (Process), yaitu evaluasi terhadap jalannya proses pembelajaran.
4.      Evaluasi terhadap hasil (Product), yaitu evaluasi terhadap berhasil tidaknya peserta mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Evaluasi Kurikulum Model Provus
Model Provus merupakan discrepancy evaluation model, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Tahap 1:
Menentukan kriteria yang diinginkan. Penilaian mengidentifikasi ketidaksesuaian antara kriteria dan perencanaan program kurikulum. Data dilaporkan kepada pembuat keputusan yang memutuskan apakah ketidaksesuaian dapat diabaikan atau perencanaan program harus diubah.
Tahap 2:
Membandingkan antara kenyataan atau pelaksanaan program kurikulum dan kriteria. Tugas penilaian adalah melaporkan ketidaksesuaian kedua hal tersebut. 
Tahap 3:
Meneliti proses belajar mengajar dan hasilnya secara khusus digunakan untuk menentukan hubungan penyebab dan pengaruh. Provus menanamkan tahap 3 ini sebagai microlevel evaluation. Jika ternyata proses belajar mengajar tidak menghasilkan hasil belajar yang diinginkan, proses belajar mengajar hendaknya diperbaiki. Pada tahap ini, penilai juga diharapkan mendeteksi berbagai masalah yang berkaitan dengan proses belajar mengajar.
Tahap 4:
Mepengaruh dari meneliti kurikulum secara keseluruhan dalam hubungannya dengan perubahan tingkah laku peserta didik. Provus menanamkan tahap ini dengan macrolevel evaluation. Dalam tahap ini akan diketahui apakah pelaksanaan kurikulum telah mencapai tujuannya ataukah belum. Data yang diperoleh dari tahap 2 dan 3 akan sangat membantu dalam pelaksanaan evaluasi dan pada tahap ini.



Tahap 5:
Merencanakan kurikulum baru berdasarkan data dari pelaksanaan kurikulum yang telah dinilai. Evaluasi dilakukan selama (proses) dan setelah (hasil) peserta didik mengikuti pembelajaran. Hasil evaluasi pelaksanaan kurikulum kemudian digunakan sebagai umpan balik untuk merencanakan kurikulum baru.
3.                                       Evaluasi Kurikulum Model Taksonomi 
Evaluasi kurikulum model taksonomi lebih ditujukan untuk mengevaluasi pembelajaran, meliputi:
a.Evaluasi Dominan Kognitif
Evaluasi untuk dominan kognitif ini dilakukan dengan mengukur tingkat kognisi/pengetahuan dari peserta didik setelah kegiatan pembelajaran. Hal ini dapat dilakukan dengan:
Teknik tes yang digunakan untuk mengevaluasi dominan kognitif adalah dengan tes lisan dan tulisan. Tes lisan, yaitu tes secara verbal untuk menilai kemampuan menggunakan bahasa lisan untuk mempertanggungjawabkan pendapat atau jawaban yang diungkapkan, kemampuan berfikir melihat hubungan sebab akibat, kemampuan memecahkan masalah.
Tes tulisan yaitu tes secara tertulis yang meliputi pertanyaan (soal) ataupun jawaban singkat, menjodohkan, pilihan ganda, uraian objektif, atau uraian bebas.
b.      Evaluasi Domain Afektif
Untuk mengevaluasi domain avektif, termasuk didalamnya aspek sikap dan minat terhadap mata pelajaran dan pembelajaran yang berlangsung, konsep diri dan nilai. Evaluasi dapat dilakukan dengan teknik bukan tes (non tes) dengan melakukan wawancara (interview), angket, pengamatan (observasi). Wawancara adalah teknik dengan mengadakan tanya jawab, baik secara langsung maupun tidak langsung.  Angket adalah teknik yang dilakukan secar tertulis berupa isian /pilihan terhadap alternatif-alternatif sikap tertentu. Dengan koesioner bisa diketahui tingkat apresiasi seseorang terhadap suatu nilai atau fenomena. Observasi adalah teknik yang dilakukan dengan melakukan pengamatan terhadap objek atau kegiatan baik langsung maupun tidak langsung.
c.                Evaluasi Domain Psikomotor
Untuk mengevaluasi domain psikomotor, dapat dilakukan dengan pengamatan/observasi atau dengan tes performans/perbuatan/unjuk kerja dapat digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan tugas tertentu.




















Kesimpulan
            Evaluasi merupakan bagian dari sistem manajemen, yaitu perencanaan, organisasi, pelaksanaan, dan evaluasi. Kurikulum juga dirancang dari tahap perencanaan, organisasi, kemudian pelaksanaan dan akhirnya monitoring dan evaluasi. Tanpa evaluasi, tidak akan diketahui bagaimana kondisi kurikulum tersebut dalam rancangan, pelaksanaan, serta hasilnya.[13]
            Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data untuk bahan penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direviskah akan direvisi atau diganti. Sementara itu, penelitian memiliki tujuan yang lebih luas dari evaluasi, yaitu mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk menguji teori atau membuat teori baru. Evaluasi kurikulum sangat penting dilakukan karena  evaluasi kurikulum dapat menyajikan informasi mengenai kesesuaian, efektivitas, dan efisiensi kurikulum tersebut terhadap tujuan yang ingin dicapai dan penggunaan sumber daya, yang mana informasi ini sangat berguna sebagai bahan pembuat keputusan apakah kurikulum tersebut masih dijalankan, tetapi perlu revisi atau kurikulum tersebut harus diganti dengan kurikulum yang baru. Evaluasi kurikulum juga penting dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, dan kebutuhan pasar yang berubah.
            Evaluasi kurikulum dapat menyajikan bahan informasi mengenai area-area kelemahan kurikulum sehingga dari hasil evaluasi dapat dilakukan proses perbaikan menuju yang lebih baik. Evaluasi ini dikenal dengan evaluasi formatif. Evaluasi ini biasanya dilakukan waktu proses berjalan. Evaluasi kurikulum juga dapat menilai kebaikan kurikulum apakah kurikulum tersebut masih tetap dilaksanakan atau tidak, yang dikenal evaluasi sumatif.    



DAFTAR PUSTAKA

Dr. E. Mulyasa, M. Pd, Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005
Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009
Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992
Rusman, Seri Manajemen Sekolah Bermutu, Jakarta: Raja wali Pers, 2009
Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung: Bumi Aksara, 2010
Prof. Dr. Hamid Darmadi, M. Pd, Kemampuan Dasar Mengajar, (Bandung: Alfa Beta, 2010
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Dr. Oemar Hamalik, Kurikulum Dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2008
Drs. Hendyat Soetopo, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1993


* Penulis Adalah Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, (UIN SUSKA). Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam (kosentrasi fiqih) Semester VI, sekarang sedang menyelesaikan Program SI.
[1] Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 338. 
[2] Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hal. 1. 
[3] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 122. 
[4] Seller memandang bahwa pengembangan kurikulum harus dimulai dari menentukan orientasi kurikulum, yakni kebijakan-kebijakan umum, misalnya arah dan tujuan pendidikan, pandangan tentang hakikat belajar dan hakikat anak  didik, pandangan tentang keberhasilan implementasi kurikulum, dan lain sebagainya. Berdasarkan orientasi itu selanjutnya dikembangkan kurikulum menjadi pedoman pembelajaran, diimplementasikan dalam proses pembelajaran dan dievaluasikan. Hasil evaluasi itulah kemudian dijadikan bahan dalam menentukam orientasi, begitu seterusnya, hingga membentuk siklus.  Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 32-33.
[5] Munir, Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, (Bandung: Bumi Aksara, 2010), hal. 107.  
[6] Kurikulum disusun pada dasarnya untuk mengembangkan setiap potensi yang dimiliki siswa. Siswa bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini, namun mereka adalah organisme yang sedang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Dengan demikian, tujuan dalam kurikulum harus sesuai dengan taraf perkembangan siswa itu sendiri.  Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 343.
[7] Muatan kurikulum pada dasarnya berisikan tentang berbagai disiplin ilmu. Setiap ilmu itu tidaklah bersifat statis, akan tetapi bersifat dinamis, artinya ilmu itu sendiri terus-menerus berkembang. Suatu teori dalam disiplin ilmu bisa terjadi tidak berlaku lagi manakala ditemukan teori baru. Oleh karena itulah, setiap materi pelajaran harus sesuai dengan pandangan-pandangan baru.  Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 344.
[8] Suatu strategi yang digunakan harus dapat mendorong siswa untuk  beraktivitas. Belajar tidak sama dengan duduk, mencatat dan menghafal materi pelajaran. Belajar adalah suatu proses perubahan perilaku  berkat adanya pengalaman. Dengan  demikian, proses pembelajaran pada dasarnya adalah memberikan pengalaman pada siswa. Oleh sebab itu, strategi pembelajaran harus dirancang untuk memberi pengalaman belajar yakni mendorong siswa untuk melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan tujuan yang harus dicapai.  Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 345.    
[9] Siswa adalah organisme yang sedang berkembang, yang dalam setiap tahap perkembangannya memiliki karakteristik dan sifat-sifat tertentu. Strategi pembelajaran yang dirancang haruslah sesuai dengan tahap perkembangan tersebut. Misalnya, untuk merancang strategi pembelajaran di SD mestilah berbeda dengan strategi pembelajaran yang dikembangkan di SMP atau SMA.  Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 346.
[10]  Pembelajaran yang efektif adalah pembelajaran yang dapat mencapai tujuan secara optimal sesuai dengan program perencanaan yang telah disusun. Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal. 349.
[11] Tes kelompok adalah tes yang dilakukan terhadap sejumlah siswa secara bersama-sama; sedangkan tes individual adalah tes yang dilakukan kepada siswa secara perorangan. Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal.357.
[12]Observasi adalah teknik penilaian dengan cara mengamati tingkah laku pada suatu situasi tertentu. Ada dua jenis observasi, yaitu observasi partisipatif dan nonpartisipatif. Observasi partisipatif adalah observasi yang dilakukan dengan menempatkan observer sebagai bagian dari kegiatan di mana observasi itu dilakukan. Sedangkan observasi nonpartisipatif  adalah observasi yang dilakukan dengan cara observer murni sebagai pengamat. Wina Sanjaya, Kurikulum Dan Pembelajaran, hal.358.
[13] Rusman, Seri Manajemen Sekolah Bermutu, (Jakarta: Raja wali Pers, 2009), hal. 119. 

TAREKH TASYRIK: Istihsan Berdasarkan Perspektif Mazhab Abu Hanifah


Istihsan Berdasarkan Perspektif
Mazhab Abu Hanifah[1]
Oleh: Fitri Yafrianti
“Ilmu Tanpa Agama adalah Buta dan
Agama Tanpa Ilmu adalah Lumpuh”

A.    Pendahuluan
      Imam Abuhanifah beserta ulama-ulama pengikutnya terkenal banyak memakai Istihsan. Fuqaha Hanafi baru memakai Istihsan, apabila penerapan hukum yang dihasilkan oleh Qiyas akan mengakibatkan kejanggalan dan ketidak adilan. 
     Istihsan ialah mengecualikan (memindahkan) hukum sesuatu peristiwa dari hukum peristiwa-peristiwa lain yang sejenisnya dan memberikan kepadanya hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian tersebut.[2]  Dengan demikian maka istihsan adalah kebalikan Qiyas, karena Qiyas ialah mempersamakan hukum sesuatu peristiwa dengan hukum peristiwa lain yang sejenisnya. Berdasarkan macamnya alasan untuk mengecualikan tersebut, maka istihsan dibagi menjadi istihsan-qiyas dan istihsan-darurat.
Istihsan Qiyas.     
Istihsan Qiyas ialah mengecualikan hukum sesuatu persoalan dari hukum yang ditetapkan oleh Qiyas yang lahir dan mudah diterima fikiran untuk menuju kepada hukum lain berdasarkan (ditetapkan oleh) Qiyas lain yang lebih halus dan rumit daripada Qiyas yang pertama, akan tetapi Qiyas terakhir ini lebih kuat dasarnya dan lebih tepat. Oleh karena tersebar luasnya istihsan tersebut di kalangan ulama-ulama Mazhab Hanafi, maka istihsan tersebut kadang-kadang disebut dengan nama “qiyas yang samar” (al-qiyasul khafiyy).
 Memang pada hakekatnya istihsan tersebut adalah hasil usaha mencari segi-segi kekuatan salah satu Qiyas dari beberapa Qiyas yang saling berlawanan mengenai satu persoalan. Jadi istihsan tersebut termasuk dalam persoalan Qiyas. Sebagai contoh Istihsan-Qiyas ialah persoalan titipan dan hutang dalam gambaran sebagai berikut: Menurut aturan pokok yang telah disepakati ialah bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas pengakuannya dalam hubungannya dengan hak dirinya sendiri, tetapi bukan dalam hubungannya dengan hak orang lain. Jadi kalau ia memberikan pengakuan bahwa dia bersama saudaranya mempunyai hutang sejumlah tertentu, maka ia harus melunasinya sebesar yang diakuinya dari jumlah tersebut, sedang saudaranya tidak bisa dipaksa memenuhi selisih hutang tersebut apabila ia mengingkarinya.[3]
Bagaimana halnya kalau peristiwa yang sama terjadi  pada barang seperti perusahaan penitipan barang di sekitar stasiun atau pelabuhan misalnya, (perusahaan veem). Jadi ada orang ketiga yang mengaku bahwa ia diberi kuasa (menjadi wakil) untuk menerima barang-barang orang yang menitipkan, kemudian orang yang menerima titipan barang tersebut mengakui akan kewakilan orang ketiga tersebut. Seharusnya, dengan mendasarkan kepada kesamaan yang jelas antara peristiwa titipan tersebut dengan peristiwa pelunasan hutang, maka penerima simpanan harus menyerahkan barang-barang yang dititipkan kepadanya itu. Hal ini adalah menurut logikanya Qiyas.       
Akan tetapi berdasarkan Istihsan, penerima titipan tersebut tidak diwajibkan menyerahkan barang-barang yang dititipkan kepadanya dalam gambaran peristiwa tersebut di atas, meskipun ia mengakui kewakilan orang ketiga tersebut, sebab boleh jadi pemilik barang tidak mengakui kewakilan orang ketiga tersebut , dan dengan demikian maka barang-barang titipan telah pergi, bahkan boleh jadi tidak akan kembali.
Perbedaan yang sebenarnya antara barang titipan dengan hutang ialah bahwa pada barang titipan hak milik bertalian dengan macamnya barang itu sendiri. Lain halnya dengan piutang, di mana hak kreditur bertalian dengan tanggungan debitur, bukan bertalian dengan macamnya barang (uang) yang diberikan oleh debitur kepada orang ketiga. Jadi apabila kreditur kemudian datang dan mengingkari kewakilan orang ketiga,maka berarti pembayaran yang dilakukan oleh debitur bukan pelunasan yang sebenarnya terhadap hutang karena kewakilan yang menjadi dasar pelunasan tersebut sebenarnya tidak ada. Dengan demikian maka hak kreditur tetap seperti semula, yaitu menjadi tanggungan debitur. Debitur ini diwajibkan melunasi lagi hutangnya kepada kreditur, dan ia (debitur) bisa meminta kembali uangnya kepada orang ketiga tersebut.[4]      
Istihsan Darurat.
Istihsan Darurat ialah penetapan sesuatu hukum yang menyimpang dari hukum yang ditetapkan oleh Qiyas, karena mengingat kepada suatu keadaan darurat (terpaksa) atau suatu kepentingan tertentu yang mengharuskan adanya penyimpangan tersebut, dengan maksud untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindarkan kesulitan.
Jadi istihsan darurat baru terwujud, manakala penerapan hukum yang didasarkan atas Qiyas atas sesuatu persoalan akan menimbulkan kepincangan dan kejanggalan, atau ketidak adilan. Untuk menghindari hal-hal ini, maka dengan mendasarkan kepada istihsan, hukum yang ditetapkan oleh Qiyas ditinggalkan dan memakai hukum yang lain, sebab meskipun persoalan-persoalan yang diqiaskan (di analogkan) satu sama lain masih termasuk dalam satu jenis dan mempunyai dasar-dasar yang sama, namun kadang-kadang bisa menimbulkan hal-hal yang tidak sama, dari segi menyulitkan atau tidak, menurut perbedaan peristiwa (obyek hukum) dan keadaan-keadaan lain yang menyertainya.
Jadi istihsan dalam keadaan semacam ini merupakan suatu cara (jalan) bagi para fuqaha untuk menetapkan hukum-hukum yang didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan yang sesuai dengan logika hukum Islam (fiqih) dan maksud-maksud Syari’at, ketika penerapan Qiyas akan menimbulkan hasil yang salah.
Sebagai contoh istihsan darurat ialah masalah melakukan pembayaran untuk orang lain dari uang sendiri. Dalam salah satu aturan pokok hokum islam ialah bahwa kalau melakukan pembayaran untuk kepentingan “B” dari uang sendiri, tanpa diperintahkan sebelumnya, seperti untuk memberikan belanja orang-orang yang menjadi tanggungan “B” tersebut, atau untuk melunasi hutangnya dan sebagainya, maka “A” dianggap sebagai pemberi sedekah (mutabarri), baik diniatkan member sedekah atau tidak, dan baginya tidak boleh menuntut uang pengganti dari “B” kecuali kalau “A” melakukan pembayaran tersebut karena terpaksa. Seperti kalau misalnya “A” harus menebus barang yang digadaikan oleh “B” untuk jaminan hutangnya (“B”) atas persetujuan “A”, yaitu pemilik barang sendiri, di mana “B” sendiri tidak mampu untuk menebusnya. Jadi di sini terdapat barang yang dipinjamkan untuk digadaikan, dan pembayaran oleh “A” di sini bukan sebagai pemberian sedekah.[5]        
Pembagian Istihsan Tradisionil.
Kebanyakan fuqaha dalam mazhab Hanafi membagi Istihsan kepada empat bagian, yaitu: Istihsan Qiyas, Istihsan Darurat, Istihsan Sunnah,dan Istihsan Ijma’. Yang dimaksud dengan istihsan sunnah ialah penyimpangan dari hukum qiyas untuk menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan dalam sunnah. Istihsan ijma’ ialah penyimpangan dari hukum Qiyas untuk menuju kepada hukum lain yang ditetapkan oleh ijma’.   
Sebenarnya Istihsan Sunnah dan Istihsan Ijma’ tidak perlu digolongkan kepada istihsan lagi, sebab dalam keadaan demikian yang menjadi pegangan ialah Sunnah dan Ijma’nya itu sendiri atau dengan perkataan lain ialah Nas dan Syara’ dan sumber lain yang dipersamakan dengannya (Ijma’). Sedang yang dimaksud dengan Istihsan ialah penyimpangan yang dilakukan oleh seorang faqih dari hukum Qiyas, dan Qiyas ini sendiri baru terdapat apabila sudah tidak ada Nas (ketentuan) dari Syara’, seperti yang telah diterangkan dalam pengurutan sumber-sumber hokum Islam. Jadi baik Qiyas maupun istihsan baru dapat ditetapkan pada peristiwa hukum yang tidak ada ketentuan hukumnya pada Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Kalau tidak terjadi penyimpangan yang diadakan oleh Syara’ sendiri dari ketentuan hukum Qiyas, karena adanya suatu kepentingan hukum yang hendak dipelihara oleh Syara’, maka penyimpangan ini disebut Istihsan dari Syara’, dan ini berbeda dengan Istihsan dari fuqaha (Istihsan Qiyas dan Istihsan Darurat).[6]



Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam, Jakarta: Depag, 1986
Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003
Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1984


* Penulis  adalah  Mahasiswa UIN SUSKA RIAU  Pekanbaru; kini sedang  studi Program SI, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Jurusan  Pendidikan Agama Isam.
[1] Abu Hanifah An-Nu’man Ibn Tsabit, lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat tahun 150 H/676 M. Departemen Agama RI, Perkembangan Ilmu Fiqih Di Dunia Islam, (Jakarta: Depag, 1986), hal. 15. Beliau lahir dan dibesarkan di Arab, sedangkan nenek moyang beliau berasal dari Faris. Hal itu tidak masalah bagi Imam Abu Hanifah. Beliau tidak membeda-bedakan antara imam Faris dan Arab. Karena takwa adalah paling tingginya nasab dan kuatnya hitungan. Sikap tersebut didasarkan pada firman Allah SWT: “Sesungguhnya paling mulia kamu di sisi Tuhan adalah orang yang paling takwa kepadaNya.” Dan Nabi pernah bersabda di saat haji wada’: “Wahai manusia, Tuhanmu satu. Tidak ada prioritas bagi Arab atas luar Arab(ajami), atau luar Arab atas Arab. Tidak ada prioritas bagi hitam atas merah, atau merah atas hitam, kecuali takwa.” Ali Fikri, Kisah-Kisah Para Imam Madzhab, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003), hal. 4.

[2] Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hal. 66.
[3]  Berdasarkan aturan tersebut, maka apabila orang ketiga mengaku menjadi wakil dari pihak kreditur (yang menghutangkan) untuk menerima pihutang dari pihak debitur (yang berhutang), kemudian debitur mengakui kewakilan orang ketiga tersebut, maka ia (debitur) harus melunasi hutangnya berdasarkan pengakuannya terhadap kedudukan orang ketiga itu. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal. 67.

[4] Jelasnya ialah, bahwa dalam  pelunasan hutang, menurut kenyataan, dan tinjauan hokum, debitur memberikan jumlah yang sebanding dengan hutangnya dan diambilkan dari hartanya sendiri. Jadi pengakuannya tehadap kewakilan orang ketiga untuk menerima pelunasan hutang sebenarnya berarti suatu pengakuan daripadanya untuk menyerahkan uangnya sendiri kepada orang ketiga, sebagai pelunasan hutang terhadap kreditur. Jadi pengakuan di sini adalah pengakuan atas dirinya (atas nama dirinya), dan kalau ternyata kemudian bahwa kewakilan tersebut tidak ada, maka ia sendiri yang menyia-nyiakan hartanya. Lain halnya dengan titipan, karena hak pemiliknya bertalian dengan macamnya barang titipan itu sendiri, bukan bertalian dengan tanggungan. Jadi kalau berupa motor maka hak pemilik bertalian dengan bendanya motor itu sendiri. Jadi kalau penerima titipan mengakui kewakilan orang ketiga untuk menerimanya, bearti ini adalah suatu pengakuan daripadanya untuk menyerahkan barang yang lain kepada orang ketiga. Ini adalah suatu pengakuan atas nama orang lain, bukan atas nama dirinya sendiri. Jadi kalau penyerahan kepada orang ketiga tersebut dibenarkan, maka hal ini berarti menyia-nyiakan harta orang lain hanya karena adanya  pengakuan atas nama orang lain ini. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal. 68-69.    
[5] Seharusnya anggapan sebagai sedekah juga berlaku pada peristiwa berikut, yaitu apabila seseorang menyerahkan uang kepada orang lain untuk dibelikannya sesuatu, atau untuk melunasi hutangnya atau untuk membiayai bangunan yang dipercayakan pelaksanaannya kepadanya, kemudian orang lain tersebut membekukan uang tersebut dan untuk keperluan orang yang memerintahkan tersebut dikeluarkannya uang dari milik orang lain tersebut misalnya karena kesulitan-kesulitan tehnis, seperti kalau negri-negri orang tersebut dan mata uangnya tidak sama atau harus melalui aturan-aturan birokratis dan administrasi yang tidak mudah, dengan maksud agar pada kemudian hari bisadilunaskan dari orang yang memerintahkan, maka menurut ketentuan Qiyas lahir (yakni dipersamakan dengan peristiwa pembayaran di atas), orang yang melakukan pembayaran tersebut dianggap sebagai orang yang memberikan sedekah, dan harus mengembalikan apa yang telah diterimanya dari orang yang memerintahkan. Akan tetapi para fuqaha mengatakan, bahwa dalam contoh peristiwa tersebut, orang yang melakukan pembayaran tersebut tidak dianggap sebagai pemberi sedekah, dengan didasarkan kepada istihsan, karena untuk memudahkan pemberian bantuan (fasilitas) dan menjauhkan kepincangan-kepincangan dalam hubungan kemasyarakatan, untuk kemudian diadakan kompensasi hutang antara jumlah uang yang telah dibayarkan dengan jumlah uang yang diterima.  Dari contoh-contoh istihsan tersebut kita mengetahui bahwa apabila terjadi perlawanan antara Qiyas dengan istihsan, maka istihsanlah yang harus didahulukan, sebab pada hakekatnya istihsan merupakan suatu kebijaksanaan dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan atau kepincangan-kepincangan hokum yang timbul sebagai akibat penerapan Qiyas secara mutlak. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal. 70-71.    
      
[6]  Perbedaan antara  kedua macam Istihsan tersebut sama dengan perbedaan antara dua istilah dalam hukum  positif, yaitu “qarain qanuniyyah” dengan “qarain qadlaiyyah”, Qarain qanunniyyah ialah bukti-bukti (hal-hal) yang ditentukan oleh Pembuat Undang-undang untuk menimbulkan hukum tertentu yang dinyatakannya, di mana hakim tidak bisa memberikan pernilaiannya sendiri, seperti tenggang waktu tertentu yang dipandang oleh Pembuat Undang-undang bisa menunjukkan keragu-raguan tentang adanya hak yang sama (mengalami daluwarsa), sehingga gugatan atas hak tersebut tidak dapat diterima. Qairan qadlaiyyah adalah sejenis bukti-bukti dan alat-alat pembuktian, di mana hakim bisa menilai kekuatan daya buktinya atas peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, agar ia dapat menerapkan ketentuan-ketentuan yang sah atas peristiwa-peristiwa yang disertai dengan bukti-bukti tersebut. Perbedaan antara kedua qarain tersebut ialah bahwa qarain qanuniyyah adalah ketentuan dari pembuat undang-undang yang dituangkan ke dalam undang-undang sendiri sedang qarain qadlaiyyah adalah dari hakim yang melaksnakan penelitian peristiwa-peristiwa yang dihadapinya. Ahmad Hanafi, Pengantar Sejarah Hukum Islam, hal. 71-72.